"Seharusnya kalian tidak tinggal di sini," ucap anggota Fylax yang berdiri di depanku. Hawa dingin yang terpancar dari tubuhnya menusuk tulangku meskipun aku telah mengenakan pakaian tebal.
"Memangnya kenapa kalau kami tinggal di kampung ini?" tanyaku heran sambil memperhatikan setiap gerak geriknya.
"Sebenarnya aku tak masalah kalau kalian tinggal di kampung ini, tapi dari sekian banyaknya rumah yang ada, kalian malah tinggal di rumah keluarga 'Nivalis'," balasnya dengan penekanan pada kata terakhir yang diucapkannya.
'Keluarga Nivalis? Bukannya itu nama keluarganya kakek? Bagaimana bisa dia mengenal mereka?'
Tanpa aba-aba tangan kanannya langsung mencengkeram leherku dengan kuat. Kristal es mulai bermunculan di permukaan kulitku. Sontak aku menyerangnya dengan bayanganku.
Dia melepaskan cekikkannya lalu menghindari seranganku. Aku terbatuk-batuk dan menggosok-gosok leherku untuk menghilangkan kristal es yang menegeras di permukaan kulit lehe
"Tidak bisakah kalian tinggal di sini lebih lama lagi? Padahal Nenek sudah menganggap kalian seperti cucu Nenek sendiri," tanya wanita tua itu dengan raut wajah sedih. "Kalau kami tetap tinggal bersama Nenek dan Kakek, nanti kalian bisa ikut terseret dalam masalah kami," jawabku sambil tersenyum sedih. "Aku tidak mau kalau sampai terjadi apa-apa pada kalian." Kami kembali terdiam. Layla yang telah selesai mengikat perban pada tanganku naik ke sofa dan duduk di sampingku lalu termenung. Kakek memecahkan keheningan ini dengan bertanya, "Jadi, kapan kalian pergi?" Kuangkat mukaku melihat wajah pria tua itu yang juga menampilkan ekspresi sedih. "Secepatnya, Kek. Mereka pasti sudah mulai curiga karena salah satu rekan mereka menghilang," jawabku sambil menghembuskan napas berat. Jika aku tidak melenyapkannya, mungkin tidak akan ada yang berubah karena bisa saja dia malah memberitahu rekannya tentang keberadaan kami di sini. Kakek menghembuskan napa
Setelah sekitar 3 jam berjalan kaki dan beberapa kali beristirahat, sampailah kami di Kota Boreus. Kota ini tidak seluas Ibu Kota negara, Centralis, tetapi tempat ini tak kalah maju dengan Ibu Kota. Bangunan kaca yang menjulang tinggi ada di mana-mana. "Wah, tidak kusangka kota di wilayah utara juga semaju ini," gumamku kagum melihat pembangunan kota ini. Kupikir karena tempat ini sangat dingin dan jauh dari Ibu Kota, maka tidak banyak yang tinggal di sini atau pembangunannya tidak sebagus wilayah lainnya. "Setuju, aku juga tidak nyangka bakal ada gedung kaca yang tinggi di sini," balas Layla sambil melihat-lihat bangunan-bangunan yang ada di kota ini. Aku mengadah ke atas melihat langit yang sudah berwarna jingga keemasan yang menandakan bahwa senja telah tiba. Sebaiknya kami segera mencari tempat untuk tinggal. "Ayo kita cari penginapan," ajakku sambil menatap lawan bicaraku. Layla menganggukkan kepalanya setuju denganku. Kami bertanya-tanya
Kukeluarkan buku itu dari dalam tasnya. Sampul buku itu berwarna oranye polos. Tidak ada tulisan apa pun pada sampul depan maupun belakangnya. 'Apa ini buku hariannya Layla? Tapi aku tidak pernah melihatnya menulis catatan harian.' "Hei, kenapa lama sekali?" tanyanya yang kedengaran mulai tidak sabaran. Aku membalasnya jika aku masih belum menemukan sabun mukanya. Dia pun memberitahu dimana tepatnya letak sabun mukanya. Kukumbelikan buku itu ke tempat asalnya lalu mencari produk pembersih muka itu. Sebenarnya aku penasaran dengan isi buku oranye miliknya, tetapi kuurungkan niatku karena membaca catatan orang lain tanpa izin itu tidak baik. Setelah kutemukan benda yang dimintanya, aku berjalan ke arah pintu kamar mandi mengantarkan sabun mukanya. Kuketuk papan kayu itu lalu mengatakan, "Sabun mukanya kutaruh di depan pintu, ya." Tiba-tiba terdengar suara kunci diputar dari papan hitam yang berada di depanku. 'Tunggu dulu, masa dia akan membuka pintunya
Cahaya matahari menyeruak masuk melalui jendela, menyinari seisi ruangan seluas 16 meter. Aku dan Layla sibuk mengemasi barang bawaan kami karena akan check out dari hotel 3 jam lagi. "Bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak?" tanya Layla sambil menopang dagunya dengan telapak tangannya. "Nyenyak," jawabku singkat sambil menganggukkan kepalaku. Dia ber oh ria menanggapi jawabanku. Jujur saja, sebenarnya kemarin malam aku kesulitan untuk tidur. Aku terjaga sampai tengah malam hingga akhirnya rasa kantuk mengambil alih diriku dan membuatku ketiduran. "Jadi, kemana kita akan pergi setelah check out dari hotel?" tanyaku tanpa melihat lawan bicaraku. Layla terdiam sejenak memikirkan jawabannya. "Hmm, mencari tempat tinggal yang biaya sewanya tidak terlalu mahal lalu mencari pekerjaan," jawabnya setelah mempertimbangkan rencana kami selanjutnya. "Oh, tapi sepertinya akan sulit mencari tempat tinggal dan pekerjaan tanpa kartu identitas," gumamku s
Tampak seorang pria yang mengenakan mantel tebal berwarna abu-abu terang sedang membentak seorang perempuan muda yang mengenakan jaket tebal berwarna merah. Orang-orang di sekitar mereka hanya menonton saja, bahkan ada yang merekam pertengkaran itu dengan telepon pintarnya. Bukannya melerai mereka, malah menikmati situasi yang tidak mengenakan itu. "Makanya kalau jalan pakai mata! Lihat, mantelku jadi kotor karena ketumpahan kopi!" bentak pria itu sambil menunjuk noda cokelat tua yang menempel pada pakaian luarnya. "Jalan itu pakai kaki, bukan pakai mata," balas perempuan itu dengan beraninya. Tak kusangka dia akan membalas bentakan pria itu dengan sindiran, kupikir dia akan menciut mendengar pria itu meninggikan suaranya. "Dasar kamu ...!" Pria yang jauh lebih tinggi daripada dia mengangkat tangannya kepada lawan bicaranya. Tangannya melesat dengan cepat ke muka wanita muda itu. Dia memejamkan matanya takut akan tamparan yang akan mengenai pipinya.
Wanita gemuk yang dipanggil sebagai bu Luna yang tadinya sedang menonton TV langsung memalingkan mukanya ke arah kami. Dia tampak bersemangat mendengar ada orang yang ingin menyewa kamar indekosnya. "Wah, kerja bagus, Nephele! Apa kedua orang yang datang bersamamu adalah calon penghuni baru di sini?" tanya wanita yang kelihatannya seperti berumur 40 tahun. "Benar, Bu," jawab perempuan muda itu yang ternyata bernama Nephele. Sebelum sampai di sini, dia tidak memperkenalkan dirinya sehingga aku baru saja mengetahui namanya. Pemilik indekos memandang aku lalu Layla secara bergantian sebelum bertanya, "Apa kalian pasangan suami istri? Saya masih memiliki kamar untuk berdua di lantai ini." Wajahku memerah mendengarnya mengira bahwa kami adalah pasangan suami istri, padahal bukan. Baru saja aku ingin mengatakan jika hubungan kami tidak seperti yang dia kira, Layla lebih dulu membenarkan perkataan ibu indekos. "Iya, kami sepasang suami istri," ucapnya sambil
Bunyi flush toilet terdengar dan keluarlah Layla dari dalam kamar mandi. Kini ekspresi wajahnya tidak masam seperti sebelumnya. "Kenapa menatapku begitu?" tanyanya heran menyadari aku yang menatapnya terang-terangan. "Tidak apa-apa," jawabku singkat lalu mengalihkan mukaku darinya dan menatap plafon putih di atas. 'Sepertinya aku kebanyakan pikiran karena mimpi tadi.' Bunyi langkah kaki terdengar berjalan mendekat ke arahku. Kumiringkan kepalaku ke kanan dan melihat Layla yang berdiri di samping ranjang sedang menatapku. "Mimpi apa?" tanyanya dengan penasaran. Aku terdiam sejenak dan menggigit bibirku sebelum menjawab pertanyaannya. "Aku mimpi kamu meninggalkanku ...," jawabku dengan nada lirih. Matanya terbelalak kaget mendengar apa yang kumimpikan. Selang beberapa detik, manik biru pucatnya menatapku dengan lembut. "Aku tidak akan meninggalkanmu," ucapnya yang meyakinkanku. Kuangkat tangan kananku. Jari-jari tanganku
Mangkuk keramik putih yang sebelumnya berisikan sup kentang-wortel telah kosong. Kami berbincang dan bergurau sambil makan sehingga tak terasa masakan berkuah yang tadi mengisinya telah habis disantap olehku. "Lagi pula, untuk apa memotong wortel dan kentangnya rapi-rapi kalau nanti malah diblender setelah direbus?" protes Layla yang duduk di meja. Perbincangan kami mengenai proses memasak hidangan makan siang tadi masih belum berakhir. "Tidak enak dilihat kalau potongannya berantakan seperti itu," balasku menanggapi gerutuannya. Aku berdiri dari dudukku lalu melangkah ke arahnya. "Huft, dasar perfeksionis," ucapnya sambil mendengus kesal. Aku terkekeh mendengarnya mengataiku dengan sebutan itu. "Ya, aku memang perfeksionis. Ada masalah dengan itu?" Aku mengambil salah satu gelas yang masih terisi penuh dari atas meja lalu meneguknya. "Tidak ada masalah, Tuan Perfeksionis," cibirnya dengan kesal lalu memalingkan mukanya ke kiri. Tingkahnya yan