Wanita itu mencekik leherku dengan kuat. Semua oksigen berlari keluar dari mulutku. Sebagai gantinya, air menerobos masuk ke dalam paru-paruku. Aku meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangannya, tetapi tidak berhasil.
"Kamu salah memilih lawan, orang tak dikenal. Selama kamu berada di dalam air, kamu tidak akan bisa menang dariku!" Dia mencemooh aku. 'Bagaimana mungkin dia bisa mengeluarkan suara di dalam air?'
"Air adalah wilayah kekuasaanku!" Tambahnya sambil tertawa angkuh.
'Air adalah wilayah kekuasaanku,' katanya? Sebuah ide cemerlang terlintas di kepalaku. Aku tersenyum menyeringai membuat dia heran melihatku yang tiba-tiba tersenyum.
Aku menutup kedua mataku, kubayangkan ruangan ini berubah menjadi ruang hampa yang gelap gulita. Seketika ruangan yang dipenuhi oleh air ini berubah menjadi seperti yang kubayangkan. Tidak ada air setetes pun di sini, bahkan setitik cahaya pun tidak ada di tempat ini.
Wanita itu kaget mengetahui dia berada di tempat yang asing baginya. Dilepaskannya cengkeramannya dariku lalu melangkah menjauhiku. Begitu tangannya lepas dari leherku, aku langsung terbatuk-batuk mengeluarkan air yang tertelan olehku.
"Aku tidak bisa melihat apa pun ... apa yang baru saja kamu lakukan?!" pekik wanita itu dengan emosi marah dan takut. Ekspresi wajahnya yang panik tampak begitu jelas di mataku.
"Hahaha. Selamat datang di wilayah kekuasaanku, kegelapan," sambutku sambil menyeringai walau aku tahu dia tidak dapat melihat apa-apa karena gelap.
Wajahnya memucat, perasaan horror mulai merasukinya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan mulai berlari tanpa arah.
Aku berjalan santai mengikutinya, menertawai wanita yang berlari seperti mangsa yang kabur dari predatornya. "Kenapa kamu lari? Dimana air milikmu? Coba ubah tempat ini menjadi kolam renang seperti sebelumnya. Hahahaha!"
Dia pasti ketakutan karena tidak dapat membuat tempat ini dipenuhi air seperti di ruang referensi. Tingkat keabsolutan 'Arte' milikku jauh lebih tinggi daripada miliknya sehingga dia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kekuatanku.
Aku menghentikan langkahku karena bosan dengan permainan kejar-kejaran ini. "Ayo kita sudahi permainan ini." Tubuhnya bergidik ngeri mendengar ucapanku dan menghentikan langkahnya.
Kuangkat tanganku dan mengarahkannya ke orang yang sudah putus asa itu. Kukepal erat tanganku. Terdengar bunyi tulang-tulang yang patah dari wanita itu dan diikuti oleh suara jeritannya yang menggelegar.
Wanita berambut hitam itu ambruk tak sadarkan diri. "Ayo kita kembali ke dunia nyata." Aku berjalan ke tempatnya tersungkur. Kuangkat tubuhnya yang terkulai lemah dengan tangan kiriku, memikulnya seperti karung pasir.
Kini kami sudah kembali ke ruang referensi. Kolam air yang dibuatnya sudah surut, menyisakan genangan air setinggi mata kaki saja. Tidak ada tanda-tanda temannya kembali ke tempat ini untuk menolongnya ataupun mencuri dokumen yang tersimpan di tempat ini. Kuturunkan wanita itu ke lantai.
Suatu suara tertangkap oleh telingaku, derap langkah kaki terdengar mendekati tempat ini. Dua orang berjas hitam memasuki ruanganku berada, satu lelaki berambut hitam dan satunya lagi perempuan berambut pirang.
Mereka dikejutkan oleh keadaan ruangan yang seperti kapal karam ini. Seluruh ruangan ini berantakan dan dibasahi oleh air.
"Kenapa ruang referensi basah begini?" heran lelaki berambut hitam. Lalu dia melihat ke arahku dan wanita berambut hitam yang tergeletak pingsan di sampingku.
"Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan kepadanya?" Lelaki itu menodongkan pistolnya kepadaku.
Aku mengangkat tanganku ke atas kepala. "Sebentar, saya bisa jelaskan-"
Dia tidak mendengarkan perkataanku dan tetap membidikkan senjata apinya kepadaku. "Hermione, borgol dia dan bawa ke ruang interogasi," perintahnya kepada rekannya.
Perempuan berambut pirang berjalan ke arahku dan mengeluarkan sebuah borgol dari dalam jasnya. 'Sial, kenapa situasinya jadi seperti ini?'
Akhirnya aku dibawa ke ruang interogasi sedangkan wanita berambut hitam itu dibawa ke klinik. Empat orang personel Custodia berdiri di tiap sudut ruangan mengawasiku. 'Kenapa malah aku yang diperlakukan seperti penyusup?'
Terdengar suara pintu dibuka. Tampak seorang wanita berambut perak dan berjas hitam memasuki ruangan ini. Manik biru pucatnya terarah padaku. Matanya melebar melihat wajah orang yang dikenalnya duduk di ruang interogasi.
"Lho, Trystan?" Dia menunjuk aku dengan jari telunjuknya.
"Layla?" Aku menyebut namanya, ikut kaget karena tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini.
Semua orang di dalam ruangan ini terdiam. Tidak ada yang menyangka kalau ketua dari Divisi Interogasi mengenal orang yang mereka tangkap.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya wanita yang tadi kupanggil Layla. Dia adalah teman masa kecilku, Layla Rego Sidero.
Aku menceritakan kembali kejadian itu dari pertama kali mendengar obrolan kedua penyusup itu sampai saat dua orang personel itu datang dan menangkapku.
Lelaki yang menyeretku ke sini mencoba membantah ceritaku, "Dia pasti berbohong. Gerak-geriknya sungguh mencuriga-"
"Dia tidak berbohong. Apa kamu lupa jika saya dapat membaca pikirannya? Tidak ada yang dapat disembunyikan atau direkayasa dari saya," potong Layla sambil menatap tajam ke arah lelaki itu. Personel itu bungkam, tidak dapat melawan sanggahan atasannya.
Akhirnya aku dibebaskan dari ruang interogasi. Layla mengajakku untuk diperiksa ke klinik, tetapi aku menolaknya karena selama ini tidak ada rasa sakit dari kepalaku. Aku memutuskan untuk kembali ke asrama untuk mengganti pakaianku yang basah kuyup dan mengeringkan rambutku.
Saat kami akan berpisah, tiba-tiba kepalaku sakit sekali. Aku meringis kesakitan sambil memegangi ubun-ubunku. Teman masa kecilku tidak jadi meninggalkanku dan menatapku dengan tatapan khawatir.
Kutarik tanganku dan melihat ada cairan kental berwarna merah menempel pada telapak tanganku. Layla yang melihat darah itu langsung menarik tanganku dan membawaku ke klinik.
Sampailah kami di ruangan yang dipenuhi oleh bau obat-obatan. Aku duduk di atas ranjang pasien sedangkan Layla berdiri di sampingku. Seorang wanita bermantel putih datang untuk memeriksa keadaanku.
"Bagaimana kamu dapat menahan rasa sakit ini tanpa mendapatkan pertolongan pertama?" tanyanya sambil menggeleng-gelengkan kepala. 'Memangnya separah apa lukaku sampai-sampai dia berkata begitu?'
"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Layla yang khawatir padaku. Tenaga medis itu menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaannya.
"Fraktur tulang parietal dan cidera gegar otak ringan. Selain itu setengah paru-parunya terisi oleh air," jawabnya dengan mendetail. Aku menganga kaget mengetahui cideraku separah itu.
"Bahkan dengan 'Arte' penyembuhanku, cideramu tidak akan langsung pulih total," tambahnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. Tampaknya aku akan harus bolak-balik ke klinik.
Dokter menggunakan 'Arte'-nya untuk mengobatiku. Cahaya hijau muda memancar dari telapak tangannya. "Sudah selesai. Tolong jangan beraktivitas berat untuk sementara, ya. Banyak-banyak istirahat dan konsumsi makanan yang tinggi zat besi," saran Dokter itu, kuanggukan kepalaku mengiyakannya.
Dia memberikanku beberapa obat yang harus rutin kuminum untuk beberapa hari ke depan. Aku berterima kasih kepadanya lalu meninggalkan ruangan ini bersama Layla.
"Aku kembali ke kamarku dulu, ya, mau ganti baju, tidak nyaman daritadi pakai pakaian basah." Aku berpamitan dengan Layla, dia membalasku dengan lambian tangannya.
Kami berpisah tanpa mengetahui jika ada seseorang yang sedari tadi membuntuti kami, menunggu kesempatan yang tepat untuk mencelakai salah satu dari kami.
Sesampainya di kamarku, aku langsung melangkah ke lemari dan mengeluarkan beberapa pasang pakaian. Setelah itu, kulangkahkan kakiku memasuki kamar mandi. Kutanggalkan pakaianku yang basah kuyup lalu menyalakan keran bak mandi. Sambil menunggu airnya penuh, aku mencuci mukaku di wastafel. Kutatap pantulan diriku di cermin. Penampilanku berantakan sekali, terutama rambut hijau gelap yang basah dan acak-acakan ini. Manik hijau emerald-ku mengarah ke mantra sihir yang berupa seperti tato putih melingkar di leherku. Kusentuh leherku dengan ujung jariku. "Kalau saja 'kontrak' ini tidak pernah ada, aku tidak akan hidup seperti boneka mereka." Jariku menggaruk leherku hingga muncul bekas merah yang terasa perih. Aku teringat akan air di bak mandi, untunglah airnya tidak kepenuhan. Kumatikan keran agar airnya tidak meluap ke lantai. Kucelupkan badanku ke air lalu menyandarkan punggungku pada dinding ubin putih. 'Ah, nikmatnya berendam dalam air hangat.'
Setelah Dokter memeriksa keadaan Layla, dia mengatakan jika Layla tidak mengalami cidera apa pun dan akan segera siuman. Kuhela napas lega mendengar keadannya yang ternyata baik-baik saja. Aku duduk di tepi ranjang pasien tempat Layla dibaringkan. Kubelai rambut peraknya yang halus seperti benang sutra. 'Sosoknya yang tak sadarkan diri terlihat bagaikan putri tidur.' Suara tawa kecil tertangkap oleh telingaku. Suara itu berasal dari Layla. Bulu matanya yang lentik terangkat ke atas, dia membuka matanya dan menatapku sambil menyengir. "Barusan kamu mikir apa?" Dia mengubah posisi badannya dari baring menjadi duduk. 'Jangan-jangan daritadi dia sudah sadar dan membaca pikiranku?' "Aku baru saja terbangun kok, waktu kamu mikir tentang 'sosoknya ya-' " Omongannya terputus karena aku langsung menutup mulutnya dengan telapak tanganku. Pipi dan telingaku terasa memanas mengingat hal memalukan itu. 'Tolonglah, jangan mengungkapkan isi pikiran orang seenaknya!'
"Apa benar itu kamu, Senja?" Orang berjubah hitam itu mengulangi pertanyaannya dan mulai menurunkan pertahanannya. "Ini bukan waktunya untuk reuni," jawabku dengan nada ketus. Aku tetap bersiaga menghadapinya. Seskipun dia adalah orang yang dulu kukenal, aku tidak boleh menurunkan pertahananku karena sekarang kami berada di pihak yang berlawanan. Orang itu terdiam mendengar jawabanku lalu menyindirku. "Setelah lebih dari 10 tahun kami mencarimu, sekarang kamu berpihak kepada para tirani itu? Apa otakmu sudah dicuci oleh mereka?" Aku mengepalkan tinjuku dengan erat dan menggertakkan gigiku. "Diam kamu, kamu tidak tahu apa-apa." Dia menghela napasnya lalu berkata, "Ini tak tertolong, kalau kamu tidak mau kembali kepada kami, maka aku tak punya pilihan lain selain menghabisimu." Dia menghentakkan kaki kanannya, membuat permukaan lantai dilapisi oleh es. Aku melompat agar tidak ikut membeku. Tanpa aba-aba, dia langsung muncul di hadapanku.
Beberapa hari telah berganti sejak salah seorang anggota Fylax menyerang kami. Hari-hari berlalu jauh lebih damai daripada sebelumnya karena tidak banyak kasus yang ada untuk ditangani oleh kami. Aku sedang dalam perjalanan menuju ruang referensi untuk menyimpan berkas kasus penyerangan beberapa hari yang lalu. Kugenggam kenop pintu dan kudorong tetapi pintunya tidak dapat terbuka. 'Apa ini? Tidak biasanya ruangan ini terkunci. Jangan-jangan ada penyusup lagi?' Aku mendengar bunyi langkah kaki dari dalam, bunyi itu semakin mendekat ke arah pintu ini. Terdengar suara kunci diputar. Pintu terbuka menampakkan sosok yang ada di dalam ruangan tersebut. Wanita bersurai perak dan bermanik biru pucat. "Layla? Sedang apa kamu sampai-sampai mengunci pintu?" tanyaku heran. "Kamu sendiri untuk apa ke sini?" Dia malah bertanya balik padaku. 'Setidaknya jawab dulu pertanyaanku, bukannya langsung balik bertanya.' "Aku mau menyimpan berkas kas
Keesokan harinya, pukul 08:15 pagi. Aku dan Layla berada di kantor Kapten. Entah apa alasannya memanggil kami untuk datang ke kantornya sepagi ini. "Layla, Trystan, apa kalian tahu kenapa saya memanggil kalian kemari?" tanya Kapten sambil melipat tangannya di atas meja. Kami menggelengkan kepala bersamaan. 'Bagaimana kami bisa tahu kalau dia tidak memberitahukannya terlebih dahulu?' "Sebentar lagi saya akan menghadiri sidang Treis." Kapten menjawab sendiri pertanyaan yang ditanyakannya. Sidang Treis, sesuai namanya yang berarti pertemuan yang akan dihadiri oleh semua anggota Treis. "Selain itu, kamu akan ikut bersama dengan saya, Trystan," lanjut Kapten sambil menatap ke arahku, aku tersentak kaget bercampur heran. 'Kenapa aku juga harus menghadiri sidang itu? Apa aku melakukan kesalahan? Itu bukan sidang untuk mengeksekusi aku, kan?' "Jadi, saya harap kamu dapat mengawasi tempat ini selama kami pergi, Layla," tambah Kapten kepada Layla. Layla
Sirene Custodia terdengar dimana-mana, padahal baru beberapa jam berlalu sejak aku dan Layla kabur dari Istana Putih. "Sepertinya keluar dari Ibu Kota tidak akan semudah yang dipikirkan," gumamku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Saat ini aku dan Layla sedang bersembunyi di gang kecil yang cukup jauh dari istana pemerintahan. Jalanan di luar sana dilalui oleh kendaraan-kendaraan milik Custodia yang melaju dengan cepat. Mereka mencari-cari kami lewat jalanan besar. Untunglah mereka belum mencari sampai ke jalanan kecil atau gang. "Tidak ada pilihan lain, ayo kita lewat gang ini saja," ajak Layla yang terdengar terburu-buru. Aku menengok ke kiriku, melihat jalan kecil yang tidak kutahu akan mengarahkan kami kemana. Kuhembuskan napasku lalu membalasnya. "Ya sudah, ayo." Kami berjalan memasuki jalanan yang hanya selebar 3 meter ini. Suara sirene terdengar semakin menjauh seiring kami berjalan semakin ke dalam perlintasan sempit ini. Kuharap mere
Dua jam telah berlalu sejak kami berangkat dari pusat perbelanjaan. Perkiraan 1 atau 2 jam lagi untuk sampai di perbatasan utara. Kami hanya duduk diam di dalam mobil sambil mendengarkan radio. Isi dari radio tersebut mulai dipenuhi tentang 2 personel Custodia yang berkhianat, penyerangan terhadap Nona Tabella di Istana Putih, dan sebagainya. Beberapa meter di depan, tampak beberapa orang berdiri di tengah-tengah jalan. Orang-orang itu terlihat lebih jelas saat mobil yang kami tumpangi semakin mendekati mereka. Orang-orang berjas hitam itu melambaikan kedua tangannya, memberi isyarat untuk menghentikan alat transportasi ini. Kecepatan kendaraan beroda empat ini perlahan melambat hingga akhirnya berhenti. Seseorang dari mereka menghampiri sedan kuning ini lalu mengetuk kaca jendela pada pintu supir, memintanya untuk menurunkan kacanya. 'Gawat, apa mereka mau menggeledah taksi ini?' Keringat dingin mulai bercucuran membasahi keningku.
Matahari terbit menyinari permukaan bumi. Pagi-pagi sekali kami membantu nenek membereskan rumahnya. "Bagaimana tidur kalian? Nyenyak?" tanya nenek sambil mengelap meja dengan kain. "Nyenyak, Nek, terima kasih sudah mengizinkan kami menumpang di sini," jawab Layla yang sedang menyapu lantai kayu. "Sama-sama. Kalau kalian masih belum menemukan tempat tinggal, kalian boleh menginap di sini sampai kapanpun," balas wanita renta itu dengan senyuman hangat. 'Baik sekali nenek ini, apa dia seorang malaikat?' Terdengar suara pintu terbuka. Datanglah kakek keluar dari kamarnya sambil membawa sebuah senapan shotgun dan mengenakan pakaian yang berlapis-lapis. "Baguslah kalau kalian sadar diri untuk membantu. Kalau kalian ingin tetap tinggal di sini, kalian harus bekerja membantu kami," tutur kakek dengan nada yang tidak ramah. "Siapa di antara kalian yang bisa bertempur?" tanya pria tua itu sambil menenteng senapan di bahunya. Aku mengang