"Alhamdullilah!" Aku menepuk perut berulang kali karena terasa lega. Tidak terbayang jika aku sedikit saja terlambat dalam mengeluarkan hajat besar mungkin saat ini aku sudah menahan malu. Heran juga, perutku ini bisa merespon cepat ketika melihat siluman bernama Maura di depanku. Ya, mulai hari ini aku akan menyebutnya siluman soalnya semenjak aku memergokinya ngobrol dengan Andro, aku benar-benar semakin benci padanya. Setelah aku memastikan semua selesai, rapih dan bersih. Aku bersiap membuka kenop pintu, namun tiba-tiba tanganku tiba-tiba seakan dipaku saat suara wanita terdengar menjelek-jelekan kedua nama yang sangat aku kenal. "Iya, Gio itu anak haram kan ya? Kasian Rena, dia punya keponakan hasil dari zinah!" Sebuah suara terdengar sangat pongah menyapa telingaku. "Iya, gak nyangka ya Dewa ganteng-ganteng dulunya ih!" timpal suara lain. Mendengar obrolan mereka, rasanya ingin aku langsung keluar dan menampar mulutnya. Tapi, aku masih tahan diri, menunggu apa yan
Aku terkesiap, tak menyangka masalahnya seserius ini. Berkali-kali aku merasakan tanganku gemetar karena mendengar bentakan mereka tapi aku berusaha terlihat senormal mungkin, meski tetap saja gagal karena tanganku selalu bergetar jika sedang cemas."Maaf, tapi saya kira di sini ada kesalah-pahaman, saya juga tidak tahu kalau masalah tentang calon istri Dew--""Diam kamu! Kamu itu guru, kelakukan kaya anak TK! Harusnya kamu gak usah sok jadi pahlawan membela anak saya! Lebih baik kamu jauhi Dewa jangan dekati dia!""Ayah!" Suara Dewa menggelegar membuat Pak Breno kembali menatapnya dengan penuh kemarahan.Aku langsung bungkam, jiwaku sungguh meradang sekarang tetapi sekuat tenaga aku tahan. Jujur aku tak menyangka penghinaan Pak Breno belum berakhir, aku cengkram erat rokku menekan gejolak luka yang menghentak."Kenapa? Guru mana yang kelakuannya kaya berandal! Dia tidak pantas buat kamu Dewa! Dia itu tak mencintai kamu, ayah tahu dia kan yang membatalkan pernikahan dengan Di
Aku menyusuri jalan terotoar dengan tergesa, entah kenapa sepanjang aku berjalan aku merasa di awasi. Meski hati remuk dan jiwa berkecamuk aku harus tetap waspada pada malam hari. Sesekali aku menengok ke belakang, tapi kosong. Agh, sudahlah! Mungkin perasaanku saja. Aku menghela napas, mungkin karena kejadian buruk akhir-akhir ini, psikisku terpengaruh. Lagian tak mungkin ada hantu meskipun aku tak tahu ini jam berapa. Aku kembali berjalan menenteng high heels. Sejak tadi aku memang memilih berjalan tanpa alas kaki karena tak terbiasa pakai sepatu tinggi.Seraya berjalan, mataku berkali-kali mencari ke kanan dan ke kiri, tak ada satupun kendaraan umum yang lewat. Dalam kondisi ini, aku menyesalkan hapeku yang mati total."Dasar bodoh!"Aku mengumpat bete. Dalam hati aku merutuk karena telah berani mengambil jalan yang asing. Maklum, selama di Jakarta kerjaanku ya bekerja dan sudah lama tidak berkeliling Jakarta. Apalagi Jakarta itu luas, aku takut kesasar.Andai aku tadi menerima t
Impian setiap wanita adalah dilamar dengan cara paling romantis, di mana sebuah kalimat pertanyaan tentang kesediaan menjadi bukti bahwa pria itu rela meninggalkan yang lainnya dan menjadikanmu satu-satunya. "Will you marry me, Annisa Zania?" Dewa mengulang pertanyaannya. Pria itu mengambil sekotak cincin dari saku celananya lalu menyodorkan kotak merah berbentuk love yang terbuka ke arahku. Aku melotot bingung. "Pak, kenapa Bapak ngelamarnya dengan cara ini? Malu tahu Pak, ini sekolah," bisikku cemas. "Iya, saya tahu ini sekolah. Tapi, Gio minta saya melamar kamu di depan teman-temannya. Lagi pula saya sudah ijin sama Bu Enda sebagai pengelola.""Iya Pak tapi ....""Bu Nia, saya tahu dulu saya pernah mengecewakan tapi insya Allah saya pastikan mulai saat ini dan kedepannya saya akan jadi pria yang lebih baik. Demi kamu, demi Gio. Kamu mau kan nerima pinangan saya?" ulang Dewa lagi bersungguh-sungguh.Aku terdiam. Cincin dengan mata itik itu memang sangat menarik tapi lebih menari
Aku berjalan gontai melewati lorong sekolah yang sudah mulai sunyi, hanya beberapa anak kelas atas yang masih beraktivitas selebihnya kosong. Setelah lama diceramahi panjang kali lebar oleh Bu Tia, akhirnya aku bisa keluar juga dari ruangan itu. Sesuai lamaran gila tadi Bu Tia menyampaikan banyak hal dari mulai membahas tentang kejadian memalukan kemarin di nikahan Rena sampai lamaran Dewa siang ini. Intinya dari obrolan kami Bu Tia bilang, bahwa banyak guru dan orang tua yang mengeluhkan sikap Dewa dan sikapku, terlebih banyak yang mengkhawatirkan anak mereka akan mendapatkan perlakuan tidak adil karena aku yang memiliki hubungan dengan salah satu orang tua murid. Mendengar semua itu dari Bu Tia, aku hanya diam karena tidak mau menambah masalah sekalipun terasa janggal. Aku mengakui kalau terkadang sikap Dewa berlebihan, tapi untuk masalah pilih kasih pada murid itu tak pernah kulakukan. Selama aku mengajar, aku berusaha bersikap profesional dan menjadi guru yang adil bagi siapa
Hari ini pertama kalinya aku diistirahatkan dari pekerjaan sebagai guru yang sudah bertahun-tahun aku lakukan. Namun, nyatanya aku gak bisa benar-benar berlepas diri karena tadi pagi-pagi sekali, aku mendapat telepon dari Rena dengan nada panik.Dia bilang Gio dan Dewa demam secara bersamaan. Rena panik karena kali ini perempuan itu tidak bisa merawat Dewa dan Gio kaya dulu, semenjak menikah Rena diboyong suaminya untuk pindah rumah.Awal-awal aku ragu dan syok kenapa bisa kompak gitu sakitnya? Tapi setelah memastikan sendiri dengan menelpon ke rumah Dewa, terbitlah rasa penyesalan. Apakah karena penolakanku mereka jadi sakit? Kalau benar begitu, lagi-lagi aku membuat orang lain kesusahan."Iya Mbak, kasian deh Mas Dewa paling ada si Mbok aja itu pun cuman bersih-bersih Mas Dewa gak suka makanan lain kecuali masakanku atau katanya sih masakan Mbak," ujar Rena saat kutanya alasan dia meneleponku. Entah alasan apa dia bilang begitu, mungkin itu salah satu cara membujukku atau memang
"Sedang apa kamu di kamar Dewa?" Itulah kalimat pertanyaan penuh tuduhan yang kudapat dari Pak Breno karena siapa sangka bersamaan dengan menyebalkannya Dewa menggodaku, sebelah tangannya yang panjang juga seketika membuka pintu yang jaraknya dekat dari kami.Brak. Sontak saja Pak Breno dan Maura langsung melihat ke arah kami yang sedang berada dalam kondisi cukup intim. Di mana aku sedang bersandar di dinding sementara Dewa di depanku masih dengan tatapan ingin memangsa.Lalu, setelah semua adegan konyol yang terjadi kami akhirnya duduk bertiga di ruang tamu dalam suasana tegang, sementara Maura karena syoknya dia marah dan pergi keluar entah kemana. Doble kill. Aku benar benar lupa kalau Dewa itu termasuk laki-laki langka, sejak dulu dia senang menjebak orang lain dalam perangkapnya. Maka tidak heran, kalau teman-temannya dulu di kampus nyebutnya ... kutukupret!Begitulah Dewa. "Saya ulangi, kenapa kamu ada di kamar Dewa? Sedang apa?!" ulang Pak Breno lagi lebih keras dari sebe
Layaknya dalam sebuah persidangan. Aku dan Dewa duduk sebagai terdakwa, sementara ibu dan Pak Breno sebagai hakimnya. Kami berempat duduk berhadapan di ruang tamu rumah Dewa, Mbok Darmi pembantu Dewa bahkan diminta menjaga Gio selama kami berbicara. Situasi ini menjadi lebih serius daripada yang aku pikirkan sebelumnya, Pak Breno menyampaikan pada ibu dengan marah bahwa dia memergoki aku dan anaknya di kamar Dewa. Dia mengatakan juga bahwa seharusnya ibu lebih bisa menjaga aku dan mengajariku tentang adab. Tahu apa yang kurasakan saat ini? Aku sangat sakit hati atas semua ucapan Pak Breno namun aku masih menahan diri, karena ibu sejak tadi hanya diam dan memandangku penuh emosi. "Jadi kamu berdua dengan Dewa karena kamu terdesak, begitu Nia?" tanya ibu dengan nada marah yang ditekan, aku tahu tenggorokannya pasti gatal karena tidak meneriakkiku.Aku mengangguk penuh penyesalan, aku pasrah jika ibu kini memarahiku atau apapun yang akan dilakukan ibu padaku aku terima. Selep
Sebagai wanita yang baru merasakan kehamilan kedua yang kembar, aku melewatinya dengan susah payah, belum lagi akhir-akhir ini Gio minta perhatian lebih. Namun, meski agak memusingkan, sebagai Mamah idaman baginya aku harus bisa membagi perhatianku secara adil. Kalau kata Mamahku Gio berbuat begitu karena tahu dia mau punya adik. Jadi agak manja, tak seperti Mamah yang kian hari kian menerima keberadaan Dewa setelah aku hamil tentunya. Melihat Dewa yang begitu menyayangiku, Mamah yang semula meragukan akhirnya luruh. Namun, sebaliknya aku yang lebih suka emosian pada Dewa. Selain karena perubahan moodku juga sikap Gio, kurasa ada yang berbeda juga pada Dewa. Entah mengapa sekarang dia lebih posesif dan hal itu membuat aku pun lebih merasa dimanjakan dan dilindungi.Maklumlah sebelumnya dia kan sibuk, ada aja yang ia kerjakan saking banyaknya job yang ia ambil tapi semenjak aku hamil dia mulai mengurangi aktivitas. Dewa lebih sering bersamaku meski sesekali sibuk sama urusan klinik.
Malam itu, sepulangnya menitipkan Gio ke Rena, Dewa bukannya mengajakku pulang ke rumah untuk meeting seperti rencana. Dia malah membelokkan mobilnya ke arah bandara, seakan berada dalam penculikan aku bertanya macam-macam pada Dewa takut kalau Gio mencari kami kalau kami ke luar kota atau ke luar negeri sekarang ini. "Udah gak apa-apa, namanya juga bulan madu jangan khawatir oke?" jawab Dewa ketika aku terus bertanya akan dibawa kemana. "Tapi kan gimana kalau Gio nyariin?" cecarku tak puas. Dewa tidak menjawab, dia hanya tersenyum penuh misteri membuatku malas bertanya lagi. Takutnya, nanti aku malah diturunin di tengah jalan lagi, padahal masih pengantin baru. Sampai di Bandara, barulah Dewa menjelaskan maksudnya mengajakku ke Bandara adalah karena kami akan ke Bali. Kebetulan, ada temannya yang mengundang kami datang ke nikahan mereka sekalian katanya ini adalah moment yang pas untuk kami berbulan madu. Mendengar penjelasannya, hatiku diam-diam bersorak bahagia. Sepanjang perj
Bulan madu bagi pengantin baru itu, sebenarnya keniscayaan. Semenjak kami memiliki Beby Sitter cadangan yaitu Rena dan suaminya, kami bisa lebih sering menghabiskan waktu bersama.Saat itu, malam minggu hampir tengah malam. Setelah perjalanan jauh mengeliling kota Yogya. Dewa sudah semangat menebar senyuman bahagia, kali ini kami benar-benar berniat beribadah. Masih ada waktu sebelum subuh tiba. Aku lebih dulu masuk ke kamar mandi, bukan karena aku tidak bisa menahan diri untuk melakukan hal istimewa itu tapi rasanya sepanjang hari ini badanku lengket, sehingga aku tak sabar untuk mandi. Aku sengaja memakai sampo terbaik yang aku punya, semata-mata agar Dewa merasa bahagia apabila nanti kami bersentuhan. Senyum merekah setiap aku memulaskan sampo dan conditioner. Inilah saatnya, perjanjian langit dan bumi beradu dalam tatap dan sentuhan halal. Di antara aktivitasku yang sedang membersihkan diri, tiba-tiba aku mendengar pintu kamar mandi diketuk. Kubuka selot kamar mandi lalu me
Layaknya orang bodoh. Aku memastikan pintu kamar tertutup sempurna. Sengaja aku mendahului Dewa untuk pergi ke kamar pengantin lebih dulu.Entah kenapa sepanjang resepsi aku berasa sangat gerah dan tubuhku rasanya sangat berat. Sepertinya aku mulai merasa pikiran dan hatiku mulai tidak konsen.Aneh. Setiap melihat ke arah Dewa seolah waktu berhenti dan semua gerakan tubuhnya menjadi provokasi untukku. Ya Salam! Aku mengambil wudhu untuk menenangkan hatiku yang tak tenang. Apakah ini efek malam pertama? Jika iya, mungkin aku sedang terkena syndromnya.Cukup lama aku melakukan bersih-bersih di dalam kamar mandi. Semua tak ada yang terlewat aku bersihkan, dari mulai tubuh sampai rambut hingga akhirnya selesai Aku pun keluar setelah berganti baju dengan piyama. Karena rambutku masih basah, kuputuskan untuk mengeringkan rambut sambil menikmati suasana pemandangan malam di balkon hotel.Harus kuakui selera Dewa memang sama denganku, kami sama-sama suka hotel yang berada di ketinggian. L
"Saya terima nikah dan kawinnya Annisa Zania binti Raihan Akbari dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!""Bagaimana sah?""Sah!"Alhamdullilah. Aku menyusut air mata yang mengalir dari sudut pipi.Kalimat perjanjian dunia-akhirat itu akhirnya terucap lancar dari mulut Dewa. Haru, syahdu dan mendebarkan.Suara-suara doa serempak terdengar memenuhi ruangan tempat akad dilaksanakan. Perlahan aku menoleh ke arah Ibu yang tengah menatap datar dengan rona yang sulit dibaca. Aku tahu Ibu masih belum ikhlas melihat aku menikah dengan Dewa tapi dikarenakan Dewa berjanji tidak akan mengecewakanku dan memohon demi kesehatan Gio, akhirnya Mamah menyerah. Mungkin mereka tak menyangka akhirnya bisa mengantarkan anaknya ke jenjang perkawinan. Satu beban yang paling berat pun teralih sudah. "Papa! Bunda!"Gio yang kini telah sehat langsung berlari ke arahku dan Dewa. Kedua tangan mungilnya dengan bahagia memeluk kami berdua. Kurasa tiada yang lebih indah dari ini, menyaksikan Dewa dan Gio berada
Pandangan taman rumah sakit di hadapan kami sore ini sama sekali tak menolong aku dan Dewa yang terjebak dalam hening. Pria itu terus menatapku, saat aku dan dia tengah duduk dengan posisi saling menyerong di kursi panjang yang tepat berada di bawah pohon akasia nan rindang ini.Tatapan Dewa seakan ingin menghitung setiap inci wajahku, saking lamanya dia memandang tanpa berbicara. Tanpa ada suara, hanya matanya yang mengatakan satu kata, 'cemas'. Begitulah yang kutangkap, sebuah rasa yang sama dengan yang aku punya.Akhirnya aku pura-pura jengah, jika hanya saling terdiam. "Jika Mas tidak mau menjelaskan kenapa tadi tiba-tiba melamar saya? Lebih baik saya langsung ke kamar rawat Gio karena itulah tujuan saya ke sini," ucapku menekannya karena bingung mengapa dia mencegah aku menemui Gio. Aku hampir saja beranjak ketika suara Dewa terdengar."Semua karena Gio, Nia," potongnya cepat untuk menahan tubuhku beranjak dari kursi. Aku berdecak sambil membuang muka ke arah lain. Hening
Aku berbicara dengan Dimas ketika Bu Naya sudah pergi keluar sekolah. Selesai mengucapkan terima kasih, tinggallah aku dengan Dimas yang masih menunggu di samping ruang guru.Dengan langkah gontai aku terus mendekat ke arah Dimas. Jujur, aku lagi malas banget ngobrol sama Dimas, terlebih pas dia bilang kangen di depan Bu Naya yang notabene berpihak pada Dewa.Bagaimana jika Bu Naya bilang sama Dewa? Kan kacau balau."Sebenarnya apa maksud kamu datang ke sini?" tanyaku to the point. Tak kuduga semalam ini aku melihat mantan lelaki yang akan menikahiku itu sekarang tengah berdiri dengan wajah sayu, memandangku.Dimas menengokkan kepala untuk melihatku."Sudah kubilang kan, aku kangen," ucap Dimas seraya berdiri dan lalu menghampiriku. "Sudah lama, ya kita gak ketemu, kalau kamu kangen gak?" godanya menyebalkan. Aku lihat wajah Dimas begitu kacau seolah dia memiliki persoalan yang berat. Melihatnya begini, aku jadi ingat ucapan Bu Tia dan diam-diam jadi merasa bersalah tapi hatiku tak b
Esok harinya, aku berangkat kerja dengan perasaan tak menentu, terlebih kepalaku rasanya berat sekali seolah ada bata yang ditimpakan ke atasnya. Mungkin ini terjadi akibat semalam aku benar-benar gak bisa tidur, pertemuan dengan Dewa di sore hari dan rasa bersalah padanya telah membuatku overthingking."Nia, sekarang saya hanya bisa memberi kamu waktu untuk kembali percaya sama saya. Saya tahu kamu mungkin belum sepenuhnya memaafkan dan saya juga tidak perduli kamu menolak atau tidak. Tapi, ada hal yang kamu harus tahu. Tidak ada lelaki yang bisa mencintai kamu sedalam dan sekuat saya."Sekali lagi, ucapan Dewa sebelum aku pergi dari ruangannya terngiang di benak. Lelaki itu mengatakan hal tersebut dengan nada penuh penekanan membuatku semakin merasa bersalah. "Ya Allah." Aku mendesah sambil terus menatap kosong ke arah lorong sekolah yang menuju ruang guru. Akibat memikirkan hal itu, aku jadi lama berjalan. Beruntung, hari ini kelas gak banyak jadi aku bisa bersantai dulu karena j
Dari : Pipit [Bu Nia, kamu dipanggil lagi ke ruangan Bu Tia?] Dari : Lea [Bu Nia, gak nyangka ternyata kamu nolak Pak Dewa, ya ampun! Sungguh terlalu tapi gak apa-apa bagus biar saya ada peluang. ] Fr: Silvi [Iya bener, aku juga mau dong ngantri. Biar Bu Nia mah sama Pak Dimas aja gakgakgak.] "Astaghfirullah!"Aku beristighfar melihat tiga chat yang mampir ke ponselku sore ini. Benar-benar ya gosip di kalangan para guru dan wali murid SD itu menakutkan. Jujur, aku tidak paham dari mana mereka tahu perihal aku yang menolak Dewa, sebab perasaan kemarin malam gak ada siapa-siapa.Apa mungkin Dewa yang melakukannya? Ah, tidak mungkin, Dewa bukan tipe orang yang suka membocorkan masalah pribadi."Oh, ya Allah! Tolong!" Aku mendesah lelah. Sore ini sesuai janjiku pada Bu Tia, dengan semangat 45 aku mendatangi kantor Dewa dan beruntungnya menurut sekretaris Dewa, katanya Dewa masih ada di dalam ruangannya. Lalu, di sinilah aku, berdiri dengan dada yang berdebar dan perasaan yang tak