Lapisan sihir yang mengelilingi arena seluas 49 meter ini menghilang. Sorak-sorai dan tepukan tangan terdengar menghiasi latar belakang setelah pertarungan sengit antara aku dengan Dion usai.
"Aku tidak menyangka ternyata kamu sekuat ini, padahal badanmu kecil seperti itu," puji orang yang berdiri di hadapanku sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
Kusambut tangannya dan berjabat tangan dengannya. Dia mengguncangkan tanganku dengan kuat hingga rasanya tanganku bisa saja terlepas dari bahuku.
Dion, pria yang pada awalnya menabrak pundakku, membentak-bentak aku, dan menantangku untuk sparring, kini sikapnya berubah total setelah dia mengakui kekalahannya. Awalnya dia sangat kasar, tetapi sekarang dia menjadi lebih bersahabat.
"Hahaha. Lain kali jangan meremehkan orang lain dari penampilan luarnya," balasku dengan tawa penuh kemenangan.
Dia melemparkan senyuman kesal kepadaku sebelum membalikkan badannya dan menuruni panggung. "Heh, kuhar
Hari perayaan festival berburu yang diadakan setiap tahun pada tanggal 17 Juli telah tiba. Pada awalnya, kompetisi ini diadakan hanya untuk memburu monster yang berkeliaran di luar dinding kota, tetapi sekarang, tradisi itu diubah agar peserta yang tidak begitu kuat juga dapat ikut serta untuk berburu hewan. Lebih dari 4.000 orang berkumpul di luar dinding Kota Boreus. Puluhan tenda terpasang di dekat dinding dan juga ada ratusan meja dan kursi terpasang di sekitar tenda. Sekitar 2.500 orang yang mendaftar sebagai peserta kompetisi sedang bersiap-siap sebelum berburu. Ada juga yang berkumpul dengan keluarga atau sahabatnya untuk saling bertukar doa sebelum pergi memasuki hutan. Aku hanya berdiri sendirian karena tidak ada orang yang mendampingiku untuk datang ke tempat ini. Masih 15 menit sebelum perlombaan dimulai, sudah banyak orang yang tidak sabar untuk mulai berburu. "Hei, kamu yang sendirian di sana," panggil seseorang. Sepertinya orang yang dia
Selama mengejar naga putih raksasa itu, aku menanamkan bayanganku ke bayangan pohon yang kutemui di sepanjang jalan. Tujuan dari tindakanku itu adalah untuk menandai tempat itu agar aku dapat teleportasi ke sana jika ada kejadian darurat. Tidak hanya di hutan saja yang sudah kutandai, bayangan yang ada di bawah tenda tempat festival diadakan juga sudah kutandai. Jadi, aku dapat langsung kembali ke sana tanpa menempuh jalan yang jauh dengan berjalan kaki lagi. Semakin sedikit jumlah pohon-pohon yang terlihat di depanku. Sepertinya aku berjalan terlalu jauh sehingga mencapai sisi lain hutan yang kosong. Di depan sana, kurang lebih 1 kilometer jauhnya, kulihat kadal bersayap yang kukejar tadi sedang berbaring di padang salju yang datar dan kosong tanpa pepohonan di sekitarnya. Untunglah dia berhenti di sana, tidak sampai ke Gunung Nix. Jika dia berhenti di puncak gunung, aku tidak akan sempat untuk memburunya karena untuk mendaki ke puncak gunung itu mem
Sesaat sebelum naga putih raksasa itu menerkamku, aku membuat perisai berbentuk bola untuk melindungiku. Kurasakan guncangan yang hebat saat dia menelanku. "Kakh!!! Apa-apaan ini?!! Apa yang kamu lakukan, manusia?!" tanya mahluk raksasa ini dengan panik. Dia tidak menyangka aku akan menggunakan perisai bola tepat sebelum dia menelanku. Karena perisai ini berwarna hitam pekat, aku jadi tidak dapat melihat apa yang ada di luar ataupun dimana posisiku sekarang. Perkiraanku, sepertinya saat ini aku masih berada di dalam kerongkongannya. "Baiklah, ayo kita coba rencana ini." Strategiku adalah menyerang monster ini dari dalam karena tubuh bagian luarnya itu sangat keras sehingga aku membutuhkan banyak energi untuk melukainya. Kukendalikan 'Arte' kegelapanku untuk memunculkan jarum-jarum dari permukaan luar perisai ini. Mendadak guncangan yang lebih besar terasa lagi. Sepertinya mahluk berukuran raksasa yang menelanku berusaha untuk memuntahkan perisai bola
Area terbuka yang luas ini dipenuhi oleh orang-orang yang berdesak-desakan. Mereka berebutan ingin berdiri di baris terdepan dekat panggung dimana pemenang dari kontes berburu ini akan diumumkan. Aku hanya menunggu dengan santai di baris paling belakang beserta dengan beberapa orang lainnya yang tidak begitu peduli akan berdiri dimana. 'Rupanya masih ada orang normal sepertiku di sini.' Aku menggeleng-gelengkan kepalaku melihat kehebohan di depan. 'Untuk apa berdesak-desakan hanya supaya bisa berada di baris paling depan? Padahal dari belakang pun suara dari pembawa acara masih terdengar jelas berkat sihir pengeras suaranya.' Tiba-tiba para manusia yang berdiri di depan bersorak-sorak dengan nyaring. Mataku menangkap sesosok pria yang mengenakan jas dan mantel bulu putih menaiki panggung. Aku tidak tahu siapa dia, tetapi kalau orang-orang menjadi bersemangat setelah dia naik, berarti pria itu adalah Walikota Boreus yang akan membawakan penutupan acara
Orang yang berdiri di belakangku mendorong bahuku untuk berjalan maju. 'Sial, apa dia mempunyai kekuatan untuk membatalkan 'Arte' orang lain? Aku tidak bisa menggunakan kekuatanku sama sekali.' Aku pun melangkah maju dengan tangan orang itu yang masih menggenggam pundakku. 'Apa mungkin 'Arte'-nya hanya bisa memberi pengaruh lewat sentuhan? Kalau begitu aku akan mencoba lepas dari sentuhannya.' Kuputar tubuhku dan mengangkat tanganku untuk menyikutnya. Pria bermantel hitam tebal yang menahanku tadi langsung melepaskan cengkeraman tangannya dari bahuku dan menghindari serangan dadakan yang kulancarkan. 'Bagus! Dia melepaskan sentuhannya!' Kutarik salah satu tanganku ke belakang lalu melancarkan satu serangan lagi kepadanya, tetapi serangan itu hanyalah tinjuan biasa tanpa bayangan hitam yang mengikutinya. "Apa-apaan ini ...?" heranku setelah menyadari jika 'Arte'-ku masih tidak dapat digunakan. Kudengar suara tawa keluar dari mulut orang yang berdiri di
Sebuah mobil van hitam melaju di jalanan yang tidak dipadati oleh kendaraan lain, lebih tepatnya kosong melompong. Alat transportasi itu bergerak ke arah Ibu Kota. Sudah sekitar 4 jam aku berada di dalam mobil ini bersama dengan 2 orang lainnya yang duduk di jok depan. Kami sedang dalam perjalanan dari wilayah utara menuju ke wilayah tengah, pusat pemerintahan negara ini. Rasanya badanku pegal-pegal karena berjam-jam duduk diam di dalam kendaraan ini. Kedua tanganku terikat dengan borgol yang sudah diberi sihir pembatal 'Arte'. Padahal aku sudah bilang jika aku tidak akan macam-macam, tetapi mereka tidak mau mendengarkanku. Aku menghembuskan napas lelah sambil melihat ke luar jendela. Pemandangan di luar dipenuhi oleh warna hijau dedaunan dan rumput-rumput di permukaan tanah. Tidak ada sedikit pun salju putih yang biasa kulihat selama 2 minggu di perbatasan utara dan Kota Boreus. Beberapa bangunan mulai masuk ke dalam pandanganku. Tampaknya kami sudah
Ruangan berbentuk lingkaran dengan dinding dan lantai putih bersih. Perabotan yang ada di dalamnya bernuansa hitam dan abu-abu. Ini adalah kantor direktur situs Laboratorium Pengendalian Arte, dimana Prof. Hora bekerja. Aku duduk berhadapan dengan ketua Asosiasi Arte yang duduk di depanku. Dua cangkir berisi teh ada di atas meta di antara kami. Kepulan uap tampak jelas menandakan bahwa minuman itu masih panas. "Katakan apa yang ingin kamu tanyakan padaku," ujar pria berambut merah jambu itu sambil melipat tangannya di atas meja. Aku terdiam sejenak untuk menyusun daftar pertanyaan yang ingin kutanyakan dalam kepalaku. "Bagaimana Profesor bisa tahu kalau aku ... tidak, maksudku kami ada di Kota Boreus?" tanyaku melemparkan pertanyaan pertama kepadanya. Aku penasaran bagaimana dia dapat menemukan aku dan Layla, padahal kami sudah menyamar dan menggunakan identitas palsu. "Sebenarnya Giedrius yang duluan menemukan kalian, yaitu sejak kalian berada di Bor
Kembali ke tempat ini membuatku teringat akan masa kecilku dulu. Saat sidang yang diselenggarakan untuk mengadiliku berakhir dengan diriku yang dibela oleh Prof. Hora dan Kapten Giedrius sehingga aku tidak jadi dijatuhi hukuman mati. Tiga belas tahun yang lalu, aku dibawa oleh Prof. Hora untuk tinggal di Laboratorium Pengendalian Arte. Fasilitas ini berisikan 16 orang peneliti dan 3 orang pemilik 'Arte' berisiko tinggi sepertiku, ditambah aku menjadi 4 orang. Sesuai nama dari situs laboratorium tersebut, tempat itu adalah fasilitas untuk mengendalikan 'Arte' berisiko tinggi dengan tingkat absolut di atas 7. Di tempat inilah aku pertama kali bertemu dengan Layla. Dia sudah berada di fasilitas ini jauh lebih lama sebelum aku tiba. Bahkan dia tidak ingat kapan pastinya dia datang ke laboratorium ini. Aku berbaring di atas kasur yang tidak begitu empuk dan memandang langit-langit ruangan yang putih. Kamarku berada di blok 'anomali'. Dulu juga begitu, aku
Ekspresi mukanya yang menahan kesakitan perlahan berubah menjadi lega karena akan segera terbebas dari siksaan api itu. "Terima kasih, Trystan ...," ucapnya berterima kasih kepadaku.Setetes air mata keluar dari mata kanannya lalu jatuh ke kobaran api di bawah dan lenyap tak bersisa. "Semoga di kehidupan selanjutnya ... kita tidak akan bermusuhan lagi." Layla mengucapkan kata-kata terakhirnya sebelum aku mengakhiri hidupnya di tempat dan saat ini juga.Kejadian itu terputar-putar di kepalaku puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali terulang di dalam kepalaku. Ingatan itu masih menghantui pikiranku hingga hanya ingatan itu saja yang menjadi satu-satunya hal yang memenuhi pikiranku.Satu bulan telah berlalu sejak saat itu, aku dapat keluar dari alam bawah sadar Layla dan kembali ke dunia nyata dengan selamat, tanpa luka sedikit pun. Bagiku waktu 1 bulan itu terasa begitu lama seolah-olah terhenti.Aku berdiri di depan makam yang sederhana. Aku berjongkok di dep
"Kamu tidak percaya padaku? Aku janji aku benar-benar akan mengeluarkanmu dari sini kalau waktunya tiba," tanya Layla yang diikuti dengan mengucapkan janji yang tidak kuketahui apakah dia dapat memegang janjinya atau malah mengingkarinya.Saat aku hendak membalas perkataannya, tiba-tiba langit biru berawan yang ada di sekeliling kami berubah menjadi jingga. Langit itu berwarna jingga bukan karena senja telah tiba, melainkan karena kobaran api yang muncul di mana-mana.Tidak hanya langit di sekeliling kami saja yang dilahap oleh api, Layla yang berdiri di hadapanku ikut terbakar. "Kyaaa! Panas!!" Dia langsung menjerit kesakitan ketika kobaran api itu melahap dirinya. Kulihat kulit sekujur tubuhnya mengalami luka bakar yang parah."Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamku yang keheranan. Aku tidak tahu kenapa situasi di alam bawah sadarnya mendadak berubah menjadi seperti neraka. 'Apa ini hukuman dari Dewa atas perbuatan-perbuatan Layla yang tidak manusiawi itu?'
"Sepertinya aku bisa menebak kenapa dulu kamu bilang begitu," ujarku sambil melepaskan pegangan tanganku dari pergelangan tangan Layla.Layla menarik tangan kanannya dan memegangi pergelangan tangannya yang memerah, padahal aku tidak sekuat itu memegang pergelangan tangannya hingga dapat semerah itu.Layla mengangkat kedua alisnya dan menantangku. "Kalau begitu, coba tebak kenapa dulu aku bilang begitu."Bibirku melengkung ke atas mendengar Layla menantangku seperti itu. Aku pun menimpali perkataannya dengan tebakanku yang kuyakin 100% benar."Dulu aku mencintaimu karena kamu mengendalikanku untuk jadi begitu, kan? Makanya semenjak aku sudah berhenti mempercayaimu, aku tidak lagi mempunyai perasaan suka padamu karena aku sudah terlepas dari kendalimu."Layla terdiam mendengar jawabanku. Dia tidak membantah tebakanku. Tampaknya apa yang kutebak itu tepat sasaran, makanya dia tidak dapat menyanggah perkataanku.Aku tersenyum sinis kepada Layla
Layla tersenyum mendengar pertanyaanku. Dia pun menjawab rasa heran dan penasaranku. "Sepertinya kamu lupa kalau kita bisa menggunakan kekuatan kita melewati batas yang seharusnya. Yah, yang pasti bakal ada efek sampingnya." Hampir saja aku lupa dengan hal itu, 'melewati batas', yaitu kemampuan seseorang untuk menggunakan 'Arte'-nya melewati batas tingkat absolutnya. Tentunya akan ada efek samping yang mengikuti setelah digunakannya kemampuan untuk melewati batas itu. Seperti saat aku menggunakan 'Arte'-ku untuk melenyapkan Kapten Giedrius yang tingkat absolutnya berada di atasku, energiku langsung terkuras banyak hingga hampir tidak bersisa. Menggunakan 'Arte' sampai melewati batas dengan berlebihan dapat memberikan efek samping yang fatal, bahkan dapat membuat penggunanya mati. Contohnya, Alcyone, anak perempuannya kakek Fero dan nenek Nevada. "Kenapa kamu sampai melewati batas kekuatanmu? Kamu tahu 'kan risikonya sebesar apa kalau kamu menggunakann
"Sekarang semua orang yang kamu kendalikan sudah mati, kali ini apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku kepada Layla.Layla menyeringai mendengar pertanyaanku. "Semua orang katamu? Kamu salah, Trystan. Mereka bahkan belum mencapai seperempat dari total orang yang sudah kukendalikan," balasnya.Aku terdiam mendengar jika ratusan orang itu tidak sampai seperempat dari keseluruhan orang yang dikendalikannya. Itu berarti, ada ribuan orang yang telah dikendalikan olehnya.'Benar juga, penduduk kota Boreus saja jumlahnya lebih dari 5.000 orang. Jumlah orang yang sudah dikendalikannya lebih banyak dari yang kukira.'Layla beranjak dari tempatnya berdiri. Dia melangkahi tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di atas lantai.Entah apa tujuannya berjalan menghampiriku. Aku menciptakan sepasang pedang yang melayang di sisi kiri dan kananku, bersiaga jika dia akan melakukan sesuatu terhadapku.'Dia tidak akan bisa mengendalikan pikiranku lagi karen
Aku menaikkan salah satu alisku karena heran melihat Layla tiba-tiba tertawa seperti itu. "Apa yang lucu sampai membuatmu tertawa begitu?" tanyaku dengan nada serius.Setelah tertawa dengan nyaring selama beberapa detik, akhirnya tawanya itu reda juga. Dia menyeka air mata yang menggenang pada sudut matanya lalu menjawab pertanyaanku. "Haha, ... itu karena kamu terlalu bodoh sampai-sampai bisa membuatku tertawa begini."Layla mengembalikan ketenangannya dan berhenti tertawa. Dia menatapku dengan instens dan tersenyum menyeringai. "Kamu pikir hanya karena aku bersedia untuk mati di tanganmu berarti aku juga bersedia untuk menyerah dan berhenti mengendalikan mereka?"Bodoh, kamu terlalu naif sampai-sampai kelihatan seperti orang tolol," hina Layla sambil memandang rendah aku.Kepalan tanganku semakin kuat hingga kuku jariku menggali ke dalam kulit telapak tanganku. Tak kurasakan lagi rasa sakit yang menusuk telapak tanganku dan lengan kananku yang terluka.
Rasa sakit pada lengan kananku semakin menusuk-nusuk. Aku mengkesampingkan rasa sakit itu dan memfokuskan perhatianku sepenuhnya pada Aquilo yang berdiri tak jauh di depanku. Dia telah bersiap untuk menyerangku lagi.'Sebisa mungkin aku harus menahan kekuatanku supaya dia tidak sampai terluka parah atau bahkan mati. Membuatnya pingsan sudah cukup.' Aku berpikir keras memikirkan bagaimana aku akan menghentikan dia dengan luka seminim mungkin.Kulihat Aquilo melemparkan serangan jarak jauh ke arahku lagi dan langsung beranjak dari tempatnya dan menerjang ke arahku. Aku melompat mundur untuk menjaga jarakku darinya.Kuciptakan 4 buah anak panah yang terbuat dari kegelapan yang dipadatkan. Salah satu dari keempat anak panah itu terbang ke arah misil 'Arte' yang dilemparkan oleh Aquilo. Kedua serangan jarak jauh itu saling bertubrukan dan menimbulkan ledakan kecil.Satu anak panah lainnya melesat ke arah Aquilo, tetapi dia dapat menghindarinya dengan mudahnya.
Kuhindari serangannya dengan melompat mundur untuk berjaga jarak darinya, mengantisipasi ledakan yang ditimbulkannya. Muncul ledakan yang tidak begitu besar dari tinjuannya yang mengenai udara kosong itu.Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. 'Padahal dia tinggal di Kota Boreus, bagaimana bisa dia ada di Ibu Kota saat ini?'Aquilo kembali menerjang ke arahku dan melayangkan tinjuan lainnya. Aku mengepalkan tangan kiriku dan membalas tinjuannya dengan tinjuku. Kekuatan kami saling beradu dan menimbulkan ledakan yang cukup besar.Sebuah luka goresan muncul pada pipi kanan Aquilo. Efek dari ledakan itu menyebabkan luka kecil pada wajahnya. Cairan merah keluar dari luka itu dan mengalir menuruni lekukan mukanya.Di sisi lain, tidak ada luka baru yang timbul pada diriku karena sedetik sebelum ledakan itu terjadi, aku menciptakan perisai kegelapan untuk melindungi diriku.Kulihat Aquilo hendak menyerangku sekali lagi tanpa memberikan aku wa
"Apa nanti kamu tidak akan menyesal karena sudah membunuhku?" tanya Layla yang kini membuka kedua matanya untuk melihatku.Aku terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan itu. Sebuah senyuman kecil terbentuk pada bibirku."Mungkin iya, mungkin tidak," jawabku dengan tidak pasti. Aku ingin menjawab jika aku tidak akan menyesalinya, tetapi di lubuk hatiku yang terdalam, sepertinya aku akan menyesal.Aku membuka mulutku lagi dan berkata, "Tidak peduli apa aku akan menyesal atau tidak, aku akan tetap membunuhmu untuk mengakhiri perang ini."Mendengar perkataanku, Layla kembali memejamkan kedua matanya dan tersenyum tipis. "Begitu, ya ... oke, kamu bisa membunuhku sekarang," ujarnya yang sudah siap untuk menyerahkan hidupnya padaku.Aku menggenggam erat gagang pedang hitam di tanganku. "Pada akhirnya kisah kita berakhir seperti ini, Layla," gumamku dengan suara kecil. Kuayunkan pedang ini ke kanan untuk memotong lehernya Layla.Sekali lagi sebuah s