Bunyi flush toilet terdengar dan keluarlah Layla dari dalam kamar mandi. Kini ekspresi wajahnya tidak masam seperti sebelumnya.
"Kenapa menatapku begitu?" tanyanya heran menyadari aku yang menatapnya terang-terangan.
"Tidak apa-apa," jawabku singkat lalu mengalihkan mukaku darinya dan menatap plafon putih di atas. 'Sepertinya aku kebanyakan pikiran karena mimpi tadi.'
Bunyi langkah kaki terdengar berjalan mendekat ke arahku. Kumiringkan kepalaku ke kanan dan melihat Layla yang berdiri di samping ranjang sedang menatapku.
"Mimpi apa?" tanyanya dengan penasaran. Aku terdiam sejenak dan menggigit bibirku sebelum menjawab pertanyaannya.
"Aku mimpi kamu meninggalkanku ...," jawabku dengan nada lirih.
Matanya terbelalak kaget mendengar apa yang kumimpikan. Selang beberapa detik, manik biru pucatnya menatapku dengan lembut.
"Aku tidak akan meninggalkanmu," ucapnya yang meyakinkanku.
Kuangkat tangan kananku. Jari-jari tanganku
Mangkuk keramik putih yang sebelumnya berisikan sup kentang-wortel telah kosong. Kami berbincang dan bergurau sambil makan sehingga tak terasa masakan berkuah yang tadi mengisinya telah habis disantap olehku. "Lagi pula, untuk apa memotong wortel dan kentangnya rapi-rapi kalau nanti malah diblender setelah direbus?" protes Layla yang duduk di meja. Perbincangan kami mengenai proses memasak hidangan makan siang tadi masih belum berakhir. "Tidak enak dilihat kalau potongannya berantakan seperti itu," balasku menanggapi gerutuannya. Aku berdiri dari dudukku lalu melangkah ke arahnya. "Huft, dasar perfeksionis," ucapnya sambil mendengus kesal. Aku terkekeh mendengarnya mengataiku dengan sebutan itu. "Ya, aku memang perfeksionis. Ada masalah dengan itu?" Aku mengambil salah satu gelas yang masih terisi penuh dari atas meja lalu meneguknya. "Tidak ada masalah, Tuan Perfeksionis," cibirnya dengan kesal lalu memalingkan mukanya ke kiri. Tingkahnya yan
Sebuah mobil sedan kuning berhenti di depan bangunan bertingkat 3 yang memiliki banyak jendela pada setiap lantainya. Aku membayar biaya taksi terlebih dahulu sebelum turun dari angkutan umum ini. "Akhirnya sampai juga di indekos," gumamku sambil menghela napas lelah. Sebuah senyuman lebar mulai terbentuk di wajahku. Aku tidak sabar untuk memberi tahu Layla berapa banyak uang yang kudapat dari penjualan bangkai monster itu. 'Kira-kira, bagaimana reaksinya nanti? Kaget? Kagum? Aku tidak sabar untuk melihatnya.' Kuayunkan kakiku berjalan ke arah pintu masuk. Seseorang menyambutku yang baru saja pulang dari tempat yang dipenuhi oleh bau alkohol tadi. Orang yang menyambutku bukanlah Layla, tetapi bu Luna, si pemilik indekos. "Akhirnya kamu pulang juga, Orpheus. Saya pikir kamu tersesat karena tak kunjung pulang," sambut wanita gemuk itu. Terdapat sedikit kekhawatiran pada suaranya yang datar itu. Kulirik jam dinding yang menggantung tak jauh di de
Cahaya yang sangat terang membuatku terpaksa terbangun dari tidur dan membuka kedua mataku. Sinar matahari pagi menerobos masuk melewati jendela kamar dan langsung mengenai mukaku. "Ugh, silau ...." Mataku menyipit akibat cahaya yang berasal dari luar itu. Kupalingkan mukaku dari cahaya yang menyilaukan itu sambil mengedipkan mata berkali-kali. Setelah indera penglihatanku mulai terbiasa akan terangnya ruangan ini, aku dapat melihat seisi kamar tidurku dengan jelas. Ruang tidur berukuran 4×5 meter yang bernuansa putih-hitam. Tidak ada yang berubah dari ruangan ini sejak kemarin. Kualihkan pandanganku ke samping kiriku. Ranjang yang cukup luas ini terasa kosong tanpa kehadiran seseorang. Tangan kiriku meraba permukaan seprai putih yang dingin. "Sepertinya dia tidak kembali ke sini ...," lirihku dengan suara serak. Aku mendorong tubuhku dengan kedua tanganku untuk mengubah posisiku dari baring menjadi duduk, tetapi tanganku begitu lemah sehingga
Seharian ini, aku hanya mengurung diri di kamar tidur. Aku mengurung diri bukan karena gelisah akan lanjut atau udahan dengan masalah yang kuhadapi kali ini; mencari atau membiarkan Layla menghilang dari sisiku. Bunyi bernada tinggi terdengar. Termometer yang dihimpit di bawah ketiakku mengeluarkan bunyi menandakan bahwa suhu tubuhku telah diukur. Kutarik alat pengukur suhu itu dan melihat hasilnya. "Tiga puluh delapan koma dua, huh." Inilah alasan kenapa aku mengurung diri di kamar, yaitu karena sakit demam. Suhu kali ini lebih rendah daripada siang tadi yang bersuhu 39°C. Aku menghela napas panjang. Sepertinya hari ini aku harus berdiam di dalam indekos dulu. Jika aku memaksa keluar dengan keadaan seperti ini dan sakitku bertambah parah, itu hanya akan semakin merepotkanku saja. Aku memutuskan untuk keluar dari kamarku untuk menonton TV di ruang keluarga karena suntuk. Kuambil syal abu-abu gelap lalu melingkarkannya pada leherku dan seperti biasa, k
Tiga hari telah berlalu sejak kepergian Layla dan empat hari sebelum festival berburu dimulai. Hari ini, aku datang ke gimnasium untuk melatih kekuatanku karena sudah lama tidak bertarung. Gimnasium Boreus adalah sebuah fasilitas pelatihan fisik dan 'Arte' yang berada di pusat kota Boreus. Butuh waktu setengah jam untuk sampai ke tempat ini dengan menaiki taksi. Biaya untuk masuk ke dalam juga tak kalah mahal. Bangunan yang sangat besar ini dibagi menjadi dua bagian, satu dikhususkan untuk aktivitas fisik sedangkan yang satunya lagi khusus untuk pelatihan 'Arte.' Aku berada di dalam gedung khusus pelatihan 'Arte'. Ruangan di dalamnya sangatlah luas. Seluruh bangunan ini dilengkapi dengan sihir pelindung agar gedung ini tidak runtuh akibat penggunaan 'Arte' dan sihir di dalamnya. Katanya, lapisan sihir itu mampu menahan kekuatan dengan tingkat absolut 9, tingkatan tertinggi yang hanya dimiliki oleh dua orang di dunia saat ini, yaitu Kapten Giedrius dan
Lapisan sihir yang mengelilingi arena seluas 49 meter ini menghilang. Sorak-sorai dan tepukan tangan terdengar menghiasi latar belakang setelah pertarungan sengit antara aku dengan Dion usai. "Aku tidak menyangka ternyata kamu sekuat ini, padahal badanmu kecil seperti itu," puji orang yang berdiri di hadapanku sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Kusambut tangannya dan berjabat tangan dengannya. Dia mengguncangkan tanganku dengan kuat hingga rasanya tanganku bisa saja terlepas dari bahuku. Dion, pria yang pada awalnya menabrak pundakku, membentak-bentak aku, dan menantangku untuk sparring, kini sikapnya berubah total setelah dia mengakui kekalahannya. Awalnya dia sangat kasar, tetapi sekarang dia menjadi lebih bersahabat. "Hahaha. Lain kali jangan meremehkan orang lain dari penampilan luarnya," balasku dengan tawa penuh kemenangan. Dia melemparkan senyuman kesal kepadaku sebelum membalikkan badannya dan menuruni panggung. "Heh, kuhar
Hari perayaan festival berburu yang diadakan setiap tahun pada tanggal 17 Juli telah tiba. Pada awalnya, kompetisi ini diadakan hanya untuk memburu monster yang berkeliaran di luar dinding kota, tetapi sekarang, tradisi itu diubah agar peserta yang tidak begitu kuat juga dapat ikut serta untuk berburu hewan. Lebih dari 4.000 orang berkumpul di luar dinding Kota Boreus. Puluhan tenda terpasang di dekat dinding dan juga ada ratusan meja dan kursi terpasang di sekitar tenda. Sekitar 2.500 orang yang mendaftar sebagai peserta kompetisi sedang bersiap-siap sebelum berburu. Ada juga yang berkumpul dengan keluarga atau sahabatnya untuk saling bertukar doa sebelum pergi memasuki hutan. Aku hanya berdiri sendirian karena tidak ada orang yang mendampingiku untuk datang ke tempat ini. Masih 15 menit sebelum perlombaan dimulai, sudah banyak orang yang tidak sabar untuk mulai berburu. "Hei, kamu yang sendirian di sana," panggil seseorang. Sepertinya orang yang dia
Selama mengejar naga putih raksasa itu, aku menanamkan bayanganku ke bayangan pohon yang kutemui di sepanjang jalan. Tujuan dari tindakanku itu adalah untuk menandai tempat itu agar aku dapat teleportasi ke sana jika ada kejadian darurat. Tidak hanya di hutan saja yang sudah kutandai, bayangan yang ada di bawah tenda tempat festival diadakan juga sudah kutandai. Jadi, aku dapat langsung kembali ke sana tanpa menempuh jalan yang jauh dengan berjalan kaki lagi. Semakin sedikit jumlah pohon-pohon yang terlihat di depanku. Sepertinya aku berjalan terlalu jauh sehingga mencapai sisi lain hutan yang kosong. Di depan sana, kurang lebih 1 kilometer jauhnya, kulihat kadal bersayap yang kukejar tadi sedang berbaring di padang salju yang datar dan kosong tanpa pepohonan di sekitarnya. Untunglah dia berhenti di sana, tidak sampai ke Gunung Nix. Jika dia berhenti di puncak gunung, aku tidak akan sempat untuk memburunya karena untuk mendaki ke puncak gunung itu mem
Ekspresi mukanya yang menahan kesakitan perlahan berubah menjadi lega karena akan segera terbebas dari siksaan api itu. "Terima kasih, Trystan ...," ucapnya berterima kasih kepadaku.Setetes air mata keluar dari mata kanannya lalu jatuh ke kobaran api di bawah dan lenyap tak bersisa. "Semoga di kehidupan selanjutnya ... kita tidak akan bermusuhan lagi." Layla mengucapkan kata-kata terakhirnya sebelum aku mengakhiri hidupnya di tempat dan saat ini juga.Kejadian itu terputar-putar di kepalaku puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali terulang di dalam kepalaku. Ingatan itu masih menghantui pikiranku hingga hanya ingatan itu saja yang menjadi satu-satunya hal yang memenuhi pikiranku.Satu bulan telah berlalu sejak saat itu, aku dapat keluar dari alam bawah sadar Layla dan kembali ke dunia nyata dengan selamat, tanpa luka sedikit pun. Bagiku waktu 1 bulan itu terasa begitu lama seolah-olah terhenti.Aku berdiri di depan makam yang sederhana. Aku berjongkok di dep
"Kamu tidak percaya padaku? Aku janji aku benar-benar akan mengeluarkanmu dari sini kalau waktunya tiba," tanya Layla yang diikuti dengan mengucapkan janji yang tidak kuketahui apakah dia dapat memegang janjinya atau malah mengingkarinya.Saat aku hendak membalas perkataannya, tiba-tiba langit biru berawan yang ada di sekeliling kami berubah menjadi jingga. Langit itu berwarna jingga bukan karena senja telah tiba, melainkan karena kobaran api yang muncul di mana-mana.Tidak hanya langit di sekeliling kami saja yang dilahap oleh api, Layla yang berdiri di hadapanku ikut terbakar. "Kyaaa! Panas!!" Dia langsung menjerit kesakitan ketika kobaran api itu melahap dirinya. Kulihat kulit sekujur tubuhnya mengalami luka bakar yang parah."Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamku yang keheranan. Aku tidak tahu kenapa situasi di alam bawah sadarnya mendadak berubah menjadi seperti neraka. 'Apa ini hukuman dari Dewa atas perbuatan-perbuatan Layla yang tidak manusiawi itu?'
"Sepertinya aku bisa menebak kenapa dulu kamu bilang begitu," ujarku sambil melepaskan pegangan tanganku dari pergelangan tangan Layla.Layla menarik tangan kanannya dan memegangi pergelangan tangannya yang memerah, padahal aku tidak sekuat itu memegang pergelangan tangannya hingga dapat semerah itu.Layla mengangkat kedua alisnya dan menantangku. "Kalau begitu, coba tebak kenapa dulu aku bilang begitu."Bibirku melengkung ke atas mendengar Layla menantangku seperti itu. Aku pun menimpali perkataannya dengan tebakanku yang kuyakin 100% benar."Dulu aku mencintaimu karena kamu mengendalikanku untuk jadi begitu, kan? Makanya semenjak aku sudah berhenti mempercayaimu, aku tidak lagi mempunyai perasaan suka padamu karena aku sudah terlepas dari kendalimu."Layla terdiam mendengar jawabanku. Dia tidak membantah tebakanku. Tampaknya apa yang kutebak itu tepat sasaran, makanya dia tidak dapat menyanggah perkataanku.Aku tersenyum sinis kepada Layla
Layla tersenyum mendengar pertanyaanku. Dia pun menjawab rasa heran dan penasaranku. "Sepertinya kamu lupa kalau kita bisa menggunakan kekuatan kita melewati batas yang seharusnya. Yah, yang pasti bakal ada efek sampingnya." Hampir saja aku lupa dengan hal itu, 'melewati batas', yaitu kemampuan seseorang untuk menggunakan 'Arte'-nya melewati batas tingkat absolutnya. Tentunya akan ada efek samping yang mengikuti setelah digunakannya kemampuan untuk melewati batas itu. Seperti saat aku menggunakan 'Arte'-ku untuk melenyapkan Kapten Giedrius yang tingkat absolutnya berada di atasku, energiku langsung terkuras banyak hingga hampir tidak bersisa. Menggunakan 'Arte' sampai melewati batas dengan berlebihan dapat memberikan efek samping yang fatal, bahkan dapat membuat penggunanya mati. Contohnya, Alcyone, anak perempuannya kakek Fero dan nenek Nevada. "Kenapa kamu sampai melewati batas kekuatanmu? Kamu tahu 'kan risikonya sebesar apa kalau kamu menggunakann
"Sekarang semua orang yang kamu kendalikan sudah mati, kali ini apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku kepada Layla.Layla menyeringai mendengar pertanyaanku. "Semua orang katamu? Kamu salah, Trystan. Mereka bahkan belum mencapai seperempat dari total orang yang sudah kukendalikan," balasnya.Aku terdiam mendengar jika ratusan orang itu tidak sampai seperempat dari keseluruhan orang yang dikendalikannya. Itu berarti, ada ribuan orang yang telah dikendalikan olehnya.'Benar juga, penduduk kota Boreus saja jumlahnya lebih dari 5.000 orang. Jumlah orang yang sudah dikendalikannya lebih banyak dari yang kukira.'Layla beranjak dari tempatnya berdiri. Dia melangkahi tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di atas lantai.Entah apa tujuannya berjalan menghampiriku. Aku menciptakan sepasang pedang yang melayang di sisi kiri dan kananku, bersiaga jika dia akan melakukan sesuatu terhadapku.'Dia tidak akan bisa mengendalikan pikiranku lagi karen
Aku menaikkan salah satu alisku karena heran melihat Layla tiba-tiba tertawa seperti itu. "Apa yang lucu sampai membuatmu tertawa begitu?" tanyaku dengan nada serius.Setelah tertawa dengan nyaring selama beberapa detik, akhirnya tawanya itu reda juga. Dia menyeka air mata yang menggenang pada sudut matanya lalu menjawab pertanyaanku. "Haha, ... itu karena kamu terlalu bodoh sampai-sampai bisa membuatku tertawa begini."Layla mengembalikan ketenangannya dan berhenti tertawa. Dia menatapku dengan instens dan tersenyum menyeringai. "Kamu pikir hanya karena aku bersedia untuk mati di tanganmu berarti aku juga bersedia untuk menyerah dan berhenti mengendalikan mereka?"Bodoh, kamu terlalu naif sampai-sampai kelihatan seperti orang tolol," hina Layla sambil memandang rendah aku.Kepalan tanganku semakin kuat hingga kuku jariku menggali ke dalam kulit telapak tanganku. Tak kurasakan lagi rasa sakit yang menusuk telapak tanganku dan lengan kananku yang terluka.
Rasa sakit pada lengan kananku semakin menusuk-nusuk. Aku mengkesampingkan rasa sakit itu dan memfokuskan perhatianku sepenuhnya pada Aquilo yang berdiri tak jauh di depanku. Dia telah bersiap untuk menyerangku lagi.'Sebisa mungkin aku harus menahan kekuatanku supaya dia tidak sampai terluka parah atau bahkan mati. Membuatnya pingsan sudah cukup.' Aku berpikir keras memikirkan bagaimana aku akan menghentikan dia dengan luka seminim mungkin.Kulihat Aquilo melemparkan serangan jarak jauh ke arahku lagi dan langsung beranjak dari tempatnya dan menerjang ke arahku. Aku melompat mundur untuk menjaga jarakku darinya.Kuciptakan 4 buah anak panah yang terbuat dari kegelapan yang dipadatkan. Salah satu dari keempat anak panah itu terbang ke arah misil 'Arte' yang dilemparkan oleh Aquilo. Kedua serangan jarak jauh itu saling bertubrukan dan menimbulkan ledakan kecil.Satu anak panah lainnya melesat ke arah Aquilo, tetapi dia dapat menghindarinya dengan mudahnya.
Kuhindari serangannya dengan melompat mundur untuk berjaga jarak darinya, mengantisipasi ledakan yang ditimbulkannya. Muncul ledakan yang tidak begitu besar dari tinjuannya yang mengenai udara kosong itu.Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. 'Padahal dia tinggal di Kota Boreus, bagaimana bisa dia ada di Ibu Kota saat ini?'Aquilo kembali menerjang ke arahku dan melayangkan tinjuan lainnya. Aku mengepalkan tangan kiriku dan membalas tinjuannya dengan tinjuku. Kekuatan kami saling beradu dan menimbulkan ledakan yang cukup besar.Sebuah luka goresan muncul pada pipi kanan Aquilo. Efek dari ledakan itu menyebabkan luka kecil pada wajahnya. Cairan merah keluar dari luka itu dan mengalir menuruni lekukan mukanya.Di sisi lain, tidak ada luka baru yang timbul pada diriku karena sedetik sebelum ledakan itu terjadi, aku menciptakan perisai kegelapan untuk melindungi diriku.Kulihat Aquilo hendak menyerangku sekali lagi tanpa memberikan aku wa
"Apa nanti kamu tidak akan menyesal karena sudah membunuhku?" tanya Layla yang kini membuka kedua matanya untuk melihatku.Aku terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan itu. Sebuah senyuman kecil terbentuk pada bibirku."Mungkin iya, mungkin tidak," jawabku dengan tidak pasti. Aku ingin menjawab jika aku tidak akan menyesalinya, tetapi di lubuk hatiku yang terdalam, sepertinya aku akan menyesal.Aku membuka mulutku lagi dan berkata, "Tidak peduli apa aku akan menyesal atau tidak, aku akan tetap membunuhmu untuk mengakhiri perang ini."Mendengar perkataanku, Layla kembali memejamkan kedua matanya dan tersenyum tipis. "Begitu, ya ... oke, kamu bisa membunuhku sekarang," ujarnya yang sudah siap untuk menyerahkan hidupnya padaku.Aku menggenggam erat gagang pedang hitam di tanganku. "Pada akhirnya kisah kita berakhir seperti ini, Layla," gumamku dengan suara kecil. Kuayunkan pedang ini ke kanan untuk memotong lehernya Layla.Sekali lagi sebuah s