Kereta rel listrik arah Bogor berhenti sempurna di depanku. Orang-orang sibuk berebut untuk masuk lebih dulu, maklum KRL ini memang sangat dinanti-nanti oleh para pekerja. Aku saja yang bodoh yang berangkat ke Bogor di saat jam masuk seperti ini.Sebenarnya, bukan tanpa maksud aku berangkat ke Bogor. Semalam seusai tragedi penamparan. Suasana rumah jadi jadi gak enak dan akhirnya setelah aku berpikir semalaman, aku ijin pada Mamah menenangkan diri sejenak ke rumah Nenek mumpung hari Sabtu tidak mengajar. Awalnya Mamah gak setuju tapi aku terus membujuk, aku bilang aku ingin menghindari semuanya sementara waktu. Rasanya terlalu gak nyaman dan sesak ada di Jakarta saat hatiku tengah galau seperti ini."Fiuh!"Aku menghela napas. Membiarkan yang lain masuk lebih dulu sampai akhirnya giliranku. Namun, baru saja aku mau melangkah suara seorang anak kecil menghentikanku."Bu Guru! Bu Guru!" Merasa tak asing dengan suara itu, aku menoleh ke arah samping dan kutemukan Gio tengah melambaikan
Astaghfirullah! Jika saja aku tak ingat kalau Gio adalah anak didikku, tampaknya aku lebih baik menjauh dari Dewa karena senyuman Dewa selalu membuat jantungku berlarian. Rasanya semakin aku mendekat padanya, semakin juga aku merasa tak bisa berlari padahal restu pasti akan didapat oleh kami. Pak Breno dan mamah sama-sama keras kepala, tapi aku juga gak mau Dewa kecewa. Melihatnya tetap memperjuangkanku, aku tidak ingin dia tahu tentang mamah yang mau menjodohkanku dengan Dimas. Aku gak bisa merusak suasana. Aku ingin bahagia, setidaknya terlihat di depan mereka.Setelah mengantri cukup lama di wahana Halilintar akhirnya aku, Dewa dan Rena mendapat giliran juga untuk menaikinya. Tolong jangan tanya bagaimana kakiku begitu bergetar ketika menjejakan kaki di ular besi itu.Sayangnya lagi, Rena seakan sengaja menjebakku agar duduk bersampingan dengan Dewa. Pria itu tentu saja bahagia, dia sampai bersih-bersih kursi yang akan ditempati olehku."Sini Nia, silahkan!" Dewa tersenyum lebar
"Makasih ya kamu mau antar saya pulang, tapi kamu tahu kan tolong jangan berhentiin di depan rumah," seruku dari kursi penumpang.Setelah tadi seharian menemani keluarga Dewa di wahana permainan, seperti janjinya, Dewa akan mengantarkanku kembali ke rumah. Tadinya aku berniat melanjutkan perjalanan ke arah Bogor tapi setelah dipikir-pikir lebih baik pulang ke rumah walau nanti harus menyembunyikan fakta ke mamah kalau aku gak jadi ke Bogor karena Gio dan Dewa."Siap, kamu jangan khawatir. Saya tahu kondisi mamah kamu pasti masih marah bukan?" tanyanya dengan pandangan fokus ke arah jalan. Sementara aku sesekali melihat ke arah jok belakang di mana Gio sedang tertidur karena kelelahan.Aku menoleh sambi mengangguk membenarkan. "Ya, begitulah saya harap Pak Dewa bisa paham.""Saya sangat paham, malah saya yang mau minta maaf sama kamu Nia. Maaf karena saya gak bisa jaga kamu. Tapi, saya yakin suatu saat kita akan membalik keadaan," ucapnya sambil melirikku sekilas.Aku mengernyit. "Memba
Bohong jika aku bilang bahwa aku baik-baik saja. Omongan Dimas berkali-kali berputar di otakku menyisipkan pikiran buruk tentang Dewa. Syetan memang pintar memainkan ragu pada seseorang yang mau memantapkan diri pada satu hati. Jujur, semalam sempat aku berpikir untuk menerima pinangan Dewa karena untuk kali ini aku ingin memutuskan lebih berani pada perasaanku sendiri. Namun, gara-gara Dimas, hatiku menjadi ragu lagi."Sudah, tenang Nia, pasti itu hanya omongan Dimas saja! Percaya sama Dewa! Percaya!"Aku terus mensugesti diri dan berusaha untuk tak curiga. Sebisa mungkin aku menepis semua suudzon agar tidak terpengaruh oleh omongan Dimas yang bagiku tak berdasar. Eh, tapi, seingatku selama kami berhubungan, kurasa Dimas gak akan mengatakan hal yang bohong tanpa bukti.Mungkinkah dia berkata benar? Mungkinkah Dewa masih punya hubungan sama Maura? Atau mungkin gak sih Dimas melakukan ini karena cemburu?"Ah, astaghfirullah!"Aku memijat pelipisku berat juga pening lalu kualihkan pi
Aku telah merasakan jatuh cinta, kemudian mencoba beralih dan kembali pada titik yang sama dengan terluka.Anehnya, walau tahu akan kembali sakit aku tetap memutuskan untuk berdiam dan menolak melupakan apa yang pernah membuat hati ini sekarat. Muak! Ya, aku mual dengan semua janji manis pria itu.Jujur, saat ini rasanya aku kenyang oleh kebodohanku yang percaya pada Dewa untuk kedua kalinya. Entah aku yang terlalu takut kehilangan atau memang aku terlalu mencintai Dewa. Ah, entahlah! Yang pasti aku sangat kecewa. Aku tak menyangka Dewa memilih pergi bersama Maura dibanding menjemput anaknya.Aku baru saja sampai rumah, saat aku melihat sebuah sosok tengah berdiri dengan memakai baju yang sama yang aku lihat di depan toko bunga tadi padahal ini sudah malam. Mungkin pria itu menungguku. Aku sengaja tak membalas chatnya karena selepas mengembalikan Gio ke rumahnya, diri ini tak langsung pulang karena di rumah pun gak ada siapa-siapa. Aku lebih dulu memutuskan berkunjung ke rumah Pipi
Annisa Zania. Entah mengapa setiap mendengar nama itu bibir Dewa seolah tertarik membentuk seulas senyum tipis. Dulu, saat pertama kali mendengar nama Zania, Dewa merasa nama perempuan ini cukup menarik perhatian dan betul saja ketika dia melihat Zania di OSPEK jurusan Dewa--sang ketua BEM langsung gak bisa berhenti memikirkan gadis itu. Kelembutan dan kebaikan Zania pada seorang nenek tua yang Dewa lihat di pasar membuat dia penasaran, terlebih ketika tanpa sengaja Zania menolongnya saat sang ibu tetiba sakit di rumah sakit. Dewa yang selama ini merasa diabaikan menjadi merasa diperhatikan, diam-diam dia memutuskan mengejar Zania yang notabene adik tingkatnya. Namun, ternyata Zania gak begitu gampang ditaklukan, gadis itu sangat dingin menanggapi Dewa tapi Dewa gak menyerah karena dia bertekad mencintai Zania secara brutal hingga Zania pun berhasil luluh dan menjadi kekasih Dewa.Selama mereka berhubungan, Dewa dan Zania bagaikan dua sejoli yang begitu rekat. Di mana ada Zania past
"Sebenarnya Bu Nia ada masalah apa? Apa yang bisa sekolah bantu agar Bu Nia tidak melamun seperti tadi?"Pertanyaan sarkastik meluncur mulus dari mulut Bu Tia dengan penuh aura penekanan membuat aku menelan ludah dengan susah payah. Ini kali kedua aku melihat Bu Tia meng-interogasiku hanya karena gara-gara aku gak fokus selama rapat."Hem ... itu Bu ...." Aku menjeda kalimat seraya menjilat bibir yang mendadak kering. Sejujurnya, aku tahu ke mana arah pembicaraan ini. Kuakui kalau aku memang sudah keterlaluan, di saat orang lain sibuk rapat aku malah sibuk memikirkan penyesalanku terhadap Dewa. Namun, aku bingung bagaimana menjelaskannya."Bu Nia, paham kan pertanyaan yang saya ajukan?" tegur Bu Tia sekali lagi. Aku mengerjap beberapa kali. "Eh, iya Bu sa-saya paham, saya mohon maaf Bu jika saya tadi kurang fokus. Insya Allah saya gak akan ulangi lagi kesalahan tadi," jawabku pada Bu Tia tetap dalam mode formal, demi menjunjung asas profesionalitas. "Oke, kalau Bu Nia paham, jadi ap
Dari : Pipit [Bu Nia, kamu dipanggil lagi ke ruangan Bu Tia?] Dari : Lea [Bu Nia, gak nyangka ternyata kamu nolak Pak Dewa, ya ampun! Sungguh terlalu tapi gak apa-apa bagus biar saya ada peluang. ] Fr: Silvi [Iya bener, aku juga mau dong ngantri. Biar Bu Nia mah sama Pak Dimas aja gakgakgak.] "Astaghfirullah!"Aku beristighfar melihat tiga chat yang mampir ke ponselku sore ini. Benar-benar ya gosip di kalangan para guru dan wali murid SD itu menakutkan. Jujur, aku tidak paham dari mana mereka tahu perihal aku yang menolak Dewa, sebab perasaan kemarin malam gak ada siapa-siapa.Apa mungkin Dewa yang melakukannya? Ah, tidak mungkin, Dewa bukan tipe orang yang suka membocorkan masalah pribadi."Oh, ya Allah! Tolong!" Aku mendesah lelah. Sore ini sesuai janjiku pada Bu Tia, dengan semangat 45 aku mendatangi kantor Dewa dan beruntungnya menurut sekretaris Dewa, katanya Dewa masih ada di dalam ruangannya. Lalu, di sinilah aku, berdiri dengan dada yang berdebar dan perasaan yang tak