Aku duduk di kursi tunggu depan ruang rawat Gio dengan kepala menunduk. Dari sejak tadi, aku tak henti berpikir apa yang harus aku jawab pada Dewa dan Gio. Entah mengapa aku merasa gamang, di satu sisi aku merasa sepertinya saat sekarang bukan waktu yang tepat untuk menyanggupi permintaan Dewa terlebih selepas Gio sakit Andro tiba-tiba menghilang. Namun, di sisi lain perasaanku pada Dewa kian besar dan aku juga sudah mulai tidak bisa jauh-jauh dari Gio.Oh Tuhan. Apa langkah yang harus kuambil? Haruskah aku menikah dan menjadi ibu Gio? Tapi, bagaimana dengan Dimas? Lalu, apakah orang tua Dewa bisa menerimaku?Sungguh. Detik ini juga rasanya aku ingin menangis sekencang-kencangnya tapi ini rumah sakit tidak mungkin aku berbuat kegaduhan.Dasar Nia bodoh!Seharusnya aku tidak menggantikan Bu Welly mengajar tadi sehingga Gio harus ketemu Andro dan jadinya seperti ini."Nia ...." Aku mengangkat kepala. Kulihat Maura menghampiriku diikuti Pak Breno di belakangnya. Lelaki itu tampak berwaj
Kereta rel listrik arah Bogor berhenti sempurna di depanku. Orang-orang sibuk berebut untuk masuk lebih dulu, maklum KRL ini memang sangat dinanti-nanti oleh para pekerja. Aku saja yang bodoh yang berangkat ke Bogor di saat jam masuk seperti ini.Sebenarnya, bukan tanpa maksud aku berangkat ke Bogor. Semalam seusai tragedi penamparan. Suasana rumah jadi jadi gak enak dan akhirnya setelah aku berpikir semalaman, aku ijin pada Mamah menenangkan diri sejenak ke rumah Nenek mumpung hari Sabtu tidak mengajar. Awalnya Mamah gak setuju tapi aku terus membujuk, aku bilang aku ingin menghindari semuanya sementara waktu. Rasanya terlalu gak nyaman dan sesak ada di Jakarta saat hatiku tengah galau seperti ini."Fiuh!"Aku menghela napas. Membiarkan yang lain masuk lebih dulu sampai akhirnya giliranku. Namun, baru saja aku mau melangkah suara seorang anak kecil menghentikanku."Bu Guru! Bu Guru!" Merasa tak asing dengan suara itu, aku menoleh ke arah samping dan kutemukan Gio tengah melambaikan
Astaghfirullah! Jika saja aku tak ingat kalau Gio adalah anak didikku, tampaknya aku lebih baik menjauh dari Dewa karena senyuman Dewa selalu membuat jantungku berlarian. Rasanya semakin aku mendekat padanya, semakin juga aku merasa tak bisa berlari padahal restu pasti akan didapat oleh kami. Pak Breno dan mamah sama-sama keras kepala, tapi aku juga gak mau Dewa kecewa. Melihatnya tetap memperjuangkanku, aku tidak ingin dia tahu tentang mamah yang mau menjodohkanku dengan Dimas. Aku gak bisa merusak suasana. Aku ingin bahagia, setidaknya terlihat di depan mereka.Setelah mengantri cukup lama di wahana Halilintar akhirnya aku, Dewa dan Rena mendapat giliran juga untuk menaikinya. Tolong jangan tanya bagaimana kakiku begitu bergetar ketika menjejakan kaki di ular besi itu.Sayangnya lagi, Rena seakan sengaja menjebakku agar duduk bersampingan dengan Dewa. Pria itu tentu saja bahagia, dia sampai bersih-bersih kursi yang akan ditempati olehku."Sini Nia, silahkan!" Dewa tersenyum lebar
"Makasih ya kamu mau antar saya pulang, tapi kamu tahu kan tolong jangan berhentiin di depan rumah," seruku dari kursi penumpang.Setelah tadi seharian menemani keluarga Dewa di wahana permainan, seperti janjinya, Dewa akan mengantarkanku kembali ke rumah. Tadinya aku berniat melanjutkan perjalanan ke arah Bogor tapi setelah dipikir-pikir lebih baik pulang ke rumah walau nanti harus menyembunyikan fakta ke mamah kalau aku gak jadi ke Bogor karena Gio dan Dewa."Siap, kamu jangan khawatir. Saya tahu kondisi mamah kamu pasti masih marah bukan?" tanyanya dengan pandangan fokus ke arah jalan. Sementara aku sesekali melihat ke arah jok belakang di mana Gio sedang tertidur karena kelelahan.Aku menoleh sambi mengangguk membenarkan. "Ya, begitulah saya harap Pak Dewa bisa paham.""Saya sangat paham, malah saya yang mau minta maaf sama kamu Nia. Maaf karena saya gak bisa jaga kamu. Tapi, saya yakin suatu saat kita akan membalik keadaan," ucapnya sambil melirikku sekilas.Aku mengernyit. "Memba
Bohong jika aku bilang bahwa aku baik-baik saja. Omongan Dimas berkali-kali berputar di otakku menyisipkan pikiran buruk tentang Dewa. Syetan memang pintar memainkan ragu pada seseorang yang mau memantapkan diri pada satu hati. Jujur, semalam sempat aku berpikir untuk menerima pinangan Dewa karena untuk kali ini aku ingin memutuskan lebih berani pada perasaanku sendiri. Namun, gara-gara Dimas, hatiku menjadi ragu lagi."Sudah, tenang Nia, pasti itu hanya omongan Dimas saja! Percaya sama Dewa! Percaya!"Aku terus mensugesti diri dan berusaha untuk tak curiga. Sebisa mungkin aku menepis semua suudzon agar tidak terpengaruh oleh omongan Dimas yang bagiku tak berdasar. Eh, tapi, seingatku selama kami berhubungan, kurasa Dimas gak akan mengatakan hal yang bohong tanpa bukti.Mungkinkah dia berkata benar? Mungkinkah Dewa masih punya hubungan sama Maura? Atau mungkin gak sih Dimas melakukan ini karena cemburu?"Ah, astaghfirullah!"Aku memijat pelipisku berat juga pening lalu kualihkan pi
Aku telah merasakan jatuh cinta, kemudian mencoba beralih dan kembali pada titik yang sama dengan terluka.Anehnya, walau tahu akan kembali sakit aku tetap memutuskan untuk berdiam dan menolak melupakan apa yang pernah membuat hati ini sekarat. Muak! Ya, aku mual dengan semua janji manis pria itu.Jujur, saat ini rasanya aku kenyang oleh kebodohanku yang percaya pada Dewa untuk kedua kalinya. Entah aku yang terlalu takut kehilangan atau memang aku terlalu mencintai Dewa. Ah, entahlah! Yang pasti aku sangat kecewa. Aku tak menyangka Dewa memilih pergi bersama Maura dibanding menjemput anaknya.Aku baru saja sampai rumah, saat aku melihat sebuah sosok tengah berdiri dengan memakai baju yang sama yang aku lihat di depan toko bunga tadi padahal ini sudah malam. Mungkin pria itu menungguku. Aku sengaja tak membalas chatnya karena selepas mengembalikan Gio ke rumahnya, diri ini tak langsung pulang karena di rumah pun gak ada siapa-siapa. Aku lebih dulu memutuskan berkunjung ke rumah Pipi
Annisa Zania. Entah mengapa setiap mendengar nama itu bibir Dewa seolah tertarik membentuk seulas senyum tipis. Dulu, saat pertama kali mendengar nama Zania, Dewa merasa nama perempuan ini cukup menarik perhatian dan betul saja ketika dia melihat Zania di OSPEK jurusan Dewa--sang ketua BEM langsung gak bisa berhenti memikirkan gadis itu. Kelembutan dan kebaikan Zania pada seorang nenek tua yang Dewa lihat di pasar membuat dia penasaran, terlebih ketika tanpa sengaja Zania menolongnya saat sang ibu tetiba sakit di rumah sakit. Dewa yang selama ini merasa diabaikan menjadi merasa diperhatikan, diam-diam dia memutuskan mengejar Zania yang notabene adik tingkatnya. Namun, ternyata Zania gak begitu gampang ditaklukan, gadis itu sangat dingin menanggapi Dewa tapi Dewa gak menyerah karena dia bertekad mencintai Zania secara brutal hingga Zania pun berhasil luluh dan menjadi kekasih Dewa.Selama mereka berhubungan, Dewa dan Zania bagaikan dua sejoli yang begitu rekat. Di mana ada Zania past
"Sebenarnya Bu Nia ada masalah apa? Apa yang bisa sekolah bantu agar Bu Nia tidak melamun seperti tadi?"Pertanyaan sarkastik meluncur mulus dari mulut Bu Tia dengan penuh aura penekanan membuat aku menelan ludah dengan susah payah. Ini kali kedua aku melihat Bu Tia meng-interogasiku hanya karena gara-gara aku gak fokus selama rapat."Hem ... itu Bu ...." Aku menjeda kalimat seraya menjilat bibir yang mendadak kering. Sejujurnya, aku tahu ke mana arah pembicaraan ini. Kuakui kalau aku memang sudah keterlaluan, di saat orang lain sibuk rapat aku malah sibuk memikirkan penyesalanku terhadap Dewa. Namun, aku bingung bagaimana menjelaskannya."Bu Nia, paham kan pertanyaan yang saya ajukan?" tegur Bu Tia sekali lagi. Aku mengerjap beberapa kali. "Eh, iya Bu sa-saya paham, saya mohon maaf Bu jika saya tadi kurang fokus. Insya Allah saya gak akan ulangi lagi kesalahan tadi," jawabku pada Bu Tia tetap dalam mode formal, demi menjunjung asas profesionalitas. "Oke, kalau Bu Nia paham, jadi ap
Sebagai wanita yang baru merasakan kehamilan kedua yang kembar, aku melewatinya dengan susah payah, belum lagi akhir-akhir ini Gio minta perhatian lebih. Namun, meski agak memusingkan, sebagai Mamah idaman baginya aku harus bisa membagi perhatianku secara adil. Kalau kata Mamahku Gio berbuat begitu karena tahu dia mau punya adik. Jadi agak manja, tak seperti Mamah yang kian hari kian menerima keberadaan Dewa setelah aku hamil tentunya. Melihat Dewa yang begitu menyayangiku, Mamah yang semula meragukan akhirnya luruh. Namun, sebaliknya aku yang lebih suka emosian pada Dewa. Selain karena perubahan moodku juga sikap Gio, kurasa ada yang berbeda juga pada Dewa. Entah mengapa sekarang dia lebih posesif dan hal itu membuat aku pun lebih merasa dimanjakan dan dilindungi.Maklumlah sebelumnya dia kan sibuk, ada aja yang ia kerjakan saking banyaknya job yang ia ambil tapi semenjak aku hamil dia mulai mengurangi aktivitas. Dewa lebih sering bersamaku meski sesekali sibuk sama urusan klinik.
Malam itu, sepulangnya menitipkan Gio ke Rena, Dewa bukannya mengajakku pulang ke rumah untuk meeting seperti rencana. Dia malah membelokkan mobilnya ke arah bandara, seakan berada dalam penculikan aku bertanya macam-macam pada Dewa takut kalau Gio mencari kami kalau kami ke luar kota atau ke luar negeri sekarang ini. "Udah gak apa-apa, namanya juga bulan madu jangan khawatir oke?" jawab Dewa ketika aku terus bertanya akan dibawa kemana. "Tapi kan gimana kalau Gio nyariin?" cecarku tak puas. Dewa tidak menjawab, dia hanya tersenyum penuh misteri membuatku malas bertanya lagi. Takutnya, nanti aku malah diturunin di tengah jalan lagi, padahal masih pengantin baru. Sampai di Bandara, barulah Dewa menjelaskan maksudnya mengajakku ke Bandara adalah karena kami akan ke Bali. Kebetulan, ada temannya yang mengundang kami datang ke nikahan mereka sekalian katanya ini adalah moment yang pas untuk kami berbulan madu. Mendengar penjelasannya, hatiku diam-diam bersorak bahagia. Sepanjang perj
Bulan madu bagi pengantin baru itu, sebenarnya keniscayaan. Semenjak kami memiliki Beby Sitter cadangan yaitu Rena dan suaminya, kami bisa lebih sering menghabiskan waktu bersama.Saat itu, malam minggu hampir tengah malam. Setelah perjalanan jauh mengeliling kota Yogya. Dewa sudah semangat menebar senyuman bahagia, kali ini kami benar-benar berniat beribadah. Masih ada waktu sebelum subuh tiba. Aku lebih dulu masuk ke kamar mandi, bukan karena aku tidak bisa menahan diri untuk melakukan hal istimewa itu tapi rasanya sepanjang hari ini badanku lengket, sehingga aku tak sabar untuk mandi. Aku sengaja memakai sampo terbaik yang aku punya, semata-mata agar Dewa merasa bahagia apabila nanti kami bersentuhan. Senyum merekah setiap aku memulaskan sampo dan conditioner. Inilah saatnya, perjanjian langit dan bumi beradu dalam tatap dan sentuhan halal. Di antara aktivitasku yang sedang membersihkan diri, tiba-tiba aku mendengar pintu kamar mandi diketuk. Kubuka selot kamar mandi lalu me
Layaknya orang bodoh. Aku memastikan pintu kamar tertutup sempurna. Sengaja aku mendahului Dewa untuk pergi ke kamar pengantin lebih dulu.Entah kenapa sepanjang resepsi aku berasa sangat gerah dan tubuhku rasanya sangat berat. Sepertinya aku mulai merasa pikiran dan hatiku mulai tidak konsen.Aneh. Setiap melihat ke arah Dewa seolah waktu berhenti dan semua gerakan tubuhnya menjadi provokasi untukku. Ya Salam! Aku mengambil wudhu untuk menenangkan hatiku yang tak tenang. Apakah ini efek malam pertama? Jika iya, mungkin aku sedang terkena syndromnya.Cukup lama aku melakukan bersih-bersih di dalam kamar mandi. Semua tak ada yang terlewat aku bersihkan, dari mulai tubuh sampai rambut hingga akhirnya selesai Aku pun keluar setelah berganti baju dengan piyama. Karena rambutku masih basah, kuputuskan untuk mengeringkan rambut sambil menikmati suasana pemandangan malam di balkon hotel.Harus kuakui selera Dewa memang sama denganku, kami sama-sama suka hotel yang berada di ketinggian. L
"Saya terima nikah dan kawinnya Annisa Zania binti Raihan Akbari dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!""Bagaimana sah?""Sah!"Alhamdullilah. Aku menyusut air mata yang mengalir dari sudut pipi.Kalimat perjanjian dunia-akhirat itu akhirnya terucap lancar dari mulut Dewa. Haru, syahdu dan mendebarkan.Suara-suara doa serempak terdengar memenuhi ruangan tempat akad dilaksanakan. Perlahan aku menoleh ke arah Ibu yang tengah menatap datar dengan rona yang sulit dibaca. Aku tahu Ibu masih belum ikhlas melihat aku menikah dengan Dewa tapi dikarenakan Dewa berjanji tidak akan mengecewakanku dan memohon demi kesehatan Gio, akhirnya Mamah menyerah. Mungkin mereka tak menyangka akhirnya bisa mengantarkan anaknya ke jenjang perkawinan. Satu beban yang paling berat pun teralih sudah. "Papa! Bunda!"Gio yang kini telah sehat langsung berlari ke arahku dan Dewa. Kedua tangan mungilnya dengan bahagia memeluk kami berdua. Kurasa tiada yang lebih indah dari ini, menyaksikan Dewa dan Gio berada
Pandangan taman rumah sakit di hadapan kami sore ini sama sekali tak menolong aku dan Dewa yang terjebak dalam hening. Pria itu terus menatapku, saat aku dan dia tengah duduk dengan posisi saling menyerong di kursi panjang yang tepat berada di bawah pohon akasia nan rindang ini.Tatapan Dewa seakan ingin menghitung setiap inci wajahku, saking lamanya dia memandang tanpa berbicara. Tanpa ada suara, hanya matanya yang mengatakan satu kata, 'cemas'. Begitulah yang kutangkap, sebuah rasa yang sama dengan yang aku punya.Akhirnya aku pura-pura jengah, jika hanya saling terdiam. "Jika Mas tidak mau menjelaskan kenapa tadi tiba-tiba melamar saya? Lebih baik saya langsung ke kamar rawat Gio karena itulah tujuan saya ke sini," ucapku menekannya karena bingung mengapa dia mencegah aku menemui Gio. Aku hampir saja beranjak ketika suara Dewa terdengar."Semua karena Gio, Nia," potongnya cepat untuk menahan tubuhku beranjak dari kursi. Aku berdecak sambil membuang muka ke arah lain. Hening
Aku berbicara dengan Dimas ketika Bu Naya sudah pergi keluar sekolah. Selesai mengucapkan terima kasih, tinggallah aku dengan Dimas yang masih menunggu di samping ruang guru.Dengan langkah gontai aku terus mendekat ke arah Dimas. Jujur, aku lagi malas banget ngobrol sama Dimas, terlebih pas dia bilang kangen di depan Bu Naya yang notabene berpihak pada Dewa.Bagaimana jika Bu Naya bilang sama Dewa? Kan kacau balau."Sebenarnya apa maksud kamu datang ke sini?" tanyaku to the point. Tak kuduga semalam ini aku melihat mantan lelaki yang akan menikahiku itu sekarang tengah berdiri dengan wajah sayu, memandangku.Dimas menengokkan kepala untuk melihatku."Sudah kubilang kan, aku kangen," ucap Dimas seraya berdiri dan lalu menghampiriku. "Sudah lama, ya kita gak ketemu, kalau kamu kangen gak?" godanya menyebalkan. Aku lihat wajah Dimas begitu kacau seolah dia memiliki persoalan yang berat. Melihatnya begini, aku jadi ingat ucapan Bu Tia dan diam-diam jadi merasa bersalah tapi hatiku tak b
Esok harinya, aku berangkat kerja dengan perasaan tak menentu, terlebih kepalaku rasanya berat sekali seolah ada bata yang ditimpakan ke atasnya. Mungkin ini terjadi akibat semalam aku benar-benar gak bisa tidur, pertemuan dengan Dewa di sore hari dan rasa bersalah padanya telah membuatku overthingking."Nia, sekarang saya hanya bisa memberi kamu waktu untuk kembali percaya sama saya. Saya tahu kamu mungkin belum sepenuhnya memaafkan dan saya juga tidak perduli kamu menolak atau tidak. Tapi, ada hal yang kamu harus tahu. Tidak ada lelaki yang bisa mencintai kamu sedalam dan sekuat saya."Sekali lagi, ucapan Dewa sebelum aku pergi dari ruangannya terngiang di benak. Lelaki itu mengatakan hal tersebut dengan nada penuh penekanan membuatku semakin merasa bersalah. "Ya Allah." Aku mendesah sambil terus menatap kosong ke arah lorong sekolah yang menuju ruang guru. Akibat memikirkan hal itu, aku jadi lama berjalan. Beruntung, hari ini kelas gak banyak jadi aku bisa bersantai dulu karena j
Dari : Pipit [Bu Nia, kamu dipanggil lagi ke ruangan Bu Tia?] Dari : Lea [Bu Nia, gak nyangka ternyata kamu nolak Pak Dewa, ya ampun! Sungguh terlalu tapi gak apa-apa bagus biar saya ada peluang. ] Fr: Silvi [Iya bener, aku juga mau dong ngantri. Biar Bu Nia mah sama Pak Dimas aja gakgakgak.] "Astaghfirullah!"Aku beristighfar melihat tiga chat yang mampir ke ponselku sore ini. Benar-benar ya gosip di kalangan para guru dan wali murid SD itu menakutkan. Jujur, aku tidak paham dari mana mereka tahu perihal aku yang menolak Dewa, sebab perasaan kemarin malam gak ada siapa-siapa.Apa mungkin Dewa yang melakukannya? Ah, tidak mungkin, Dewa bukan tipe orang yang suka membocorkan masalah pribadi."Oh, ya Allah! Tolong!" Aku mendesah lelah. Sore ini sesuai janjiku pada Bu Tia, dengan semangat 45 aku mendatangi kantor Dewa dan beruntungnya menurut sekretaris Dewa, katanya Dewa masih ada di dalam ruangannya. Lalu, di sinilah aku, berdiri dengan dada yang berdebar dan perasaan yang tak