Beberapa hari telah berganti sejak salah seorang anggota Fylax menyerang kami. Hari-hari berlalu jauh lebih damai daripada sebelumnya karena tidak banyak kasus yang ada untuk ditangani oleh kami.
Aku sedang dalam perjalanan menuju ruang referensi untuk menyimpan berkas kasus penyerangan beberapa hari yang lalu.
Kugenggam kenop pintu dan kudorong tetapi pintunya tidak dapat terbuka. 'Apa ini? Tidak biasanya ruangan ini terkunci. Jangan-jangan ada penyusup lagi?'
Aku mendengar bunyi langkah kaki dari dalam, bunyi itu semakin mendekat ke arah pintu ini.
Terdengar suara kunci diputar. Pintu terbuka menampakkan sosok yang ada di dalam ruangan tersebut. Wanita bersurai perak dan bermanik biru pucat.
"Layla? Sedang apa kamu sampai-sampai mengunci pintu?" tanyaku heran.
"Kamu sendiri untuk apa ke sini?" Dia malah bertanya balik padaku. 'Setidaknya jawab dulu pertanyaanku, bukannya langsung balik bertanya.'
"Aku mau menyimpan berkas kasus beberapa hari yang lalu." Aku menunjukkan kumpulan kertas yang ada di tangan kiriku. Layla hanya ber oh ria.
Dia menyingkir dari hadapanku, memberikanku jalan untuk masuk. Layla tidak menjawab pertanyaanku sebelumnya membuatku mengerutkan alisku. "Hei, kamu belum menjawab pertanyaanku."
Dia hanya berdiri sambil melipat tangannya di dada, tidak mengatakan sepatah kata pun. Kuhembuskan napas pasrah dan memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan yang berisikan ratusan dokumen milik Custodia.
Kumasukkan berkasku ke dalam rak yang bertuliskan "Fylax", lemari tanpa pintu yang berisikan informasi dan kasus-kasus mengenai kelompok itu.
Suara Layla memecahkan keheningan di tempat ini. "Trystan, ayo kabur dari sini."
'Aku tidak salah dengar, kan? Layla mengajakku kabur?' Aku menatapnya dengan tatapan heran. "Apa maksudmu, Layla?"
"Ayo kita kabur dari Treis." Dia memperjelas ajakannya. 'Kabur dari Treis katamu? Candaanmu itu tidak lucu, Layla.'
Hening, pembicaraan ini terhenti sampai di situ saja. Kami hanya berdiri diam di ruangan yang dipenuhi oleh rak dan lemari di tiap sisi dindingnya.
"Kenapa? Bukannya selama ini kamu ingin lepas dari mereka?" Pertanyaan itu bagaikan palu yang menghantam kepalaku. 'Ya, kamu benar, dari dulu aku memang sangat ingin lepas dari mereka, tapi melakukannya tidak semudah memimpikannya.'
Aku mengangkat kedua tanganku ke kerah kemeja putihku. Kulonggarkan dasi hitamku dan melepaskan 3 kancing teratas sehingga leherku tampak lebih jelas.
"Kamu lihat tanda ini? Tanda ini merupakan kontrak yang mengikatku kepada Treis." Aku menunjuk mantra sihir yang melingkar di leherku. Matanya melebar melihat tulisan putih yang menempel di leherku.
"Kalau aku melawan kehendak mereka, termasuk mencoba kabur dari mereka, aku akan kehilangan nyawaku," lanjutku sambil tersenyum getir.
Layla mengayunkan kakinya mendekatiku. Dia mengangkat tangan kanannya dan menyentuh tulisan putih yang menempel di leherku.
"Kenapa mereka bisa sekejam ini ...?" tanya Layla dengan suara kecil. Tatapan matanya memancarkan kesedihan dan rasa iba terhadapku.
"Sudah pasti karena mereka takut terhadap kekuatanku. Manusia pasti akan berusaha menyingkirkan apa saja yang berpotensi membahayakan mereka, kan?" jawabku dengan sedikit bumbu sindiran.
Kugenggam tangannya yang lebih kecil daripada tanganku dan menurunkannya dari leherku. Kurasakan tangannya bergetar, entah itu karena terkejut atau marah.
Tiba-tiba kedua tangan Layla menggenggam tanganku dengan erat lalu menatapku dengan lekat. "Kali ini aku yang akan menolongmu, aku pasti akan membebaskanmu dari Treis," ucapnya dengan penuh keyakinan.
Aku terdiam mendengar ucapannya barusan. "Kamu akan membebaskanku dari kekangan mereka? Apa kamu bisa memegang perkataanmu itu?" tanyaku ingin memastikan kesungguhannya. Dia menganggukkan kepalanya tanpa ragu.
Air mata mulai menggenang di mataku. "Ya, tolong bebaskan aku." Aku memohon sambil menarik senyuman haru.
Wanita yang ada di depanku merentangkan kedua tangannya lalu menarikku ke dalam dekapannya. Tangannya menepuk-nepuk punggungku untuk menghiburku. Kubenamkan kepalaku di lekukan lehernya. Cairan hangat mulai mengalir membasahi pipiku. 'Akhirnya ada orang yang akan menyelamatkanku.'
Setelah mencurahkan emosi yang selama ini kupendam, aku dan Layla menikmati pemandangan kota di teras atap markas Custodia. 'Dunia ini begitu indah, ya? Juga begitu kejam.'
"Jadi, bagaimana kamu akan membebaskanku dari kontrak Treis?" Aku menyentuh leherku, dimana mantra sihir itu berada.
"Ra-ha-si-a, tapi kujamin pasti akan berhasil." Layla mengkedipkan salah satu matanya sambil cengengesan. Aku tersenyum kesal karena dia tidak mau memberitahuku, tetapi aku tidak akan memaksanya untuk memberitahuku.
Aku memalingkan wajahku dan mengadah ke langit biru yang sudah gelap, menandakan malam telah tiba. Cahaya dari jendela gedung-gedung tampak begitu indah bergemerlapan seperti kunang-kunang. Bulan yang menerangi langit malam tak kalah indah.
"Bulannya indah, ya?" Aku memandangi bulan yang hampir purnama itu. Layla menganggukan kepalanya setuju denganku, dia menatap satelit alami Bumi dengan tatapan sayu.
Beberapa saat berlalu, kurasakan sesuatu menyentuh bahu kananku. Ternyata itu Layla, dia menyandarkan kepalanya pada bahuku. Kedua matanya tertutup rapat dan napasnya terdengar teratur. Aku tersenyum melihatnya yang ketiduran di bahuku. Kulingkarkan tanganku di pinggang rampingnya agar dia tidak terjatuh.
Waktu terasa melambat selama kami berada di balkon. Sudah lama tidak kurasakan kedamaian yang seperti ini. 'Seandainya kedamaian ini dapat bertahan lebih lama lagi atau bahkan tidak akan pernah berakhir, tapi sepertinya hadapanku itu sangat mustahil, ya?'
Kuputuskan untuk membawanya masuk ke dalam bangunan, takut dia akan sakit jika terlalu lama terpapar angin malam. Aku menggendongnya dan membawanya ke kamar asrama putri.
Kubaringkan dia di atas ranjangnya. Tak lupa kulepaskan juga sepasang sepatu dari kedua kakinya lalu kutarik selimut putih tebal untuk menutupi badannya.
"Mimpi indah, Layla," ucapku sambil mengecup keningnya sebelum beranjak dari tempatku dan meninggalkan ruangan ini. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan agar tidak membangunkannya.
Saat aku membalikkan badanku dari papan kayu itu, aku dikejutkan oleh sosok yang berdiri di balik punggungku. Sosok berjubah hitam dan topeng putih, Fylax. Dia muncul di waktu dan tempat yang tidak tepat.
Aku melirik ke kamar Layla lalu kembali menatapnya dengan tajam. "Ayo kita mengobrol di tempat lain," ajakku dengan nada dingin. Sebelum dia membalas ucapanku, kami sudah berada di dimensi kegelapanku.
"Apa maumu?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Bergabunglah dengan kami," ajaknya sambil menyodorkan tangan kanannya. Suaranya berbeda dengan orang yang menyerang kami waktu itu, suaranya seperti suara remaja laki-laki.
"Kalau aku tidak mau?" balasku dengan arogan. Dia terdiam untuk sejenak.
"Tak masalah, asal kamu tidak menghalangi jalan kami. Selama kamu tidak mengusik kami, kami juga tidak akan mengusik kamu," tuturnya dan langsung menghilang dari hadapanku.
'Ha! Sepertinya orang-orang Fylax kuat semua, ya? Waktu itu ada yang bisa menahan seranganku dengan es miliknya dan sekarang ada orang yang bisa keluar dari sini tanpa seizinku?'
Aku memutuskan untuk kembali ke dunia nyata. Ruang hampa yang gelap berubah menjadi lorong yang berada di depan pintu kamar Layla. Aku melangkahkan kakiku meninggalkan asrama putri. Berjalan menuju tangga naik ke lantai 4, asrama putra.
Sesampainya di kamarku, aku melepaskan alas kakiku dan meletakkannya ke dalam rak sepatu. Jas hitamku kutanggalkan dan kugantung di gantungan baju yang menempel di dinding. Kuganti pakaianku dengan pakaian yang lebih nyaman untuk tidur.
Aku melangkah ke ranjangku dan merobohkan badanku di atasnya. Kutarik selimutku dan menutup kedua mataku, membiarkan tidur mendekapku.
Keesokan harinya, pukul 08:15 pagi. Aku dan Layla berada di kantor Kapten. Entah apa alasannya memanggil kami untuk datang ke kantornya sepagi ini. "Layla, Trystan, apa kalian tahu kenapa saya memanggil kalian kemari?" tanya Kapten sambil melipat tangannya di atas meja. Kami menggelengkan kepala bersamaan. 'Bagaimana kami bisa tahu kalau dia tidak memberitahukannya terlebih dahulu?' "Sebentar lagi saya akan menghadiri sidang Treis." Kapten menjawab sendiri pertanyaan yang ditanyakannya. Sidang Treis, sesuai namanya yang berarti pertemuan yang akan dihadiri oleh semua anggota Treis. "Selain itu, kamu akan ikut bersama dengan saya, Trystan," lanjut Kapten sambil menatap ke arahku, aku tersentak kaget bercampur heran. 'Kenapa aku juga harus menghadiri sidang itu? Apa aku melakukan kesalahan? Itu bukan sidang untuk mengeksekusi aku, kan?' "Jadi, saya harap kamu dapat mengawasi tempat ini selama kami pergi, Layla," tambah Kapten kepada Layla. Layla
Sirene Custodia terdengar dimana-mana, padahal baru beberapa jam berlalu sejak aku dan Layla kabur dari Istana Putih. "Sepertinya keluar dari Ibu Kota tidak akan semudah yang dipikirkan," gumamku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Saat ini aku dan Layla sedang bersembunyi di gang kecil yang cukup jauh dari istana pemerintahan. Jalanan di luar sana dilalui oleh kendaraan-kendaraan milik Custodia yang melaju dengan cepat. Mereka mencari-cari kami lewat jalanan besar. Untunglah mereka belum mencari sampai ke jalanan kecil atau gang. "Tidak ada pilihan lain, ayo kita lewat gang ini saja," ajak Layla yang terdengar terburu-buru. Aku menengok ke kiriku, melihat jalan kecil yang tidak kutahu akan mengarahkan kami kemana. Kuhembuskan napasku lalu membalasnya. "Ya sudah, ayo." Kami berjalan memasuki jalanan yang hanya selebar 3 meter ini. Suara sirene terdengar semakin menjauh seiring kami berjalan semakin ke dalam perlintasan sempit ini. Kuharap mere
Dua jam telah berlalu sejak kami berangkat dari pusat perbelanjaan. Perkiraan 1 atau 2 jam lagi untuk sampai di perbatasan utara. Kami hanya duduk diam di dalam mobil sambil mendengarkan radio. Isi dari radio tersebut mulai dipenuhi tentang 2 personel Custodia yang berkhianat, penyerangan terhadap Nona Tabella di Istana Putih, dan sebagainya. Beberapa meter di depan, tampak beberapa orang berdiri di tengah-tengah jalan. Orang-orang itu terlihat lebih jelas saat mobil yang kami tumpangi semakin mendekati mereka. Orang-orang berjas hitam itu melambaikan kedua tangannya, memberi isyarat untuk menghentikan alat transportasi ini. Kecepatan kendaraan beroda empat ini perlahan melambat hingga akhirnya berhenti. Seseorang dari mereka menghampiri sedan kuning ini lalu mengetuk kaca jendela pada pintu supir, memintanya untuk menurunkan kacanya. 'Gawat, apa mereka mau menggeledah taksi ini?' Keringat dingin mulai bercucuran membasahi keningku.
Matahari terbit menyinari permukaan bumi. Pagi-pagi sekali kami membantu nenek membereskan rumahnya. "Bagaimana tidur kalian? Nyenyak?" tanya nenek sambil mengelap meja dengan kain. "Nyenyak, Nek, terima kasih sudah mengizinkan kami menumpang di sini," jawab Layla yang sedang menyapu lantai kayu. "Sama-sama. Kalau kalian masih belum menemukan tempat tinggal, kalian boleh menginap di sini sampai kapanpun," balas wanita renta itu dengan senyuman hangat. 'Baik sekali nenek ini, apa dia seorang malaikat?' Terdengar suara pintu terbuka. Datanglah kakek keluar dari kamarnya sambil membawa sebuah senapan shotgun dan mengenakan pakaian yang berlapis-lapis. "Baguslah kalau kalian sadar diri untuk membantu. Kalau kalian ingin tetap tinggal di sini, kalian harus bekerja membantu kami," tutur kakek dengan nada yang tidak ramah. "Siapa di antara kalian yang bisa bertempur?" tanya pria tua itu sambil menenteng senapan di bahunya. Aku mengang
Kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Layla dan nenek sedang memasak di tungku untuk makan siang nanti, kakek membaca koran di kursi dekat perapian, dan aku hanya duduk bengong di sofa. Kualihkan padanganku ke sisi kiri. Aku baru sadar ada beberapa benda yang digantung pada dinding di sana. Penasaran dan ingin melihat dari dekat, aku bangkit dari dudukku lalu berjalan ke arah dinding itu. Ada sebuah jam dinding berdiameter sejengkal telapak tangan dan 10 bingkai foto beraneka bentuk terpajang di dinding. Kulihat-lihat setiap potret itu. Semua fotonya berwarna hitam-putih sedikit kekuningan. Gambar-gambar yang dijepret memperlihatkan waktu mereka masih muda, mungkin saat mereka berusia 30 tahun. Mataku tertuju pada sebuah foto yang berisikan 3 figur di dalamnya. Dua orang dewasa yang kuyakini ialah pasangan tua itu dan seorang anak perempuan yang berusia sekitar 10 tahun. 'Apa dia anaknya nenek dan kakek?' "Oh, itu Alcyone, anak perempuan kami satu
Beberapa hari telah berlalu sejak kami tinggal di perbatasan utara. Belum 1 orang pun datang dari Custodia untuk mencari kami di sini. Mungkin orang-orang yang tinggal di kampung ini belum melaporkan kami kepada mereka. "Selamat pagi, Trystan. Kamu mau pergi berburu lagi?" sapa seorang pria paruh baya yang sedang membersihkan tumpukan salju di jalanan. "Pagi juga, Pak Alban. Saya mau berburu hewan lagi karena stok makanan di rumah keluarga Nivalis sudah hampir habis," jawabku kepada orang yang tinggal di seberang rumah nenek dan kakek. "Oh begitu, hati-hati, ya. Kudengar belakangan ini ada monster salju yang berkeliaran di hutan." Pria itu memperingatiku, kuanggukan kepalaku dan berterima kasih kepadanya karena sudah memberitahuku. Aku berjalan memutari rumah ini menuju hutan di belakangnya. Kulihat beberapa anak kecil sedang bermain di belakang rumah mereka. Bocah-bocah itu saling melempari bola salju. Senyuman lebar menghiasi wajah mereka se
"Seharusnya kalian tidak tinggal di sini," ucap anggota Fylax yang berdiri di depanku. Hawa dingin yang terpancar dari tubuhnya menusuk tulangku meskipun aku telah mengenakan pakaian tebal. "Memangnya kenapa kalau kami tinggal di kampung ini?" tanyaku heran sambil memperhatikan setiap gerak geriknya. "Sebenarnya aku tak masalah kalau kalian tinggal di kampung ini, tapi dari sekian banyaknya rumah yang ada, kalian malah tinggal di rumah keluarga 'Nivalis'," balasnya dengan penekanan pada kata terakhir yang diucapkannya. 'Keluarga Nivalis? Bukannya itu nama keluarganya kakek? Bagaimana bisa dia mengenal mereka?' Tanpa aba-aba tangan kanannya langsung mencengkeram leherku dengan kuat. Kristal es mulai bermunculan di permukaan kulitku. Sontak aku menyerangnya dengan bayanganku. Dia melepaskan cekikkannya lalu menghindari seranganku. Aku terbatuk-batuk dan menggosok-gosok leherku untuk menghilangkan kristal es yang menegeras di permukaan kulit lehe
"Tidak bisakah kalian tinggal di sini lebih lama lagi? Padahal Nenek sudah menganggap kalian seperti cucu Nenek sendiri," tanya wanita tua itu dengan raut wajah sedih. "Kalau kami tetap tinggal bersama Nenek dan Kakek, nanti kalian bisa ikut terseret dalam masalah kami," jawabku sambil tersenyum sedih. "Aku tidak mau kalau sampai terjadi apa-apa pada kalian." Kami kembali terdiam. Layla yang telah selesai mengikat perban pada tanganku naik ke sofa dan duduk di sampingku lalu termenung. Kakek memecahkan keheningan ini dengan bertanya, "Jadi, kapan kalian pergi?" Kuangkat mukaku melihat wajah pria tua itu yang juga menampilkan ekspresi sedih. "Secepatnya, Kek. Mereka pasti sudah mulai curiga karena salah satu rekan mereka menghilang," jawabku sambil menghembuskan napas berat. Jika aku tidak melenyapkannya, mungkin tidak akan ada yang berubah karena bisa saja dia malah memberitahu rekannya tentang keberadaan kami di sini. Kakek menghembuskan napa