Menjalani kehidupan bukanlah suatu yang mudah. Ada saja masalah atau persoalan hidup yang harus dihadapi, terlepas itu berat atau tidak setiap orang pernah mengalami sulitnya hidup. Hidup memang selalu membutuhkan semangat agar tidak mudah putus asa dan selalu optimis bahwa hari esok akan menjadi hari yang membahagiakan. Layaknya roda, kehidupan terus berputar, terkadang kita sering merasa masalah yang kita hadapi berat dan membuat kita berpikir bahwa masalah tersebut tidak akan berlalu. Namun, percayalah semua hal di dunia ini tidak ada yang permanen dan suatu saat akan berlalu termasuk masalah kita. Smangat hidup sangat dibutuhkan oleh semua orang, hal ini lantaran semangat akan membuat kita tak pernah berhenti berjuang untuk setiap kebaikan. Sebagai manusia kita juga harus selalu berpikir positif bahwa setiap masalah yang dihadapi merupakan cara agar kita bisa baik satu tingkat lebih baik. Namun, ada kalanya orang-orang terdekat juga bisa membuat kita kembali pada titik keterpurukan, atau bahkan bisa menghancurkan masa depan.
Kehidupan Evelyn berangsur semakin membaik. Dia kembali ceria seperti dulu. Usia Evelyn hampir genap 17 tahun, dia kembali bisa tertawa lepas, bercanda dengan teman-temannya. Tak hanya itu, prestasinya semakin naik. Evelyn yang sekarang telah bersekolah di Kingston Senior High School. Sedangkan Elying sudah bekerja disebuah perusahaan yang bergerak dibidang property. Amanda, sang Ibu pun naik jabatan di kantornya. Apalagi kedekatan Evelyn dan Nicholas semakin hari semakin membuat iri.
Namun, setiap masalah selalu silih datang bergantian. Masalah satu sudah selesai, kini datang lagi masalah baru. Sepertinya kehidupan Evelyn tak lepas dari masalah.
Pagi itu tepatnya di hari minggu. Hari yang dinanti telah tiba. Hari dimana Evelyn genap berusia 17 tahun. Sang Ibu, Amanda hanya memberikan sebuah pesta kecil di rumah Nenek Pamela. Hanya teman-teman sekelas Eve yang di undang, termasuk beberapa teman dari kelas lain yang di undang, termasuk Nicholas James.
Amanda dan Flying memang sengaja menginap, agar besoknya mereka bisa memberikan kejutan tambahan untuk Evelyn.
Evelyn sendiri ternyata lupa kalau hari itu adalah hari ulang tahunnya. Dia mendapatkan suprise di tengah malam oleh Amanda, Elying, dan nenek Pamela. Evelyn begitu sangat bahagia dan terharu. Semenjak perpisahan kedua orang tuanya, baru kali ini Evelyn tampak merasakan arti sebuah kebersamaan.
"Happy Birthday, my honey Evelyn!" Amanda memeluk putri keduanya dengan penuh kasih.
"Terima kasih, Bu!" balas Evelyn.
"Selamat ulang tahun, adikku Evelyn," ucap Elying memberikan sebuah kotak kecil pada Evelyn.
"Kak Elying, terima kasih!"
"Nenek tidak bisa memberimu apa-apa. Nenek akan selalu mendoakan mu. Jangan merasa bosan, jika Nenek selalu memberikan nasihat untukmu," Nenek Pamela membelai rambut Evelyn.
"Nek, terima kasih. Aku tahu, aku banyak salah. Aku terlalu egois!" sahutnya menatap Ibunya, kakaknya, dan sang nenek di depannya.
"Semua ada prosesnya, Eve. Aku pun sama sepertimu, sedikit down dengan semua kejadian selama ini, tapi Ibu adalah semangatku!" Elying mendekap Evelyn.
"Ayo, tiup lilinnya. Untuk besok, Ibu akan mengadakan pesta kecil-kecilan untukmu," Amanda membawa sebuah kue ulang tahun mini yang sengaja dia buat sendiri.
"Be-besok? Tapi aku belum memberitahu teman-temanku, Bu!"
"Tenang saja, kakakmu sudah menghandle nya,"
"Aku kemarin diam-diam ke sekolahmu, meminta tolong pada Sabrina, tapi hanya beberapa saja. Maaf!" jawab Elying.
"Tidak apa-apa, Kak. Aku hanya ingin sweet seventeen ku menjadi kenang-kenangan yang bisa aku ingat, dan bisa berkumpul dengan keluarga serta teman-temanku, walaupun hanya sebuah pesta kecil."
Amanda tersenyum dan menangkup pipi Evelyn, "terkabul, kau akan merayakan besok."
"Sekarang tiup lilinnya dulu." Elying mendekatkan kue ulang tahun tepat di depan Evelyn.
"Jangan lupa, make a wish!" Amanda mengingatkannya.
Evelyn menyempurnakan posisi duduknya, lalu dia memejamkan matanya untuk meminta sebuah permintaan dihari ulang tahunnya. Tak lama setelah itu, Evelyn membuka matanya, dan segera meniup lima lilin kecil. Malam itu memang tidak ada nyanyian, hanya sebuah doa yang semua panjatkan untuk Evelyn.
__***__
Menjelang siang, rumah kediaman keluarga Pamela sangat ramai. Rumah itu berisi anak-anak sebaya dengan Evelyn. Rumah yang mempunyai taman yang sangat luas, serta ditumbuhi berbagai macam jenis bunga yang menambah warna-warni taman tersebut.
Amanda membuat pesta terbuka di rumah Ibunya untuk Evelyn. Taman yang saat itu dipenuhi para remaja menambah ramai suasana siang itu. Matahari tak begitu terik saat itu, sedikit ada bumbu awan hitam yang menghiasi langit. Namun, tak menyurutkan semua para remaja untuk hanyut dalam pesta tersebut. Evelyn terlihat sangat bahagia, terutama ketika melihat kedatangan Nicholas.
Dress Code untuk acara party siang itu adalah white. Untuk anak perempuan memakai gaun warna putih, sedangkan untuk anak laki-laki kemeja warna putih dan celana jeans warna biru.
Evelyn terlihat sangat anggun dan cantik mengenakan dress code terusan, dipadu dengan bandana warna biru di rambut menambah kecantikan alami Evelyn makin terpancar. Nicholas yang datang sendirian dengan setangkai bunga mawar di tangannya tersenyum ketika melihat Evelyn. Nicholas terlihat sangat tampan mengenakan kemeja putih panjang dengan menekuk kedua lengannya sebatas siku. Dipadu dengan celana jeans biru dan sepatu kets putih.
Nicholas melangkah berjalan menuju tempat Evelyn berdiri. Semua mata tertuju pada Nicholas yang saat itu berjalan dengan kalemnya mendekati Evelyn. Nicholas berdiri tepat dihadapan Evelyn, sebuah senyuman dengan lesung pipi terlihat menghiasi wajahnya yang tampan.
"Happy Birthday, Eve. Wish you all the best and may your love and dreams be achieved!" Nicholas mengulurkan tangannya, memberikan setangkai bunga mawar warna merah dan sebuah kotak kecil pada Evelyn.
"Ah ... terima kasih, Nicky!" balasnya dengan menerima uluran tangan dari Nicholas. Evelyn mencium bunga mawar yang berbau harum.
Kedua manik mata tersebut saling pandang untuk beberapa saat, sebelum dibuyarkan oleh suara Amanda.
"Acara akan segera dimulai!" teriak Amanda, sesaat menatap Evelyn. "Kemari sayang. Kau harus segera meniup lilinnya."
Evelyn melangkah pergi meninggalkan Nicholas, menghampiri sang Ibu yang berdiri di sebuah kue dengan ukuran yang lumayan besar. Sesaat setelah itu terdengar sebuah nyanyian yang dinyanyikan oleh semua undangan yang datang.
Binar bahagia tampak terpancar di wajah Evelyn. Untuk kedua kalinya, Evelyn mengucapkan make a wish. Entah apa yang diucapkan Evelyn, tapi Amanda menangkap kebahagiaan ketika melihat Evelyn memejamkan matanya untuk mengucap wish.
Setelah acara tiup lilin selesai, kue ulang tahun yang berukuran besar dipotong-potong oleh Evelyn, dan dia bagikan pada teman-temannya yang datang. Namun, sebelumnya potongan pertama, Evelyn menyerahkan pada Ibunya. Sedangkan potongan kedua, Evelyn menyerahkan pada neneknya, setelah itu kakaknya.
"Ini untukmu," Evelyn mendekati Nicholas yang berdiri tak jauh meja.
"Terima kasih. Kau tidak makan?" tanya Nicholas saat menikmati potongan kue ulang tahun.
"Aku masih kenyang," jawab Evelyn. Terdiam sesaat, lalu melangkah, dan duduk di sebuah kursi kayu dekat meja. Menyusul Nicholas duduk di sebelahnya.
"Terima kasih, kau sudah mau datang ke pesta ini," sambung Evelyn. Nicholas tersenyum menatap Evelyn.
Keduanya pun terlihat sangat asyik mengobrol. Hal itu diperhatikan oleh Amanda yang sedari tadi memperhatikan Evelyn dan Nicholas.
"Sepertinya Eve sangat bahagia, Bu. Sangat terlihat jelas dari wajahnya," Elying mendekati Ibunya.
"Dia sudah tumbuh dewasa, tapi—apa ibu harus memberitahukannya sekarang?" Amanda menatap Elying.
"Kalau saranku jangan sekarang, Bu. Ibu 'kan tahu, Evelyn seperti apa. Apalagi sekarang adalah hari bahagianya, Ibu jangan merusaknya. Ibu bisa mengungkapkan keinginan Ibu itu setelah pesta ini saja," saran Elying. Amanda tersenyum menatap Elying.
"Kau benar-benar sudah dewasa, El!"
"Aku dewasa karena hidup yang aku jalani, banyaknya rasa pahit yang aku rasa. Semua ujian hidupku membuatku kuat," Elying mendongak menatap langit yang masih dihiasi awan hitam.
"Ibu minta maaf, El!" Amanda terlihat masih merasa bersalah pada kedua anaknya tersebut. Terlebih-lebih pada Evelyn.
"Ibu pasti tahu, kapan waktu yang tepat untuk memberitahu Evelyn. Apa nenek juga sudah mengetahuinya?" Elying menatap Amanda.
"Aku akan bicarakan nanti," ujar Amanda.
Amanda dan Elying masih terus memperhatikan Evelyn dan Nicholas. Baru kali ini, Evelyn tertawa lepas dan terlihat sangat bahagia.
"Bu, apa Ayah akan datang kesini?" tanya Elying. Amanda menoleh menatap putrinya itu, dia menghela napas kasar.
"Ibu sudah meninggalkan pesan pada Ayahmu, tapi Ibu tidak tahu apakah Ayahmu akan datang kesini," jelas Amanda.
"Kalaupun Ayah datang, apakah Evelyn mau menerima kedatangannya?" sahut Elying.
"Sepertinya Eve akan menolaknya. Ibu tahu kalau Eve sangat membenci Ayahnya sendiri!" kembali Amanda menghela napas.
Sorot mata Amanda masih menatap putri kecilnya yang kini telah genap 17 tahun. Dia tidak tega, jika harus melihat Evelyn terpuruk lagi. Setiap mental seseorang berbeda-beda, dan Evelyn adalah salah satu anak yang mentalnya cepat down. Itulah yang sekarang sedang Amanda pikirkan. Wanita itu terlihat frustasi, tapi dia mencoba untuk menutupinya. Sedangkan Elying, dia tahu jelas keadaan Ibunya seperti apa. Sama halnya dengan Evelyn, di luar terlihat baik-baik, akan tetapi di dalam terlihat sangat rapuh.
Evelyn masih merasa nyaman ngobrol dengan Nicholas, sedangkan teman-teman yang lainnya juga terlihat sibuk sendiri-sendiri. Alice dan Sabrina, sahabat dekat Evelyn merasa sangat dicueki. Mereka berdua tampak iri, tapi keduanya justru sangat senang bisa melihat Evelyn kembali tersenyum.
"Mereka berdua sangat cocok!" ungkap Alice.
"Tapi aku iri dan cemburu," ujar Sabrina sambil tertawa.
"Aku senang bisa melihatnya kembali tersenyum ceria," tutur Alice menatap Evelyn dari kejauhan.
Kembali ke dua insan yang sedang berada dalam fase pendekatan. Nicholas memberikan sebuah kado kecil untuk Evelyn. Sebuah bungkusan yang sangat manis dan mungil berada dalam genggaman tangan Nicholas.
Nicholas tampak berbasa-basi ketika menyobrol dengan Evelyn. Berkali-kali Evelyn memberikan seulas senyuman manis untuk anak laki-laki itu. Sungguh pemandangan yang membuat kaum hawa merasa iri pada Evelyn dan Nicholas.
"Ini!" sapa Nicholas singkat. Memberikan sebuah bungkusan kecil untuk Evelyn.
"Apa ini?" tanya Evelyn.
"Dariku!" jawab Nicky singkat.
"Apa aku boleh membuka kado darimu sekarang?" Evelyn menatap Nicholas.
"Jangaaan—jangan sekarang. Nanti saja, tapi kau harus memakainya. Itu wajib!" kata Nicholas.
"Memang isinya apa?" tanya Evelyn.
"Secret. Kalau aku memberitahu apa isinya, itu namanya bukan surprise. Nanti kau akan mengetahuinya," balas Nicky.
"Tapi aku benar-benar penasaran dengan isinya." Evelyn mengangkat bungkusan kecil tersebut.
"Kau ini kenapa sih?!"
"Memangnya kenapa?"
"Barang kecil jangan diterawang-terawang begitu!"
"Barang kecil ini sudah menjadi milikku, jadi itu sudah menjadi hak ku, dan terserah aku dong," goda Evelyn.
"Kalau kau penasaran ya sudah buka saja langsung gift dariku itu!"
"Jadi boleh nih aku buka sekarang?" Evelyn menatap Nicholas yang masih diam.
"Kalau kau diam terus dan tidak menjawab itu tandanya kau setuju!" lanjut Evelyn membuat Nicholas semakin geram. Pasalnya Nicky memang tidak membawa gift seperti teman-teman Evelyn yang lain.
Gift dari Nicky terbilang sangat kecil dan mungil, lebih besar tangan Nicky dari pada gift itu sendiri. Evelyn akhirnya menghargai Nicky, dia kemudian menyimpan gift tersebut dan membukanya nanti. Keduanya kembali lagi bercanda.
Kedekatan antara Evelyn dan Nicholas ternyata membuat seseorang benci pada Evelyn. Ya, seseorang itu ada di antara anak-anak yang datang di acara pesta ulang tahun Evelyn. Dia tampak mengumpulkan kedua tangannya, seperti menyimpan dendam kesumat pada Evelyn.
Siapa dia? Akankan ada sesuatu yang terselubung? Apakah Ayah kandung Evelyn akan datang di acara pesta ulang tahunnya?
To be continue
Acara pesta ulang tahun yang diadakan oleh Amanda untuk anaknya yang bernama Evelyn telah berakhir. Para undangan satu persatu pulang meninggalkan tempat tersebut. Tersisa hanya Alice, Sabrina, dan Nicholas. Amanda mendekati ketiga sahabat dari anaknya, Evelyn. Amanda tersenyum sumringah menatap ketiganya. "Terima kasih, kalian sudah datang ke acara ini. Hanya sebuah acara pesta ulang tahun kecil-kecilan, tapi ini mungkin akan sangat berarti untuk Evelyn," terlihat sangat jelas mata Amanda berkaca-kaca. "Sama-sama, Aunty. Kami pun sangat senang bisa berada disini, terlebih berada di sekitar Evelyn," ujar Alice. Amanda terlihat sangat bahagia. Ternyata di lingkungan Eve yang baru, Eve di kelilingi orang-orang yang sangat peduli dengannya. Amanda menatap Nicholas, wanita itu terlihat sangat asing dengan wajah anak laki-laki itu. Nicholas menunduk dan tersenyum. "Ini siapa?" Amanda menanyakan pada Alice. "Nicholas, Aunty. Panggil saja Nic
Evelyn melangkah lesu menyusuri trotoar. Hari itu masih pagi, baru sekitar jam 6 pagi, tapi Evelyn sudah tampak tak semangat dan terlihat tidak bersemangat. Dalam hati dia terus menerus mengomel-ngomel. Hingga akhirnya dia menabrak seseorang dijalan. "Awww!!" pekiknya. "Kalau jalan itu mata lihat ke depan, bukan menunduk, semua orang jadi kau hormati!" "Lagi pula kenapa kau berhenti di tengah jalan!" Evelyn ketus. "Tengah jalan? Ini pinggir jalan. Itu di depan zebra-cross, tempat pejalan kaki menyeberang!" Evelyn memiringkan kepalanya, menghindari tubuh yang sedang berdiri di depannya, lalu dia mendongak ke atas menatap rambu lalu lintas. "Oppz—sorry!" cicitnya. Saat lampu merah menyala, dengan reflek anak laki-laki itu menarik tangan Evelyn dan segera membawanya untuk menyeberang. Evelyn menurut saja saat tangannya ditarik olehnya. Setelah
Evelyn merenung duduk di sisi ranjang. Dia memegang kalung yang melingkar manis di lehernya. Kalung silver berliontin lumba-lumba itu terlihat sangat cocok terpasang di lehernya. "Cantik!" celetuk Evelyn. Senyuman mengembang di bibirnya. Namun, setelah itu mendadak sirna. Kembali dia teringat wajah pria brengsek itu. Evelyn mendongak, menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Hari sudah mulai beranjak senja. Tak lama setelah itu, terdengar sebuah teriakan memanggil namanya. "Eveeee!" "Yaaa!" "Ayo makan!" Evelyn melangkah mendekati pintu kamarnya. Namun, dia urungkan niatnya. Tangannya yang terulur, kembali dia tarik. Bukan tak mau bergabung untuk makan malam, tapi karena Evelyn mendengar ada suara pria brengsek itu. "Kenapa dia ada disini? Apa Ibu yang mengundangnya?" Eve melangkah kembali duduk di sisi ranjang. Dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan pria itu. Eve menghembaskan tubuhnya. Dia
Rumah pohon yang ada di pohon tak jauh dari rumahnya. Rumah yang dulu dibuat oleh Nicholas dan Ayahnya. Rumah itu selalu dipakai oleh Nicholas untuk menyendiri. Kini Nicholas membawa Evelyn ke rumah pohon favoritnya. Evelyn terlihat sangat senang berada di sana. Dia begitu sangat betah sampai dia ketiduran di rumah pohon itu. Ketika Evelyn tertidur, Nicholas tampak memandangi wajahnya dengan seksama. Nicholas begitu menikmati keindahan paras Eve, dia tertegun melihatnya. Saat Eve menggeliat pelan, Nicholas tampak gelagapan. Eve merubah posisi tidurnya. Dia sepertinya sedang mencari posisi tempat yang nyaman. Seharusnya sudah nyaman, karena Nicky menaruh karpet dengan bulu halus serta ada kasur lipat, bahkan selimut tebal. Apa dia akan tidur terus? Padahal hari sudah mulai sore. Bagaimana kalau sampai orang rumah khawatir mencarinya, batin Nicky. Nicky berusaha memban
Evelyn berdiri tepat di sebuah rumah pohon. Hari itu memang dia berniat untuk menginap di rumah pohon milik Nicholas. Sebenarnya apa yang terjadi pada Evelyn? Beberapa jam sebelumnya. Evelyn yang baru pulang dari sekolah berdiri mematung ketika melihat sebuah mobil hitam terparkir di depan rumah neneknya. Eve sudah bisa menduga bahwa itu adalah mobil milik ayahnya. Evelyn memutuskan untuk masuk ke dalam rumah neneknya, dia tampak cuek ketika melihat ayahnya berdiri menyambutnya dan hendak memeluk dirinya. Namun, Eve langsung menepisnya. Evelyn langsung masuk ke dalam kamarnya. Namun, Anthony mengejarnya. Pria itu terus mengetuk pintu kamar Eve, hingga Eve membukanya, tapi dia langsung melangkah meninggalkan Anthony dengan sebuah tas di tangannya. Dia langsung berlari keluar dari rumahnya tanpa berpamitan dengan neneknya. Satu tujuan yang dituju Eve adalah rumah pohon milik Nicholas. Itulah tempat
Amanda terlihat sibuk dengan tumpukan berkas di mejanya. Wanita itu sekarang menjadi tulang punggung keluarganya. Amanda. Amanda melirik jam tangannya. Jarum jam bergerak pelan menunjukkan pukul 12 siang. "Amanda ...," panggil Richie. Amanda pun bangkit dari duduknya. "Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" "Kita makan siang dulu!" ucap Richie tanpa basa-basi. "Kita?" ujar Amanda kaget. "Saya tidak paham apa maksud bapak?" "Kita ... ya kita berdua. Memang siapa lagi?" Richie membenarkan dasinya. "Pak Richie 'kan bisa makan siang bersama dengan yang lain." Amanda mencoba menolaknya. "Tidak!" tolak Richie, "aku inginnya makan siang denganmu. Jadi bereskan semua file mu itu. Kau bisa mengerjakannya setelah makan siang." "Ta-tapi, pak." "Tidak ada penolakan!"
Amanda tampak duduk di sebuah halte dekat kantornya. Hari itu memang Amanda tidak membawa mobil. Wanita itu tampak sedang menunggu taksi. Beberapa saat setelah itu, sebuah mobil berhenti tepat di depan Amanda. Saat kaca itu turun, tampaklah wajah tampan Richie dari dalam. Pria itu tersenyum sangat manis. "Masuklah, aku akan mengantarmu pulang ke rumah," tawar Richie. 'Tidak pak, terima kasih. Saya akan menunggu taksi saja," tolak Amanda. "Kau tahu tidak, jika sebentar lagi akan turun hujan. Akan lebih susah lagi jika tidak ada taksi atau bus yang lewat." Richie membuka pintu dari dalam, lalu menyuruh Amanda untuk masuk ke dalam. Rintik hujan akhirnya turun, hal itu membuat Amanda dengan terpaksa masuk ke dalam mobil. "Nah, betul 'kan hujan turun," kata Richie sambil melongokkan kepalanya. "Pasang seatbell mu."
Nicholas melipat setelan baju olahraganya dan memasukkan ke dalam tas. Nicky juga memasukkan buku-bukunya yang ada di atas meja, lalu dia melirik jam yang melingkar ditangannya. Senyuman mengembang menghiasi bibir dan lesung pipi pun terlihat. Nicky meraih tas punggungnya. Baru akan melangkah keluar dari kelasnya, tiba-tiba seseorang memanggilnya. "Nicky!" panggil Irene. Nicky pun menoleh kearahnya. "Ada apa?" balasnya. "Bisakah menolongku untuk mengangkat tumpukan matras ini ke gudang olahraga. Aku tidak kuat membawa semuanya." Irene beralasan. Nicky pun melangkah mendekati Irene dan melihat tumpukan matras di lantai. "Oke. Aku akan mengangkat sebagiannya dan sebagian lagi kau yang bawa. Bagaimana?" tawar Nicholas pada Irene. "Baiklah, dari pada tidak sama sekali dan aku bisa kena marah pak Richard," kata Irene. Lantas Nicky mengambil beberapa matras dan membawanya