Sirene Custodia terdengar dimana-mana, padahal baru beberapa jam berlalu sejak aku dan Layla kabur dari Istana Putih.
"Sepertinya keluar dari Ibu Kota tidak akan semudah yang dipikirkan," gumamku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Saat ini aku dan Layla sedang bersembunyi di gang kecil yang cukup jauh dari istana pemerintahan.
Jalanan di luar sana dilalui oleh kendaraan-kendaraan milik Custodia yang melaju dengan cepat. Mereka mencari-cari kami lewat jalanan besar. Untunglah mereka belum mencari sampai ke jalanan kecil atau gang.
"Tidak ada pilihan lain, ayo kita lewat gang ini saja," ajak Layla yang terdengar terburu-buru. Aku menengok ke kiriku, melihat jalan kecil yang tidak kutahu akan mengarahkan kami kemana.
Kuhembuskan napasku lalu membalasnya. "Ya sudah, ayo." Kami berjalan memasuki jalanan yang hanya selebar 3 meter ini.
Suara sirene terdengar semakin menjauh seiring kami berjalan semakin ke dalam perlintasan sempit ini. Kuharap mereka terus mencari kami di jalan raya, jangan sampai mereka mencari kami di gang-gang kecil seperti ini.
"Ngomong-ngomong, apa yang tadi kamu lakukan kepada Nona Tabella?" tanyaku penasaran.
"Aku menggunakan 'Arte'-ku untuk membuatnya menuruti perintahku," jawab Layla yang berjalan di depanku, dia tidak membalikkan badannya untuk menatap lawan bicaranya.
"Bukannya 'Arte'-mu itu membaca pikiran?" Aku bertanya heran. Selama ini dia hanya pernah membaca pikiran saja. Baru kutahu ternyata dia juga dapat mengendalikan pikiran orang lain.
"Itu termasuk salah satu kekuatanku, sebenarnya 'Arte'-ku adalah manipulasi mental," ungkap Layla sambil tersenyum bangga. 'Benar juga. Tidak mungkin dia termasuk pemilik 'Arte' berisiko tinggi kalau hanya bisa membaca pikiran saja.'
Layla menyesuaikan laju langkahnya agar dapat berjalan beriringan denganku. Kami berjalan tanpa mengatakan apa-apa lagi karena tidak tahu topik apa yang akan dibahas.
Aku memutuskan untuk membuka pembicaraan lagi. "Kemana kita akan pergi setelah keluar dari Ibu Kota?" Kupandang wajah Layla yang berjalan di sisi kiriku.
Dia tampak berpikir dengan keras sebelum menjawab pertanyaanku. "Bagaimana kalau kita ke utara?" usul Layla yang juga menanyakan pendapatku.
'Utara ya, pilihan yang cukup bagus. Wilayah itu selalu bersalju dan jauh dari Ibu Kota sehingga mereka pasti akan kesulitan untuk mengejar kami di sana. Jadi, wilayah utara bisa dibilang sebagai tempat yang bagus untuk bersembunyi.'
"Aku tak masalah. Kemana pun kamu pergi, aku akan tetap mengikutimu," balasku yang setuju dengan usulannya. Layla tersenyum puas mendengar balasanku.
"Sekalipun itu ribuan mil jauhnya?" tanya Layla yang terdengar seperti mengujiku.
"Ya, aku akan tetap mengikutimu," jawabku yakin sambil tersenyum kepadanya. Dia berdehem mendengar jawabanku.
"Biarpun begitu, kamu jangan tetap mengikutiku kalau aku masuk ke jurang," candanya sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa bersama dengan dia.
Mendadak aku merasakan ada beberapa orang yang sedang mengawasi kami. Kuhentikan langkahku membuat Layla ikut menghentikan langkahnya.
"Kenapa?" tanya Layla heran karena aku tiba-tiba menghentikan langkahku. Aku meletakkan jari telunjukku pada bibirku memberi isyarat untuk jangan bersuara. Dia menganggukan kepalanya mengerti.
Aku memperhatikan sekeliling kami. Sunyi, sepi, dan hening. Hanya ada bangunan-bangunan yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri kami. 'Ini buruk, mereka yang posisinya di tempat yang lebih tinggi akan lebih diuntungkan.
'Layla, kita akan berlari dalam hitungan ke-3.' Aku melihat dia menganggukan kepalanya sekali lagi. 'Baguslah. Kalau begitu, aku akan mulai berhitung. Satu, dua, tiga!'
Kami beranjak dari tempat ini, mengambil langkah seribu. Terdengar suara tembakan mengikuti kami dari belakang. Beberapa tembakan meleset nyaris mengenai kepalaku. Nyaris saja aku kehilangan kepalaku.
'Layla, kupikir akan lebih baik kalau kita masuk ke dalam bangunan,' usulku dalam hati karena takut para sniper itu bisa mendengar rencana kami.
Layla menganggukkan kepalanya lalu menggandeng tanganku dan menarikku masuk ke dalam sebuah gedung yang sangat besar di sisi kirinya.
Hiruk-pikuk penuh kehidupan menyeliputi bagian dalam bangunan ini. Orang-orang berkerumun untuk melihat-lihat barang yang dipajang. Sepertinya gedung ini merupakan pusat perbelanjaan.
"Ayo kita ke sana," ajak Layla yang masih menggandeng tangan kiriku lalu menyeretku memasuki suatu tempat.
Pakaian-pakaian modis terpajang rapi dan ada beberapa manekin yang berdiri di etalase. Karyawan toko busana menyambut kami dengan ramah. Sepertinya mereka masih belum tahu jika kami adalah buronan yang sedang dicari-cari oleh Custodia.
"Kamu pilihlah pakaianmu sendiri. Kalau sudah, tunggu saja di dekat kasir. Aku mau pilih pakaianku dulu," perintah Layla sambil menunjuk area pakaian perempuan. Aku mengiyakan perintahnya dan berjalan menuju area pakaian laki-laki.
Kuambil sebuah kaus hitam, jaket denim biru pucat, dan jeans denim biru gelap lalu kubawakan 3 pakaian itu ke kasir untuk membayarnya.
"Totalnya 280 Moneta, ada lagi yang ingin ditambahkan, Tuan?" tanya wanita yang berprofesi sebagai kasir.
Aku melirik ke kananku, melihat beberapa topi baseball terpajang di rak kayu. Kuambil salah satu yang berwarna hitam lalu memberikannya kepada kasir.
"Ditambah topi totalnya menjadi 295," ucap wanita itu. Kukeluarkan sebuah dompet dari saku celanaku dan menyodorkan 3 lembar uang kertas yang masing-masing bertuliskan angka 100 kepadanya.
Wanita itu mengambil uangku dan memasukkannya ke dalam rak meja. Dia mengemas pakaian yang kubeli ke dalam tas kain, tak lupa ia juga mengembalikan 5 Moneta kepadaku.
Masuklah aku ke dalam ruang ganti pria dan mengganti pakaianku. Kumasukkan pakaian lamaku ke dalam tas kain lalu keluar dari ruangan ini.
Aku menunggu Layla di dekat meja kasir sambil melihat-lihat perhiasan yang dipajang di rak kaca. Terdengar suara langkah kaki mendekatiku dari belakang. Aku membalikkan badanku dan melihat sosok yang menghampiriku, Layla.
"Aku tidak membuatmu menunggu lama, kan?" tanyanya sambil tersenyum manis.
"Tidak kok," jawabku singkat. Aku terpukau melihat penampilan Layla yang berubah total.
Dia tampak sangat berbeda dengan pakaian kasual. Baju turtleneck hitam, rok biru gelap bermotif kotak-kotak, cardigan cokelat, dan boots hitam. Topi kupluk krem yang dikenakannya membuatnya tambah imut.
Layla berdehem membuatku tersadar dari lamunanku. Rona merah mulai nampak di pipinya. "Ayo kita pergi dari sini sebelum mereka datang," ajak Layla yang melangkah mendahuluiku.
Kami berjalan menuju pintu keluar, yang jelas bukan dari tempat kami masuk sebelumnya. Sebelum keluar dari gedung ini, kami membuang ponsel dan tanda identitas kami agar tidak dapat dilacak oleh intel Custodia.
Sampailah aku dan Layla di luar pusat perbelanjaan ini. Jalanan besar ada di depan kami. Beberapa mobil taksi terparkir di sisi jalan.
Kami menghampiri salah satu supir taksi yang berdiri di dekat kendaraannya. "Pak, apa kami boleh menumpang taksinya?" tanya Layla kepada pria paruh baya itu.
"Boleh, silakan masuk, Nona, Tuan," jawab pria itu sambil tersenyum bahagia. Tampaknya daritadi dia belum mendapatkan satupun penumpang.
Kami masuk ke dalam sedan kuning ini. Supir taksi mengenakan sabuk pengamannya lalu bertanya kepada kami, "Kemana tujuan kalian?"
"Perbatasan utara," jawab Layla. Supir menganggukan kepalanya dan tidak bertanya lagi. Dia menyalakan mobilnya lalu menginjak pedal gas, mengantar kami ke tempat tujuan.
Dua jam telah berlalu sejak kami berangkat dari pusat perbelanjaan. Perkiraan 1 atau 2 jam lagi untuk sampai di perbatasan utara. Kami hanya duduk diam di dalam mobil sambil mendengarkan radio. Isi dari radio tersebut mulai dipenuhi tentang 2 personel Custodia yang berkhianat, penyerangan terhadap Nona Tabella di Istana Putih, dan sebagainya. Beberapa meter di depan, tampak beberapa orang berdiri di tengah-tengah jalan. Orang-orang itu terlihat lebih jelas saat mobil yang kami tumpangi semakin mendekati mereka. Orang-orang berjas hitam itu melambaikan kedua tangannya, memberi isyarat untuk menghentikan alat transportasi ini. Kecepatan kendaraan beroda empat ini perlahan melambat hingga akhirnya berhenti. Seseorang dari mereka menghampiri sedan kuning ini lalu mengetuk kaca jendela pada pintu supir, memintanya untuk menurunkan kacanya. 'Gawat, apa mereka mau menggeledah taksi ini?' Keringat dingin mulai bercucuran membasahi keningku.
Matahari terbit menyinari permukaan bumi. Pagi-pagi sekali kami membantu nenek membereskan rumahnya. "Bagaimana tidur kalian? Nyenyak?" tanya nenek sambil mengelap meja dengan kain. "Nyenyak, Nek, terima kasih sudah mengizinkan kami menumpang di sini," jawab Layla yang sedang menyapu lantai kayu. "Sama-sama. Kalau kalian masih belum menemukan tempat tinggal, kalian boleh menginap di sini sampai kapanpun," balas wanita renta itu dengan senyuman hangat. 'Baik sekali nenek ini, apa dia seorang malaikat?' Terdengar suara pintu terbuka. Datanglah kakek keluar dari kamarnya sambil membawa sebuah senapan shotgun dan mengenakan pakaian yang berlapis-lapis. "Baguslah kalau kalian sadar diri untuk membantu. Kalau kalian ingin tetap tinggal di sini, kalian harus bekerja membantu kami," tutur kakek dengan nada yang tidak ramah. "Siapa di antara kalian yang bisa bertempur?" tanya pria tua itu sambil menenteng senapan di bahunya. Aku mengang
Kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Layla dan nenek sedang memasak di tungku untuk makan siang nanti, kakek membaca koran di kursi dekat perapian, dan aku hanya duduk bengong di sofa. Kualihkan padanganku ke sisi kiri. Aku baru sadar ada beberapa benda yang digantung pada dinding di sana. Penasaran dan ingin melihat dari dekat, aku bangkit dari dudukku lalu berjalan ke arah dinding itu. Ada sebuah jam dinding berdiameter sejengkal telapak tangan dan 10 bingkai foto beraneka bentuk terpajang di dinding. Kulihat-lihat setiap potret itu. Semua fotonya berwarna hitam-putih sedikit kekuningan. Gambar-gambar yang dijepret memperlihatkan waktu mereka masih muda, mungkin saat mereka berusia 30 tahun. Mataku tertuju pada sebuah foto yang berisikan 3 figur di dalamnya. Dua orang dewasa yang kuyakini ialah pasangan tua itu dan seorang anak perempuan yang berusia sekitar 10 tahun. 'Apa dia anaknya nenek dan kakek?' "Oh, itu Alcyone, anak perempuan kami satu
Beberapa hari telah berlalu sejak kami tinggal di perbatasan utara. Belum 1 orang pun datang dari Custodia untuk mencari kami di sini. Mungkin orang-orang yang tinggal di kampung ini belum melaporkan kami kepada mereka. "Selamat pagi, Trystan. Kamu mau pergi berburu lagi?" sapa seorang pria paruh baya yang sedang membersihkan tumpukan salju di jalanan. "Pagi juga, Pak Alban. Saya mau berburu hewan lagi karena stok makanan di rumah keluarga Nivalis sudah hampir habis," jawabku kepada orang yang tinggal di seberang rumah nenek dan kakek. "Oh begitu, hati-hati, ya. Kudengar belakangan ini ada monster salju yang berkeliaran di hutan." Pria itu memperingatiku, kuanggukan kepalaku dan berterima kasih kepadanya karena sudah memberitahuku. Aku berjalan memutari rumah ini menuju hutan di belakangnya. Kulihat beberapa anak kecil sedang bermain di belakang rumah mereka. Bocah-bocah itu saling melempari bola salju. Senyuman lebar menghiasi wajah mereka se
"Seharusnya kalian tidak tinggal di sini," ucap anggota Fylax yang berdiri di depanku. Hawa dingin yang terpancar dari tubuhnya menusuk tulangku meskipun aku telah mengenakan pakaian tebal. "Memangnya kenapa kalau kami tinggal di kampung ini?" tanyaku heran sambil memperhatikan setiap gerak geriknya. "Sebenarnya aku tak masalah kalau kalian tinggal di kampung ini, tapi dari sekian banyaknya rumah yang ada, kalian malah tinggal di rumah keluarga 'Nivalis'," balasnya dengan penekanan pada kata terakhir yang diucapkannya. 'Keluarga Nivalis? Bukannya itu nama keluarganya kakek? Bagaimana bisa dia mengenal mereka?' Tanpa aba-aba tangan kanannya langsung mencengkeram leherku dengan kuat. Kristal es mulai bermunculan di permukaan kulitku. Sontak aku menyerangnya dengan bayanganku. Dia melepaskan cekikkannya lalu menghindari seranganku. Aku terbatuk-batuk dan menggosok-gosok leherku untuk menghilangkan kristal es yang menegeras di permukaan kulit lehe
"Tidak bisakah kalian tinggal di sini lebih lama lagi? Padahal Nenek sudah menganggap kalian seperti cucu Nenek sendiri," tanya wanita tua itu dengan raut wajah sedih. "Kalau kami tetap tinggal bersama Nenek dan Kakek, nanti kalian bisa ikut terseret dalam masalah kami," jawabku sambil tersenyum sedih. "Aku tidak mau kalau sampai terjadi apa-apa pada kalian." Kami kembali terdiam. Layla yang telah selesai mengikat perban pada tanganku naik ke sofa dan duduk di sampingku lalu termenung. Kakek memecahkan keheningan ini dengan bertanya, "Jadi, kapan kalian pergi?" Kuangkat mukaku melihat wajah pria tua itu yang juga menampilkan ekspresi sedih. "Secepatnya, Kek. Mereka pasti sudah mulai curiga karena salah satu rekan mereka menghilang," jawabku sambil menghembuskan napas berat. Jika aku tidak melenyapkannya, mungkin tidak akan ada yang berubah karena bisa saja dia malah memberitahu rekannya tentang keberadaan kami di sini. Kakek menghembuskan napa
Setelah sekitar 3 jam berjalan kaki dan beberapa kali beristirahat, sampailah kami di Kota Boreus. Kota ini tidak seluas Ibu Kota negara, Centralis, tetapi tempat ini tak kalah maju dengan Ibu Kota. Bangunan kaca yang menjulang tinggi ada di mana-mana. "Wah, tidak kusangka kota di wilayah utara juga semaju ini," gumamku kagum melihat pembangunan kota ini. Kupikir karena tempat ini sangat dingin dan jauh dari Ibu Kota, maka tidak banyak yang tinggal di sini atau pembangunannya tidak sebagus wilayah lainnya. "Setuju, aku juga tidak nyangka bakal ada gedung kaca yang tinggi di sini," balas Layla sambil melihat-lihat bangunan-bangunan yang ada di kota ini. Aku mengadah ke atas melihat langit yang sudah berwarna jingga keemasan yang menandakan bahwa senja telah tiba. Sebaiknya kami segera mencari tempat untuk tinggal. "Ayo kita cari penginapan," ajakku sambil menatap lawan bicaraku. Layla menganggukkan kepalanya setuju denganku. Kami bertanya-tanya
Kukeluarkan buku itu dari dalam tasnya. Sampul buku itu berwarna oranye polos. Tidak ada tulisan apa pun pada sampul depan maupun belakangnya. 'Apa ini buku hariannya Layla? Tapi aku tidak pernah melihatnya menulis catatan harian.' "Hei, kenapa lama sekali?" tanyanya yang kedengaran mulai tidak sabaran. Aku membalasnya jika aku masih belum menemukan sabun mukanya. Dia pun memberitahu dimana tepatnya letak sabun mukanya. Kukumbelikan buku itu ke tempat asalnya lalu mencari produk pembersih muka itu. Sebenarnya aku penasaran dengan isi buku oranye miliknya, tetapi kuurungkan niatku karena membaca catatan orang lain tanpa izin itu tidak baik. Setelah kutemukan benda yang dimintanya, aku berjalan ke arah pintu kamar mandi mengantarkan sabun mukanya. Kuketuk papan kayu itu lalu mengatakan, "Sabun mukanya kutaruh di depan pintu, ya." Tiba-tiba terdengar suara kunci diputar dari papan hitam yang berada di depanku. 'Tunggu dulu, masa dia akan membuka pintunya