Cahaya matahari menyeruak masuk melalui jendela, menyinari seisi ruangan seluas 16 meter. Aku dan Layla sibuk mengemasi barang bawaan kami karena akan check out dari hotel 3 jam lagi.
"Bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak?" tanya Layla sambil menopang dagunya dengan telapak tangannya.
"Nyenyak," jawabku singkat sambil menganggukkan kepalaku. Dia ber oh ria menanggapi jawabanku.
Jujur saja, sebenarnya kemarin malam aku kesulitan untuk tidur. Aku terjaga sampai tengah malam hingga akhirnya rasa kantuk mengambil alih diriku dan membuatku ketiduran.
"Jadi, kemana kita akan pergi setelah check out dari hotel?" tanyaku tanpa melihat lawan bicaraku. Layla terdiam sejenak memikirkan jawabannya.
"Hmm, mencari tempat tinggal yang biaya sewanya tidak terlalu mahal lalu mencari pekerjaan," jawabnya setelah mempertimbangkan rencana kami selanjutnya.
"Oh, tapi sepertinya akan sulit mencari tempat tinggal dan pekerjaan tanpa kartu identitas," gumamku s
Tampak seorang pria yang mengenakan mantel tebal berwarna abu-abu terang sedang membentak seorang perempuan muda yang mengenakan jaket tebal berwarna merah. Orang-orang di sekitar mereka hanya menonton saja, bahkan ada yang merekam pertengkaran itu dengan telepon pintarnya. Bukannya melerai mereka, malah menikmati situasi yang tidak mengenakan itu. "Makanya kalau jalan pakai mata! Lihat, mantelku jadi kotor karena ketumpahan kopi!" bentak pria itu sambil menunjuk noda cokelat tua yang menempel pada pakaian luarnya. "Jalan itu pakai kaki, bukan pakai mata," balas perempuan itu dengan beraninya. Tak kusangka dia akan membalas bentakan pria itu dengan sindiran, kupikir dia akan menciut mendengar pria itu meninggikan suaranya. "Dasar kamu ...!" Pria yang jauh lebih tinggi daripada dia mengangkat tangannya kepada lawan bicaranya. Tangannya melesat dengan cepat ke muka wanita muda itu. Dia memejamkan matanya takut akan tamparan yang akan mengenai pipinya.
Wanita gemuk yang dipanggil sebagai bu Luna yang tadinya sedang menonton TV langsung memalingkan mukanya ke arah kami. Dia tampak bersemangat mendengar ada orang yang ingin menyewa kamar indekosnya. "Wah, kerja bagus, Nephele! Apa kedua orang yang datang bersamamu adalah calon penghuni baru di sini?" tanya wanita yang kelihatannya seperti berumur 40 tahun. "Benar, Bu," jawab perempuan muda itu yang ternyata bernama Nephele. Sebelum sampai di sini, dia tidak memperkenalkan dirinya sehingga aku baru saja mengetahui namanya. Pemilik indekos memandang aku lalu Layla secara bergantian sebelum bertanya, "Apa kalian pasangan suami istri? Saya masih memiliki kamar untuk berdua di lantai ini." Wajahku memerah mendengarnya mengira bahwa kami adalah pasangan suami istri, padahal bukan. Baru saja aku ingin mengatakan jika hubungan kami tidak seperti yang dia kira, Layla lebih dulu membenarkan perkataan ibu indekos. "Iya, kami sepasang suami istri," ucapnya sambil
Bunyi flush toilet terdengar dan keluarlah Layla dari dalam kamar mandi. Kini ekspresi wajahnya tidak masam seperti sebelumnya. "Kenapa menatapku begitu?" tanyanya heran menyadari aku yang menatapnya terang-terangan. "Tidak apa-apa," jawabku singkat lalu mengalihkan mukaku darinya dan menatap plafon putih di atas. 'Sepertinya aku kebanyakan pikiran karena mimpi tadi.' Bunyi langkah kaki terdengar berjalan mendekat ke arahku. Kumiringkan kepalaku ke kanan dan melihat Layla yang berdiri di samping ranjang sedang menatapku. "Mimpi apa?" tanyanya dengan penasaran. Aku terdiam sejenak dan menggigit bibirku sebelum menjawab pertanyaannya. "Aku mimpi kamu meninggalkanku ...," jawabku dengan nada lirih. Matanya terbelalak kaget mendengar apa yang kumimpikan. Selang beberapa detik, manik biru pucatnya menatapku dengan lembut. "Aku tidak akan meninggalkanmu," ucapnya yang meyakinkanku. Kuangkat tangan kananku. Jari-jari tanganku
Mangkuk keramik putih yang sebelumnya berisikan sup kentang-wortel telah kosong. Kami berbincang dan bergurau sambil makan sehingga tak terasa masakan berkuah yang tadi mengisinya telah habis disantap olehku. "Lagi pula, untuk apa memotong wortel dan kentangnya rapi-rapi kalau nanti malah diblender setelah direbus?" protes Layla yang duduk di meja. Perbincangan kami mengenai proses memasak hidangan makan siang tadi masih belum berakhir. "Tidak enak dilihat kalau potongannya berantakan seperti itu," balasku menanggapi gerutuannya. Aku berdiri dari dudukku lalu melangkah ke arahnya. "Huft, dasar perfeksionis," ucapnya sambil mendengus kesal. Aku terkekeh mendengarnya mengataiku dengan sebutan itu. "Ya, aku memang perfeksionis. Ada masalah dengan itu?" Aku mengambil salah satu gelas yang masih terisi penuh dari atas meja lalu meneguknya. "Tidak ada masalah, Tuan Perfeksionis," cibirnya dengan kesal lalu memalingkan mukanya ke kiri. Tingkahnya yan
Sebuah mobil sedan kuning berhenti di depan bangunan bertingkat 3 yang memiliki banyak jendela pada setiap lantainya. Aku membayar biaya taksi terlebih dahulu sebelum turun dari angkutan umum ini. "Akhirnya sampai juga di indekos," gumamku sambil menghela napas lelah. Sebuah senyuman lebar mulai terbentuk di wajahku. Aku tidak sabar untuk memberi tahu Layla berapa banyak uang yang kudapat dari penjualan bangkai monster itu. 'Kira-kira, bagaimana reaksinya nanti? Kaget? Kagum? Aku tidak sabar untuk melihatnya.' Kuayunkan kakiku berjalan ke arah pintu masuk. Seseorang menyambutku yang baru saja pulang dari tempat yang dipenuhi oleh bau alkohol tadi. Orang yang menyambutku bukanlah Layla, tetapi bu Luna, si pemilik indekos. "Akhirnya kamu pulang juga, Orpheus. Saya pikir kamu tersesat karena tak kunjung pulang," sambut wanita gemuk itu. Terdapat sedikit kekhawatiran pada suaranya yang datar itu. Kulirik jam dinding yang menggantung tak jauh di de
Cahaya yang sangat terang membuatku terpaksa terbangun dari tidur dan membuka kedua mataku. Sinar matahari pagi menerobos masuk melewati jendela kamar dan langsung mengenai mukaku. "Ugh, silau ...." Mataku menyipit akibat cahaya yang berasal dari luar itu. Kupalingkan mukaku dari cahaya yang menyilaukan itu sambil mengedipkan mata berkali-kali. Setelah indera penglihatanku mulai terbiasa akan terangnya ruangan ini, aku dapat melihat seisi kamar tidurku dengan jelas. Ruang tidur berukuran 4×5 meter yang bernuansa putih-hitam. Tidak ada yang berubah dari ruangan ini sejak kemarin. Kualihkan pandanganku ke samping kiriku. Ranjang yang cukup luas ini terasa kosong tanpa kehadiran seseorang. Tangan kiriku meraba permukaan seprai putih yang dingin. "Sepertinya dia tidak kembali ke sini ...," lirihku dengan suara serak. Aku mendorong tubuhku dengan kedua tanganku untuk mengubah posisiku dari baring menjadi duduk, tetapi tanganku begitu lemah sehingga
Seharian ini, aku hanya mengurung diri di kamar tidur. Aku mengurung diri bukan karena gelisah akan lanjut atau udahan dengan masalah yang kuhadapi kali ini; mencari atau membiarkan Layla menghilang dari sisiku. Bunyi bernada tinggi terdengar. Termometer yang dihimpit di bawah ketiakku mengeluarkan bunyi menandakan bahwa suhu tubuhku telah diukur. Kutarik alat pengukur suhu itu dan melihat hasilnya. "Tiga puluh delapan koma dua, huh." Inilah alasan kenapa aku mengurung diri di kamar, yaitu karena sakit demam. Suhu kali ini lebih rendah daripada siang tadi yang bersuhu 39°C. Aku menghela napas panjang. Sepertinya hari ini aku harus berdiam di dalam indekos dulu. Jika aku memaksa keluar dengan keadaan seperti ini dan sakitku bertambah parah, itu hanya akan semakin merepotkanku saja. Aku memutuskan untuk keluar dari kamarku untuk menonton TV di ruang keluarga karena suntuk. Kuambil syal abu-abu gelap lalu melingkarkannya pada leherku dan seperti biasa, k
Tiga hari telah berlalu sejak kepergian Layla dan empat hari sebelum festival berburu dimulai. Hari ini, aku datang ke gimnasium untuk melatih kekuatanku karena sudah lama tidak bertarung. Gimnasium Boreus adalah sebuah fasilitas pelatihan fisik dan 'Arte' yang berada di pusat kota Boreus. Butuh waktu setengah jam untuk sampai ke tempat ini dengan menaiki taksi. Biaya untuk masuk ke dalam juga tak kalah mahal. Bangunan yang sangat besar ini dibagi menjadi dua bagian, satu dikhususkan untuk aktivitas fisik sedangkan yang satunya lagi khusus untuk pelatihan 'Arte.' Aku berada di dalam gedung khusus pelatihan 'Arte'. Ruangan di dalamnya sangatlah luas. Seluruh bangunan ini dilengkapi dengan sihir pelindung agar gedung ini tidak runtuh akibat penggunaan 'Arte' dan sihir di dalamnya. Katanya, lapisan sihir itu mampu menahan kekuatan dengan tingkat absolut 9, tingkatan tertinggi yang hanya dimiliki oleh dua orang di dunia saat ini, yaitu Kapten Giedrius dan