Sirene Custodia terdengar dimana-mana, padahal baru beberapa jam berlalu sejak aku dan Layla kabur dari Istana Putih.
"Sepertinya keluar dari Ibu Kota tidak akan semudah yang dipikirkan," gumamku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Saat ini aku dan Layla sedang bersembunyi di gang kecil yang cukup jauh dari istana pemerintahan.
Jalanan di luar sana dilalui oleh kendaraan-kendaraan milik Custodia yang melaju dengan cepat. Mereka mencari-cari kami lewat jalanan besar. Untunglah mereka belum mencari sampai ke jalanan kecil atau gang.
"Tidak ada pilihan lain, ayo kita lewat gang ini saja," ajak Layla yang terdengar terburu-buru. Aku menengok ke kiriku, melihat jalan kecil yang tidak kutahu akan mengarahkan kami kemana.
Kuhembuskan napasku lalu membalasnya. "Ya sudah, ayo." Kami berjalan memasuki jalanan yang hanya selebar 3 meter ini.
Suara sirene terdengar semakin menjauh seiring kami berjalan semakin ke dalam perlintasan sempit ini. Kuharap mereka terus mencari kami di jalan raya, jangan sampai mereka mencari kami di gang-gang kecil seperti ini.
"Ngomong-ngomong, apa yang tadi kamu lakukan kepada Nona Tabella?" tanyaku penasaran.
"Aku menggunakan 'Arte'-ku untuk membuatnya menuruti perintahku," jawab Layla yang berjalan di depanku, dia tidak membalikkan badannya untuk menatap lawan bicaranya.
"Bukannya 'Arte'-mu itu membaca pikiran?" Aku bertanya heran. Selama ini dia hanya pernah membaca pikiran saja. Baru kutahu ternyata dia juga dapat mengendalikan pikiran orang lain.
"Itu termasuk salah satu kekuatanku, sebenarnya 'Arte'-ku adalah manipulasi mental," ungkap Layla sambil tersenyum bangga. 'Benar juga. Tidak mungkin dia termasuk pemilik 'Arte' berisiko tinggi kalau hanya bisa membaca pikiran saja.'
Layla menyesuaikan laju langkahnya agar dapat berjalan beriringan denganku. Kami berjalan tanpa mengatakan apa-apa lagi karena tidak tahu topik apa yang akan dibahas.
Aku memutuskan untuk membuka pembicaraan lagi. "Kemana kita akan pergi setelah keluar dari Ibu Kota?" Kupandang wajah Layla yang berjalan di sisi kiriku.
Dia tampak berpikir dengan keras sebelum menjawab pertanyaanku. "Bagaimana kalau kita ke utara?" usul Layla yang juga menanyakan pendapatku.
'Utara ya, pilihan yang cukup bagus. Wilayah itu selalu bersalju dan jauh dari Ibu Kota sehingga mereka pasti akan kesulitan untuk mengejar kami di sana. Jadi, wilayah utara bisa dibilang sebagai tempat yang bagus untuk bersembunyi.'
"Aku tak masalah. Kemana pun kamu pergi, aku akan tetap mengikutimu," balasku yang setuju dengan usulannya. Layla tersenyum puas mendengar balasanku.
"Sekalipun itu ribuan mil jauhnya?" tanya Layla yang terdengar seperti mengujiku.
"Ya, aku akan tetap mengikutimu," jawabku yakin sambil tersenyum kepadanya. Dia berdehem mendengar jawabanku.
"Biarpun begitu, kamu jangan tetap mengikutiku kalau aku masuk ke jurang," candanya sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa bersama dengan dia.
Mendadak aku merasakan ada beberapa orang yang sedang mengawasi kami. Kuhentikan langkahku membuat Layla ikut menghentikan langkahnya.
"Kenapa?" tanya Layla heran karena aku tiba-tiba menghentikan langkahku. Aku meletakkan jari telunjukku pada bibirku memberi isyarat untuk jangan bersuara. Dia menganggukan kepalanya mengerti.
Aku memperhatikan sekeliling kami. Sunyi, sepi, dan hening. Hanya ada bangunan-bangunan yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri kami. 'Ini buruk, mereka yang posisinya di tempat yang lebih tinggi akan lebih diuntungkan.
'Layla, kita akan berlari dalam hitungan ke-3.' Aku melihat dia menganggukan kepalanya sekali lagi. 'Baguslah. Kalau begitu, aku akan mulai berhitung. Satu, dua, tiga!'
Kami beranjak dari tempat ini, mengambil langkah seribu. Terdengar suara tembakan mengikuti kami dari belakang. Beberapa tembakan meleset nyaris mengenai kepalaku. Nyaris saja aku kehilangan kepalaku.
'Layla, kupikir akan lebih baik kalau kita masuk ke dalam bangunan,' usulku dalam hati karena takut para sniper itu bisa mendengar rencana kami.
Layla menganggukkan kepalanya lalu menggandeng tanganku dan menarikku masuk ke dalam sebuah gedung yang sangat besar di sisi kirinya.
Hiruk-pikuk penuh kehidupan menyeliputi bagian dalam bangunan ini. Orang-orang berkerumun untuk melihat-lihat barang yang dipajang. Sepertinya gedung ini merupakan pusat perbelanjaan.
"Ayo kita ke sana," ajak Layla yang masih menggandeng tangan kiriku lalu menyeretku memasuki suatu tempat.
Pakaian-pakaian modis terpajang rapi dan ada beberapa manekin yang berdiri di etalase. Karyawan toko busana menyambut kami dengan ramah. Sepertinya mereka masih belum tahu jika kami adalah buronan yang sedang dicari-cari oleh Custodia.
"Kamu pilihlah pakaianmu sendiri. Kalau sudah, tunggu saja di dekat kasir. Aku mau pilih pakaianku dulu," perintah Layla sambil menunjuk area pakaian perempuan. Aku mengiyakan perintahnya dan berjalan menuju area pakaian laki-laki.
Kuambil sebuah kaus hitam, jaket denim biru pucat, dan jeans denim biru gelap lalu kubawakan 3 pakaian itu ke kasir untuk membayarnya.
"Totalnya 280 Moneta, ada lagi yang ingin ditambahkan, Tuan?" tanya wanita yang berprofesi sebagai kasir.
Aku melirik ke kananku, melihat beberapa topi baseball terpajang di rak kayu. Kuambil salah satu yang berwarna hitam lalu memberikannya kepada kasir.
"Ditambah topi totalnya menjadi 295," ucap wanita itu. Kukeluarkan sebuah dompet dari saku celanaku dan menyodorkan 3 lembar uang kertas yang masing-masing bertuliskan angka 100 kepadanya.
Wanita itu mengambil uangku dan memasukkannya ke dalam rak meja. Dia mengemas pakaian yang kubeli ke dalam tas kain, tak lupa ia juga mengembalikan 5 Moneta kepadaku.
Masuklah aku ke dalam ruang ganti pria dan mengganti pakaianku. Kumasukkan pakaian lamaku ke dalam tas kain lalu keluar dari ruangan ini.
Aku menunggu Layla di dekat meja kasir sambil melihat-lihat perhiasan yang dipajang di rak kaca. Terdengar suara langkah kaki mendekatiku dari belakang. Aku membalikkan badanku dan melihat sosok yang menghampiriku, Layla.
"Aku tidak membuatmu menunggu lama, kan?" tanyanya sambil tersenyum manis.
"Tidak kok," jawabku singkat. Aku terpukau melihat penampilan Layla yang berubah total.
Dia tampak sangat berbeda dengan pakaian kasual. Baju turtleneck hitam, rok biru gelap bermotif kotak-kotak, cardigan cokelat, dan boots hitam. Topi kupluk krem yang dikenakannya membuatnya tambah imut.
Layla berdehem membuatku tersadar dari lamunanku. Rona merah mulai nampak di pipinya. "Ayo kita pergi dari sini sebelum mereka datang," ajak Layla yang melangkah mendahuluiku.
Kami berjalan menuju pintu keluar, yang jelas bukan dari tempat kami masuk sebelumnya. Sebelum keluar dari gedung ini, kami membuang ponsel dan tanda identitas kami agar tidak dapat dilacak oleh intel Custodia.
Sampailah aku dan Layla di luar pusat perbelanjaan ini. Jalanan besar ada di depan kami. Beberapa mobil taksi terparkir di sisi jalan.
Kami menghampiri salah satu supir taksi yang berdiri di dekat kendaraannya. "Pak, apa kami boleh menumpang taksinya?" tanya Layla kepada pria paruh baya itu.
"Boleh, silakan masuk, Nona, Tuan," jawab pria itu sambil tersenyum bahagia. Tampaknya daritadi dia belum mendapatkan satupun penumpang.
Kami masuk ke dalam sedan kuning ini. Supir taksi mengenakan sabuk pengamannya lalu bertanya kepada kami, "Kemana tujuan kalian?"
"Perbatasan utara," jawab Layla. Supir menganggukan kepalanya dan tidak bertanya lagi. Dia menyalakan mobilnya lalu menginjak pedal gas, mengantar kami ke tempat tujuan.
Dua jam telah berlalu sejak kami berangkat dari pusat perbelanjaan. Perkiraan 1 atau 2 jam lagi untuk sampai di perbatasan utara. Kami hanya duduk diam di dalam mobil sambil mendengarkan radio. Isi dari radio tersebut mulai dipenuhi tentang 2 personel Custodia yang berkhianat, penyerangan terhadap Nona Tabella di Istana Putih, dan sebagainya. Beberapa meter di depan, tampak beberapa orang berdiri di tengah-tengah jalan. Orang-orang itu terlihat lebih jelas saat mobil yang kami tumpangi semakin mendekati mereka. Orang-orang berjas hitam itu melambaikan kedua tangannya, memberi isyarat untuk menghentikan alat transportasi ini. Kecepatan kendaraan beroda empat ini perlahan melambat hingga akhirnya berhenti. Seseorang dari mereka menghampiri sedan kuning ini lalu mengetuk kaca jendela pada pintu supir, memintanya untuk menurunkan kacanya. 'Gawat, apa mereka mau menggeledah taksi ini?' Keringat dingin mulai bercucuran membasahi keningku.
Matahari terbit menyinari permukaan bumi. Pagi-pagi sekali kami membantu nenek membereskan rumahnya. "Bagaimana tidur kalian? Nyenyak?" tanya nenek sambil mengelap meja dengan kain. "Nyenyak, Nek, terima kasih sudah mengizinkan kami menumpang di sini," jawab Layla yang sedang menyapu lantai kayu. "Sama-sama. Kalau kalian masih belum menemukan tempat tinggal, kalian boleh menginap di sini sampai kapanpun," balas wanita renta itu dengan senyuman hangat. 'Baik sekali nenek ini, apa dia seorang malaikat?' Terdengar suara pintu terbuka. Datanglah kakek keluar dari kamarnya sambil membawa sebuah senapan shotgun dan mengenakan pakaian yang berlapis-lapis. "Baguslah kalau kalian sadar diri untuk membantu. Kalau kalian ingin tetap tinggal di sini, kalian harus bekerja membantu kami," tutur kakek dengan nada yang tidak ramah. "Siapa di antara kalian yang bisa bertempur?" tanya pria tua itu sambil menenteng senapan di bahunya. Aku mengang
Kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Layla dan nenek sedang memasak di tungku untuk makan siang nanti, kakek membaca koran di kursi dekat perapian, dan aku hanya duduk bengong di sofa. Kualihkan padanganku ke sisi kiri. Aku baru sadar ada beberapa benda yang digantung pada dinding di sana. Penasaran dan ingin melihat dari dekat, aku bangkit dari dudukku lalu berjalan ke arah dinding itu. Ada sebuah jam dinding berdiameter sejengkal telapak tangan dan 10 bingkai foto beraneka bentuk terpajang di dinding. Kulihat-lihat setiap potret itu. Semua fotonya berwarna hitam-putih sedikit kekuningan. Gambar-gambar yang dijepret memperlihatkan waktu mereka masih muda, mungkin saat mereka berusia 30 tahun. Mataku tertuju pada sebuah foto yang berisikan 3 figur di dalamnya. Dua orang dewasa yang kuyakini ialah pasangan tua itu dan seorang anak perempuan yang berusia sekitar 10 tahun. 'Apa dia anaknya nenek dan kakek?' "Oh, itu Alcyone, anak perempuan kami satu
Beberapa hari telah berlalu sejak kami tinggal di perbatasan utara. Belum 1 orang pun datang dari Custodia untuk mencari kami di sini. Mungkin orang-orang yang tinggal di kampung ini belum melaporkan kami kepada mereka. "Selamat pagi, Trystan. Kamu mau pergi berburu lagi?" sapa seorang pria paruh baya yang sedang membersihkan tumpukan salju di jalanan. "Pagi juga, Pak Alban. Saya mau berburu hewan lagi karena stok makanan di rumah keluarga Nivalis sudah hampir habis," jawabku kepada orang yang tinggal di seberang rumah nenek dan kakek. "Oh begitu, hati-hati, ya. Kudengar belakangan ini ada monster salju yang berkeliaran di hutan." Pria itu memperingatiku, kuanggukan kepalaku dan berterima kasih kepadanya karena sudah memberitahuku. Aku berjalan memutari rumah ini menuju hutan di belakangnya. Kulihat beberapa anak kecil sedang bermain di belakang rumah mereka. Bocah-bocah itu saling melempari bola salju. Senyuman lebar menghiasi wajah mereka se
"Seharusnya kalian tidak tinggal di sini," ucap anggota Fylax yang berdiri di depanku. Hawa dingin yang terpancar dari tubuhnya menusuk tulangku meskipun aku telah mengenakan pakaian tebal. "Memangnya kenapa kalau kami tinggal di kampung ini?" tanyaku heran sambil memperhatikan setiap gerak geriknya. "Sebenarnya aku tak masalah kalau kalian tinggal di kampung ini, tapi dari sekian banyaknya rumah yang ada, kalian malah tinggal di rumah keluarga 'Nivalis'," balasnya dengan penekanan pada kata terakhir yang diucapkannya. 'Keluarga Nivalis? Bukannya itu nama keluarganya kakek? Bagaimana bisa dia mengenal mereka?' Tanpa aba-aba tangan kanannya langsung mencengkeram leherku dengan kuat. Kristal es mulai bermunculan di permukaan kulitku. Sontak aku menyerangnya dengan bayanganku. Dia melepaskan cekikkannya lalu menghindari seranganku. Aku terbatuk-batuk dan menggosok-gosok leherku untuk menghilangkan kristal es yang menegeras di permukaan kulit lehe
"Tidak bisakah kalian tinggal di sini lebih lama lagi? Padahal Nenek sudah menganggap kalian seperti cucu Nenek sendiri," tanya wanita tua itu dengan raut wajah sedih. "Kalau kami tetap tinggal bersama Nenek dan Kakek, nanti kalian bisa ikut terseret dalam masalah kami," jawabku sambil tersenyum sedih. "Aku tidak mau kalau sampai terjadi apa-apa pada kalian." Kami kembali terdiam. Layla yang telah selesai mengikat perban pada tanganku naik ke sofa dan duduk di sampingku lalu termenung. Kakek memecahkan keheningan ini dengan bertanya, "Jadi, kapan kalian pergi?" Kuangkat mukaku melihat wajah pria tua itu yang juga menampilkan ekspresi sedih. "Secepatnya, Kek. Mereka pasti sudah mulai curiga karena salah satu rekan mereka menghilang," jawabku sambil menghembuskan napas berat. Jika aku tidak melenyapkannya, mungkin tidak akan ada yang berubah karena bisa saja dia malah memberitahu rekannya tentang keberadaan kami di sini. Kakek menghembuskan napa
Setelah sekitar 3 jam berjalan kaki dan beberapa kali beristirahat, sampailah kami di Kota Boreus. Kota ini tidak seluas Ibu Kota negara, Centralis, tetapi tempat ini tak kalah maju dengan Ibu Kota. Bangunan kaca yang menjulang tinggi ada di mana-mana. "Wah, tidak kusangka kota di wilayah utara juga semaju ini," gumamku kagum melihat pembangunan kota ini. Kupikir karena tempat ini sangat dingin dan jauh dari Ibu Kota, maka tidak banyak yang tinggal di sini atau pembangunannya tidak sebagus wilayah lainnya. "Setuju, aku juga tidak nyangka bakal ada gedung kaca yang tinggi di sini," balas Layla sambil melihat-lihat bangunan-bangunan yang ada di kota ini. Aku mengadah ke atas melihat langit yang sudah berwarna jingga keemasan yang menandakan bahwa senja telah tiba. Sebaiknya kami segera mencari tempat untuk tinggal. "Ayo kita cari penginapan," ajakku sambil menatap lawan bicaraku. Layla menganggukkan kepalanya setuju denganku. Kami bertanya-tanya
Kukeluarkan buku itu dari dalam tasnya. Sampul buku itu berwarna oranye polos. Tidak ada tulisan apa pun pada sampul depan maupun belakangnya. 'Apa ini buku hariannya Layla? Tapi aku tidak pernah melihatnya menulis catatan harian.' "Hei, kenapa lama sekali?" tanyanya yang kedengaran mulai tidak sabaran. Aku membalasnya jika aku masih belum menemukan sabun mukanya. Dia pun memberitahu dimana tepatnya letak sabun mukanya. Kukumbelikan buku itu ke tempat asalnya lalu mencari produk pembersih muka itu. Sebenarnya aku penasaran dengan isi buku oranye miliknya, tetapi kuurungkan niatku karena membaca catatan orang lain tanpa izin itu tidak baik. Setelah kutemukan benda yang dimintanya, aku berjalan ke arah pintu kamar mandi mengantarkan sabun mukanya. Kuketuk papan kayu itu lalu mengatakan, "Sabun mukanya kutaruh di depan pintu, ya." Tiba-tiba terdengar suara kunci diputar dari papan hitam yang berada di depanku. 'Tunggu dulu, masa dia akan membuka pintunya
Ekspresi mukanya yang menahan kesakitan perlahan berubah menjadi lega karena akan segera terbebas dari siksaan api itu. "Terima kasih, Trystan ...," ucapnya berterima kasih kepadaku.Setetes air mata keluar dari mata kanannya lalu jatuh ke kobaran api di bawah dan lenyap tak bersisa. "Semoga di kehidupan selanjutnya ... kita tidak akan bermusuhan lagi." Layla mengucapkan kata-kata terakhirnya sebelum aku mengakhiri hidupnya di tempat dan saat ini juga.Kejadian itu terputar-putar di kepalaku puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali terulang di dalam kepalaku. Ingatan itu masih menghantui pikiranku hingga hanya ingatan itu saja yang menjadi satu-satunya hal yang memenuhi pikiranku.Satu bulan telah berlalu sejak saat itu, aku dapat keluar dari alam bawah sadar Layla dan kembali ke dunia nyata dengan selamat, tanpa luka sedikit pun. Bagiku waktu 1 bulan itu terasa begitu lama seolah-olah terhenti.Aku berdiri di depan makam yang sederhana. Aku berjongkok di dep
"Kamu tidak percaya padaku? Aku janji aku benar-benar akan mengeluarkanmu dari sini kalau waktunya tiba," tanya Layla yang diikuti dengan mengucapkan janji yang tidak kuketahui apakah dia dapat memegang janjinya atau malah mengingkarinya.Saat aku hendak membalas perkataannya, tiba-tiba langit biru berawan yang ada di sekeliling kami berubah menjadi jingga. Langit itu berwarna jingga bukan karena senja telah tiba, melainkan karena kobaran api yang muncul di mana-mana.Tidak hanya langit di sekeliling kami saja yang dilahap oleh api, Layla yang berdiri di hadapanku ikut terbakar. "Kyaaa! Panas!!" Dia langsung menjerit kesakitan ketika kobaran api itu melahap dirinya. Kulihat kulit sekujur tubuhnya mengalami luka bakar yang parah."Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamku yang keheranan. Aku tidak tahu kenapa situasi di alam bawah sadarnya mendadak berubah menjadi seperti neraka. 'Apa ini hukuman dari Dewa atas perbuatan-perbuatan Layla yang tidak manusiawi itu?'
"Sepertinya aku bisa menebak kenapa dulu kamu bilang begitu," ujarku sambil melepaskan pegangan tanganku dari pergelangan tangan Layla.Layla menarik tangan kanannya dan memegangi pergelangan tangannya yang memerah, padahal aku tidak sekuat itu memegang pergelangan tangannya hingga dapat semerah itu.Layla mengangkat kedua alisnya dan menantangku. "Kalau begitu, coba tebak kenapa dulu aku bilang begitu."Bibirku melengkung ke atas mendengar Layla menantangku seperti itu. Aku pun menimpali perkataannya dengan tebakanku yang kuyakin 100% benar."Dulu aku mencintaimu karena kamu mengendalikanku untuk jadi begitu, kan? Makanya semenjak aku sudah berhenti mempercayaimu, aku tidak lagi mempunyai perasaan suka padamu karena aku sudah terlepas dari kendalimu."Layla terdiam mendengar jawabanku. Dia tidak membantah tebakanku. Tampaknya apa yang kutebak itu tepat sasaran, makanya dia tidak dapat menyanggah perkataanku.Aku tersenyum sinis kepada Layla
Layla tersenyum mendengar pertanyaanku. Dia pun menjawab rasa heran dan penasaranku. "Sepertinya kamu lupa kalau kita bisa menggunakan kekuatan kita melewati batas yang seharusnya. Yah, yang pasti bakal ada efek sampingnya." Hampir saja aku lupa dengan hal itu, 'melewati batas', yaitu kemampuan seseorang untuk menggunakan 'Arte'-nya melewati batas tingkat absolutnya. Tentunya akan ada efek samping yang mengikuti setelah digunakannya kemampuan untuk melewati batas itu. Seperti saat aku menggunakan 'Arte'-ku untuk melenyapkan Kapten Giedrius yang tingkat absolutnya berada di atasku, energiku langsung terkuras banyak hingga hampir tidak bersisa. Menggunakan 'Arte' sampai melewati batas dengan berlebihan dapat memberikan efek samping yang fatal, bahkan dapat membuat penggunanya mati. Contohnya, Alcyone, anak perempuannya kakek Fero dan nenek Nevada. "Kenapa kamu sampai melewati batas kekuatanmu? Kamu tahu 'kan risikonya sebesar apa kalau kamu menggunakann
"Sekarang semua orang yang kamu kendalikan sudah mati, kali ini apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku kepada Layla.Layla menyeringai mendengar pertanyaanku. "Semua orang katamu? Kamu salah, Trystan. Mereka bahkan belum mencapai seperempat dari total orang yang sudah kukendalikan," balasnya.Aku terdiam mendengar jika ratusan orang itu tidak sampai seperempat dari keseluruhan orang yang dikendalikannya. Itu berarti, ada ribuan orang yang telah dikendalikan olehnya.'Benar juga, penduduk kota Boreus saja jumlahnya lebih dari 5.000 orang. Jumlah orang yang sudah dikendalikannya lebih banyak dari yang kukira.'Layla beranjak dari tempatnya berdiri. Dia melangkahi tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di atas lantai.Entah apa tujuannya berjalan menghampiriku. Aku menciptakan sepasang pedang yang melayang di sisi kiri dan kananku, bersiaga jika dia akan melakukan sesuatu terhadapku.'Dia tidak akan bisa mengendalikan pikiranku lagi karen
Aku menaikkan salah satu alisku karena heran melihat Layla tiba-tiba tertawa seperti itu. "Apa yang lucu sampai membuatmu tertawa begitu?" tanyaku dengan nada serius.Setelah tertawa dengan nyaring selama beberapa detik, akhirnya tawanya itu reda juga. Dia menyeka air mata yang menggenang pada sudut matanya lalu menjawab pertanyaanku. "Haha, ... itu karena kamu terlalu bodoh sampai-sampai bisa membuatku tertawa begini."Layla mengembalikan ketenangannya dan berhenti tertawa. Dia menatapku dengan instens dan tersenyum menyeringai. "Kamu pikir hanya karena aku bersedia untuk mati di tanganmu berarti aku juga bersedia untuk menyerah dan berhenti mengendalikan mereka?"Bodoh, kamu terlalu naif sampai-sampai kelihatan seperti orang tolol," hina Layla sambil memandang rendah aku.Kepalan tanganku semakin kuat hingga kuku jariku menggali ke dalam kulit telapak tanganku. Tak kurasakan lagi rasa sakit yang menusuk telapak tanganku dan lengan kananku yang terluka.
Rasa sakit pada lengan kananku semakin menusuk-nusuk. Aku mengkesampingkan rasa sakit itu dan memfokuskan perhatianku sepenuhnya pada Aquilo yang berdiri tak jauh di depanku. Dia telah bersiap untuk menyerangku lagi.'Sebisa mungkin aku harus menahan kekuatanku supaya dia tidak sampai terluka parah atau bahkan mati. Membuatnya pingsan sudah cukup.' Aku berpikir keras memikirkan bagaimana aku akan menghentikan dia dengan luka seminim mungkin.Kulihat Aquilo melemparkan serangan jarak jauh ke arahku lagi dan langsung beranjak dari tempatnya dan menerjang ke arahku. Aku melompat mundur untuk menjaga jarakku darinya.Kuciptakan 4 buah anak panah yang terbuat dari kegelapan yang dipadatkan. Salah satu dari keempat anak panah itu terbang ke arah misil 'Arte' yang dilemparkan oleh Aquilo. Kedua serangan jarak jauh itu saling bertubrukan dan menimbulkan ledakan kecil.Satu anak panah lainnya melesat ke arah Aquilo, tetapi dia dapat menghindarinya dengan mudahnya.
Kuhindari serangannya dengan melompat mundur untuk berjaga jarak darinya, mengantisipasi ledakan yang ditimbulkannya. Muncul ledakan yang tidak begitu besar dari tinjuannya yang mengenai udara kosong itu.Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. 'Padahal dia tinggal di Kota Boreus, bagaimana bisa dia ada di Ibu Kota saat ini?'Aquilo kembali menerjang ke arahku dan melayangkan tinjuan lainnya. Aku mengepalkan tangan kiriku dan membalas tinjuannya dengan tinjuku. Kekuatan kami saling beradu dan menimbulkan ledakan yang cukup besar.Sebuah luka goresan muncul pada pipi kanan Aquilo. Efek dari ledakan itu menyebabkan luka kecil pada wajahnya. Cairan merah keluar dari luka itu dan mengalir menuruni lekukan mukanya.Di sisi lain, tidak ada luka baru yang timbul pada diriku karena sedetik sebelum ledakan itu terjadi, aku menciptakan perisai kegelapan untuk melindungi diriku.Kulihat Aquilo hendak menyerangku sekali lagi tanpa memberikan aku wa
"Apa nanti kamu tidak akan menyesal karena sudah membunuhku?" tanya Layla yang kini membuka kedua matanya untuk melihatku.Aku terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan itu. Sebuah senyuman kecil terbentuk pada bibirku."Mungkin iya, mungkin tidak," jawabku dengan tidak pasti. Aku ingin menjawab jika aku tidak akan menyesalinya, tetapi di lubuk hatiku yang terdalam, sepertinya aku akan menyesal.Aku membuka mulutku lagi dan berkata, "Tidak peduli apa aku akan menyesal atau tidak, aku akan tetap membunuhmu untuk mengakhiri perang ini."Mendengar perkataanku, Layla kembali memejamkan kedua matanya dan tersenyum tipis. "Begitu, ya ... oke, kamu bisa membunuhku sekarang," ujarnya yang sudah siap untuk menyerahkan hidupnya padaku.Aku menggenggam erat gagang pedang hitam di tanganku. "Pada akhirnya kisah kita berakhir seperti ini, Layla," gumamku dengan suara kecil. Kuayunkan pedang ini ke kanan untuk memotong lehernya Layla.Sekali lagi sebuah s