"Assalammu'alaikum. Semuanya! Gimana kangen gak sama Bu Guru?" Aku menunjukan wajah ceria di depan murid-muridku. Entah kenapa aku selalu merasa awet muda kalau kembali ke aktivitas mengajarku.
"Wa'alaikumsalam. Kangen banget Bu Guru!" jawab mereka kompak. Aku tersenyum sumringah, alhamdullilah pagi hari ini, aku bersyukur bisa melihat wajah mereka lagi.
"Semuanya pada sehat kan?" tanyaku lagi.
"Sehat Bu, kami seneng Bu Guru kembali lagi!" cengir Helen menunjukan deretan giginya yang bolong-bolong.
"Iya, Bu Guru liburnya Kelamaan sih!" Diani protes, mulutnya manyun lucu.
"Iya, bener tuh!" Koar semua anak.
Aku tertawa geli mendengar serangan para muridku yang sangat menggemaskan, mulut-mulut kecil mereka berebut bertanya ini dan itu karena sebulan sudah aku tak menyapa mereka. Judulnya hari ini mungkin aku lagi menikmati masa kangen dengan mereka.
"Iya, sekarang kan Bu Guru ada di sini, coba Bu Guru absen ya?" Aku mengambil daftar absen yang ada di meja. Kebiasaanku sebelum menyebutkan nama anak-anak adalah memastikan keadaan kelas, aku edarkan pandanganku ke setiap penjuru ruangan. Semua nampak sama seperti terakhir aku pindahkan tanggung jawab kelas ini ke guru invaler. Tiba-tiba fokusku berhenti pada satu kursi kosong di pojok sebelah kanan.
"Gio gak hadir ya sekarang?" tanyaku pada anak-anak. Seketika menelusup rasa khawatir, pantas serasa ada yang kurang.
"Enggak Bu, dia gak hadir udah tiga minggu katanya Bu Welly, Neneknya yang di Surabaya meninggal dan Papahnya minta ijin Gio sementara tinggal di sana," jawab Dion. Dion adalah tetangga dekat Gio di rumah. Innallilahi... aku tercenung lama, Ibunya Dewa meninggal? Pantas pasca pesta pernikahanku yang gagal dan aku cuti selama sebulan dia bagai hilang ditelan bumi, tak ada kabar sama sekali. Nomor hape dan semua tentangnya seakan raib, tak meninggalkan jejak. Aku sempat berpikir dia sengaja menghindariku karena dia pasti mengira aku sedang menikmati waktu indah dengan Dimas. Ternyata, lelaki itu selalu memiliki alasan yang tepat untuk bersembunyi, bukan sekedar menghindar.
"Bu Guru, kok bengong?"
"Iya, kenapa Bu Guru?"
Aku langsung tersentak, lamunanku terbuyarkan oleh teguran suara-suara cempreng yang saling bersahutan. Aku mengembalikan garis tawa yang sempat memudar di hadapan mereka. Sambil diam-diam aku meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Bukankah selama ini, selundupan pikiran buruk hanya akan menuai kepedihan. Maka, aku tak ingin terjebak lagi dalam pikiran yang aneh.
"Eh, iya! Maaf ya, Bu Guru hanya kaget kok Bu Guru gak dikabari tentang Gio?" Aku memberikan alasan agar anak-anak gak curiga. Meskipun sebenarnya aku heran karena Bu Kepala Sekolah gak berbicara perihal Gio, saat aku bertemu dengannya.
"Mungkin Papahnya Gio lupa Bu," jawab Alisha. Salah satu anak perempuan di kelasku yang paling peka dibanding yang lain. Aku tersenyum membenarkan, betul bisa jadi Dewa gak mau membuatku khawatir atau Dewa memang berniat untuk pergi dariku sesuai janjinya. Entah.
Aku mengusir jauh-jauh ingatanku tentang Gio dan papahnya. Tanpa berbasa-basi lagi, aku langsung mengabsen nama-nama muridku. Hari ini adalah hari pertamaku kembali menjadi orang tua mereka. Seburuk apapun suasana hatiku, aku harus bisa mengendalikannya.
****Siang itu, aku berjalan santai di sekitar kampus ku, mumpung hari libur aku putuskan untuk napak tilas sendirian di tempat penuh perjuangan. Aku senang berada di kampus ini, karena kampus memberikanku tempat untuk mengenal Dewa juga bersahabat dengan Yuli yang menyembunyikan kebenaran sampai akhir hayatnya.Aku sendiri tidak mengerti akhir-akhir ini aku lebih suka menyendiri ketimbang pergi beramai-ramai. Bisa jadi semua ini terjadi karena aku sebenarnya sedang mengumpulkan kepingan jiwa yang terserak atau bisa jadi aku lelah atas lidah tak bertulang tetanggaku yang mengiba, mereka mengatakan aku bodoh dan tak tahu diri karena menolak Dimas.
Aku tak bisa menyalahkan mereka atas apa yang mereka lihat. Karena begitulah kadang manusia penuh dengan hipotesis tak berdasar, hingga stigma tanpa bukti seringkali menyakiti manusia lainnya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, termasuk tentang gagalnya pernikahanku dengan Dimas.
Dimas. Pria itu ternyata cukup bijak untuk membiarkanku memilih, pasca Dewa pergi dia benar-benar memberikanku pilihan untuk bisa menata hati. Meski terkadang sifatnya yang kekanak-kanakan membuatku lelah, beberapa kali dia tetap menjemputku untuk pergi ke sekolah, sekalipun kami sepakat menjadi single, melepaskan ikatan satu sama lain.
"Jika kita harus gagal menikah sekarang, aku gak perduli Nia karena lebih baik gagal sebelun menikah daripada gagal berumah tangga. Paling tidak, gak akan ada yang tersakiti betul kan? Meski begitu aku akan menunggu dan berdoa semoga hati kamu suatu saat nanti bisa berpaling dari Dewa Nia," ujarnya yakin, saat aku bertanya tentang perasaanya pasca keluarga kami sepakat mengakhiri pesta pernikahan secara baik-baik.
Aku terus berjalan menikmati kesendirian di jalanan kampus. Tanpa sadar, lamunan telah menghantarkan kakiku pada tempat kenangan aku dan Dewa yaitu taman Fakultas. Aku tersenyum miris, saat kilatan bayangan masa lalu hadir di pelupuk mata.
"Fakultasku?"
Aku menghela nafas lalu mendudukan diri di kursi taman depan gedung hibahan pemerintah itu. Ini merupakan spot yang biasa aku kunjungi dengan Dewa saat kami masih menjalin filantropi. Tak ada yang menyangka ternyata beginilah akhirnya, aku dan Dewa seakan bersepakat mengambil jalan masing-masing tanpa adanya suatu perjanjian. Menikmati kesendirian tanpa ada keberanian memastikan hati satu sama lain.
Biarlah seperti ini, paling tidak untuk sementara ini hingga waktu dan kedewasaan, mengantarkan kami pada takdir terbaik termasuk jika suatu saat nanti aku dan Dewa tak berjodoh, sesuai quotes buanglah mantan pada tempatnya. Tapi, benarkah aku akan kuat? Sementara jelas aku tahu Dewa lebih banyak berkorban daripada aku.
Aku memandang layar ponselku sendiri, sudah sebulan lebih gak ada kabar dari Dewa juga Gio, aku sungguh rindu. Puluhan telepon dan ratusan chat dari yang berbasa-basi sebagai wali kelas sampai terbawa perasaan aku sudah lakukan tapi semua nihil, tidak ada balasan. Hingga akhirnya aku terperosok dalam kebosanan karena masih berharap.
Memang benar, kepala sekolah sudah bilang kemungkinan Gio akan lama di tempat almarhumah eyangnya dan pihak keluarga Gio sudah mengatakannya pada pihak sekolah, tapi apa ijinnya Gio tidak terlalu lama? Karena sungguh aku rindu anak itu, terutama papanya.
Aku menelan ludahku pedih. Sebenarnya di mana Dewa sekarang? Kenapa dia tak menghubungiku? Sungguh aku rindu padanya, namun aku terlalu angkuh untuk mengakui. Hingga aku hanya bisa menyimpan rindu dan sesal yang perlahan mengiris jiwa.
Aku menyesal karena dia mengucapkan kebohongan waktu itu hanya demi membelaku. Kenapa dia mengatakan hanya dia yang mencintaiku? Kenapa? Apakah karena dia takut aku dihina dan dianggap pengkhianat? Jika dia tersakiti, karena aku bilang pada Rena lebih memilih Dimas saat itu, seharusnya dia tak melakukan kebohongan itu semua sehingga dia dicap buruk oleh keluargaku dan Dimas. Kembalilah Dewa dan Gio! Bu Guru kangen.
Bagaimana bisa aku hampir kesiangan? Seharusnya aku berada di sekolah lebih cepat dari pada murid-muridku. Ini sih namanya bukan guru teladan tapi guru telatan. Aku langsung memarkirkan Yolanda si motor beath di parkiran, dengan perjuangan sengit melewati kemacetan akhirnya aku sampai ke sekolah bertepatan dengan lonceng bel berbunyi. Untunglah... aku mengelus dadaku, paling tidak aku gak kena damprat Bu Welly Wakasek kurikulum yang kadang suka menyindir tajam apabila ada guru yang telat masuk. Aku merapihkan baju batikku bersiap masuk ke dalam ruang kelasku. Baru saja 5 langkah aku meninggalkan lapangan parkir sebuah suara yang sangat aku kenal menyapa."Bu Guruuu!"Aku langsung menghentikan langkah. Tubuhku berputar 180 derajat dengan gemetar mendengar suara khas itu, suara yang aku rindukan."Gioooo!"Aku berteriak senang melihat sosok Gio berlari ke arahku. Ya Allah! Akhirnya dia kembali.Buk! Tubuh itu seperti biasa menubrukku, aku lepaskan semua keeinduan pada Gio. Tubuhku spon
Jakarta memang banyak memberikan arti bagiku. Ibu kota ini memiliki arti lebih karena sebuah janji dan pertemuan yang menyimpan perih.Janji untuk tidak menyesali keputusan yang diambil dan pertemuan yang merubah kata 'harapan' menjadi kata 'ikhlas'.Rentetan kejadian yang mengejutkan tentang kembalinya Dewa dengan membawa Maura, layaknya ucapan Cinta pada Rangga. Betul! Yang dia lakukan padaku itu jahat.Sejahat ban motor yang tiba-tiba bocor, eh, bukan! Lebih jahat Dewa sebenarnya.Ya, pagi ini aku mengalami kejadian sial yaitu ban bocor padahal aku sedang terburu-buru ke sekolah. Aku memicingkan mata, sejauh mata memandang aku tak melihat bengkel sama sekali.Aku menghela nafas berat, setelah Dewa mengabaikanku sekarang motor ini juga mengabaikanku.Jam di tanganku menunjukan pukul tujuh pagi. Itu berarti setengah jam lagi kegiatan KBM akan dimulai, aku berdiri gelisah jika tak cepat kuselesaikan masalah ban bocor ini mungkin bisa jadi aku akan telat dan mendapat nyanyian dari Bu W
"Selamat pagi beranjak siang anak-anak!"Bukan.Itu bukan suaraku itu suara Dewa. Aku terkejut melihat dia mampir ke kelasku, padahal sudah aku sampaikan lewat nomornya yang baru untuk menitipkan kunci pada Pak Satpam saja."Ih, ada Papahnya Giooooo!" Koar anak-anak kompak. Aku langsung melotot melihat Dewa yang masih tersenyum lebar tanpa dosa ke semua anak."Papah!" Melihat Dewa diambang pintu kelas, anak itu langsung menyambut papahnya."Hey, jagoan! Gimana sekolahnya seneng gak?" Dewa mengacak rambut anaknya seolah sudah lama mereka berpisah padahal baru sejam.Gio mengangguk antusias. "Seneng Papah, Bu Nia ngajarnya enak.""Wah, itu baru bagus!" Sebelum kelas lebih gaduh lagi, dengan tergesa aku menghampiri Dewa, berdiri tepat di depannya hingga pria itu menyunggingkan senyum."Ngapain masuk? Kan, saya udah bilang jangan ke kelas," bisikku kesal."Pak Satpamnya lagi sibuk ngupil, saya kasihan. Jadi saya masuk aja ke sini," jawab Dewa asal.Dewa selalu seperti ini, bertindak seen
"Bu Nia, Bu Annisa Zania maaf saya memanggil Bu Nia ke ruangan, saya mendapat laporan dari Bu Welly katanya pagi tadi Bu Nia malah mengobrol dengan Pak Dewa bukannya mengajar?"Aku terhenyak menerima pertanyaan tiba-tiba itu dari Bu Tia, beliau adalah Kepsek di tempatku mengajar. Selepas mengajar tadi aku tiba-tiba dipanggil ke ruangannya, ternyata untuk mempermasalahkan hal yang terjadi tadi pagi."Maaf Bu, kabar itu tak sepenuhnya benar, saya memang mengobrol tapi tidak lama karena Pak Dewa hanya membantu saya mengganti ban motor saya yang bocor. Maaf jika hal itu membuat ketidaknyamanan, tapi saya berjanji hal itu tidak akan terulang lagi." Aku memandang Bu Tia meminta pemakluman.Sebenarnya aku heran, kenapa Bu Welly Wakasek begitu sensitif jika berkenaan denganku? Hal ini terjadi semenjak Dewa selalu mengirim salam lewat Gio dan kabar aku nggak jadi menikah memperburuk sikapnya.Bu Tia mengangguk, kemudian memandangku dengan tatapan perhatian, Bu Tia itu pemimpin yang bijak dia c
"Nia? Nia? Kamu masih di situ kan?" Suara Dimas terdengar cemas di ujung telepon. Aku memaksakan senyum lalu mengangguk ke Maura tapi tidak pada Dewa yang menatapku penuh tanda tanya. Sadar Dimas yang terus memanggilku di telepon, akhirnya aku meminta ijin menjawab telepon dari Dimas di luar toko. Sebuah alasan yang tepat agar aku tak terjebak dalam pandangan keduanya yang membuat dadaku panas."Dimas, saya di Mall Grande, udah ya!" tutupku tergesa setelah mengucapkan salam. Aku langsung menyandarkan tubuh ke dinding lemah, tak bisa kusembunyikan hatiku yang sakit melihat mereka berdua bersama.Aku mendekap ponsel di dada. Mungkin aku sedang syok dengan keadaan yang terjadi tiba-tiba atau mungkin aku tengah cemburu? Entahlah, karena aku tak yakin dengan hakku."Siapa yang nelepon? Dimas?"Eh? Suara itu? Aku langsung membalikan badan kaget dengan pertanyaan yang berasal dari suara yang sangat aku kenal."Pak Dewa?"Tanpa kutahu ternyata sedari tadi Dewa berdiri di belakangku, mata elan
Aku pulang diantar Dimas. Sepanjang perjalanan kuputuskan hanya berdiam diri. Dimas memaksa Pipit untuk membiarkan aku pergi diantarnya. Meski berat tapi karena aku takut mengecewakan Dimas, akhirnya aku dengan berat hati mengiyakan.Jalanan menuju rumahku memang rawan macet. Namun, sesaknya kendaraan yang menghalangi jalan mobil Dimas yang mengantarku tak sesesak perasaanku sekarang. Jasad memang bisa jadi berada bersama orang lain, tapi hati siapa yang sanggup memenjarakannya? Dia berkelana sesukanya meski kita mencoba sebisa mungkin mengendalikan diri.Jika aku pikirkan, mencintai Dewa layaknya aku menggenggam pasir. Sekalipun aku menggenggam kuat dia akan lepas dengan sendirinya. Mungkin inilah saatnya aku menepi. Kadang kita harus memberi waktu pada hati untuk memilih mana yang harus diendapkan atau dihilangkan, termasuk membiarkan Dewa dalam kesalahpahamannya. Percuma aku menyuapi harapan, karena yang seharusnya pergi akan tetap pergi meski sekuat apapun aku menjaga."Masih miki
Di luar suasana sudah mulai hujan, itu tandanya aku harus menahan diri untuk pulang cepat-cepat dari sekolah. Padahal, semua anak kelasku juga sudah pulang, jadi tak ada keperluanku untuk tetap ada di sekolah.Sebenarnya, aku ingin segera sampai ke rumah, karena di sana akan lebih nyaman untuk menguarkan jiwa yang sedang gundah ini daripada aku berada di bawah pandangan para guru yang sudah mulai berbeda akibat tadi pagi terjadi lagi gosip yang tak mengenakan.Aku lelah dan bimbang.Sambil menunggu hujan, aku memutuskan untuk mengerjakan evaluasi bulanan guru karena dibandingkan memikirkan ucapan Dewa yang seharian ini memang berhasil memecahkan konsentrasiku, lebih baik aku mengerjakan hal yang bisa membuat hatiku yang koyak sedikit teralih. Dewa benar-benar menjadi racun bagi otakku sekarang, setiap berbicara dengannya selalu menyisakan cerita yang tak pernah selesai, aku menarik napas berat.Derrt! Derrt! Derrt.Tiba-tiba sebuah getaran kuat sukses membuyarkan lamunan panjangku. Ta
"Hahahahahaha ...." Aku mendelik pada dua orang lelaki beda usia yang sedang duduk di depanku, sedari tadi kerjaan mereka hanya menggodaku lalu tertawa tak berhenti. Sungguh persekutuan yang tercela. Untunglah Rena yang aawalnya mau menemani tadi ijin pulang duluan sehingga dia tak ikut merundungku. Selepas kejadian salah perhatian yang kelewat mengenaskan, Dewa langsung membawa aku dan Gio ke kafe yang berada dekat dengan rumah sakit untuk makan cemilan karena Gio lapar. Sekaligus Dewa kayaknya ingin menyelamatkan wajahku sebelum viral gara-gara nangis di depan mayat yang bukan target sebenarnya. Astaga! Menyebalkan sekali diriku ini. Mau di mana muka ini aku pampang? "Udah deh Pak, saya kaya gitu karena petugas itu juga yang salah kasih info!" rutukku membela diri. Saat Dewa terus mengungkit masalah wajahku yang lucu ketika menangis. Tawa Dewa akhirnya berangsur berhenti begitupun Gio saat melihatku memajukan bibir. Aku sebenarnya heran, katanya mereka itu bukan papah dan anak