"Sepertinya aku bisa menebak kenapa dulu kamu bilang begitu," ujarku sambil melepaskan pegangan tanganku dari pergelangan tangan Layla.
Layla menarik tangan kanannya dan memegangi pergelangan tangannya yang memerah, padahal aku tidak sekuat itu memegang pergelangan tangannya hingga dapat semerah itu.
Layla mengangkat kedua alisnya dan menantangku. "Kalau begitu, coba tebak kenapa dulu aku bilang begitu."
Bibirku melengkung ke atas mendengar Layla menantangku seperti itu. Aku pun menimpali perkataannya dengan tebakanku yang kuyakin 100% benar.
"Dulu aku mencintaimu karena kamu mengendalikanku untuk jadi begitu, kan? Makanya semenjak aku sudah berhenti mempercayaimu, aku tidak lagi mempunyai perasaan suka padamu karena aku sudah terlepas dari kendalimu."
Layla terdiam mendengar jawabanku. Dia tidak membantah tebakanku. Tampaknya apa yang kutebak itu tepat sasaran, makanya dia tidak dapat menyanggah perkataanku.
Aku tersenyum sinis kepada Layla
"Kamu tidak percaya padaku? Aku janji aku benar-benar akan mengeluarkanmu dari sini kalau waktunya tiba," tanya Layla yang diikuti dengan mengucapkan janji yang tidak kuketahui apakah dia dapat memegang janjinya atau malah mengingkarinya.Saat aku hendak membalas perkataannya, tiba-tiba langit biru berawan yang ada di sekeliling kami berubah menjadi jingga. Langit itu berwarna jingga bukan karena senja telah tiba, melainkan karena kobaran api yang muncul di mana-mana.Tidak hanya langit di sekeliling kami saja yang dilahap oleh api, Layla yang berdiri di hadapanku ikut terbakar. "Kyaaa! Panas!!" Dia langsung menjerit kesakitan ketika kobaran api itu melahap dirinya. Kulihat kulit sekujur tubuhnya mengalami luka bakar yang parah."Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamku yang keheranan. Aku tidak tahu kenapa situasi di alam bawah sadarnya mendadak berubah menjadi seperti neraka. 'Apa ini hukuman dari Dewa atas perbuatan-perbuatan Layla yang tidak manusiawi itu?'
Ekspresi mukanya yang menahan kesakitan perlahan berubah menjadi lega karena akan segera terbebas dari siksaan api itu. "Terima kasih, Trystan ...," ucapnya berterima kasih kepadaku.Setetes air mata keluar dari mata kanannya lalu jatuh ke kobaran api di bawah dan lenyap tak bersisa. "Semoga di kehidupan selanjutnya ... kita tidak akan bermusuhan lagi." Layla mengucapkan kata-kata terakhirnya sebelum aku mengakhiri hidupnya di tempat dan saat ini juga.Kejadian itu terputar-putar di kepalaku puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali terulang di dalam kepalaku. Ingatan itu masih menghantui pikiranku hingga hanya ingatan itu saja yang menjadi satu-satunya hal yang memenuhi pikiranku.Satu bulan telah berlalu sejak saat itu, aku dapat keluar dari alam bawah sadar Layla dan kembali ke dunia nyata dengan selamat, tanpa luka sedikit pun. Bagiku waktu 1 bulan itu terasa begitu lama seolah-olah terhenti.Aku berdiri di depan makam yang sederhana. Aku berjongkok di dep
Ruangan serba putih yang sangat familier. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja bundar. Tiga orang dewasa yang adalah dewan eksekutif atau yang biasa disebut sebagai Treis duduk di meja itu. Suara argumen mereka menggema ke seluruh penjuru ruangan. "Kalian sudah lihat betapa berbahayanya 'anak itu', kan? Lebih baik 'dia' segera dieksekusi!" tuntut wanita berambut ungu magenta dan mengenakan gaun maxi navy. "Tidak! 'Dia' hanyalah anak kecil! 'Dia' pasti dapat mengendalikan 'Arte'-nya dengan bijak saat sudah besar nanti!" sanggah pria berambut merah jambu dan mengenakan mantel lab putih. "Saya setuju dengan pendapat Prof. Horatius. 'Anak itu' menggunakan kekuatannya karena dipaksa, bukan atas keinginannya sendiri. 'Dia' hanya anak malang yang dimanfaatkan oleh orang dewasa untuk keuntungan mereka," tutur pria berambut biru malam dan mengenakan jas hitam. Mereka terus berdebat sambil menunjuk-nunjukkan jarinya kepada bocah laki-laki berambut hijau gelap da
Wanita itu mencekik leherku dengan kuat. Semua oksigen berlari keluar dari mulutku. Sebagai gantinya, air menerobos masuk ke dalam paru-paruku. Aku meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangannya, tetapi tidak berhasil. "Kamu salah memilih lawan, orang tak dikenal. Selama kamu berada di dalam air, kamu tidak akan bisa menang dariku!" Dia mencemooh aku. 'Bagaimana mungkin dia bisa mengeluarkan suara di dalam air?' "Air adalah wilayah kekuasaanku!" Tambahnya sambil tertawa angkuh. 'Air adalah wilayah kekuasaanku,' katanya? Sebuah ide cemerlang terlintas di kepalaku. Aku tersenyum menyeringai membuat dia heran melihatku yang tiba-tiba tersenyum. Aku menutup kedua mataku, kubayangkan ruangan ini berubah menjadi ruang hampa yang gelap gulita. Seketika ruangan yang dipenuhi oleh air ini berubah menjadi seperti yang kubayangkan. Tidak ada air setetes pun di sini, bahkan setitik cahaya pun tidak ada di tempat ini. Wanita itu kaget me
Sesampainya di kamarku, aku langsung melangkah ke lemari dan mengeluarkan beberapa pasang pakaian. Setelah itu, kulangkahkan kakiku memasuki kamar mandi. Kutanggalkan pakaianku yang basah kuyup lalu menyalakan keran bak mandi. Sambil menunggu airnya penuh, aku mencuci mukaku di wastafel. Kutatap pantulan diriku di cermin. Penampilanku berantakan sekali, terutama rambut hijau gelap yang basah dan acak-acakan ini. Manik hijau emerald-ku mengarah ke mantra sihir yang berupa seperti tato putih melingkar di leherku. Kusentuh leherku dengan ujung jariku. "Kalau saja 'kontrak' ini tidak pernah ada, aku tidak akan hidup seperti boneka mereka." Jariku menggaruk leherku hingga muncul bekas merah yang terasa perih. Aku teringat akan air di bak mandi, untunglah airnya tidak kepenuhan. Kumatikan keran agar airnya tidak meluap ke lantai. Kucelupkan badanku ke air lalu menyandarkan punggungku pada dinding ubin putih. 'Ah, nikmatnya berendam dalam air hangat.'
Setelah Dokter memeriksa keadaan Layla, dia mengatakan jika Layla tidak mengalami cidera apa pun dan akan segera siuman. Kuhela napas lega mendengar keadannya yang ternyata baik-baik saja. Aku duduk di tepi ranjang pasien tempat Layla dibaringkan. Kubelai rambut peraknya yang halus seperti benang sutra. 'Sosoknya yang tak sadarkan diri terlihat bagaikan putri tidur.' Suara tawa kecil tertangkap oleh telingaku. Suara itu berasal dari Layla. Bulu matanya yang lentik terangkat ke atas, dia membuka matanya dan menatapku sambil menyengir. "Barusan kamu mikir apa?" Dia mengubah posisi badannya dari baring menjadi duduk. 'Jangan-jangan daritadi dia sudah sadar dan membaca pikiranku?' "Aku baru saja terbangun kok, waktu kamu mikir tentang 'sosoknya ya-' " Omongannya terputus karena aku langsung menutup mulutnya dengan telapak tanganku. Pipi dan telingaku terasa memanas mengingat hal memalukan itu. 'Tolonglah, jangan mengungkapkan isi pikiran orang seenaknya!'
"Apa benar itu kamu, Senja?" Orang berjubah hitam itu mengulangi pertanyaannya dan mulai menurunkan pertahanannya. "Ini bukan waktunya untuk reuni," jawabku dengan nada ketus. Aku tetap bersiaga menghadapinya. Seskipun dia adalah orang yang dulu kukenal, aku tidak boleh menurunkan pertahananku karena sekarang kami berada di pihak yang berlawanan. Orang itu terdiam mendengar jawabanku lalu menyindirku. "Setelah lebih dari 10 tahun kami mencarimu, sekarang kamu berpihak kepada para tirani itu? Apa otakmu sudah dicuci oleh mereka?" Aku mengepalkan tinjuku dengan erat dan menggertakkan gigiku. "Diam kamu, kamu tidak tahu apa-apa." Dia menghela napasnya lalu berkata, "Ini tak tertolong, kalau kamu tidak mau kembali kepada kami, maka aku tak punya pilihan lain selain menghabisimu." Dia menghentakkan kaki kanannya, membuat permukaan lantai dilapisi oleh es. Aku melompat agar tidak ikut membeku. Tanpa aba-aba, dia langsung muncul di hadapanku.
Beberapa hari telah berganti sejak salah seorang anggota Fylax menyerang kami. Hari-hari berlalu jauh lebih damai daripada sebelumnya karena tidak banyak kasus yang ada untuk ditangani oleh kami. Aku sedang dalam perjalanan menuju ruang referensi untuk menyimpan berkas kasus penyerangan beberapa hari yang lalu. Kugenggam kenop pintu dan kudorong tetapi pintunya tidak dapat terbuka. 'Apa ini? Tidak biasanya ruangan ini terkunci. Jangan-jangan ada penyusup lagi?' Aku mendengar bunyi langkah kaki dari dalam, bunyi itu semakin mendekat ke arah pintu ini. Terdengar suara kunci diputar. Pintu terbuka menampakkan sosok yang ada di dalam ruangan tersebut. Wanita bersurai perak dan bermanik biru pucat. "Layla? Sedang apa kamu sampai-sampai mengunci pintu?" tanyaku heran. "Kamu sendiri untuk apa ke sini?" Dia malah bertanya balik padaku. 'Setidaknya jawab dulu pertanyaanku, bukannya langsung balik bertanya.' "Aku mau menyimpan berkas kas