Sekolah Evelyn SMA Kingston kedatangan murid pindahan. Murid laki-laki ini langsung menjadi sorotan di sekolah barunya. Terutama murid-murid perempuan.
"Ayo masuk!" Ajak anak laki-laki itu. Evelyn pun menurutinya masuk ke dalam gerbang sekolah. Untung mereka berdua tidak telat sampai di sekolah.
Anak laki-laki yang berperawakan tegap, tampan, maskulin, dan murah senyum itu ternyata adalah seorang murid baru. Anak laki-laki yang sama. Evelyn terus menatap punggung anak laki-laki yang ada di depannya. Evelyn tersadar ketika ada seseorang memanggilnya dari kejauhan.
"Eveee!! Kau mau masuk kelas senior?"
"A-apa? Ke-kelas senior?" Evelyn terlihat kaget. Ternyata dia tak sadar mengikuti anak laki-laki tersebut.
"Kau mau ikut masuk ke dalam?" tanyanya. Evelyn tersenyum malu, dia langsung membalikkan badannya meninggalkan anak laki-laki tersebut.
Evelyn berlari masuk ke dalam kelasnya, dan disambut riuh oleh teman-teman sekelasnya. Evelyn mengabaikan suara riuh tersebut, dia langsung berjalan menuju bangkunya. Setelah mendudukkan dirinya di bangku. Sabrina, teman sebangkunya berceloteh.
"Siapa dia?" tanyanya.
Pandangan Sabrina tampak mengintimidasi Evelyn. Sabrina seolah meminta penjelasan atas apa yang dilihatnya. Evelyn terlihat sangat akrab dengan anak laki-laki itu.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?!" protes Evelyn.
"Bukankah kau sudah mengenalnya. Buktinya kau begitu akrab dengan dia!" Sabrina terlihat merayu.
"Aku tidak kenal siapa dia. Hanya saja, dia tadi pagi menolongku. Aku pun tidak tahu jika dia juga bersekolah disini!" Evelyn meletakkan kepalanya di atas meja.
Satu jam tiga puluh menit sudah berlalu, bell tanda istirahat berbunyi nyaring membuat anak-anak berteriak riuh dan segera menutup buku, kemudian berhamburan keluar dari kelas masing-masing. Begitupun Evelyn, anak perempuan itu sudah merasakan cacing dalam perutnya bernyanyi riang menandakan bahwa dia sangat lapar. Evelyn, Alice, dan Sabrina segera melangkah menuju kantin sekolah.
Suasana kantin hari itu sangat ramai. Ketiganya memilih duduk di depan. Alice dan Sabrina melangkah masuk untuk memesan makanan, sedangkan Evelyn ditinggal sendirian.
"Hai, sendirian? Boleh aku duduk disini?" sapa seseorang yang tiba-tiba duduk di depan Evelyn, padahal Evelyn belum mengizinkan orang tersebut duduk.
"Kau!" pekik Evelyn yang menyadarinya.
Anak laki-laki tersebut menatap Evelyn dengan senyuman khasnya memperlihatkan lesung pipinya.
"Sendirian?" tanyanya. Belum sempat Evelyn menjawab, dia sudah menyela lagi dengan pertanyaan lainnya.
"Kenapa belum pesan makanan?" tanyanya lagi. Anak laki-laki itu menatap Evelyn dengan tajam. Beberapa detik setelah itu, dia baru sadar akan suatu hal.
"Ah, aku lupa. Namaku Nicholas James, panggil saja Nicky!" Anak laki-laki itu mengulurkan tangannya pada Evelyn.
"Evelyn, panggil saja Eve!" ujar Evelyn menyambut uluran tangan Nicky.
Evelyn tertegun menatap bola mata dan senyuman Nicky yang begitu manis membuatnya terlena.
"Hey ... Eve, are you hear me!?" Nicky menggerak-gerakkan tangannya.
"Ah, maaf!" kata Evelyn dengan muka bersemu merah.
"Apa kau sendirian?" tanyanya lagi.
"Aku bersama dengan temanku, tapi--" ucapan Eve terhenti ketika melihat Alice dan Sabrina sudah duduk di bangku lain dan melambaikan tangannya.
"Tapi apa?"
"Hah?" Evelyn menatap Nicholas yang sibuk membuka plastik cemilan berisi dua potong roti. "Tapi tidak lagi, aku sendirian."
"Makanlah!" Nicky memberikan sebagian bekalnya pada Evelyn."Tidak perlu!" tolak Evelyn.
"Tidak perlu malu, ambillah. Ibuku yang membuatnya,"
"Tidak perlu repot-repot. Aku bisa memesan makanan," Evelyn beralasan menolak.
"Kalau kau pesan makanan sekarang, kau bisa telat masuk pelajaran jam kedua. Ambil dan makanlah, kasian perutmu, bernyanyi terus!"
"Eh, apa? Kau mendengarnya?" Evelyn kembali bersemu merah wajahnya, dia mengelus-ngelus perutnya sendiri.
"Makanlah!" titah Nicholas. Evelyn pun tak bisa menolaknya lagi, dan tak bisa memesan makanan, karena jam istirahat hampir habis.
"Terima kasih!" ucap Evelyn.
"Jika haus, kau bisa minum ini!" Nicky menyerahkan sebuah botol air mineral ukuran kecil.
"Terima kasih!" ucap Evelyn lagi sambil menelan kunyahan pertamanya. Sebelum meletakkan botol air mineral, terlebih dulu Nicky membuka tutup botolnya.
Nicky terdiam memperhatikan Evelyn yang sedang makan. Sorot matanya tajam menatap Evelyn hingga membuat Evelyn tidak nyaman.
"Jangan menatapku seperti itu!" protesnya, "apa kau tidak ikhlas memberikan roti ini padaku?" lanjutnya.
Perlahan Nicky tersenyum dan seperti biasa lesung pipinya terlihat, membuatnya terkesan terlihat manis.
"Kenapa kau malah tersenyum?! Sungguh menyebalkan!" gerutu Evelyn.
"Pria yang kemarin itu, apa dia Ayahmu?" tanyanya tiba-tiba. Ucapan Nicky membuat selera makan Evelyn hilang. Evelyn menarik napas panjang, dan mengembuskan kasar.
"Maaf, jika pertanyaanku membuatmu tak nyaman," lanjutnya.
"Terima kasih telah menolongku, tapi maaf, jangan pernah membicarakan dia di depanku. Aku sangat membencinya!" ucap Evelyn, lalu beranjak dari duduknya meninggalkan Nicky.
"Maaf!" ucapnya singkat. Namun, permintaan maafnya tidak direspon oleh Evelyn.
Nicky yang sudah memahaminya hanya tersenyum getir, pasalnya dia sendiri pun pernah mengalaminya. Nicky pun beranjak dari tempat duduknya dan segera meninggalkan kantin bertepatan dengan bell istirahat berakhir. Semua anak-anak kembali masuk ke dalam kelas masing-masing.Siang harinya, Evelyn yang benar-benar badmood saat itu berjalan sambil sesekali menyepak kerikil-kerikil kecil di atas jalan. Sepanjang trotoar, Evelyn tak henti-hentinya mengomel tak jelas. Bahkan Evelyn tak sadar, jika dirinya sedang dibuntuti dan diperhatikan seseorang.
"Sepakan kakimu itu bisa membuat kepala orang benjol dan terluka!" ucap seseorang dari belakang dan berjalan mendahului Evelyn. Mendengar itu, langkah kaki Evelyn terhenti.
"Kenapa kau selalu mengikutiku?! Apa kau ini adalah komplotan penculik?!" cercanya pada Nicholas.
"Jalan umum. Semua orang boleh lewat sini!" sahutnya cuek. Evelyn terdiam.
"Apa kau masih marah?!" imbuhnya bertanya.
"Tidak!" jawab Evelyn singkat.
"Kalau begitu, sampai jumpa besok di sekolah!" ucap Nicholas berpamitan, kemudian dia berbelok tepat di perempatan. Evelyn terlihat melongo ditinggal begitu saja.
"Apa-apaan ini!" Evelyn mendengkus karena sangat kesal.
“Jangan mengomel terus-menerus, nanti kulitmu bisa keriput loh!” teriak Nicholas.
"Kau meledekku hah?!" balas Evelyn berteriak tak terima ejekan dari Nicholas.
"Aku tidak meledek, hanya saja aku suka membuatmu kesal ha ha ha—" Nicholas tertawa.
"Wah, aku benar-benar kaget dengan diriku sendiri. Apa yang tadi aku lakukan?" Nicholas bertanya pada dirinya sendiri.
__***__
Nicholas James, anak semata wayang dari sebuah keluarga yang mapan. Memiliki tinggi 175 cm dengan rambut blondy, serta manik mata abu-abu. Dia memiliki lesung pipi. Mempunyai senyuman manis serta berkepribadian yang hangat. Namun, kadang dia juga bisa bersikap dingin.
Kehidupannya tak jauh beda dari anak-anak remaja lainnya. Hanya saja, Nicholas memang terlihat sangat menonjol, tak hanya mempunyai paras wajah yang tampan, tetapi dia juga baik dan rendah hati. Dia bahkan mempunyai banyak pengagum, terlebih lagi dari kalangan kaum hawa. Banyak anak perempuan ingin berkenalan dengan Nicholas ataupun ingin dekat dengan Nicholas.
Di sekolahnya yang baru pun, Nicholas terbilang cepat sekali terkenalnya. Baru dua hari pindah, Nicholas sudah menjadi bahan perbincangan anak-anak perempuan. Nicholas sendiri tidak begitu susah untuk mendapatkan teman baru. Nicky termasuk anak laki-laki yang supel dan pandai bergaul, walaupun kadang dia terlihat bersikap dingin.
Nicky pindah ke kota Kingston bersama dengan Ibunya. Dia baru saja pindah dari kota London. Pertemuannya dengan Evelyn Shanelly untuk yang kedua kalinya ini memberikan kesan tersendiri untuk Nicholas.
Akankah sampai disitu? Tentu tidak. Nantikan episode selanjutnya.
To be continue
Menjalani kehidupan bukanlah suatu yang mudah. Ada saja masalah atau persoalan hidup yang harus dihadapi, terlepas itu berat atau tidak setiap orang pernah mengalami sulitnya hidup. Hidup memang selalu membutuhkan semangat agar tidak mudah putus asa dan selalu optimis bahwa hari esok akan menjadi hari yang membahagiakan. Layaknya roda, kehidupan terus berputar, terkadang kita sering merasa masalah yang kita hadapi berat dan membuat kita berpikir bahwa masalah tersebut tidak akan berlalu. Namun, percayalah semua hal di dunia ini tidak ada yang permanen dan suatu saat akan berlalu termasuk masalah kita. Smangat hidup sangat dibutuhkan oleh semua orang, hal ini lantaran semangat akan membuat kita tak pernah berhenti berjuang untuk setiap kebaikan. Sebagai manusia kita juga harus selalu berpikir positif bahwa setiap masalah yang dihadapi merupakan cara agar kita bisa baik satu tingkat lebih baik. Namun, ada kalanya orang-orang terdekat juga bisa membuat kita kembali pada titik keterpuru
Acara pesta ulang tahun yang diadakan oleh Amanda untuk anaknya yang bernama Evelyn telah berakhir. Para undangan satu persatu pulang meninggalkan tempat tersebut. Tersisa hanya Alice, Sabrina, dan Nicholas. Amanda mendekati ketiga sahabat dari anaknya, Evelyn. Amanda tersenyum sumringah menatap ketiganya. "Terima kasih, kalian sudah datang ke acara ini. Hanya sebuah acara pesta ulang tahun kecil-kecilan, tapi ini mungkin akan sangat berarti untuk Evelyn," terlihat sangat jelas mata Amanda berkaca-kaca. "Sama-sama, Aunty. Kami pun sangat senang bisa berada disini, terlebih berada di sekitar Evelyn," ujar Alice. Amanda terlihat sangat bahagia. Ternyata di lingkungan Eve yang baru, Eve di kelilingi orang-orang yang sangat peduli dengannya. Amanda menatap Nicholas, wanita itu terlihat sangat asing dengan wajah anak laki-laki itu. Nicholas menunduk dan tersenyum. "Ini siapa?" Amanda menanyakan pada Alice. "Nicholas, Aunty. Panggil saja Nic
Evelyn melangkah lesu menyusuri trotoar. Hari itu masih pagi, baru sekitar jam 6 pagi, tapi Evelyn sudah tampak tak semangat dan terlihat tidak bersemangat. Dalam hati dia terus menerus mengomel-ngomel. Hingga akhirnya dia menabrak seseorang dijalan. "Awww!!" pekiknya. "Kalau jalan itu mata lihat ke depan, bukan menunduk, semua orang jadi kau hormati!" "Lagi pula kenapa kau berhenti di tengah jalan!" Evelyn ketus. "Tengah jalan? Ini pinggir jalan. Itu di depan zebra-cross, tempat pejalan kaki menyeberang!" Evelyn memiringkan kepalanya, menghindari tubuh yang sedang berdiri di depannya, lalu dia mendongak ke atas menatap rambu lalu lintas. "Oppz—sorry!" cicitnya. Saat lampu merah menyala, dengan reflek anak laki-laki itu menarik tangan Evelyn dan segera membawanya untuk menyeberang. Evelyn menurut saja saat tangannya ditarik olehnya. Setelah
Evelyn merenung duduk di sisi ranjang. Dia memegang kalung yang melingkar manis di lehernya. Kalung silver berliontin lumba-lumba itu terlihat sangat cocok terpasang di lehernya. "Cantik!" celetuk Evelyn. Senyuman mengembang di bibirnya. Namun, setelah itu mendadak sirna. Kembali dia teringat wajah pria brengsek itu. Evelyn mendongak, menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Hari sudah mulai beranjak senja. Tak lama setelah itu, terdengar sebuah teriakan memanggil namanya. "Eveeee!" "Yaaa!" "Ayo makan!" Evelyn melangkah mendekati pintu kamarnya. Namun, dia urungkan niatnya. Tangannya yang terulur, kembali dia tarik. Bukan tak mau bergabung untuk makan malam, tapi karena Evelyn mendengar ada suara pria brengsek itu. "Kenapa dia ada disini? Apa Ibu yang mengundangnya?" Eve melangkah kembali duduk di sisi ranjang. Dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan pria itu. Eve menghembaskan tubuhnya. Dia
Rumah pohon yang ada di pohon tak jauh dari rumahnya. Rumah yang dulu dibuat oleh Nicholas dan Ayahnya. Rumah itu selalu dipakai oleh Nicholas untuk menyendiri. Kini Nicholas membawa Evelyn ke rumah pohon favoritnya. Evelyn terlihat sangat senang berada di sana. Dia begitu sangat betah sampai dia ketiduran di rumah pohon itu. Ketika Evelyn tertidur, Nicholas tampak memandangi wajahnya dengan seksama. Nicholas begitu menikmati keindahan paras Eve, dia tertegun melihatnya. Saat Eve menggeliat pelan, Nicholas tampak gelagapan. Eve merubah posisi tidurnya. Dia sepertinya sedang mencari posisi tempat yang nyaman. Seharusnya sudah nyaman, karena Nicky menaruh karpet dengan bulu halus serta ada kasur lipat, bahkan selimut tebal. Apa dia akan tidur terus? Padahal hari sudah mulai sore. Bagaimana kalau sampai orang rumah khawatir mencarinya, batin Nicky. Nicky berusaha memban
Evelyn berdiri tepat di sebuah rumah pohon. Hari itu memang dia berniat untuk menginap di rumah pohon milik Nicholas. Sebenarnya apa yang terjadi pada Evelyn? Beberapa jam sebelumnya. Evelyn yang baru pulang dari sekolah berdiri mematung ketika melihat sebuah mobil hitam terparkir di depan rumah neneknya. Eve sudah bisa menduga bahwa itu adalah mobil milik ayahnya. Evelyn memutuskan untuk masuk ke dalam rumah neneknya, dia tampak cuek ketika melihat ayahnya berdiri menyambutnya dan hendak memeluk dirinya. Namun, Eve langsung menepisnya. Evelyn langsung masuk ke dalam kamarnya. Namun, Anthony mengejarnya. Pria itu terus mengetuk pintu kamar Eve, hingga Eve membukanya, tapi dia langsung melangkah meninggalkan Anthony dengan sebuah tas di tangannya. Dia langsung berlari keluar dari rumahnya tanpa berpamitan dengan neneknya. Satu tujuan yang dituju Eve adalah rumah pohon milik Nicholas. Itulah tempat
Amanda terlihat sibuk dengan tumpukan berkas di mejanya. Wanita itu sekarang menjadi tulang punggung keluarganya. Amanda. Amanda melirik jam tangannya. Jarum jam bergerak pelan menunjukkan pukul 12 siang. "Amanda ...," panggil Richie. Amanda pun bangkit dari duduknya. "Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" "Kita makan siang dulu!" ucap Richie tanpa basa-basi. "Kita?" ujar Amanda kaget. "Saya tidak paham apa maksud bapak?" "Kita ... ya kita berdua. Memang siapa lagi?" Richie membenarkan dasinya. "Pak Richie 'kan bisa makan siang bersama dengan yang lain." Amanda mencoba menolaknya. "Tidak!" tolak Richie, "aku inginnya makan siang denganmu. Jadi bereskan semua file mu itu. Kau bisa mengerjakannya setelah makan siang." "Ta-tapi, pak." "Tidak ada penolakan!"
Amanda tampak duduk di sebuah halte dekat kantornya. Hari itu memang Amanda tidak membawa mobil. Wanita itu tampak sedang menunggu taksi. Beberapa saat setelah itu, sebuah mobil berhenti tepat di depan Amanda. Saat kaca itu turun, tampaklah wajah tampan Richie dari dalam. Pria itu tersenyum sangat manis. "Masuklah, aku akan mengantarmu pulang ke rumah," tawar Richie. 'Tidak pak, terima kasih. Saya akan menunggu taksi saja," tolak Amanda. "Kau tahu tidak, jika sebentar lagi akan turun hujan. Akan lebih susah lagi jika tidak ada taksi atau bus yang lewat." Richie membuka pintu dari dalam, lalu menyuruh Amanda untuk masuk ke dalam. Rintik hujan akhirnya turun, hal itu membuat Amanda dengan terpaksa masuk ke dalam mobil. "Nah, betul 'kan hujan turun," kata Richie sambil melongokkan kepalanya. "Pasang seatbell mu."