Sesaat sebelum naga putih raksasa itu menerkamku, aku membuat perisai berbentuk bola untuk melindungiku. Kurasakan guncangan yang hebat saat dia menelanku.
"Kakh!!! Apa-apaan ini?!! Apa yang kamu lakukan, manusia?!" tanya mahluk raksasa ini dengan panik. Dia tidak menyangka aku akan menggunakan perisai bola tepat sebelum dia menelanku.
Karena perisai ini berwarna hitam pekat, aku jadi tidak dapat melihat apa yang ada di luar ataupun dimana posisiku sekarang. Perkiraanku, sepertinya saat ini aku masih berada di dalam kerongkongannya.
"Baiklah, ayo kita coba rencana ini." Strategiku adalah menyerang monster ini dari dalam karena tubuh bagian luarnya itu sangat keras sehingga aku membutuhkan banyak energi untuk melukainya.
Kukendalikan 'Arte' kegelapanku untuk memunculkan jarum-jarum dari permukaan luar perisai ini. Mendadak guncangan yang lebih besar terasa lagi. Sepertinya mahluk berukuran raksasa yang menelanku berusaha untuk memuntahkan perisai bola
Area terbuka yang luas ini dipenuhi oleh orang-orang yang berdesak-desakan. Mereka berebutan ingin berdiri di baris terdepan dekat panggung dimana pemenang dari kontes berburu ini akan diumumkan. Aku hanya menunggu dengan santai di baris paling belakang beserta dengan beberapa orang lainnya yang tidak begitu peduli akan berdiri dimana. 'Rupanya masih ada orang normal sepertiku di sini.' Aku menggeleng-gelengkan kepalaku melihat kehebohan di depan. 'Untuk apa berdesak-desakan hanya supaya bisa berada di baris paling depan? Padahal dari belakang pun suara dari pembawa acara masih terdengar jelas berkat sihir pengeras suaranya.' Tiba-tiba para manusia yang berdiri di depan bersorak-sorak dengan nyaring. Mataku menangkap sesosok pria yang mengenakan jas dan mantel bulu putih menaiki panggung. Aku tidak tahu siapa dia, tetapi kalau orang-orang menjadi bersemangat setelah dia naik, berarti pria itu adalah Walikota Boreus yang akan membawakan penutupan acara
Orang yang berdiri di belakangku mendorong bahuku untuk berjalan maju. 'Sial, apa dia mempunyai kekuatan untuk membatalkan 'Arte' orang lain? Aku tidak bisa menggunakan kekuatanku sama sekali.' Aku pun melangkah maju dengan tangan orang itu yang masih menggenggam pundakku. 'Apa mungkin 'Arte'-nya hanya bisa memberi pengaruh lewat sentuhan? Kalau begitu aku akan mencoba lepas dari sentuhannya.' Kuputar tubuhku dan mengangkat tanganku untuk menyikutnya. Pria bermantel hitam tebal yang menahanku tadi langsung melepaskan cengkeraman tangannya dari bahuku dan menghindari serangan dadakan yang kulancarkan. 'Bagus! Dia melepaskan sentuhannya!' Kutarik salah satu tanganku ke belakang lalu melancarkan satu serangan lagi kepadanya, tetapi serangan itu hanyalah tinjuan biasa tanpa bayangan hitam yang mengikutinya. "Apa-apaan ini ...?" heranku setelah menyadari jika 'Arte'-ku masih tidak dapat digunakan. Kudengar suara tawa keluar dari mulut orang yang berdiri di
Sebuah mobil van hitam melaju di jalanan yang tidak dipadati oleh kendaraan lain, lebih tepatnya kosong melompong. Alat transportasi itu bergerak ke arah Ibu Kota. Sudah sekitar 4 jam aku berada di dalam mobil ini bersama dengan 2 orang lainnya yang duduk di jok depan. Kami sedang dalam perjalanan dari wilayah utara menuju ke wilayah tengah, pusat pemerintahan negara ini. Rasanya badanku pegal-pegal karena berjam-jam duduk diam di dalam kendaraan ini. Kedua tanganku terikat dengan borgol yang sudah diberi sihir pembatal 'Arte'. Padahal aku sudah bilang jika aku tidak akan macam-macam, tetapi mereka tidak mau mendengarkanku. Aku menghembuskan napas lelah sambil melihat ke luar jendela. Pemandangan di luar dipenuhi oleh warna hijau dedaunan dan rumput-rumput di permukaan tanah. Tidak ada sedikit pun salju putih yang biasa kulihat selama 2 minggu di perbatasan utara dan Kota Boreus. Beberapa bangunan mulai masuk ke dalam pandanganku. Tampaknya kami sudah
Ruangan berbentuk lingkaran dengan dinding dan lantai putih bersih. Perabotan yang ada di dalamnya bernuansa hitam dan abu-abu. Ini adalah kantor direktur situs Laboratorium Pengendalian Arte, dimana Prof. Hora bekerja. Aku duduk berhadapan dengan ketua Asosiasi Arte yang duduk di depanku. Dua cangkir berisi teh ada di atas meta di antara kami. Kepulan uap tampak jelas menandakan bahwa minuman itu masih panas. "Katakan apa yang ingin kamu tanyakan padaku," ujar pria berambut merah jambu itu sambil melipat tangannya di atas meja. Aku terdiam sejenak untuk menyusun daftar pertanyaan yang ingin kutanyakan dalam kepalaku. "Bagaimana Profesor bisa tahu kalau aku ... tidak, maksudku kami ada di Kota Boreus?" tanyaku melemparkan pertanyaan pertama kepadanya. Aku penasaran bagaimana dia dapat menemukan aku dan Layla, padahal kami sudah menyamar dan menggunakan identitas palsu. "Sebenarnya Giedrius yang duluan menemukan kalian, yaitu sejak kalian berada di Bor
Kembali ke tempat ini membuatku teringat akan masa kecilku dulu. Saat sidang yang diselenggarakan untuk mengadiliku berakhir dengan diriku yang dibela oleh Prof. Hora dan Kapten Giedrius sehingga aku tidak jadi dijatuhi hukuman mati. Tiga belas tahun yang lalu, aku dibawa oleh Prof. Hora untuk tinggal di Laboratorium Pengendalian Arte. Fasilitas ini berisikan 16 orang peneliti dan 3 orang pemilik 'Arte' berisiko tinggi sepertiku, ditambah aku menjadi 4 orang. Sesuai nama dari situs laboratorium tersebut, tempat itu adalah fasilitas untuk mengendalikan 'Arte' berisiko tinggi dengan tingkat absolut di atas 7. Di tempat inilah aku pertama kali bertemu dengan Layla. Dia sudah berada di fasilitas ini jauh lebih lama sebelum aku tiba. Bahkan dia tidak ingat kapan pastinya dia datang ke laboratorium ini. Aku berbaring di atas kasur yang tidak begitu empuk dan memandang langit-langit ruangan yang putih. Kamarku berada di blok 'anomali'. Dulu juga begitu, aku
Satu minggu kemudian, hari yang telah kutunggu-tunggu akhirnya tiba, yaitu hari dimana Prof. Hora akan membawaku ke Istana Putih untuk bertemu dengan Layla. Saat ini, kami berada di luar gerbang untuk diverifikasi terlebih dahulu oleh penjaga gerbang. Tidak ada yang berubah dari tempat ini. Tembok beton bercat putih mengelilingi area ini dan sebuah gerbang bercat emas menghalangi jalan mobil kami. Dua orang berseragam biru navy menghampiri kendaraan yang kami tumpangi. Mereka meminta untuk menunjukkan tanda identitas orang yang menumpangi sedan hitam ini. Prof. Hora menurunkan kaca jendelanya dan menyodorkan kartu namanya. Penjaga gerbang menganggukan kepalanya lalu mendorong pintu emas itu hingga terbuka lebar. Kendaraan beroda empat ini pun melanjutkan perjalanannya dan memasuki taman yang sangat luas dan mewah ini. Pohon-pohon yang daunnya dipotong membentuk segitiga tertata rapi di sisi kiri dan kanan jalanan. Tidak hanya itu, di t
Aku duduk santai di bawah pohon yang rimbun, di perkarangan laboratorium. Aku memutuskan untuk keluar dari bangunan Laboratorium Pengendalian Arte karena menghabiskan waktu di dalam ruangan serba putih yang monoton itu membuatku jenuh. Perkarangan ini merupakan tempat yang bagus untuk beristirahat. Lahan terbuka yang ditumbuhi oleh tanaman-tanaman hijau yang menyegarkan mata dan pikiran. Keseharianku hanya bengong saja karena tidak ada kerjaan yang dapat kulakukan di sini. Terkadang itu membuatku berpikir jika tinggal di Custodia akan lebih baik daripada tinggal di fasilitas penelitian ini. Tak terasa 1 bulan telah berlalu sejak terakhir kalinya aku menemui Layla di Istana Putih. Hubunganku dengannya semakin merenggang. Setiap kali aku datang ke sana, dia pasti tidak dapat kutemui karena berbagai macam alasan. Seperti sakit, banyak kerjaan, ada janji dengan orang penting, dan lain-lain. "Apa dia sengaja menghindariku?" heranku sambil menghembuskan nap
Aku membaca hasil tes atribut 'Arte'-ku yang ditampilkan pada layar holografi itu. Tertulis data-data statistik kekuatanku pada teknologi itu. "Jenis 'Arte', kegelapan. Tingkat absolut 8, stabilitas 7, realisasi 8. "Sekarang stabilitas 'Arte'-ku naik 2 poin dan realisasi naik 1 poin dibanding 3 tahun lalu. Perkembangan yang bagus," tuturku lalu lanjut membaca statistik lainnya. "Rata-rata persentase daya hancur 48,4% dan daya hancur tertinggi 242%." 'Wah, rekor baru. Ini pertama kalinya aku bisa menghasilkan serangan sekuat itu. Kalau aku gunakan serangan ini saat dulu melawan naga putih purba itu, dia pasti akan sekarat dalam sekali serangan. Harusnya waktu itu aku langsung menggunakan serangan pemungkas ini agar pertarunganku dengan naga itu tidak akan memakan banyak waktu dan tenaga.' Layar itu memudar dan menghilang dari pandanganku. Orang-orang yang berdiri di balik jendela di atas mulai bubar dari tempatnya menontonku. 'Baguslah kalau mereka pergi, aku