Ruangan serba putih yang sangat familier. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja bundar. Tiga orang dewasa yang adalah dewan eksekutif atau yang biasa disebut sebagai Treis duduk di meja itu. Suara argumen mereka menggema ke seluruh penjuru ruangan.
"Kalian sudah lihat betapa berbahayanya 'anak itu', kan? Lebih baik 'dia' segera dieksekusi!" tuntut wanita berambut ungu magenta dan mengenakan gaun maxi navy.
"Tidak! 'Dia' hanyalah anak kecil! 'Dia' pasti dapat mengendalikan 'Arte'-nya dengan bijak saat sudah besar nanti!" sanggah pria berambut merah jambu dan mengenakan mantel lab putih.
"Saya setuju dengan pendapat Prof. Horatius. 'Anak itu' menggunakan kekuatannya karena dipaksa, bukan atas keinginannya sendiri. 'Dia' hanya anak malang yang dimanfaatkan oleh orang dewasa untuk keuntungan mereka," tutur pria berambut biru malam dan mengenakan jas hitam.
Mereka terus berdebat sambil menunjuk-nunjukkan jarinya kepada bocah laki-laki berambut hijau gelap dan mengenakan baju kaus putih. Dia hanya bisa berdiri diam menyaksikan perdebatan mereka. Anak itu adalah diriku saat berusia 8 tahun.
Kenangan 13 tahun yang lalu itu terasa seperti baru kemarin saja. Tak kusangka aku masih dapat melihat dunia ini setelah berada dalam posisi itu, dimana ada salah satu anggota Treis yang menginginkanku mati.
"Trystan, kenapa diam saja?" tanya pria berambut biru malam berjas hitam yang berdiri di sampingku. Dia adalah Kapten Giedrius Svino Exaleifo, salah satu sosok yang ada di dalam memori itu.
"Saya hanya teringat masa lalu." Aku membuka kunci pintu di depanku. Tampak belasan anak tangga mengarah ke bawah. Ujung tangga itu tidak terlihat karena minimnya pencahayaan.
Kami berjalan menuruni anak-anak tangga itu. Obor-obor yang menempel di dinding batu menyala dengan sendirinya, menerangi tempat ini.
Di ujung tangga ada sebuah pintu dengan sihir yang menyegelnya. Kapten Giedrius, orang yang datang bersamaku mengangkat tangannya. Dia menyentuh sihir itu dengan ujung jarinya, seketika sihir itu lenyap.
Papan besi di hadapan kami terbuka lebar. Suara deritan pintu metal itu memekikkan telinga. Tampak ruangan yang sangat luas di baliknya. Kami melangkah memasuki ruangan itu.
Di ujung ruangan ini ada sebuah kursi, seorang pria berambut merah maroon duduk terbelenggu di kursi itu.
Pria itu menyadari kehadiran kami dan mengangkat mukanya walau dia tidak dapat melihat kami karena matanya ditutupi dengan kain hitam. Dia bertanya, "Siapa di sana?"
"Kapten Custodia dan eksekutor," jawab Kapten yang berdiri di sampingku, ia adalah seorang kapten atau pemimpin dari Custodia, sebuah badan yang dibentuk untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan menegakkan hukum di negara.
"Kalau eksekutor sudah datang, berarti sudah saatnya aku dieksekusi, ya? Ternyata 3 hari terasa sangat singkat." Pria itu tertawa getir mengetahui hidupnya akan segera berakhir.
Kapten memberi sinyal kepadaku dengan menganggukan kepalanya, kubalas dia dengan sinyal serupa. Aku melangkah mendekati pria yang dibelenggu di kursi itu. Kuhentikan langkahku saat jarak antar aku dengan dia sejauh 2 meter.
"Morpheus Quies Somnium, dengan ini engkau akan dieksekusi atas kejahatan yang telah engkau perbuat, pencurian dokumen rahasia, penyusupan, dan pembunuhan terhadap personel Custodia." Aku menyebutkan kejahatan apa saja yang telah dilakukannya.
Kuangkat tangan kananku ke atas menciptakan bayangan hitam yang sangat besar. Lalu kuayunkan tanganku ke arah orang yang akan dieksekusi itu. Bayangan hitam yang kuciptakan langsung menyambarnya. Pria itu lenyap bersama bayangan hitamku.
Kapten bergidik ngeri. "Saya tetap merasa takut walaupun sudah beberapa kali saya melihat 'Arte' milikmu." Aku terdiam saja sambil menatap tanganku. 'Arte' ini memang mengerikan, bahkan aku pun takut terhadap kekuatanku sendiri, kegelapan yang dapat melahap apa saja.
Kapten membalikkan badannya lalu berjalan menuju pintu keluar. "Ayo keluar. Tugas kita sudah selesai," ajaknya tanpa menoleh ke belakang. Kuikuti dia melangkah keluar meninggalkan ruangan ini.
Walaupun dibiarkan hidup sampai sekarang, hidupku ini tidak jauh berbeda dari sebuah boneka pembunuh. Boneka yang dikendalikan oleh Treis untuk mengeksekusi kriminal terpidana hukuman mati dan juga orang-orang yang memiliki 'Arte' berisiko tinggi sepertiku.
'Kapan aku bisa lepas dari tali kendali ini?' Pertanyaan itu muncul di benakku.
Aku pun berpisah jalan dengan Kapten, dia akan kembali ke kantornya sedangkan aku akan kembali ke kamar asrama.
Saat dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku mendengar sesuatu yang mencurigakan dari ruang referensi, ruangan yang menyimpan berkas kasus dan dokumen penting milik Custodia.
"Dokumen itu seharusnya ada di sekitar sini."
"Cepatlah, nanti ada yang curiga kalau tahu pintu ini terkunci dari dalam."
'Terkunci dari dalam? Selain itu, barusan dia bilang 'dokumen itu'? Jangan-jangan mereka adalah komplotan dari penyusup yang baru saja kueksekusi?'
"Sepertinya aku bakal lama mencarinya. Kamu pergilah berjaga di luar."
"Oke."
'Uh, oh, dia bakal keluar.' Aku celingak-celinguk mencari tempat untuk bersembunyi, 'Sial, hanya ada pot bunga di tempat ini, masa aku harus bersembunyi di balik pot bunga?'
Suara kunci diputar terdengar. Pintu dibuka dari dalam. Keluarlah seorang wanita berambut hitam dan mengenakan jas hitam ala personel Custodia.
Tidak tahu ada orang yang berdiri tepat di depan pintu, dia menabrak dada bidangku hingga terpental dan jatuh terduduk di lantai.
"Ah, maaf, kamu tidak apa-apa?" ucapku sambil mengulurkan tanganku kepadanya.
"Tidak apa-apa, aku yang salah, maaf." Dia meraih tanganku, kutarik dia untuk membantunya berdiri.
"Sykurlah kalau kamu tak apa-apa. Kalau begitu, aku masuk duluan, ya?" ujarku. Dia menyingkir dari depan pintu dan memberikanku jalan untuk masuk. Kulihat rekannya yang berambut cokelat sedang mencari-cari dokumen di rak besi.
Tiba-tiba sebuah benda tumpul menghantam bagian belakang kepalaku dengan keras. Tubuhku langsung ambruk ke permukaan lantai.
"Sepertinya aku tidak pernah melihat orang ini di daftar personel Custodia. Kita apakan dia?" tanya pelaku yang menghantam kepalaku kemudian menyeret badanku masuk ke dalam kemudian menutup pintu.
"Justru semakin mencurigakan kalau dia tidak terdaftar di data yang kita dapatkan. Lebih baik kita habisi saja dia," saran rekannya.
"Menghabisiku? Coba saja kalau bisa," tantangku yang masih mempertahankan kesadaranku. Mereka tersentak kaget mengetahui aku masih sadarkan diri. Aku menopang tubuhku dengan kedua tanganku, berusaha untuk bangkit berdiri.
"Baru pertama kali aku llihat ada orang yang menyebalkan sepertimu," gumam wanita berambut hitam itu. "Begitu sadar bukannya kabur, malah melunjak. Kamu mau mati, ya?!"
"Daritadi aku sudah menahan diri setelah kamu menghantam kepalaku dan sekarang kamu mengancamku? Jangan menantang kesabaranku," geramku yang mulai kehabisan kesabaran. Bayangan hitam meluap keluar dari tubuhku.
Wanita berambut cokelat itu tersentak melihat 'Arte' milikku. Dia memperingati temannya. "Marina! Kurasa lebih baik kita kabur saja! Firasatku mengatakan kalau orang itu berbahaya!"
Aku menyeringai dan langsung menerjang ke arah wanita berambut cokelat itu. Dia terkesiap melihatku yang sudah berada tepat di depannya.
Saat aku hendak menyerangnya, tiba-tiba seisi ruangan ini dipenuhi oleh air. Akibatnya, aku tidak dapat bergerak dengan leluasa dan juga tidak dapat bernapas.
Perempuan yang ingin kuserang tadi memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur dariku. Dia berenang ke arah pintu keluar. Saat aku hendak mengejarnya, temannya yang berambut hitam datang menghalangiku.
Wanita itu mencekik leherku dengan kuat. Semua oksigen berlari keluar dari mulutku. Sebagai gantinya, air menerobos masuk ke dalam paru-paruku. Aku meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangannya, tetapi tidak berhasil. "Kamu salah memilih lawan, orang tak dikenal. Selama kamu berada di dalam air, kamu tidak akan bisa menang dariku!" Dia mencemooh aku. 'Bagaimana mungkin dia bisa mengeluarkan suara di dalam air?' "Air adalah wilayah kekuasaanku!" Tambahnya sambil tertawa angkuh. 'Air adalah wilayah kekuasaanku,' katanya? Sebuah ide cemerlang terlintas di kepalaku. Aku tersenyum menyeringai membuat dia heran melihatku yang tiba-tiba tersenyum. Aku menutup kedua mataku, kubayangkan ruangan ini berubah menjadi ruang hampa yang gelap gulita. Seketika ruangan yang dipenuhi oleh air ini berubah menjadi seperti yang kubayangkan. Tidak ada air setetes pun di sini, bahkan setitik cahaya pun tidak ada di tempat ini. Wanita itu kaget me
Sesampainya di kamarku, aku langsung melangkah ke lemari dan mengeluarkan beberapa pasang pakaian. Setelah itu, kulangkahkan kakiku memasuki kamar mandi. Kutanggalkan pakaianku yang basah kuyup lalu menyalakan keran bak mandi. Sambil menunggu airnya penuh, aku mencuci mukaku di wastafel. Kutatap pantulan diriku di cermin. Penampilanku berantakan sekali, terutama rambut hijau gelap yang basah dan acak-acakan ini. Manik hijau emerald-ku mengarah ke mantra sihir yang berupa seperti tato putih melingkar di leherku. Kusentuh leherku dengan ujung jariku. "Kalau saja 'kontrak' ini tidak pernah ada, aku tidak akan hidup seperti boneka mereka." Jariku menggaruk leherku hingga muncul bekas merah yang terasa perih. Aku teringat akan air di bak mandi, untunglah airnya tidak kepenuhan. Kumatikan keran agar airnya tidak meluap ke lantai. Kucelupkan badanku ke air lalu menyandarkan punggungku pada dinding ubin putih. 'Ah, nikmatnya berendam dalam air hangat.'
Setelah Dokter memeriksa keadaan Layla, dia mengatakan jika Layla tidak mengalami cidera apa pun dan akan segera siuman. Kuhela napas lega mendengar keadannya yang ternyata baik-baik saja. Aku duduk di tepi ranjang pasien tempat Layla dibaringkan. Kubelai rambut peraknya yang halus seperti benang sutra. 'Sosoknya yang tak sadarkan diri terlihat bagaikan putri tidur.' Suara tawa kecil tertangkap oleh telingaku. Suara itu berasal dari Layla. Bulu matanya yang lentik terangkat ke atas, dia membuka matanya dan menatapku sambil menyengir. "Barusan kamu mikir apa?" Dia mengubah posisi badannya dari baring menjadi duduk. 'Jangan-jangan daritadi dia sudah sadar dan membaca pikiranku?' "Aku baru saja terbangun kok, waktu kamu mikir tentang 'sosoknya ya-' " Omongannya terputus karena aku langsung menutup mulutnya dengan telapak tanganku. Pipi dan telingaku terasa memanas mengingat hal memalukan itu. 'Tolonglah, jangan mengungkapkan isi pikiran orang seenaknya!'
"Apa benar itu kamu, Senja?" Orang berjubah hitam itu mengulangi pertanyaannya dan mulai menurunkan pertahanannya. "Ini bukan waktunya untuk reuni," jawabku dengan nada ketus. Aku tetap bersiaga menghadapinya. Seskipun dia adalah orang yang dulu kukenal, aku tidak boleh menurunkan pertahananku karena sekarang kami berada di pihak yang berlawanan. Orang itu terdiam mendengar jawabanku lalu menyindirku. "Setelah lebih dari 10 tahun kami mencarimu, sekarang kamu berpihak kepada para tirani itu? Apa otakmu sudah dicuci oleh mereka?" Aku mengepalkan tinjuku dengan erat dan menggertakkan gigiku. "Diam kamu, kamu tidak tahu apa-apa." Dia menghela napasnya lalu berkata, "Ini tak tertolong, kalau kamu tidak mau kembali kepada kami, maka aku tak punya pilihan lain selain menghabisimu." Dia menghentakkan kaki kanannya, membuat permukaan lantai dilapisi oleh es. Aku melompat agar tidak ikut membeku. Tanpa aba-aba, dia langsung muncul di hadapanku.
Beberapa hari telah berganti sejak salah seorang anggota Fylax menyerang kami. Hari-hari berlalu jauh lebih damai daripada sebelumnya karena tidak banyak kasus yang ada untuk ditangani oleh kami. Aku sedang dalam perjalanan menuju ruang referensi untuk menyimpan berkas kasus penyerangan beberapa hari yang lalu. Kugenggam kenop pintu dan kudorong tetapi pintunya tidak dapat terbuka. 'Apa ini? Tidak biasanya ruangan ini terkunci. Jangan-jangan ada penyusup lagi?' Aku mendengar bunyi langkah kaki dari dalam, bunyi itu semakin mendekat ke arah pintu ini. Terdengar suara kunci diputar. Pintu terbuka menampakkan sosok yang ada di dalam ruangan tersebut. Wanita bersurai perak dan bermanik biru pucat. "Layla? Sedang apa kamu sampai-sampai mengunci pintu?" tanyaku heran. "Kamu sendiri untuk apa ke sini?" Dia malah bertanya balik padaku. 'Setidaknya jawab dulu pertanyaanku, bukannya langsung balik bertanya.' "Aku mau menyimpan berkas kas
Keesokan harinya, pukul 08:15 pagi. Aku dan Layla berada di kantor Kapten. Entah apa alasannya memanggil kami untuk datang ke kantornya sepagi ini. "Layla, Trystan, apa kalian tahu kenapa saya memanggil kalian kemari?" tanya Kapten sambil melipat tangannya di atas meja. Kami menggelengkan kepala bersamaan. 'Bagaimana kami bisa tahu kalau dia tidak memberitahukannya terlebih dahulu?' "Sebentar lagi saya akan menghadiri sidang Treis." Kapten menjawab sendiri pertanyaan yang ditanyakannya. Sidang Treis, sesuai namanya yang berarti pertemuan yang akan dihadiri oleh semua anggota Treis. "Selain itu, kamu akan ikut bersama dengan saya, Trystan," lanjut Kapten sambil menatap ke arahku, aku tersentak kaget bercampur heran. 'Kenapa aku juga harus menghadiri sidang itu? Apa aku melakukan kesalahan? Itu bukan sidang untuk mengeksekusi aku, kan?' "Jadi, saya harap kamu dapat mengawasi tempat ini selama kami pergi, Layla," tambah Kapten kepada Layla. Layla
Sirene Custodia terdengar dimana-mana, padahal baru beberapa jam berlalu sejak aku dan Layla kabur dari Istana Putih. "Sepertinya keluar dari Ibu Kota tidak akan semudah yang dipikirkan," gumamku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Saat ini aku dan Layla sedang bersembunyi di gang kecil yang cukup jauh dari istana pemerintahan. Jalanan di luar sana dilalui oleh kendaraan-kendaraan milik Custodia yang melaju dengan cepat. Mereka mencari-cari kami lewat jalanan besar. Untunglah mereka belum mencari sampai ke jalanan kecil atau gang. "Tidak ada pilihan lain, ayo kita lewat gang ini saja," ajak Layla yang terdengar terburu-buru. Aku menengok ke kiriku, melihat jalan kecil yang tidak kutahu akan mengarahkan kami kemana. Kuhembuskan napasku lalu membalasnya. "Ya sudah, ayo." Kami berjalan memasuki jalanan yang hanya selebar 3 meter ini. Suara sirene terdengar semakin menjauh seiring kami berjalan semakin ke dalam perlintasan sempit ini. Kuharap mere
Dua jam telah berlalu sejak kami berangkat dari pusat perbelanjaan. Perkiraan 1 atau 2 jam lagi untuk sampai di perbatasan utara. Kami hanya duduk diam di dalam mobil sambil mendengarkan radio. Isi dari radio tersebut mulai dipenuhi tentang 2 personel Custodia yang berkhianat, penyerangan terhadap Nona Tabella di Istana Putih, dan sebagainya. Beberapa meter di depan, tampak beberapa orang berdiri di tengah-tengah jalan. Orang-orang itu terlihat lebih jelas saat mobil yang kami tumpangi semakin mendekati mereka. Orang-orang berjas hitam itu melambaikan kedua tangannya, memberi isyarat untuk menghentikan alat transportasi ini. Kecepatan kendaraan beroda empat ini perlahan melambat hingga akhirnya berhenti. Seseorang dari mereka menghampiri sedan kuning ini lalu mengetuk kaca jendela pada pintu supir, memintanya untuk menurunkan kacanya. 'Gawat, apa mereka mau menggeledah taksi ini?' Keringat dingin mulai bercucuran membasahi keningku.