Hallo.. apa kabar? maaf karena update'an nya lama...
Grassiela berdiri di depan cermin besar di kamarnya, memastikan penampilannya sempurna. Gaun biru muda yang elegan melambai-lambai di tubuhnya dengan indah, dan sepasang sepatu hak tinggi putih melengkapi penampilannya. Ia mengambil tas tangan kecil berwarna pastel di meja riasnya dan melangkah keluar kamar. Saat Grassiela turun menuju halaman, ia mendengar suara tawa kasar dari arah lapangan mini golf yang ada di sudut taman rumahnya. Langkahnya melambat, hatinya berdebar tak menentu. Ia tahu bahwa suara itu berasal dari James dan orang-orangnya yang sedang berkumpul di sana. "Grassiela, sayang! Kau mau pergi keluar hari ini?" James menyapa dengan senyum yang terhampar lebar di wajah tampannya. Haruskah Grassiela mengungkapkan bahwa dirinya merasa mual setiap kali suaminya memanggil dengan kata "sayang"? Kita tahu, dia harus lebih banyak bersabar. Meski demikian, Grassiela mencoba membalas senyum itu, memastikan bahwa James masih bisa mempercayainya. "The State Tretyakov Galler
Keheningan malam di mansion megah itu menjadi semakin menegang. Grassiela berdiri kaku di koridor panjang yang remang-remang. Mata birunya yang besar kini membara penuh amarah bercampur dengan cemburu. Sementara Sofia, gadis malang itu, mengenakan gaun tidur tipis yang tidak dapat menyembunyikan bekas kekerasan di tubuh rentannya. Matanya yang sewarna dengan mata milik Grassiela, penuh dengan air mata, menggambarkan ketakutan yang mendalam. "Seekor anjing bahkan tahu jalan untuk pergi dari tempat dimana dia di disakiti," desis Grassiela, suaranya bergetar menahan amarah. Sofia tersentak, tubuhnya gemetar hebat. Dia tidak berani menatap Grassiela, pandangannya tertunduk ke lantai marmer yang dingin. "Maafkan saya, Nyonya... saya tidak punya pilihan," suaranya hampir tak terdengar di tengah keheningan malam. "Tidak punya pilihan? Kau berani mengatakan itu padaku? Di rumah ini?" Kemarahan yang membakar di dalam diri Grassiela bercampur dengan sakit yang mendalam. Dia merasa dikhianat
Malam itu, kastil Cestershire dipenuhi oleh cahaya lampu kristal dan suara musik klasik yang mengalun lembut. Pesta besar digelar, merayakan sesuatu yang tak lagi diingat Grassiela, mungkin sekadar pertemuan keluarga atau ulang tahun pernikahan neneknya meski sang kakek telah lama wafat. Tamu-tamu berdatangan dengan pakaian terbaik mereka, tertawa dan bercakap-cakap di antara kilauan gelas-gelas kristal yang beradu. Namun, di tengah keramaian itu, Grassiela merasa sendirian. Dia berdiri di sudut ruangan, memperhatikan orang-orang di sekelilingnya. Setiap orang tampak tenggelam dalam obrolan dan tawa, seolah keberadaannya tidak berarti. Tidak ada satu pun yang menghampirinya, tidak ada yang menanyakan kabarnya. Dia hanya menjadi bayangan di tengah gemerlap pesta yang meriah. Di salah satu sisi hall, terlihat keluarganya yang ramai menggunjing. David, sepupunya yang kontroversial, datang ke kastil ini dengan wanita simpanannya. Keberanian David untuk membawa wanita itu ke pesta keluarg
Ketika sinar matahari pagi menembus masuk lewat jendela-jendela kaca, Grassiela berada di ruang perpustakaan yang telah dia ubah menjadi ruangan pribadinya. Dinding-dindingnya dilapisi wallpaper berwarna krem dengan motif bunga yang halus, dipadukan dengan perabotan kayu jati yang dipoles mengilap. Meja kerja besar di sudut ruangan dihiasi dengan lampu baca antik dan setumpuk buku-buku berkulit tebal. Di sisi lain, sebuah sofa mewah berwarna merah tua dengan bantal-bantal lembut menambah kenyamanan, siap menyambut tamu-tamu yang datang. Jendela besar yang menghadap ke taman belakang memberikan pencahayaan alami yang luas, menambah kehangatan ruangan. Wanita muda itu berdiri di tengah ruangan, menghirup dalam-dalam aroma wangi mawar dari diffuser di atas meja kecil. Senyuman tipis terbentuk di wajahnya yang cantik. Grassiela memutuskan untuk menikmati ketenangan sejenak. Namun, ketukan keras di pintu mengganggu pikirannya. Sebelum ia sempat mempersilakan masuk, pintu sudah terbuka den
Malam itu, mansion berdiri megah namun suram di bawah sinar rembulan yang pucat. Angin malam yang dingin menyusup melalui celah-celah jendela, membawa serta aroma bunga mawar yang layu. Pepohonan di sekitar mansion bergoyang lembut, menciptakan bayangan-bayangan misterius di halaman. Kolam renang mansion terletak di bagian belakang rumah, tersembunyi di balik dinding-dinding tinggi yang tertutup dan tanaman merambat. Air kolam yang tenang memantulkan cahaya bulan lewat jendela-jendela besar yang berwarna warni, memberikan kilauan magis. Lampu-lampu kecil di sekitar kolam memberikan penerangan redup, menciptakan suasana tenang namun penuh misteri. Di tepi kolam, bangku-bangku kayu dan kursi santai berjejer bersama tanaman hias yang tertata rapi. Namun, dalam cahaya redup malam, semuanya tampak seperti siluet gelap yang mengintai. Di tengah ketenangan itu, suara gemericik air terdengar samar. Grassiela, dengan gaun tidur sutranya yang berwarna putih, duduk di tepi dengan sebagian kaki
Orang-orang mengatakan, bahwa cara terbaik untuk mengatasi ketakutan adalah dengan menghadapinya. Grassiela mungkin harus mencoba melakukannya. Dia tidak punya pilihan. Semua perasaan kompleks yang nyaris membuatnya frustasi, seolah tak berujung. Ketakutan, kecemasan dan perasaan terperangkap membuatnya tertekan. "Aku menginginkanmu seutuhnya." Grassiela menatap bayangan dirinya yang kuyup di depan cermin. Berkali-kali ia bertanya pada diri sendiri. "Apa yang James inginkan darinya?" Grassiela tak menemukan jawaban. Dan hanya ada rasa ngeri yang menghantui. Marah, frustasi, semua itu tak berarti. Kita semua tahu bahwa dia tidak mendapatkan dukungan dari siapapun. Grassiela harus menahan semua beban perasaan itu sendirian. Dan sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya menjadi bukti pengikat yang tak akan pernah bisa lepas. Namun, jika Grassiela merasa menjadi korban atas pernikahan sepihak ini, mengapa kita tidak berpikir untuk membalikkan fakta? Wanita muda itu membasuh wajah
Malam itu, ruangan tampak suram. Hanya diterangi lampu gantung bergaya antik yang memancarkan cahaya keemasan, menciptakan bayangan samar di dinding. Aroma asap cerutu bercampur dengan harum whiskey yang baru saja dituang. James duduk di kursi besar di ujung meja, tatapannya tajam menembus gelas kaca di tangannya. Paolo berdiri di dekat jendela, memandang ke luar seolah mencari jawaban di antara bintang-bintang yang tersembunyi di balik awan gelap. Ketegangan memenuhi ruangan seperti udara yang berat. James memecah keheningan. "Aku sudah cukup sabar. Borsellino pikir dia bisa bermain-main dan pergi begitu saja." Paolo menoleh, senyum miring terbentuk di wajah tampannya yang khas Italia. "Kau akan memberi dia pelajaran?" James mengangguk, meletakkan gelasnya dengan suara beradu yang menggema. "Ya, tapi aku butuh pendapatmu. Bagaimanapun, dia adalah saudaramu. Dan aku menghargai itu." Paolo tertawa kecil, dan juga getir. "Saudara? Borsellino tidak pernah menganggapku sebagai saudara
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa suara ombak yang memecah di kejauhan. Di dalam kamar yang diterangi cahaya bulan samar, ketegangan terasa nyata. James mengunci pergerakan Grassiela dengan tatapannya yang dominan. Di wajahnya terlukis keteguhan dan kemarahan yang tertahan. Sementara Grassiela membalas tatapan tajam itu, menolak untuk menunjukkan rasa takut meski hatinya berdebar dengan keras. Di antara mereka, cemburu menguap seperti uap yang mengisi ruangan, menyelubungi setiap sudut dengan ketidakpastian. "Aku bukanlah orang yang akan tunduk padamu." Kata-kata Grassiela adalah perlawanan kecil di tengah lautan emosi yang meluap-luap, sebuah pernyataan yang menunjukkan bahwa dirinya tak semudah itu untuk ditaklukkan. "Kau pikir bisa lolos begitu saja setelah menamparku?" Sorot mata James tak mengisyaratkan ampun. Grassiela menahan napasnya, berusaha menenangkan diri dari ketakutan yang perlahan merayap. Lalu James melanjutkan kalimatnya, "Kau telah membuatku gila, Grassi
Suasana ruang kerja Benicio masih dipenuhi aroma tembakau dan kayu mahoni setelah rapat panjang yang dihadiri para petinggi kelompok bisnis. Lampu gantung berwarna keemasan menerangi meja panjang yang penuh dengan dokumen, gelas-gelas wiski kosong, dan asbak berisi puntung cerutu. Sore itu, semua orang telah meninggalkan ruangan kecuali empat orang—Benicio, sang tuan rumah, Fausto yang duduk dengan ekspresi malas, Sergei yang masih memeriksa sesuatu di ponselnya, dan Alexsei yang tampak tenang sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Benicio menuangkan wiski ke dalam gelasnya dengan gerakan santai, lalu menatap mereka. "Kalian pikir, seberapa buruk dampaknya jika James tidak bisa kembali memimpin dalam waktu dekat?" Sergei mendengus sambil mengangkat satu alisnya. "Bukan masalah jika hanya beberapa minggu. Tapi kalau lebih lama? Musuh akan mulai mencium kelemahan. Dan orang-orang kita… mereka mulai bertanya-tanya." Fausto akhi
Di dalam ruang rawat yang sunyi, hanya suara alat medis yang berbunyi pelan dan sesekali suara dentingan saat Grassiela menggerakkan sendok di piringnya. Mrs. Runova duduk di seberangnya, tersenyum senang melihat bagaimana wanita muda itu menyantap makanan yang ia bawakan dengan lahap."Apa anda benar-benar menyukai masakan saya?" Runova terkekeh, matanya berbinar penuh kasih.Grassiela mengangguk sambil mengunyah. "Masakan Anda memang yang terbaik, Mrs. Runova. Aku tak bisa menolaknya."Wanita paruh baya itu tertawa kecil dan menuangkan segelas jus jeruk segar. "Saya juga membuatkan jus jeruk yang banyak untuk anda, seperti pesanan anda biasanya."Grassiela menerima gelas itu dengan senang hati, menyesapnya perlahan. Rasa segar dan asam manis menyebar di lidahnya, membuatnya sedikit lebih rileks setelah semua ketegangan yang ia lalui. Ia melirik ke tempat tidur di mana James masih terbaring tak sadarkan diri, napasnya stabil namun tetap tak ada t
Di dalam ruang rawat eksklusif itu, suara detak monitor jantung James bergema samar, berpadu dengan dengung halus dari alat bantu pernapasan yang melekat di tubuhnya. Grassiela tetap duduk di tepi ranjang, jemarinya menggenggam erat tangan suaminya yang dingin dan tak bergerak. Matanya terus menatap wajah pria itu, memperhatikan setiap helaan napas yang naik turun dengan ritme lambat. Luka tembak di pinggang kirinya masih dibebat perban, selang infus serta alat medis lain tertempel di tubuhnya, membuatnya tampak begitu rapuh—sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi pada pria sekuat James. Suara langkah-langkah berat terdengar mendekat dari luar. Grassiela mengangkat kepalanya tepat saat pintu terbuka, dan di ambang pintu berdiri empat orang dengan aura yang begitu kuat hingga memenuhi ruangan. Fyodor Draxler.Pria itu adalah cerminan otoritas dan kebijaksanaan. Meski usianya sudah lebih dari enam puluh, dia masih berdiri tegak, penuh kh
Cahaya putih dari lampu di langit-langit terasa menyilaukan ketika Grassiela membuka kedua matanya. Pandangannya buram, kesadarannya masih setengah tersangkut di ambang mimpi. Udara di ruangan itu terasa steril, dengan aroma khas antiseptik yang memenuhi paru-parunya. Dia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami di mana dia berada. Perlahan, ingatan-ingatan berserakan memenuhi benaknya. Bayangan panggung teater, suara dentingan piano yang dimainkan Valerina, kilauan kalung berlian di lehernya, tatapan James yang tajam, lalu... suara tembakan. Seketika, napasnya tercekat. James!Dengan panik, Grassiela mencoba bangkit, tetapi sesuatu menarik pergelangan tangannya. Dia menoleh dan melihat infus terpasang di sana. Tubuhnya masih lemah, namun dorongan untuk mencari James lebih kuat dari rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya. Saat itu, pintu terbuka. Seorang wanita berambut pirang dengan sorot mata yang lembut masuk ke dalam ruangan. Jas pu
Ruangan menjadi sunyi saat panggung diterangi cahaya keemasan. Tirai beludru merah terbuka, menampilkan seorang wanita duduk di depan grand piano hitam yang megah—Valerina. Jari-jarinya menyentuh tuts dengan penuh kelembutan, memainkan intro pertama dari The Phantom of the Opera. Nada-nada awal yang misterius dan megah memenuhi ruangan, membawa suasana ke dalam dunia kisah cinta tragis yang telah melegenda. Di atas panggung, seorang penyanyi soprano muncul dalam gaun putih, membawakan "Think of Me" dengan suara yang jernih dan penuh emosi. Grassiela menyandarkan punggungnya, membiarkan suara dan musik menyelimutinya. Namun, ketika pertunjukan berlanjut ke "The Music of the Night", dengan Phantom bernyanyi penuh hasrat dan kesedihan, sesuatu di dalam dirinya mulai bergetar. Ketika adegan berpindah ke "The point of no return", di mana Christine dan Phanton menyanyi bersama, Grassiela merasa dadanya sesak. "Now I am here with y
Langkah Grassiela bergema di lantai marmer saat ia memasuki gedung teater yang megah. Gaun malamnya yang elegan berkilau di bawah cahaya lampu gantung, namun bukan itu yang menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Bisikan-bisikan terdengar di udara, memenuhi ruangan dengan rumor yang selama ini beredar tentangnya—tentang pernikahannya dengan seorang mafia Rusia, tentang kutukan yang melekat padanya, tentang dosa-dosa yang bahkan tak pernah ia lakukan. Grassiela tetap berjalan dengan kepala tegak. Ia tidak peduli. Di salah satu sudut, seorang wanita paruh baya dengan gaun hijau gelap menatapnya dengan senyum sinis. Irina Dzanayev, bibi dari James. "Kau cukup berani muncul di sini," sindir Irina, suaranya tajam. "Setelah semua yang terjadi, aku pikir kau akan lebih suka bersembunyi dalam bayang-bayang keponakanku." Grassiela menatapnya sejenak sebelum memberi jawaban tenang. "Aku tidak punya alasan untuk bersembunyi, Tatya. Apalagi
Grassiela berdiri di depan cermin, memastikan gaunnya jatuh dengan sempurna. Gaun indah berwarna hitam itu membalut tubuhnya dengan anggun, memancarkan pesona klasik yang sesuai untuk malam di teater. Rambut caramelnya telah disanggul rapi, menyisakan beberapa helai yang membingkai wajahnya dengan indah. Setelah merasa puas dengan penampilannya, ia duduk di depan meja rias. Di atas meja, ada sebuah kotak beludru hitam. Grassiela menatapnya sejenak, sebelum akhirnya tangannya yang ramping mengangkatnya dengan hati-hati. Ia membuka kotak itu perlahan, dan di dalamnya, berkilauan seuntai kalung berlian. Berlian hadiah dari James. Seharusnya, James yang akan memakaikan kalung ini untuknya. Seharusnya, dia ada di sini, berdiri di belakangnya, menyentuh kulitnya dengan jemarinya yang kasar namun hangat, lalu membisikkan sesuatu di telinganya sebelum mereka pergi ke teater bersama. Seharusnya. Tapi James masih belum pulang. Hati Gr
Grassiela duduk di ruang kerjanya, jemarinya mengetuk-ngetuk amplop undangan berwarna krem yang baru saja ia buka. Di dalamnya, tertulis undangan untuk menghadiri sebuah pertunjukan amal di Teater Stainslavsky yang dikirimkan oleh Valerina. "Rupanya dia belum menyerah," gumam Grassiela sebelum menghela napas pelan. Tepat saat dia hendak meletakkan undangan itu di meja, pintu terbuka, dan Runova masuk dengan nampan berisi segelas jus jeruk segar. "Selamat pagi, Nyonya," kata Runova sambil meletakkan gelas di depan Grassiela. Grassiela tersenyum dan mengambil gelasnya. "Terima kasih, Mrs. Runova. Bisa kau bawakan juga untuk James dan yang lainnya? Mereka sedang bermain golf di halaman, bukan?" Runova membungkuk sedikit sebagai tanda hormat. "Tentu, Nyonya. Akan segera saya siapkan." Setelah Runova pergi, Grassiela bangkit dari kursinya dan berjalan ke halaman belakang. Ia bisa melihat James dan orang-orangnya sedang
Ruang makan dipenuhi aroma kopi hitam yang baru saja dituangkan ke cangkir-cangkir porselen. Piring-piring berisi roti panggang, telur orak-arik, dan daging asap tersaji rapi di atas meja panjang dari kayu ek yang kokoh. James duduk di kursi ujung meja, mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang sedikit tergulung, memperlihatkan lengan berototnya yang kuat. Di sekelilingnya, para pria kepercayaannya telah duduk: Fausto, Benicio, Sergei, dan Alexsei. Sementara Grassiela duduk di sisi kanan James, mencoba menikmati sarapannya, meski pikirannya mulai terganggu oleh pembicaraan para pria itu. Percakapan mereka dengan cepat bergeser dari topik ringan menjadi diskusi bisnis yang serius. "Ada laporan terbaru dari pelabuhan di Odessa," kata Sergei sambil menuangkan susu ke dalam kopinya. "Pengiriman dari Kolombia mengalami keterlambatan, dan menurut informan kita, kartel Mendez sedang bermain di belakang kita." James mengaduk kopinya tanpa banyak ekspresi. "Aku sudah menduga mereka akan