Setelah Anthony menikah lagi, pria tersebut langsung menghilang bak ditelan bumi, sama sekali tak ada kabar. Namun, 7 tahun kemudian Anthony muncul lagi. Pria itu berdiri di depan gerbang sekolah Evelyn.
Evelyn yang hari itu tampak lesu, dikarenakan dia habis kena tegur wali kelasnya. Kesalahan Evelyn saat itu adalah dia ketahuan menyontek. Evelyn yang dulu terkenal sebagai murid yang rajin dan pandai.
Cuaca hari itu begitu sangat mendung. Gulungan awan hitam mampu mengusir sinar matahari yang menyengat. Ya, hamparan awan hitam terus bergerak menutupi awan putih. Sesaat terdengar suara gemuruh petir yang menandakan hujan akan segera turun.
Gadis berambut blondy dengan manik mata berwarna biru melangkah menuju gerbang sekolah. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti. Sorot matanya tajam menatap seseorang.
Anthony yang sadar akan kedatangan Evelyn segera memposisikan dirinya berdiri tegap dari sandarannya di mobil. Evelyn memasang muka tidak suka akan kedatangan Anthony di sekolahnya. Evelyn terlihat cuek saat melewati Anthony, dia sama sekali tak menyapa Ayahnya.
"Eve ... Evelyn, are you hear me!" teriak Anthony. Namun, Evelyn tak menghiraukannya. Dia terus melangkah menjauh dari Anthony.
Pria tersebut dengan sigap menyusul Evelyn dan menarik tangannya. Merasa tarikan kasar dari Anthony, Evelyn menepis tangan pria tersebut.
"Lepas!" pekik Evelyn. "Ayah menyakiti tanganku!" lanjutnya.
"Kenapa kau tidak menjawab waktu Ayah panggil?!"
"Memangnya harus!" balas Evelyn ketus.
"Seperti itukah jawabanmu pada Ayahmu ini?!"
"Apakah masih pantas, jika aku panggil Ayah!" Evelyn menatap Anthony tajam. Terlihat aura kebencian dalam sorot mata Evelyn. "Jika Ayah tak bisa menjadi suami yang baik, maka jadilah Ayah yang baik untuk anak-anakmu. Namun, jika tidak bisa melakukan keduanya, maka kau tidak berhak dihormati sebagai seorang pria!" ucapan Evelyn baru saja membuat Anthony meradang. Tak peduli dia berada dimana, Anthony mengangkat tangannya hendak menampar Evelyn yang tak lain adalah anak kandungnya sendiri.
Namun, sebelum itu terjadi. Tampak seorang pemuda mendekati Anthony dan menahan tangannya.
"Apa pantas seorang Ayah melakukan hal seperti ini pada anaknya?" tutur pemuda tersebut. "Anda tak layak disebut sebagai seorang Ayah!" tambahnya.
Manik mata dengan warna abu-abu tersebut menatap tajam pria yang berdiri di depannya. Mereka berdua saling beradu pandang, keadaan menjadi sangat tegang. Namun, secara tiba-tiba ucapan Evelyn mengalihkan atensi keduanya.
"Tak ada gunanya Ayah datang ke sini!"
Evelyn membalikkan badannya, dan melangkah meninggalkan mereka berdua.
"Eve!" teriak Anthony, membuat Evelyn menghentikan langkahnya. "Ayah hanya ingin mengajakmu bertemu dengan Ibu barumu."
"Sudah berapa tahun kau menghilang, sekarang muncul lagi di hadapanku, dan mengajakku bertemu dengan dia. Kenapa baru sekarang!" pekik Evelyn. "Simpan saja keinginanmu itu. Aku tidak butuh dia dan tidak ingin mengenalnya. Yang aku tahu, aku hanya punya satu orang Ibu bernama Amanda!" jelas Evelyn tanpa menoleh sedikit pun, lalu dia kembali berjalan tanpa menghiraukan panggilan Anthony.
__***__
Evelyn menutup matanya, sesaat setelah dia merebahkan tubuhnya di ranjang. Namun, mata itu kembali terbuka. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Evelyn, tapi dia terus teringat dengan sosok anak laki-laki bermata abu-abu dan berambut blonde. Evelyn memang belum mengenal sosok anak laki-laki tersebut, akan tetapi Evelyn terlihat sangat penasaran. Evelyn bangkit dari tidurnya, sesaat dia terdiam merenung.
"Hmm, aku rasa anak laki-laki itu bukan murid di sekolahan ku," ucapnya. Evelyn kembali mengingat seragam sekolah yang dikenakan anak laki-laki tersebut. "Aku harus mencari tahu siapa dia, dan juga aku harus berterima kasih padanya." Evelyn kembali membaringkan tubuhnya.
Malam kian larut, dinginnya angin malam menyelimuti tubuh mungil Evelyn. Diraihnya selimut bulu tebalnya, dan dia menarik sampai sebatas dada. Tak kuasa menahan rasa kantuk, akhirnya Evelyn tertidur lelap.
Jam berganti jam, hingga malam berganti pagi. Evelyn bergerak menggeliat pelan, matanya terbuka perlahan menatap korden di sebelah ranjangnya. Tampak seberkas sinar mentari menyeruak masuk, melewati cela-cela jendela kamar. Manik matanya melirik jam yang ada di atas nakas.
"Sudah jam 6 pagi," lirihnya. Evelyn bangkit dari ranjangnya, bergegas menuju kamar mandi untuk segera membersihkan diri.
Selesai merapikan pakaiannya, Evelyn segera keluar dari kamarnya. Di ruang makan, nenek Pamela sudah menunggunya.
"Selamat pagi, Nek!" sapa Evelyn.
"Selamat pagi, Eve. Duduklah, nenek sudah menyiapkan sarapan untukmu," balas nenek Pamela.
Evelyn menarik kursi dan segera duduk, "Terima kasih, Nek!"
"Eve ...."
"Iya ...." Evelyn menatap nenek Pamela.
"Sebentar lagi kau akan lulus. Nenek berharap, kau harus rajin belajar," Nenek Pamela menatap Evelyn.
Evelyn terdiam, tatapan matanya masih memperhatikan wanita tua di depannya.
"Nenek tahu, kau pasti sangat benci dengan kedua orang tuamu. Nenek pun tidak ingin baik kau ataupun Elying bernasib sama,"
"Aku memahami itu, Nek!" Evelyn bangkit dari kursinya, "baiklah Nek, Eve berangkat dulu!"
Evelyn melangkahkan kakinya menyusuri trotoar jalanan desa. Pagi itu tampak ramai dengan rutinitas seperti hari-hari biasa, banyak anak-anakmu yang berlalu lalang berangkat ke sekolah. Evelyn terus melangkah setapak demi setapak. Namun, ada yang lain dari tatapan Evelyn pagi itu. Dia tampak berjalan sambil melamun, dia tampak tak menghiraukan sekitar, pandangannya tampak kosong hingga Evelyn pun tak sadar jika dirinya telah sampai di perempatan jalan yang sangat ramai dengan berbagai macam kendaraan. Dia masih terus berjalan hingga akhirnya sebuah tangan menariknya ke tepi jalan.
"Hey, hati-hati dan perhatikan langkahmu!" ujarnya. Seketika Evelyn tersadar, dia hampir saja terserempet sebuah mobil, tapi untunglah ada seseorang yang dengan sigap langsung menariknya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya anak laki-laki tersebut. Evelyn menatap pemuda tampan yang ada di sebelahnya. Pemuda yang sama seperti hari kemarin.
"Hey, aku bertanya padamu, apa kau tidak apa-apa?" Anak laki-laki tersebut mengulangi pertanyaannya.
"Ti-tidak. Terima kasih sudah menolongku. Entah apa jadinya jika tadi kau tidak menolongku. Mungkin aku sudah terkapar dijalan bersimbah darah di mana-mana!"
"Emm, jaga ucapanmu juga, pepatah bilang kalau ucapan adalah doa." Anak laki-laki tersebut tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
"Maaf, tapi sekali lagi terima kasih!" ucap Evelyn.
"Tak masalah!" ucapnya, lalu melangkahkan kakinya.
"Heeyyy!!" teriak Evelyn membuat langkah anak laki-laki itu terhenti, lalu dia menoleh ke belakang.
"Kau tidak ingin terlambat masuk sekolah 'kan?" tanyanya pada Evelyn yang terlihat bengong.
"A-apa!" Evelyn melirik jam yang melingkar di tangannya, "ah, kita bisa telat!" teriaknya lagi.
Evelyn berlari mendahului anak laki-laki tersebut yang hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak laki-laki tersebut kemudian menyusul Evelyn. Evelyn mempercepat langkahnya, akan tetapi dia selalu tertinggal.
"Hey, kenapa kau berjalan begitu cepat!"
"Apa langkah kakiku terlalu lebar?" tanya anak laki-laki itu.
"Tentu saja!" Evelyn terlihat kesal.
"Kita sudah sampai!" ucap anak laki-laki itu.
Evelyn memiringkan kepalanya, "kau sekolah di sini?" tanya Evelyn disambut anggukan kepala dari anak laki-laki itu, "tapi seragam mu itu ...."
"Aku baru saja pindah!" jawabnya. "Ayo masuk. Sebentar lagi bell akan berbunyi."
Anak laki-laki tersebut meraih tangan Evelyn dan menggandengnya masuk ke dalam gerbang sekolah. Evelyn terlihat kaget, dia menatap genggaman tangan anak laki-laki itu. Namun, segera Evelyn melepaskannya.
"Kenapa?" tanyanya heran.
"Tidak apa-apa, tidak enak saja dilihat murid-murid lainnya, apalagi para guru. Sedangkan kita berdua juga belum saling kenal!" tegasnya. Anak laki-laki itu memahaminya, dan kembali memperlihatkan senyum dengan lesung pipi yang menghias pipinya.
Dimple-nya membuat Evelyn terkesima dibuatnya. Lantas, dia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menyadarkannya dari dunia keolengannya.
"Kau kenapa?" tanyanya yang merasa aneh dengan apa yang dilihatnya.
"Tidak ada. Ayo masuk!" ajak Evelyn.
Evelyn melangkahkan kakinya terlebih dahulu, meninggalkan anak laki-laki tersebut.
Bell masuk berbunyi nyaring, Evelyn tampak tak menghiraukan anak laki-laki tersebut. Dia langsung berlari masuk ke dalam kelas dan duduk di bangkunya.
"Kenapa aku tadi meninggalkannya? Bukankah seharusnya aku membantunya atau memberitahukan ruang kepala sekolah sekolah!" beonya lirih.
"Tapi—ah, sudahlah. Dia bisa bertanya pada murid yang lain. Dia 'kan bukan anak kecil lagi!" imbuhnya.
"Kau kenapa, Eve?" tanya Alice menghampiri Evelyn.
"Eh, apa? Memangnya aku kenapa?" kata Evelyn tidak mengerti apa yang dimaksud Alice.
"Kau tadi bilang apa? Aku merasa mendengarkan kau mengatakan Kepala Sekolah. Apa hari ini Kepala Sekolah akan mengisi kelas kita?" cerca Alice.
"Tidak ... tidak ada yang akan masuk ke kelas kita!" kata Evelyn asal. Selang beberapa menit, seorang murid berteriak.
"Hari ini kosong, tidak ada jadwal apapun!" teriaknya menggelegar ke seluruh ruang kelas.
"Apa? Hari ini tidak ada jadwal pelajaran?" seru salah seorang siswa perempuan. Setempak kelas menjadi ramai karena seluruh murid berteriak karena mendengar bahwa hari itu jadwal kosong.
Alice langsung menoleh menatap Evelyn, dan mengangkat alis kanannya.
"Sejak kapan kau jadi cenayang?"
"Tadi aku hanya asal bicara!"
"Baguslah, setidaknya ucapanmu berbuat manis ha ha ha—" Alice tertawa lepas.
"Kita bebas? Hari ini?" Sabrina yang tiba-tiba berdiri di sebelah Evelyn.
"Astaga! Kau ini mengagetkanku!"
"Dari mana kau ini?"
"Aku? Dari toilet!" Sabrina tertawa, "kalau hari ini kita bebas. Apa ada yang akan mengisi kekosongan kelas kita? Atau mungkin akan kosong dan riuh?"
"Mungkin kepala sekolah!" celetuk Evelyn.
"Eveeeee!!!" teriak Alice dan Sabrina bersamaan.
"Diam semua! Kepala Sekolah sedang berjalan kemari!" seseorang berteriak sambil menekan perkataannya. Semua murid terdiam sesaat ketika seorang wanita yang berperawakan gemuk berjalan melewati kelas. Semua murid seperti menahan napas. Namun, ketika wanita itu hanya berjalan melewati kelas, semuanya langsung bernapas lega.
Sesaat kelas riuh lagi, mereka tidak sadar ketika ada sepasang mata yang sedang mengawasi mereka dari jendela belakang. Semua murid tampak begitu senang, kecuali Evelyn yang duduk tenang dan diam. Tiba-tiba sebuah deheman mengagetkan seluruh isi kelas. Semua terdiam di posisi mereka masing-masing. Ada yang sedang berdiri, duduk-duduk di atas meja, ada yang mencorat-coret dipapan tulis, dan ada yang sedang bergerombol. Semua terdiam dan menundukkan kepala mereka ketika mengetahui siapa yang berdehem saat itu.
Seorang wanita berdiri tepat di ambang pintu kelas. Semua murid segera berlari ke tempat duduk masing-masing. Wanita itu berjalan masuk ke dalam lalu menatap para murid satu persatu. Lantas dia berdehem sekali lagi dan meletakkan sebuah buku di atas meja. Sorot matanya menatap dua bangku kosong yang ada di pojok kanan belakang.
"Ada yang tahu siapa yang duduk di bangku belakang sana!" ucapnya dengan suara agak meninggi.
"Si-Simon dan Bryan, Bu!" jawab seorang murid yang duduk di depan bangku itu.
"Dimana mereka?!" tanyanya lagi dengan tegas.
"To-toilet, Bu!" balasnya sekali lagi.
Sesaat kedua murid itu kembali dengan wajah kaget ketika melihat seseorang berdiri di antara meja dan kursi guru.
"Dari mana kalian berdua?!"
"Da-dari to-toilet, Bu." Keduanya segera masuk dan hendak kembali ke tempat duduk mereka, tapi ....
"Siapa yang menyuruh kalian untuk masuk dan kembali ke tempat duduk kalian?!" menatap kedua anak laki-laki itu.
"Kembali ke depan!" seru wanita itu, membuat Simon dan Bryan segera maju ke depan. Wanita yang bernama Anne Read ini, tak lain adalah Kepala Sekolah SMA Kingston.
Ny. Anne menatap Simon dan Bryan dengan tajam, hidungnya tampak sangat peka. Wanita itu mencium bau yang berasal dari tubuh kedua anak laki-laki itu.
"Kalian dari mana!?"
"To-toilet!" Bryan dan Simon menjawab bersamaan.
"Apa yang kalian lakukan di dalam toilet?!"
"Ah, Ibu ingin tahu saja!" canda Bryan.
"Ibu sedang tidak bercanda!" Ny. Anne tersenyum dan menatap semuanya.
"Jika sampai hari ini Ibu menemukan rokok dan sejenisnya. Maka dari itu, Ibu akan menghukum kalian semua!"
To be Continue,
Sekolah Evelyn SMA Kingston kedatangan murid pindahan. Murid laki-laki ini langsung menjadi sorotan di sekolah barunya. Terutama murid-murid perempuan. "Ayo masuk!" Ajak anak laki-laki itu. Evelyn pun menurutinya masuk ke dalam gerbang sekolah. Untung mereka berdua tidak telat sampai di sekolah. Anak laki-laki yang berperawakan tegap, tampan, maskulin, dan murah senyum itu ternyata adalah seorang murid baru. Anak laki-laki yang sama. Evelyn terus menatap punggung anak laki-laki yang ada di depannya. Evelyn tersadar ketika ada seseorang memanggilnya dari kejauhan. "Eveee!! Kau mau masuk kelas senior?" "A-apa? Ke-kelas senior?" Evelyn terlihat kaget. Ternyata dia tak sadar mengikuti anak laki-laki tersebut. "Kau mau ikut masuk ke dalam?" tanyanya. Evelyn tersenyum malu, dia langsung membalikkan badannya meninggalkan anak laki-laki tersebut. Evelyn berlari masuk ke dalam kelasnya, dan disambut riuh oleh teman-teman sekelasnya. Evelyn meng
Menjalani kehidupan bukanlah suatu yang mudah. Ada saja masalah atau persoalan hidup yang harus dihadapi, terlepas itu berat atau tidak setiap orang pernah mengalami sulitnya hidup. Hidup memang selalu membutuhkan semangat agar tidak mudah putus asa dan selalu optimis bahwa hari esok akan menjadi hari yang membahagiakan. Layaknya roda, kehidupan terus berputar, terkadang kita sering merasa masalah yang kita hadapi berat dan membuat kita berpikir bahwa masalah tersebut tidak akan berlalu. Namun, percayalah semua hal di dunia ini tidak ada yang permanen dan suatu saat akan berlalu termasuk masalah kita. Smangat hidup sangat dibutuhkan oleh semua orang, hal ini lantaran semangat akan membuat kita tak pernah berhenti berjuang untuk setiap kebaikan. Sebagai manusia kita juga harus selalu berpikir positif bahwa setiap masalah yang dihadapi merupakan cara agar kita bisa baik satu tingkat lebih baik. Namun, ada kalanya orang-orang terdekat juga bisa membuat kita kembali pada titik keterpuru
Acara pesta ulang tahun yang diadakan oleh Amanda untuk anaknya yang bernama Evelyn telah berakhir. Para undangan satu persatu pulang meninggalkan tempat tersebut. Tersisa hanya Alice, Sabrina, dan Nicholas. Amanda mendekati ketiga sahabat dari anaknya, Evelyn. Amanda tersenyum sumringah menatap ketiganya. "Terima kasih, kalian sudah datang ke acara ini. Hanya sebuah acara pesta ulang tahun kecil-kecilan, tapi ini mungkin akan sangat berarti untuk Evelyn," terlihat sangat jelas mata Amanda berkaca-kaca. "Sama-sama, Aunty. Kami pun sangat senang bisa berada disini, terlebih berada di sekitar Evelyn," ujar Alice. Amanda terlihat sangat bahagia. Ternyata di lingkungan Eve yang baru, Eve di kelilingi orang-orang yang sangat peduli dengannya. Amanda menatap Nicholas, wanita itu terlihat sangat asing dengan wajah anak laki-laki itu. Nicholas menunduk dan tersenyum. "Ini siapa?" Amanda menanyakan pada Alice. "Nicholas, Aunty. Panggil saja Nic
Evelyn melangkah lesu menyusuri trotoar. Hari itu masih pagi, baru sekitar jam 6 pagi, tapi Evelyn sudah tampak tak semangat dan terlihat tidak bersemangat. Dalam hati dia terus menerus mengomel-ngomel. Hingga akhirnya dia menabrak seseorang dijalan. "Awww!!" pekiknya. "Kalau jalan itu mata lihat ke depan, bukan menunduk, semua orang jadi kau hormati!" "Lagi pula kenapa kau berhenti di tengah jalan!" Evelyn ketus. "Tengah jalan? Ini pinggir jalan. Itu di depan zebra-cross, tempat pejalan kaki menyeberang!" Evelyn memiringkan kepalanya, menghindari tubuh yang sedang berdiri di depannya, lalu dia mendongak ke atas menatap rambu lalu lintas. "Oppz—sorry!" cicitnya. Saat lampu merah menyala, dengan reflek anak laki-laki itu menarik tangan Evelyn dan segera membawanya untuk menyeberang. Evelyn menurut saja saat tangannya ditarik olehnya. Setelah
Evelyn merenung duduk di sisi ranjang. Dia memegang kalung yang melingkar manis di lehernya. Kalung silver berliontin lumba-lumba itu terlihat sangat cocok terpasang di lehernya. "Cantik!" celetuk Evelyn. Senyuman mengembang di bibirnya. Namun, setelah itu mendadak sirna. Kembali dia teringat wajah pria brengsek itu. Evelyn mendongak, menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Hari sudah mulai beranjak senja. Tak lama setelah itu, terdengar sebuah teriakan memanggil namanya. "Eveeee!" "Yaaa!" "Ayo makan!" Evelyn melangkah mendekati pintu kamarnya. Namun, dia urungkan niatnya. Tangannya yang terulur, kembali dia tarik. Bukan tak mau bergabung untuk makan malam, tapi karena Evelyn mendengar ada suara pria brengsek itu. "Kenapa dia ada disini? Apa Ibu yang mengundangnya?" Eve melangkah kembali duduk di sisi ranjang. Dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan pria itu. Eve menghembaskan tubuhnya. Dia
Rumah pohon yang ada di pohon tak jauh dari rumahnya. Rumah yang dulu dibuat oleh Nicholas dan Ayahnya. Rumah itu selalu dipakai oleh Nicholas untuk menyendiri. Kini Nicholas membawa Evelyn ke rumah pohon favoritnya. Evelyn terlihat sangat senang berada di sana. Dia begitu sangat betah sampai dia ketiduran di rumah pohon itu. Ketika Evelyn tertidur, Nicholas tampak memandangi wajahnya dengan seksama. Nicholas begitu menikmati keindahan paras Eve, dia tertegun melihatnya. Saat Eve menggeliat pelan, Nicholas tampak gelagapan. Eve merubah posisi tidurnya. Dia sepertinya sedang mencari posisi tempat yang nyaman. Seharusnya sudah nyaman, karena Nicky menaruh karpet dengan bulu halus serta ada kasur lipat, bahkan selimut tebal. Apa dia akan tidur terus? Padahal hari sudah mulai sore. Bagaimana kalau sampai orang rumah khawatir mencarinya, batin Nicky. Nicky berusaha memban
Evelyn berdiri tepat di sebuah rumah pohon. Hari itu memang dia berniat untuk menginap di rumah pohon milik Nicholas. Sebenarnya apa yang terjadi pada Evelyn? Beberapa jam sebelumnya. Evelyn yang baru pulang dari sekolah berdiri mematung ketika melihat sebuah mobil hitam terparkir di depan rumah neneknya. Eve sudah bisa menduga bahwa itu adalah mobil milik ayahnya. Evelyn memutuskan untuk masuk ke dalam rumah neneknya, dia tampak cuek ketika melihat ayahnya berdiri menyambutnya dan hendak memeluk dirinya. Namun, Eve langsung menepisnya. Evelyn langsung masuk ke dalam kamarnya. Namun, Anthony mengejarnya. Pria itu terus mengetuk pintu kamar Eve, hingga Eve membukanya, tapi dia langsung melangkah meninggalkan Anthony dengan sebuah tas di tangannya. Dia langsung berlari keluar dari rumahnya tanpa berpamitan dengan neneknya. Satu tujuan yang dituju Eve adalah rumah pohon milik Nicholas. Itulah tempat
Amanda terlihat sibuk dengan tumpukan berkas di mejanya. Wanita itu sekarang menjadi tulang punggung keluarganya. Amanda. Amanda melirik jam tangannya. Jarum jam bergerak pelan menunjukkan pukul 12 siang. "Amanda ...," panggil Richie. Amanda pun bangkit dari duduknya. "Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" "Kita makan siang dulu!" ucap Richie tanpa basa-basi. "Kita?" ujar Amanda kaget. "Saya tidak paham apa maksud bapak?" "Kita ... ya kita berdua. Memang siapa lagi?" Richie membenarkan dasinya. "Pak Richie 'kan bisa makan siang bersama dengan yang lain." Amanda mencoba menolaknya. "Tidak!" tolak Richie, "aku inginnya makan siang denganmu. Jadi bereskan semua file mu itu. Kau bisa mengerjakannya setelah makan siang." "Ta-tapi, pak." "Tidak ada penolakan!"