Benvenuti a casa mia *Selamat Datang di rumahku. Sorprendente *Luar biasa. Bellissimo *Cantik. Grazie per questa calorosa accoglienza *Terima kasih atas sambutan hangat ini. Akhirnyaa mau gak mau harus 1 kamar lagii.. kira2 bakal jd akur atau malah berantem? Grassiela pasti kesel bgt, nich.. tp kita ada di pihak James, kan? Haha..
Malam itu, ruangan tampak suram. Hanya diterangi lampu gantung bergaya antik yang memancarkan cahaya keemasan, menciptakan bayangan samar di dinding. Aroma asap cerutu bercampur dengan harum whiskey yang baru saja dituang. James duduk di kursi besar di ujung meja, tatapannya tajam menembus gelas kaca di tangannya. Paolo berdiri di dekat jendela, memandang ke luar seolah mencari jawaban di antara bintang-bintang yang tersembunyi di balik awan gelap. Ketegangan memenuhi ruangan seperti udara yang berat. James memecah keheningan. "Aku sudah cukup sabar. Borsellino pikir dia bisa bermain-main dan pergi begitu saja." Paolo menoleh, senyum miring terbentuk di wajah tampannya yang khas Italia. "Kau akan memberi dia pelajaran?" James mengangguk, meletakkan gelasnya dengan suara beradu yang menggema. "Ya, tapi aku butuh pendapatmu. Bagaimanapun, dia adalah saudaramu. Dan aku menghargai itu." Paolo tertawa kecil, dan juga getir. "Saudara? Borsellino tidak pernah menganggapku sebagai saudara
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa suara ombak yang memecah di kejauhan. Di dalam kamar yang diterangi cahaya bulan samar, ketegangan terasa nyata. James mengunci pergerakan Grassiela dengan tatapannya yang dominan. Di wajahnya terlukis keteguhan dan kemarahan yang tertahan. Sementara Grassiela membalas tatapan tajam itu, menolak untuk menunjukkan rasa takut meski hatinya berdebar dengan keras. Di antara mereka, cemburu menguap seperti uap yang mengisi ruangan, menyelubungi setiap sudut dengan ketidakpastian. "Aku bukanlah orang yang akan tunduk padamu." Kata-kata Grassiela adalah perlawanan kecil di tengah lautan emosi yang meluap-luap, sebuah pernyataan yang menunjukkan bahwa dirinya tak semudah itu untuk ditaklukkan. "Kau pikir bisa lolos begitu saja setelah menamparku?" Sorot mata James tak mengisyaratkan ampun. Grassiela menahan napasnya, berusaha menenangkan diri dari ketakutan yang perlahan merayap. Lalu James melanjutkan kalimatnya, "Kau telah membuatku gila, Grassi
Pagi itu, sinar matahari lembut menyusup di antara dedaunan hijau, menciptakan bayangan yang menari-nari di atas meja bulat tempat Grassiela duduk. Di hadapannya, piring-piring kecil berisi beragam makanan khas Italia tersaji menggugah selera, aroma kopi espresso yang kuat menguar di udara. Namun, meski sarapan begitu melimpah, Grassiela menikmati semua hidangan tersebut sendirian, mengabaikan orang-orang yang tampak sibuk di sekitarnya. Dia melirik sekilas ke arah James, suaminya, yang tampak serius berbincang dengan Paolo di kejauhan. Suara mereka terdengar rendah dan terputus-putus, membahas sesuatu yang tak ingin Grassiela ketahui. Pandangannya kemudian beralih ke arah Alexsei dan Fausto yang dikelilingi belasan anggota mereka, kepala-kepala tertunduk saling berbisik, jelas merencanakan sebuah strategi yang berbahaya. Grassiela tahu, mereka pasti sedang menyiapkan serangan atau semacamnya. Namun, kini dia tidak lagi peduli. Setelah kejadian semalam, dia merasa posisinya di antara
Kelab malam elit itu berkilauan dengan gemerlap lampu dan musik yang menggelegar. Para tamu yang berkelas, berpakaian mewah dan anggun, menikmati malam mereka tanpa tahu apa yang akan segera terjadi. Di tengah keramaian, sebuah kelompok yang tak dikenal bergerak dengan tenang. Mereka mengenakan pakaian hitam yang mencolok, mata mereka tajam, mengawasi setiap sudut ruangan. Di depan kelompok itu, seorang pria bertubuh besar dan berwajah keras memimpin. Alexsei, pria Rusia dengan sorot mata tajam, mengisyaratkan kepada anak buahnya untuk bersiap. Dengan satu anggukan kepalanya, semuanya bergerak serentak. “Sekarang!” perintah Alexsei dengan suara dingin. Tanpa ragu, mereka mengeluarkan senjata dan menembakkannya ke plafon. Suara tembakan bergema di seluruh ruangan, mengalahkan dentuman musik yang sedang bermain. Plafon yang dihiasi lampu-lampu kristal hancur berantakan, menyebabkan pecahan kaca berjatuhan seperti hujan tajam. Seketika, suasana berubah menjadi kekacauan total. Orang-or
Paolo mengemudikan mobil dengan cepat melewati jalan-jalan kota yang mulai sepi. Di sampingnya, Grassiela duduk dengan mata terfokus ke depan, seolah-olah mencoba menembus kegelapan malam untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Di dalam hatinya, ada kegelisahan yang sulit diabaikan. Ketika mereka tiba di depan kelab, Grassiela lansung merasakan ada sesuatu yang salah. Tempat yang biasanya gemerlap, kini mencekam dengan orang-orang berpakaian serba hitam berkeliaran. Mereka tampak berjaga, bersama aura gelap yang menggantung di udara. "Romeo's Night?" Grassiela memandang Paolo tak mengerti. Dia bahkan tidak tahu bahwa James berada di gedung yang terlihat kacau ini. "Apa yang terjadi?" Paolo menatap Grassiela dengan penuh keyakinan. "Ada sesuatu yang harus James lakukan di dalam. Aku yakin, sesungguhnya kau sudah tahu siapa James sebenarnya," kata Paolo. "Sekarang, aku harap kau siap untuk apa pun yang akan kau lihat. Kemudian tanyakan pada dirimu sendiri, apa arti
Di sebuah ruangan redup dengan cahaya dari perapian yang hangat, James yang dikenal sebagai ahli strategi dengan otak tajam, duduk di ujung meja panjang, wajahnya tegang namun penuh determinasi. Alexsei, Fausto, dan Paolo duduk di sekelilingnya, memperhatikan dengan saksama peta yang terbentang di tengah meja.“Aku ingin semuanya berjalan mulus. Tidak ada kesalahan. Kita hanya punya satu kesempatan,” James membuka percakapan dengan suara dingin yang menggetarkan ruangan. Matanya menyapu wajah mereka satu per satu, memastikan mereka mengerti betapa pentingnya rencana ini.Paolo, seorang pria Italia bertubuh tegap dan wajah yang rupawan, mengangguk pelan. "Aku sudah memetakan semua jalur keluar. Kita bisa keluar melalui gudang, atau jika situasi mendesak, ada terowongan bawah tanah yang bisa kita gunakan. Namun, pintu belakang adalah pilihan terbaik jika kita ingin menghindari perhatian."James mengangguk. "Bagus. Kita harus pastikan tidak ada yang melarikan
Setelah tubuh Borsellino tumbang, suasana menjadi semakin kacau. Para tamu mulai berdesakan untuk melarikan diri. James segera memberi sinyal kepada Fausto dan Alexsei untuk segera meninggalkan tempat itu, sementara dia sendiri mulai mundur ke arah pintu. Alexsei membuka akses agar James dapat kembali ke mobilnya dengan aman. Namun saat James baru saja akan masuk ke dalam mobilnya, sebuah suara tembakan menggelegar menarik perhatiannya. Seketika matanya tertuju pada sosok yang berlari dengan kecepatan penuh, diikuti oleh beberapa orang bersenjata yang berusaha mengejarnya. Tubuhnya menegang seketika saat dia mengenali siapa sosok bergaun merah itu. "Grassiela!" James berseru, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seharusnya Grassiela sudah berada di mobil bersama Paolo dan yang lainnya, tapi sekarang dia ada di sini, di tengah bahaya sendirian! Tanpa berpikir panjang, James segera berlari ke arah Grassiela, meninggalkan pintu mobilnya terbuka. Dia mencapai Grassiela tepat ketika
Mobil melaju dengan kecepatan konstan, menembus kegelapan malam yang semakin dalam. Jalanan yang mereka lewati semakin sepi, hanya suara mesin yang memecah kesunyian. Grassiela memandang ke luar jendela, pikirannya terombang-ambing antara rasa bersalah dan kebingungan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. James, yang duduk di sampingnya, tetap diam. Wajahnya tetap menunjukkan ketegangan dan fokus yang sama. Grassiela merasa semakin sulit untuk menembus dinding emosional yang dibangun James saat ini. Dia ingin sekali tahu ke mana mereka akan pergi, tetapi ada sesuatu dalam sikap James yang membuatnya merasa bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, James akhirnya berbicara, meskipun suaranya tetap dingin dan terkendali. "Kita akan menuju tempat persembunyian sementara. Di sana kita bisa menunggu kabar dari Paolo dan yang lainnya." Grassiela mengangguk, merasa sedikit lega karena akhirnya mendapat jawaban. Malam i