Evelyn melangkah lesu menyusuri trotoar. Hari itu masih pagi, baru sekitar jam 6 pagi, tapi Evelyn sudah tampak tak semangat dan terlihat tidak bersemangat. Dalam hati dia terus menerus mengomel-ngomel. Hingga akhirnya dia menabrak seseorang dijalan.
"Awww!!" pekiknya.
"Kalau jalan itu mata lihat ke depan, bukan menunduk, semua orang jadi kau hormati!"
"Lagi pula kenapa kau berhenti di tengah jalan!" Evelyn ketus.
"Tengah jalan? Ini pinggir jalan. Itu di depan zebra-cross, tempat pejalan kaki menyeberang!"
Evelyn memiringkan kepalanya, menghindari tubuh yang sedang berdiri di depannya, lalu dia mendongak ke atas menatap rambu lalu lintas.
"Oppz—sorry!" cicitnya.
Saat lampu merah menyala, dengan reflek anak laki-laki itu menarik tangan Evelyn dan segera membawanya untuk menyeberang. Evelyn menurut saja saat tangannya ditarik olehnya. Setelah sampai di seberang jalan, Evelyn langsung menarik tangannya sendiri dari genggaman tangannya.
"Terima kasih, tapi maaf!" ucapnya.
"Sudahlah, ayo!" ajak Nicholas menarik tangan Evelyn kembali. Mereka berdua berjalan beriringan dengan tangan masih bergenggaman.
"Kita berjalan tidak harus seperti ini 'kan?" Evelyn mulai memaksa melepaskan genggaman tangannya ketika sampai di depan gerbang sekolah. Namun, Nicholas tak merespon ucapan Evelyn.
Evelyn kembali melepas tangannya dengan paksa, dan akhirnya genggaman tangan itu lepas. Mereka berdua berpisah karena masuk ke kelas masing-masing. Ya, kedekatan mereka berdua terbilang sangat singkat. Evelyn dan Nicholas tak butuh waktu lama untuk dekat, karena itulah banyak para murid cewek yang iri pada Evelyn, termasuk dia.
Singkat cerita, istirahat siang berbunyi. Semua murid berhamburan keluar, ada yang ke kantin, ada yang sekedar duduk di bangku depan kelas, ada yang membaca buku di taman, dan ada yang tetap tinggal di dalam kelas. Istirahat siang itu, Evelyn hanya duduk di dalam kelas. Walaupun Alice dan Sabrina sudah merayu-rayu dia untuk ke kantin, akan tetapi sepertinya Evelyn memang sedang dalam keadaan badmood.
Di saat kedua sahabat Evelyn bersusah payah merayu Evelyn, tampak Nicholas berjalan dengan kalemnya masuk ke dalam kelas Evelyn. Hal ini membuat para murid cewek yang berada di dalam kelas tampak histeris.
Sejak Nicholas resmi menjadi murid Kingston Senior High School, dia sudah mencuri banyak perhatian para murid-murid, terutama murid cewek. Nicholas memang hampir sempurna.
Sorot mata Nicky, langsung tertuju pada Evelyn yang sedang bermalas-malasan. Dia meletakkan kepalanya di atas meja. Nicky langsung duduk di bangku depan Evelyn. Alice dan Sabrina hanya diam dan menggeser tubuh mereka. Sedikit gerakan meja ketika Nicky duduk, membuat Evelyn berdecak kesal.
"Aku bilang tidak ingin ke mana-mana, jadi kalian pergi saja sendiri ke kantin!" gerutu Evelyn.
Nicky tersenyum mendengar itu, lalu jemarinya menggetok meja berulang kali. Akan tetapi Evelyn belum bereaksi, dia hanya menghela napas kasar. Nicholas kembali menggetok meja dengan penuh irama.
"Sudah aku bilang, aku sedang tidak ingin ke mana-mana!" Evelyn mengangkat kepalanya dan langsung mendapat tatapan lembut dari Nicholas.
"Ni-Nicky!"
Nicholas menaikkan alis sebelah kanan. Terukir senyuman manis di bibirnya dengan lesung pipi yang menambah kesempurnaannya.
"Apa kau sakit?" tanya Nicky. Evelyn menggeleng. "Lalu?" sambungnya.
"Aku sedang ingin sendiri!" jawab Evelyn.
"Karena Ayahmu?!" Nicholas menebak-nebak. Evelyn langsung terdiam.
Tebakan Nicholas ternyata benar. Mungkin gara-gara kejadian waktu acara pesta ulang tahunnya kemarin yang di akhir acara sang Ayah datang untuk memberi ucapan dan sebuah kado. Namun, ternyata justru Evelyn tidak menyukai jika sang Ayah datang ke acaranya.
Disini perhatian Nicholas terlihat sangat jelas pada Evelyn, sehingga membuat para murid yang melihatnya iri, terutama murid cewek. Ada yang tidak suka dengan kedekatan mereka, tapi justru sebagian mendukung keduanya.
Perhatian Nicholas terlihat sangat berbeda, dia seperti mencurahkan kasih sayangnya pada Evelyn. Keduanya memang tidak ada hubungan apa-apa. Namun, mereka seperti sudah menjalin sebuah hubungan.
Kedekatan Evelyn dan Nicholas menjadi gosip dikalangan para murid cewek. Nicholas memang belum lama pindah, tapi dia sudah langsung terlihat akrab dengan Evelyn. Hal ini membuat iri dan dengki dalam hati seseorang. Bahkan setiap dia melihat kedekatan dan keakraban Eve dan Nicky, tak sadar dia mengepalkan kedua tangannya.
"Lihat saja. Apa yang akan aku lakukan padamu, Eve!"
__***__
Bel pulang tanda jam belajar telah berakhir. Memasuki musim panas, siang itu tampak sangat terik. Evelyn berjalan sambil sesekali mengusap peluh yang menetes. Dia berjalan sendirian menyusuri jalanan kota, lalu dia berhenti disebuah toko ice cream. Evelyn mendorong pintu kaca dan masuk ke dalam, terasa sangat berbeda dia rasakan. Rasa dingin langsung menyusup menembus seragam sekolahnya. Rasa dahaga kian menyerangnya, Eve segera memesan ice cream favoritnya dan langsung memilih duduk di kursi paling pojok berhadapan dengan kaca dengan pemandangan jalanan luar. Sembari menunggu pesanan ice cream datang, Eve mengeluarkan ponselnya dan bermain dengan benda pipih tersebut.
Seseorang mendekati Evelyn dengan membawa dua cup ice cream. Dia langsung duduk di samping Evelyn.
"Ini ice cream-mu!"
"Terima kasih!" Evelyn menoleh dan dia mendapatkan Nicholas dengan senyum manis yang mengembang.
"Kenapa bengong?" ucapan Nicky membuyarkan lamunan Eve.
"Ti-tidak!" jawabnya gugup.
"Kalau begitu, makanlah. Jangan sampai meleleh," sambungnya.
Evelyn dan Nicholas terlibat dalam percakapan yang tidak sengaja mereka buat. Saat itu juga mereka saling mengenal lebih dekat. Mungkin karena mereka mempunyai latar belakang keluarga yang sama menjadikan Nicholas memahami keadaan Evelyn. Terlebih Nicholas adalah anak semata wayang yang mungkin dia merasa sangat kesepian, sedangkan Evelyn bisa dibilang keluarganya berpecah belah. Dia lebih memilih tinggal bersama dengan Neneknya. Elying, sang kakak dia tetap tinggal bersama dengan Ibunya.
Nicholas sendiri tinggal bersama dengan Ibunya. Sejak berpisah dengan Ayahnya, sang Ibu menjadi seorang single-parents. Tak ada keinginan untuk menikah lagi.
Nicholas James tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, dewasa, dan bertanggung jawab. Meskipun dia baru berusia 18 tahun. Evelyn baru menyadari jika Nicky ternyata bernasib sama dengan dirinya, tapi Nicholas terlihat cuek dan dingin walaupun kadang dia juga bersikap hangat. Evelyn memang sempat merasakan frustrasi, akan tetapi dia berusaha untuk menutupinya. Ada kalanya Eve ingin lari dari semua masalah hidup. Satu hal yang sampai saat ini tetap sama adalah kebenciannya terhadap sang Ayah. Namun, lewat Nicholas-lah, Eve menjadi sedikit lebih terbuka. Dia menceritakan segala keluh kesannya, dan Nicky pun menjadi pendengar setia.
Percakapan keduanya dilihat seseorang dari seberang jalan. Rasa iri itu kembali datang ketika melihat Eve dan Nicky terlibat obrolan yang cukup serius.
“Aku akan membuat perhitungan denganmu!”
Siapa yang iri dengan kedekatan Eve dan Nicky? Apakah dia orang terdekat Eve atau orang terdekat Nicky?
Evelyn merenung duduk di sisi ranjang. Dia memegang kalung yang melingkar manis di lehernya. Kalung silver berliontin lumba-lumba itu terlihat sangat cocok terpasang di lehernya. "Cantik!" celetuk Evelyn. Senyuman mengembang di bibirnya. Namun, setelah itu mendadak sirna. Kembali dia teringat wajah pria brengsek itu. Evelyn mendongak, menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Hari sudah mulai beranjak senja. Tak lama setelah itu, terdengar sebuah teriakan memanggil namanya. "Eveeee!" "Yaaa!" "Ayo makan!" Evelyn melangkah mendekati pintu kamarnya. Namun, dia urungkan niatnya. Tangannya yang terulur, kembali dia tarik. Bukan tak mau bergabung untuk makan malam, tapi karena Evelyn mendengar ada suara pria brengsek itu. "Kenapa dia ada disini? Apa Ibu yang mengundangnya?" Eve melangkah kembali duduk di sisi ranjang. Dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan pria itu. Eve menghembaskan tubuhnya. Dia
Rumah pohon yang ada di pohon tak jauh dari rumahnya. Rumah yang dulu dibuat oleh Nicholas dan Ayahnya. Rumah itu selalu dipakai oleh Nicholas untuk menyendiri. Kini Nicholas membawa Evelyn ke rumah pohon favoritnya. Evelyn terlihat sangat senang berada di sana. Dia begitu sangat betah sampai dia ketiduran di rumah pohon itu. Ketika Evelyn tertidur, Nicholas tampak memandangi wajahnya dengan seksama. Nicholas begitu menikmati keindahan paras Eve, dia tertegun melihatnya. Saat Eve menggeliat pelan, Nicholas tampak gelagapan. Eve merubah posisi tidurnya. Dia sepertinya sedang mencari posisi tempat yang nyaman. Seharusnya sudah nyaman, karena Nicky menaruh karpet dengan bulu halus serta ada kasur lipat, bahkan selimut tebal. Apa dia akan tidur terus? Padahal hari sudah mulai sore. Bagaimana kalau sampai orang rumah khawatir mencarinya, batin Nicky. Nicky berusaha memban
Evelyn berdiri tepat di sebuah rumah pohon. Hari itu memang dia berniat untuk menginap di rumah pohon milik Nicholas. Sebenarnya apa yang terjadi pada Evelyn? Beberapa jam sebelumnya. Evelyn yang baru pulang dari sekolah berdiri mematung ketika melihat sebuah mobil hitam terparkir di depan rumah neneknya. Eve sudah bisa menduga bahwa itu adalah mobil milik ayahnya. Evelyn memutuskan untuk masuk ke dalam rumah neneknya, dia tampak cuek ketika melihat ayahnya berdiri menyambutnya dan hendak memeluk dirinya. Namun, Eve langsung menepisnya. Evelyn langsung masuk ke dalam kamarnya. Namun, Anthony mengejarnya. Pria itu terus mengetuk pintu kamar Eve, hingga Eve membukanya, tapi dia langsung melangkah meninggalkan Anthony dengan sebuah tas di tangannya. Dia langsung berlari keluar dari rumahnya tanpa berpamitan dengan neneknya. Satu tujuan yang dituju Eve adalah rumah pohon milik Nicholas. Itulah tempat
Amanda terlihat sibuk dengan tumpukan berkas di mejanya. Wanita itu sekarang menjadi tulang punggung keluarganya. Amanda. Amanda melirik jam tangannya. Jarum jam bergerak pelan menunjukkan pukul 12 siang. "Amanda ...," panggil Richie. Amanda pun bangkit dari duduknya. "Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" "Kita makan siang dulu!" ucap Richie tanpa basa-basi. "Kita?" ujar Amanda kaget. "Saya tidak paham apa maksud bapak?" "Kita ... ya kita berdua. Memang siapa lagi?" Richie membenarkan dasinya. "Pak Richie 'kan bisa makan siang bersama dengan yang lain." Amanda mencoba menolaknya. "Tidak!" tolak Richie, "aku inginnya makan siang denganmu. Jadi bereskan semua file mu itu. Kau bisa mengerjakannya setelah makan siang." "Ta-tapi, pak." "Tidak ada penolakan!"
Amanda tampak duduk di sebuah halte dekat kantornya. Hari itu memang Amanda tidak membawa mobil. Wanita itu tampak sedang menunggu taksi. Beberapa saat setelah itu, sebuah mobil berhenti tepat di depan Amanda. Saat kaca itu turun, tampaklah wajah tampan Richie dari dalam. Pria itu tersenyum sangat manis. "Masuklah, aku akan mengantarmu pulang ke rumah," tawar Richie. 'Tidak pak, terima kasih. Saya akan menunggu taksi saja," tolak Amanda. "Kau tahu tidak, jika sebentar lagi akan turun hujan. Akan lebih susah lagi jika tidak ada taksi atau bus yang lewat." Richie membuka pintu dari dalam, lalu menyuruh Amanda untuk masuk ke dalam. Rintik hujan akhirnya turun, hal itu membuat Amanda dengan terpaksa masuk ke dalam mobil. "Nah, betul 'kan hujan turun," kata Richie sambil melongokkan kepalanya. "Pasang seatbell mu."
Nicholas melipat setelan baju olahraganya dan memasukkan ke dalam tas. Nicky juga memasukkan buku-bukunya yang ada di atas meja, lalu dia melirik jam yang melingkar ditangannya. Senyuman mengembang menghiasi bibir dan lesung pipi pun terlihat. Nicky meraih tas punggungnya. Baru akan melangkah keluar dari kelasnya, tiba-tiba seseorang memanggilnya. "Nicky!" panggil Irene. Nicky pun menoleh kearahnya. "Ada apa?" balasnya. "Bisakah menolongku untuk mengangkat tumpukan matras ini ke gudang olahraga. Aku tidak kuat membawa semuanya." Irene beralasan. Nicky pun melangkah mendekati Irene dan melihat tumpukan matras di lantai. "Oke. Aku akan mengangkat sebagiannya dan sebagian lagi kau yang bawa. Bagaimana?" tawar Nicholas pada Irene. "Baiklah, dari pada tidak sama sekali dan aku bisa kena marah pak Richard," kata Irene. Lantas Nicky mengambil beberapa matras dan membawanya
Evelyn akhirnya diselamatkan oleh Nicholas. Terlambat sedikit saja nyawa Evelyn pasti sudah melayang. Nicholas pun membawa Evelyn ke ruang perawatan. Ryan dan beberapa guru datang ke laboratorium, mereka segera memadamkan api. Beruntung api belum terlalu besar dan belum menjalar kemana-mana, tapi kalau terus dibiarkan akan sangat berbahaya. Api bisa saja melahap habis gedung sekolah tersebut. Semua pasti akan menunduh Evelyn pelakunya karena Evelyn satu-satunya orang yang berada di laboratorium tersebut. "Kenapa ini bisa terjadi?" kata pak Steven selaku kepala sekolah SMA Kingston. Pak Steven dan Bu Claire menatap Ryan. "Kau tadi ke sini bersama dengan siapa?" tanya pak Steven. "Ni-Nicholas, pak," jawab Ryan. "Lalu dimana dia sekarang?" timpal bu Claire. "Mungkin sedang berada di ruang perawatan, karena tadi Nicky berusaha menolong
Sehari sebelumnya, Simon yang tengah berjalan di koridor sekolah mendadak menghentikan langkahnya. Dia melihat gerak-gerik yang mencurigakan. Lantas Simon pun mengikuti orang yang memakai hoddie dengan tudung dan masker. Simon, si murid kutu buku kelas 3 ini memang mempunyai rasa penasaran yang tinggi, tapi juga penakut. Bukan hanya satu orang, tapi ternyata mereka ada dua. "Siapa mereka? Sepertinya mereka berdua bukan murid sekolah ini," lirih Simon membenarkan kacamatanya. Simon Webby terus mengawasi dua orang tersebut hingga mereka berdua berhenti di depan pintu laboratorium. Beberapa saat setelah itu, seorang murid perempuan SMA Kingston muncul mendekati mereka berdua. Simon dibuat kaget dengan murid perempuan tersebut dan karena Simon kurang hati-hati, kakinya menyenggol tempat sampah yang menimbulkan suara. Kedua orang itu lantas saling pandang dan murid perempuan itu menoleh menatap tajam ke arah datangnya bunyi