Dah lah.. aq pengn interaksi James & Grassiela aja.. ya, kan?
Malam itu, mansion berdiri megah namun suram di bawah sinar rembulan yang pucat. Angin malam yang dingin menyusup melalui celah-celah jendela, membawa serta aroma bunga mawar yang layu. Pepohonan di sekitar mansion bergoyang lembut, menciptakan bayangan-bayangan misterius di halaman. Kolam renang mansion terletak di bagian belakang rumah, tersembunyi di balik dinding-dinding tinggi yang tertutup dan tanaman merambat. Air kolam yang tenang memantulkan cahaya bulan lewat jendela-jendela besar yang berwarna warni, memberikan kilauan magis. Lampu-lampu kecil di sekitar kolam memberikan penerangan redup, menciptakan suasana tenang namun penuh misteri. Di tepi kolam, bangku-bangku kayu dan kursi santai berjejer bersama tanaman hias yang tertata rapi. Namun, dalam cahaya redup malam, semuanya tampak seperti siluet gelap yang mengintai. Di tengah ketenangan itu, suara gemericik air terdengar samar. Grassiela, dengan gaun tidur sutranya yang berwarna putih, duduk di tepi dengan sebagian kaki
Orang-orang mengatakan, bahwa cara terbaik untuk mengatasi ketakutan adalah dengan menghadapinya. Grassiela mungkin harus mencoba melakukannya. Dia tidak punya pilihan. Semua perasaan kompleks yang nyaris membuatnya frustasi, seolah tak berujung. Ketakutan, kecemasan dan perasaan terperangkap membuatnya tertekan. "Aku menginginkanmu seutuhnya." Grassiela menatap bayangan dirinya yang kuyup di depan cermin. Berkali-kali ia bertanya pada diri sendiri. "Apa yang James inginkan darinya?" Grassiela tak menemukan jawaban. Dan hanya ada rasa ngeri yang menghantui. Marah, frustasi, semua itu tak berarti. Kita semua tahu bahwa dia tidak mendapatkan dukungan dari siapapun. Grassiela harus menahan semua beban perasaan itu sendirian. Dan sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya menjadi bukti pengikat yang tak akan pernah bisa lepas. Namun, jika Grassiela merasa menjadi korban atas pernikahan sepihak ini, mengapa kita tidak berpikir untuk membalikkan fakta? Wanita muda itu membasuh wajah
Malam itu, ruangan tampak suram. Hanya diterangi lampu gantung bergaya antik yang memancarkan cahaya keemasan, menciptakan bayangan samar di dinding. Aroma asap cerutu bercampur dengan harum whiskey yang baru saja dituang. James duduk di kursi besar di ujung meja, tatapannya tajam menembus gelas kaca di tangannya. Paolo berdiri di dekat jendela, memandang ke luar seolah mencari jawaban di antara bintang-bintang yang tersembunyi di balik awan gelap. Ketegangan memenuhi ruangan seperti udara yang berat. James memecah keheningan. "Aku sudah cukup sabar. Borsellino pikir dia bisa bermain-main dan pergi begitu saja." Paolo menoleh, senyum miring terbentuk di wajah tampannya yang khas Italia. "Kau akan memberi dia pelajaran?" James mengangguk, meletakkan gelasnya dengan suara beradu yang menggema. "Ya, tapi aku butuh pendapatmu. Bagaimanapun, dia adalah saudaramu. Dan aku menghargai itu." Paolo tertawa kecil, dan juga getir. "Saudara? Borsellino tidak pernah menganggapku sebagai saudara
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa suara ombak yang memecah di kejauhan. Di dalam kamar yang diterangi cahaya bulan samar, ketegangan terasa nyata. James mengunci pergerakan Grassiela dengan tatapannya yang dominan. Di wajahnya terlukis keteguhan dan kemarahan yang tertahan. Sementara Grassiela membalas tatapan tajam itu, menolak untuk menunjukkan rasa takut meski hatinya berdebar dengan keras. Di antara mereka, cemburu menguap seperti uap yang mengisi ruangan, menyelubungi setiap sudut dengan ketidakpastian. "Aku bukanlah orang yang akan tunduk padamu." Kata-kata Grassiela adalah perlawanan kecil di tengah lautan emosi yang meluap-luap, sebuah pernyataan yang menunjukkan bahwa dirinya tak semudah itu untuk ditaklukkan. "Kau pikir bisa lolos begitu saja setelah menamparku?" Sorot mata James tak mengisyaratkan ampun. Grassiela menahan napasnya, berusaha menenangkan diri dari ketakutan yang perlahan merayap. Lalu James melanjutkan kalimatnya, "Kau telah membuatku gila, Grassi
Pagi itu, sinar matahari lembut menyusup di antara dedaunan hijau, menciptakan bayangan yang menari-nari di atas meja bulat tempat Grassiela duduk. Di hadapannya, piring-piring kecil berisi beragam makanan khas Italia tersaji menggugah selera, aroma kopi espresso yang kuat menguar di udara. Namun, meski sarapan begitu melimpah, Grassiela menikmati semua hidangan tersebut sendirian, mengabaikan orang-orang yang tampak sibuk di sekitarnya. Dia melirik sekilas ke arah James, suaminya, yang tampak serius berbincang dengan Paolo di kejauhan. Suara mereka terdengar rendah dan terputus-putus, membahas sesuatu yang tak ingin Grassiela ketahui. Pandangannya kemudian beralih ke arah Alexsei dan Fausto yang dikelilingi belasan anggota mereka, kepala-kepala tertunduk saling berbisik, jelas merencanakan sebuah strategi yang berbahaya. Grassiela tahu, mereka pasti sedang menyiapkan serangan atau semacamnya. Namun, kini dia tidak lagi peduli. Setelah kejadian semalam, dia merasa posisinya di antara
Kelab malam elit itu berkilauan dengan gemerlap lampu dan musik yang menggelegar. Para tamu yang berkelas, berpakaian mewah dan anggun, menikmati malam mereka tanpa tahu apa yang akan segera terjadi. Di tengah keramaian, sebuah kelompok yang tak dikenal bergerak dengan tenang. Mereka mengenakan pakaian hitam yang mencolok, mata mereka tajam, mengawasi setiap sudut ruangan. Di depan kelompok itu, seorang pria bertubuh besar dan berwajah keras memimpin. Alexsei, pria Rusia dengan sorot mata tajam, mengisyaratkan kepada anak buahnya untuk bersiap. Dengan satu anggukan kepalanya, semuanya bergerak serentak. “Sekarang!” perintah Alexsei dengan suara dingin. Tanpa ragu, mereka mengeluarkan senjata dan menembakkannya ke plafon. Suara tembakan bergema di seluruh ruangan, mengalahkan dentuman musik yang sedang bermain. Plafon yang dihiasi lampu-lampu kristal hancur berantakan, menyebabkan pecahan kaca berjatuhan seperti hujan tajam. Seketika, suasana berubah menjadi kekacauan total. Orang-or
Paolo mengemudikan mobil dengan cepat melewati jalan-jalan kota yang mulai sepi. Di sampingnya, Grassiela duduk dengan mata terfokus ke depan, seolah-olah mencoba menembus kegelapan malam untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Di dalam hatinya, ada kegelisahan yang sulit diabaikan. Ketika mereka tiba di depan kelab, Grassiela lansung merasakan ada sesuatu yang salah. Tempat yang biasanya gemerlap, kini mencekam dengan orang-orang berpakaian serba hitam berkeliaran. Mereka tampak berjaga, bersama aura gelap yang menggantung di udara. "Romeo's Night?" Grassiela memandang Paolo tak mengerti. Dia bahkan tidak tahu bahwa James berada di gedung yang terlihat kacau ini. "Apa yang terjadi?" Paolo menatap Grassiela dengan penuh keyakinan. "Ada sesuatu yang harus James lakukan di dalam. Aku yakin, sesungguhnya kau sudah tahu siapa James sebenarnya," kata Paolo. "Sekarang, aku harap kau siap untuk apa pun yang akan kau lihat. Kemudian tanyakan pada dirimu sendiri, apa arti
Di sebuah ruangan redup dengan cahaya dari perapian yang hangat, James yang dikenal sebagai ahli strategi dengan otak tajam, duduk di ujung meja panjang, wajahnya tegang namun penuh determinasi. Alexsei, Fausto, dan Paolo duduk di sekelilingnya, memperhatikan dengan saksama peta yang terbentang di tengah meja.“Aku ingin semuanya berjalan mulus. Tidak ada kesalahan. Kita hanya punya satu kesempatan,” James membuka percakapan dengan suara dingin yang menggetarkan ruangan. Matanya menyapu wajah mereka satu per satu, memastikan mereka mengerti betapa pentingnya rencana ini.Paolo, seorang pria Italia bertubuh tegap dan wajah yang rupawan, mengangguk pelan. "Aku sudah memetakan semua jalur keluar. Kita bisa keluar melalui gudang, atau jika situasi mendesak, ada terowongan bawah tanah yang bisa kita gunakan. Namun, pintu belakang adalah pilihan terbaik jika kita ingin menghindari perhatian."James mengangguk. "Bagus. Kita harus pastikan tidak ada yang melarikan
Seorang wanita mengemudikan mobilnya dengan tenang, melewati jalan-jalan kota, menuju mansion besar di Newcastle yang telah lama menjadi rumahnya. Setelah beberapa waktu, mobilnya akhirnya berhenti di depan pintu besar mansion. Martha, pelayan yang telah lama bekerja di mansion itu, segera menghampirinya.“Nyonya, ada tamu yang datang,” kata Martha dengan suara pelan, wajahnya menunjukkan sedikit keheranan.“Siapa?”Martha menjawab ragu-ragu, “Nyonya Helena.”Laurine terdiam sejenak. Tanpa berkata lebih lanjut, dia melangkah keluar dari mobil dan menuju taman. Di sana, dia melihat anak laki-lakinya yang masih berusia dua tahun, bermain dengan seorang wanita paruh baya.Laurine mendekat, matanya terfokus pada wanita itu.Helena, tampak senang bermain dengan anak dari keponakannya di taman yang luas. Tangan-tangannya yang lembut membelai rambut anak kecil itu, membuatnya tertawa riang. Sebuah pemandangan yang begitu damai, mes
Langit di luar jendela kamar Grassiela tampak berawan. Tirai tipis bergoyang perlahan tertiup angin. Di dalam kamar yang hangat dan tertata rapi, seorang dokter kandungan wanita, berusia sekitar lima puluhan, tengah menurunkan stetoskopnya dari telinga.Grassiela duduk di atas ranjang dengan bantal menopang punggungnya, mengenakan gaun tidur satin berwarna merah muda. Di sisi lain ruangan, Helena berdiri tampak cemas dan penasaran. Sementara Alexa, berdiri tenang di dekat pintu, memperhatikan dengan saksama.Dokter itu menatap Grassiela dengan senyum tipis. "Kehamilannya sehat, usia janin kira-kira sebelas minggu. Detak jantungnya kuat. Tapi, Anda harus benar-benar menjaga diri, Nona Grassiela. Tidak boleh ada stres berlebih." Grassiela menatap perutnya yang belum begitu tampak membuncit. Tangannya perlahan menyentuhnya. Ada keheningan yang menggantung di udara.Helena berdiri tak jauh dari ranjang, matanya mengamati setiap ger
Di tengah ruang makan yang luas dan temaram, James duduk sendirian di ujung meja panjang dari kayu. Kepulan asap cerutu melayang lambat di udara, mengambang bersama kenangan yang tak juga pudar.Tangannya yang kekar menggenggam cerutu setengah terbakar, sementara matanya menatap kosong ke piring kosong di hadapannya. Tidak ada pembicaraan bisnis, tidak ada suara sendok beradu dengan piring, tidak ada suara Benicio yang suka berdebat mengenai kebijakan bisnis dengan Sergei, tidak ada Alexsei yang mengumpat karena mereka terlalu berisik, dan tidak ada Grassiela yang kesal karena meja makan berubah menjadi tempat rapat dadakan. Kini ruangan itu sunyi. Hampa.James menarik napas dalam, namun dadanya tetap terasa sesak. Ia memejamkan mata. Terlintas bayangan Grassiela yang tersenyum menggodanya, kadang-kadang juga mengomel saat dia sedang marah pada dunia. James biasa melihatnya duduk di kursi itu. Di sampingnya.Tapi sekarang…Ja
Rintik hujan membasahi kaca jendela mobil hitam yang melaju kencang di jalanan sepi, membelah gelap malam seperti peluru melesat tanpa arah. Di kursi belakang, Benicio duduk gelisah. Kedua tangannya terkepal erat di pangkuan, dan sesekali ia menengok jam tangannya, seakan jarum detik adalah algojo yang memburunya. "Percepat lagi," katanya pada sopir muda di depan. Suaranya dalam dan berat, tapi penuh kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Lalu pedal gas yang ditekan terdengar jelas setelah itu. Benicio memejamkan matanya. Wajah Grassiela melintas— wajah yang pucat, lemah, dengan napas berat, menggenggam pergelangan tangannya saat ia mengucap: "Sebagai seseorang yang akan dijatuhi hukuman mati, aku berhak meminta sesuatu, bukan?" "Aku ingin kau merahasiakan kondisiku. James tak akan mengetahuinya. Dia tidak akan pernah mendapatkannya." Saat itu, Benicio ingin menolak. Ingin mengatakan bahwa James berhak tahu. Dan fakta itu akan menjadi kunci untuk menyelamatkan nyawanya dari huk
Hukuman mati. Grassiela berdiri membeku, tubuhnya terasa seakan kehilangan daya saat kata-kata James menghantamnya seperti belati tajam. Matanya membesar dalam keterkejutan yang begitu nyata. "Tak ada lagi pengampunan," suara James terdengar parau, nyaris bergetar, tapi tegas. Sepasang mata kelabunya menatap Grassiela penuh kepedihan. "Kau telah menghancurkan semuanya. Kau membunuh kepercayaanku, membunuh rasa hormatku padamu, membunuh… cintaku." Dunia Grassiela seketika runtuh. Jantungnya berdebar begitu kencang, bukan karena amarah atau ketakutan, tetapi karena kesakitan yang mengoyak hatinya. Semuanya selesai. Bukan karena putusan hukuman mati yang dijatuhkan padanya dengan tidak adil. Melainkan karena Grassiela sudah benar-benar kehilangan cinta James. Kehilangan satu-satunya alasan untuk dia bertahan. James mendekatinya, ekspresinya gelap dan penuh keputusan. "Kau satu-satunya wanita yang membuatku tergila-gila," bisiknya. "Tapi kini aku sadar, terbuai dalam cinta hany
Langit sudah menjadi gelap ketika Grassiela turun dari mobil, tumit sepatunya menghantam aspal basah di halaman mansion. Udara malam yang dingin menusuk kulitnya, tapi itu bukan apa-apa dibandingkan dinginnya hatinya saat ini. Di kanan dan kirinya, para pelayan dan pengawal berjejer rapi, menundukkan kepala penuh hormat saat dia melangkah melewati mereka. Grassiela berdiri diam di depan mansion megah itu, kepulangan yang seharusnya menjadi hal biasa justru terasa seperti hukuman. Matanya menelusuri tiap detail bangunan yang pernah ia pikir akan menjadi tempat tinggalnya, tempat di mana ia bisa menyentuh hati James dengan caranya sendiri. Namun, kenyataan telah membuktikan betapa keliru pikirannya. Mansion ini bukan istana tempat ia menjadi permaisuri, melainkan sebuah kurungan yang perlahan-lahan menghancurkan jiwanya. Angin dingin menyapu wajahnya, seolah mengingatkannya pada semua luka yang pernah terukir di tempat ini. Para pelayan yang berbaris rapi di pintu masuk masih membungk
Di dalam ruang rawat yang masih berbau khas antiseptik, Runova sibuk membereskan barang-barang Grassiela ke dalam koper. Tangannya cekatan melipat pakaian, sementara matanya sesekali melirik ke arah Grassiela dan Alexsei yang tengah berbicara di dekat jendela. Grassiela berdiri dengan wajahnya yang masih pucat, namun tatapannya serius. Alexsei, dengan sikap tenangnya yang khas, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan menatapnya dalam. "Jika kau pulang sekarang dan menghadapi James, maka kau akan mendapatkan keputusan saat itu juga," kata Alexsei, suaranya datar namun tegas. Grassiela tidak langsung menjawab. Matanya menatap ke luar jendela, memandangi langit sore yang mulai berubah jingga. Napasnya terhela pelan sebelum ia berbalik menghadap Alexsei. "Aku siap dengan keputusan apa pun," ucapnya penuh keyakinan. "Aku tidak mau mengulur waktu dengan ketidak pastian. Semua harus diselesaikan secepatnya." Alexsei menatapnya beberapa detik, seolah ingin memastikan
Grassiela duduk diam di atas kasur ruang rawat VVIP, membiarkan dirinya tenggelam dalam kesunyian. Selimut putih membungkus tubuhnya yang terasa lemah, sementara tatapannya kosong menatap jendela besar di seberang ruangan. Matahari sudah mulai tenggelam, menyisakan warna jingga redup di langit. Di sampingnya, Runova dengan sabar mencoba membujuknya untuk makan. “Nyonya, anda harus makan sesuatu. Saya tahu anda tidak nafsu makan, tapi tubuh anda terlalu lemah. Setidaknya beberapa suap saja.” Grassiela tetap diam, pikirannya melayang entah ke mana. Mual, pusing, dan kelelahan terus menggerogoti tubuhnya, tapi bukan itu yang membuatnya merasa benar-benar hancur. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa James… mengabaikannya.Ia menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk bertanya, “Bagaimana keadaan James?” Runova tampak sedikit terkejut karena akhirnya Grassiela berbicara. “Kondisinya berangsur pulih. Sudah jauh lebih baik sekarang."Grassiela terdiam, mencoba mencerna kaba
Tangisan bayi pertama itu menggema di ruangan yang dipenuhi oleh dokter dan perawat. Seiring dengan suara tangisnya, sorak sorai dan tepuk tangan bergema di luar ruangan, di antara kerumunan keluarga, rekan bisnis, serta orang-orang kepercayaan Fyodor Draxler. Seorang putra telah lahir. Seorang pewaris. Seorang calon Bos mereka. Masa depan kerajaan bisnis Draxler kini memiliki penerus. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Fyodor justru berdiri membisu di samping ranjang istrinya. Tatapannya kosong, tangannya gemetar saat menggenggam tangan wanita yang kini terbaring tak lagi bernapas. Bibirnya bergetar, mencoba mengucapkan sesuatu, tapi yang keluar hanyalah bisikan berat yang dipenuhi kepedihan. Wanita yang paling dicintainya, yang ia janjikan akan hidup bahagia bersamanya, kini telah pergi. “Selamat, Tuan Draxler. Putra Anda sehat dan kuat.” Fyodor tak menjawab. Ia hanya menunduk, menggenggam tangan istrinya lebih erat, seolah berharap kehangatan