Di sebuah ruangan redup dengan cahaya dari perapian yang hangat, James yang dikenal sebagai ahli strategi dengan otak tajam, duduk di ujung meja panjang, wajahnya tegang namun penuh determinasi. Alexsei, Fausto, dan Paolo duduk di sekelilingnya, memperhatikan dengan saksama peta yang terbentang di tengah meja.
“Aku ingin semuanya berjalan mulus. Tidak ada kesalahan. Kita hanya punya satu kesempatan,” James membuka percakapan dengan suara dingin yang menggetarkan ruangan. Matanya menyapu wajah mereka satu per satu, memastikan mereka mengerti betapa pentingnya rencana ini.Paolo, seorang pria Italia bertubuh tegap dan wajah yang rupawan, mengangguk pelan. "Aku sudah memetakan semua jalur keluar. Kita bisa keluar melalui gudang, atau jika situasi mendesak, ada terowongan bawah tanah yang bisa kita gunakan. Namun, pintu belakang adalah pilihan terbaik jika kita ingin menghindari perhatian."James mengangguk. "Bagus. Kita harus pastikan tidak ada yang melarikanSetelah tubuh Borsellino tumbang, suasana menjadi semakin kacau. Para tamu mulai berdesakan untuk melarikan diri. James segera memberi sinyal kepada Fausto dan Alexsei untuk segera meninggalkan tempat itu, sementara dia sendiri mulai mundur ke arah pintu. Alexsei membuka akses agar James dapat kembali ke mobilnya dengan aman. Namun saat James baru saja akan masuk ke dalam mobilnya, sebuah suara tembakan menggelegar menarik perhatiannya. Seketika matanya tertuju pada sosok yang berlari dengan kecepatan penuh, diikuti oleh beberapa orang bersenjata yang berusaha mengejarnya. Tubuhnya menegang seketika saat dia mengenali siapa sosok bergaun merah itu. "Grassiela!" James berseru, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seharusnya Grassiela sudah berada di mobil bersama Paolo dan yang lainnya, tapi sekarang dia ada di sini, di tengah bahaya sendirian! Tanpa berpikir panjang, James segera berlari ke arah Grassiela, meninggalkan pintu mobilnya terbuka. Dia mencapai Grassiela tepat ketika
Mobil melaju dengan kecepatan konstan, menembus kegelapan malam yang semakin dalam. Jalanan yang mereka lewati semakin sepi, hanya suara mesin yang memecah kesunyian. Grassiela memandang ke luar jendela, pikirannya terombang-ambing antara rasa bersalah dan kebingungan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. James, yang duduk di sampingnya, tetap diam. Wajahnya tetap menunjukkan ketegangan dan fokus yang sama. Grassiela merasa semakin sulit untuk menembus dinding emosional yang dibangun James saat ini. Dia ingin sekali tahu ke mana mereka akan pergi, tetapi ada sesuatu dalam sikap James yang membuatnya merasa bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, James akhirnya berbicara, meskipun suaranya tetap dingin dan terkendali. "Kita akan menuju tempat persembunyian sementara. Di sana kita bisa menunggu kabar dari Paolo dan yang lainnya." Grassiela mengangguk, merasa sedikit lega karena akhirnya mendapat jawaban. Malam i
Pagi itu, James terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang tidak biasa. Sinar matahari menembus celah-celah tirai jendela, menerangi ruang tamu yang dia gunakan untuk beristirahat. Aroma lezat dari dapur mulai menggoda indera penciumannya, memanggilnya untuk bangun dan menyambut hari. Dengan enggan, ia menghempaskan selimut yang entah datangnya dari mana lalu bangkit dari sofa. Pria itu berjalan menuju dapur, masih mengenakan kemeja putih tanpa dasi serta celana hitam yang sedikit kusut, sebuah tanda dari malam panjang yang baru saja berlalu. Dapur itu sederhana, tidak seperti dapur mewah yang biasa ia temui di rumah-rumah besar. Namun entah bagaimana, kesederhanaan ini terasa membawa kedamaian baginya. Saat ia memasuki dapur, matanya tertuju pada meja makan. Sarapan telah disiapkan dengan rapi, lengkap dengan roti, telur, dan secangkir kopi yang masih mengepul. Namun, sesuatu yang lain menarik perhatiannya—pintu dapur yang sedikit terbuka, membiarkan angin pagi masuk ke dalam r
Langit di atas hutan Castelbuono berwarna biru cerah, cahaya matahari yang lembut menerobos dedaunan, menciptakan permainan bayangan di atas tanah. Angin sepoi-sepoi membawa aroma pinus dan dedaunan yang segar. Grassiela berjalan dengan langkah ringan, rambut berwarna karamelnya diikat ekor kuda dan berkibar lembut di bawah pepohonan bersama apron merah muda yang menghiasi dress putih polosnya. James mengikuti dari belakang, matanya tak pernah lepas dari sosok menarik itu. Di setiap langkahnya, dia tampak waspada, meski diam-diam ada kehangatan dalam tatapannya. "Kau tidak perlu mengikutiku," kata Grassiela tiba-tiba, tanpa berbalik bersama langkahnya yang tetap ringan dan bebas. "Tidak perlu khawatir. Aku bisa menemukan jalan pulang sendiri nanti." James mendengus pelan, meski senyumnya hampir tak terlihat. "Aku hanya memastikan kau tidak tersesat atau membuat masalah." "Masalah?" Seketika Grassiela berhenti untuk menoleh menatap suaminya tajam. "Di sini, satu-satunya masalah ada
BROKEN FLOWER *** Ini adalah pernikahan yang sempurna. Ahli waris dari kerajaan bisnis di Rusia menikahi putri dari keluarga terpandang asal Inggris. Keduanya jelas tampak serasi. Tapi bukan kah kita menantikan sebuah drama? Pertanyaannya adalah, apa lagi yang diinginkan si ambisius Draxler dengan menikahi seorang gadis misterius? Pria itu jelas memiliki segalanya. Lagi pula, bagaimana mungkin seorang gadis yang tak pernah terlihat sebelumnya tiba-tiba muncul di tengah keluarga Stamford dan menjadi bagian dari mereka? Cukup menarik. Mari kita bertaruh, berapa lama usia pernikahan mereka? Para penggosip sudah tidak sabar untuk melontarkan hujatan serta cibiran di balik kisah keduanya. "Orang-orang mengatakan bahwa aku menikah dengan seorang pangeran. Tapi kupikir, dia lebih mirip seorang monster." -Grassiela Stamford-
Toronto, Canada 02:13 A.M Dalam gelapnya malam yang berselimut dingin dan sepi, seorang gadis remaja berjalan mengendap di sepanjang koridor yang sunyi. Langkah kakinya nyaris tak bersuara. Kedua tangannya mendekap erat bingkai kanvas, palet serta sebuah kotak berisikan berbagai jenis kuas dan cat warna. Sepasang manik birunya memandang penuh waspada ditemani penerangan lampu taman yang berpendar. Baiklah, ini memang bukan pertama kalinya ia menyelinap dari kamar asramanya dan pergi secara diam-diam menuju ke halaman belakang. Gadis itu tahu benar para penjaga yang biasanya berkeliaran untuk memastikan keamanan seluruh wilayah asrama, baru saja melewati koridor ini. Maka ia cukup yakin, tak ada seorang pun yang akan melihatnya mengendap di pukul dua pagi. Kecuali jika ia harus tertangkap basah oleh salah satu penjaga pribadinya yang ditempatkan di sekeliling batas asrama. Itu adalah hal yang terburuk. Sesampainya di area halaman belakang, sebuah senyuman merekah. Gadis itu kembali
Chapter 2 *** Sebelas tahun kemudian. Newcastle, Inggris. Awan yang menggumpal benar-benar terlihat sangat gelap siang ini. Padahal prakiraan cuaca yang ditayangkan di televisi memperediksikan bahwa cuaca akan cerah meski berawan. Namun rupanya langit mempunyai rencana lain untuk turut menunjukan duka, seperti hal nya orang-orang yang berkumpul dengan pakaian hitam mereka. Saat sang pendeta mengucapkan doa di depan makam, orang-orang yang hadir di sana menundukan pandangannya. Tak ada yang tahu siapa yang bener-benar ikut bersedih atau hanya berpura-pura demi menghormati keluarga yang baru saja ditinggalkan. Tapi setidaknya mereka tahu bagaimana caranya bersimpati. Rintik hujan mulai turun tepat setelah pemakaman selesai. Orang-orang yang berkumpul membubarkan diri setelah mereka kembali mengucapkan sesuatu yang berarti pada keluarga yang berduka. Termasuk seorang wanita yang usianya sudah tidak muda lagi, namun wajahnya masih tampak cantik di balik topi fascinator dengan aksen fi
Chapter 3 *** "Kau akan mendapat masalah jika tidak membawa gaunnya. Jangan terlambat, aku akan berada di panti asuhan lima belas menit lagi." Grassiela nyaris melempar ponselnya setelah membaca pesan text tersebut. Sial! Dia sudah terlambat. Isabele benar-benar menyebalkan dan Grassiela tak punya pilihan selain menyambar tas kertas berisikan gaun yang belum lama ini ia miliki sebelum terburu-buru menuju mobilnya di pelataran. Entah permasalahan macam apa yang akan Isabele ciptakan jika Grssiela tidak melakukan perintahnya. Sesungguhnya ia yakin bahwa ancaman itu hanyalah omong kosong belaka dan Grassiela sama sekali tidak peduli. Tapi pagi ini suasana hati wanita itu sedang tidak baik. Ada resah yang sejak semalam bergumul dalam hatinya. Grassiela tak tahu mengapa, tapi ia merasa bahwa pagi ini dirinya memang harus segera menemui sahabatnya. Lari-lari kecil itu mendadak terhenti tepat di depan pintu utama. Grassiela mendengus kesal saat mendapati seorang pria pelontos bertubuh be