"Apa! Ayah akan menikah lagi?!"
Enam bulan telah berlalu, belum sembuh rasa trauma yang dirasa Evelyn. Kini Evelyn harus mendengarkan kabar buruk. Kabar buruk yang disampaikan oleh Ibunya sendiri tentang sang Ayah.
Amanda mengangguk pelan, "iya, sayang. Ayahmu akan menikah lagi."
"Lalu, kenapa Ibu memberitahuku akan hal itu?!"
"Ayahmu meminta Ibu untuk memberitahukan padamu juga Kakakmu, Elying. Ayahmu menyuruhmu untuk datang ke acara pernikahannya," jelas Amanda.
"Tidak!!!" teriak Evelyn, "aku tidak akan pernah datang ke acara pernikahan dia!" lanjut Evelyn.
Evelyn benar-benar menolak tawaran untuk hadir di acara pernikahan Ayahnya. Dia masih enggan untuk bertemu dengan Ayahnya ataupun bertatap muka langsung. Ya, Evelyn masih merasakan rasa sakit di hatinya. Dia benar-benar muak dengan Ayahnya sendiri. Amanda pun tidak bisa memaksakan kehendak kedua anaknya tersebut. Elying pun menolak undangan tersebut, dan sekarang gilirannya untuk memilih. Apakah wanita cantik itu akan datang ke acara pernikahan mantan suaminya. Bahkan permasalahan hak asuh Elying dan Evelyn masih di perdebatkan antara Amanda dan Anthony.
Tak heran jika Evelyn sangat tertekan, berbanding terbalik dengan Elying, gadis 15 tahun itu masih bisa mengalihkan permasalahan yang sedang dia hadapi. Sama halnya dengan Evelyn, sebenarnya Elying juga merasa tertekan dengan perceraian kedua orang tuanya, tapi Elying sangat pintar menutupinya.
"Bagaimana, Bu?" tanya Elying tiba-tiba.
Amanda merespon dengan menggelengkan kepalanya, "adikmu tidak mau datang ke acara pernikahan Ayahnya."
"Aku 'kan sudah memberitahukan ini pada Ibu," Elying membenarkan dan menjelaskan pada Ibunya, kalau Evelyn memang benar-benar sudah tidak ingin melihat Anthony, atau bahkan hanya sekedar bertemu.
"Lalu apa Ibu akan datang memenuhi undangannya?"
"Tidak!" ucap Amanda tegas. "Ibu tidak akan datang ke acara pernikahan Ayahmu!"
Elying menatap wanita berparas cantik di depannya. Ya, wanita dengan rambut blonde, bermata biru tersebut adalah Ibunya. Terlihat sangat jelas di raut wajahnya, masih ada rasa kecewa terhadap Anthony. Namun, Amanda sudah mulai menatap hati dan kehidupannya mulai dari awal. Kini, dia lebih fokus pada Elying dan Evelyn, tapi tak dipungkiri juga jika dia ingin seperti dulu mengejar karier dia.
__***__
Matahari telah kembali ke sarangnya, malam pun tiba menghampiri sebagian belahan dunia. Malam yang tampak cerah, bulan tampak menerangi langit malam itu, di temani bintang-bintang yang bertebaran di langit. Evelyn yang tengah duduk di balkon menyandarkan kepalanya pada sebuah kursi kayu. Kepalanya mendongak ke atas menatap gemerlapnya bintang-bintang di langit malam.
"Indahnya ...." Evelyn berdecak kagum. Sorot matanya tak lepas dari sebuah bintang yang nampak berkedip-kedip.
"Aku ingin bebas ...." lirihnya. "Apakah aku bisa bebas?" lanjut Evelyn. Entah apa yang sedang dipikirkan Evelyn saat itu. Dia seperti terlihat putus asa.
"Aku ingin seperti kupu-kupu. Bisa terbang kesana kemarin tanpa beban masalah,"
Evelyn tak sadar, jika butiran bening mengalir dari pelupuk matanya. Entah terlihat tertekan atau apa, tapi Evelyn benar-benar terlihat sangat menyedihkan ketika sedang duduk seorang diri. Mungkin Evelyn sedang berpikir masalah yang sedang terjadi dalam keluarganya. Dia memang masih muda, tapi sudah dihadapkan dengan masalah yang begitu besar. Ya, mungkin itulah beban hidup Evelyn.
Beban hidup merupakan hal yang tak bisa dihindari selama kita masih bernapas di muka bumi. Kita perlu menerima kesedihan yang dirasakan sembari merencanakan hal-hal yang bisa dikendalikan selanjutnya. Jika perlu, menemui ahli kejiwaan tentu dapat membantu. Hidup merupakan perjuangan dengan banyak kerikil ataupun duri yang tajam. Terkadang, beban hidup begitu menghimpit dan membuat kita tertatih-tatih dalam melangkah di lini masa kehidupan. Perlu diingat bahwa mustahil rasanya seseorang memiliki hidup yang datar tanpa hambatan. Untuk itu, ada beberapa kiat untuk meminimalkan luka akibat beban hidup yang menghimpit. Semua orang pasti memiliki mimpi-mimpi yang sangat ingin digapai. Namun, perjalanan untuk menggapai mimpi tersebut terkadang tidaklah mulus seperti yang diharapkan. Hal itu bisa memunculkan berbagai beban hidup yang bisa saja memiliki memberatkan.
Oleh karena itu, antisipasi yang harus dilakukan adalah melatih diri untuk dapat menerima segala beban hidup yang akan datang. Tidak perlu cara yang rumit, hal sepele pun sangat bisa membantumu dalam mengentaskan beban yang ada di hidupmu.
Merelakan yang harus direlakan. Ketika dirimu bisa menerima apapun keburukan yang harus kau hadapi, maka tidak akan ada beban hidup yang membelenggu hatimu. Kau hanya akan dihadapkan oleh rasa ikhlas yang begitu mendalam meskipun hal tersebut bisa saja menyakitimu. Ikhlas dalam menghadapinya dan harus bisa mengontrol diri, mungkin hanya itu satu-satunya jalan. Akan tetapi, jangan sampai beban hidupmu itu membuatmu semakin lemah. Beban hidup bisa berasal dari mana saja dan kapan saja. Hal paling mendasar yang dapat menyebabkan beban hidup adalah sebuah kekecewaan begitu mendalam terhadap sesuatu. Sesuatu yang begitu dekat dan nyata. Nyata karena ada di depan mata dan benar-benar membekas dalam pikiran. Oleh karena itu, hal yang harus dilakukan adalah merelakan dan menerima apa yang telah terjadi. Namun, tidak semua orang bisa merelakan atau menerimanya.
Evelyn mengusap air mata yang mengalir, termenung sesaat, memikirkan apa yang sedang dia pikirkan. Evelyn bertekad, kelak dia ingin lebih baik dari orang tuanya. Namun, rasa sakit yang dia rasa ketika teringat akan kelakuan Ayahnya terhadap Ibunya. Evelyn terlihat sangat membenci Ayahnya. Evelyn menurunkan kakinya ke lantai, beranjak dari kursi kayu, dan kembali ke masuk ke dalam kamarnya. Setelah menutup pintu balkon, Evelyn melangkah dan duduk di depan sebuah cermin. Menatap dirinya sendiri dalam pantulan cermin yang ada di depannya. Tiba-tiba, Evelyn tersenyum sendiri.
"Aku tidak mau seperti Ibu!" ucapnya, "dan aku pun tidak mau seperti Ayah!" lanjutnya.
Evelyn mendadak tertawa sendiri, dia seperti mengajak bicara pada dirinya sendiri yang terpantul dicermin.
"Apa kau mau terus hidup seperti ini?" tanya pada gambar yang terpantul dicermin. "Kalau aku, aku tidak mau hidup seperti itu!" ucapnya tersenyum dengan tatapan aneh.
Evelyn begitu sangat asyik bercengkerama sendiri, selayaknya dia sedang curhat dengan seseorang. Terkadang dia tersenyum sendiri, tapi terkadang tiba-tiba dia menangis.
Evelyn memang berbeda dengan Elying. Keduanya memang sama-sama cantik, tapi Elying cenderung lebih penurut daripada Evelyn. Kebalikannya, Evelyn terlihat keras kepala. Kedua sama-sama ceria, tapi semenjak kedua orang tuanya sering bertengkar, Elying dan Evelyn berubah. Ini terlihat jelas dari Evelyn yang sering murung dan suka menjawab dengan asal.
Sebuah ketukan pintu membuat Evelyn tersentak kaget, setelah itu terdengar suara Nenek Pamela memanggil-manggil namanya.
"Evelyn, apa kau sudah tidur?" teriak nenek Pamela sembari mengetuk pintu kamar Evelyn.
Di dalam kamar, tampak Evelyn berjalan berjingkat-jingkat pelan menuju ranjang tidurnya ketika mendengar suara neneknya di balik pintu. Evelyn menyibakkan selimut, lalu naik ke atas ranjangnya.
"Aku harus pura-pura tidur, agar Nenek tidak menceramahiku lagi!" Evelyn merebahkan tubuhnya dan menarik selimutnya.
"Eveee ...." teriaknya lagi berusaha memastikan bahwa Evelyn sudah tidur. Teriakan ketiga kalinya, tidak ada jawaban atau respon dari Evelyn.
"Mungkin memang, anak itu sudah tidur," ucap nenek Pamela. "Aku sebenarnya sangat mengkhawatirkan mentalnya!" Terlihat jelas, bahwa nenek Pamela sangat mengkhawatirkan cucunya tersebut. Namun, wanita tua itupun hanya bisa menasihati Elying dan Evelyn. Terutama Evelyn yang memang masih membutuhkan perhatian extra.
Nenek Pamela memutar kenop pintu kamar Evelyn yang memang tidak dikunci dari dalam. Wanita tua tersebut masuk ke dalam kamar Evelyn, melangkah mendekati ranjang, dan duduk di tepi ranjang. Tangan keriputnya terulur menyentuh pipi Evelyn dan membelai rambutnya.
“Haruskan anak di usia seperti Evelyn ini menanggung beban hidup yang di akibatkan oleh kedua orang tuanya. Nenek akan merawatmu, Eve!” Pamela mendekatkan wajahnya, kemudian dia mencium lembut pipi Evelyn.
“Nenek hanya bisa berpesan, jangan sampai kau salah dalam mengambil keputusan untuk masa depanmu kelak,” sambungnya.
Pamela bukan menyalahkan anak semata wayangnya yang bernama Amanda, karena dia sudah gagal dalam berumah tangga. Pamela tak ingin kelak, jika Elying dan Evelyn dewasa akan mengalami hal serupa. Akan tetapi, alur hidup tidak ada yang mengetahui. Roda kehidupan terus berputar, kadang ada di atas, kadang juga berada di bawah. Semua akan mengalaminya, layaknya air yang pasang surut. Pamela beranjak dari ranjang tempat Evelyn terbaring, wanita 70 tahun itu melangkah keluar, menutup pintu, dan beralih ke arah pintu kamar yang berada di sebelah kamarnya. Pamela melangkah mendekat dan masuk ke dalam kamar tersebut. Dia melihat Amanda dan Elying sudah tertidur dengan pulasnya, dia menutup kembali pintu tersebut. Sesaat dia termenung, setelah itu dia kembali masuk ke dalam kamarnya.
Evelyn kembali membuka mata saat mengetahui sang Nenek telah pergi. Evelyn bangkit dari tidurnya, menyandarkan kepalanya di headboard, tampak Evelyn meresapi kata-kata Neneknya tadi.
“Aku tahu Nenek sangat menyayangiku, tapi disini akulah yang menentukan masa depanku. Aku pun juga tidak ingin seperti Ibu,” ucapnya lirih.
“Seandainya mereka tahu apa yang aku rasakan, aku juga masih membutuhkan kasih sayang dari seorang Ayah, tapi aku sangat membencinya!”
Kembali Evelyn merasa sangat sedih, mengingat dia masih membutuhkan figur seorang Ayah.
“Sebenarnya, aku juga tidak ingin Ayah dan Ibu berpisah, tapi ini semua sudah keputusan mereka berdua,”
Namun, disisi lain Evelyn juga membenci Ayahnya. Pria itu sering pulang dalam keadaan mabuk, bahkan kadang suka bermain kasar pada Ibunya. Adegan demi adegan kekerasan kerap dilihat Evelyn. Masih terekam dengan jelas di kepala Evelyn kejadian-kejadian tersebut. Bahkan Evelyn sering menjadi bahan bullyan di sekolahnya. Tempat keluh kesahnya hanya pada sang Nenek, karena itu Evelyn lebih betah tinggal dengan Neneknya.
Evelyn kembali membaringkan badannya, dia memang sudah sangat ingin tidur. Namun, matanya tidak mau terpejamkan. Dalam pikirannya terlintas sesuatu. Sesuatu yang membuat berpikir jauh ke sana, entah kemana?
“Kau pasti bisa, Eve! Kau harus berjuang, kau tidak sendirian disini. Aku yakin, kau pasti bisa!” Evelyn menyemangati dirinya sendiri.
Hidup dipenuhi oleh banyak beban rasanya memang begitu berat, harus bisa menghadapi masalah demi masalah dalam hidup yang tidak pernah selesai. Setiap hari beban yang ada pun semakin besar dan itupun tidak semua orang mampu menghadapinya. Pikiran juga kadang terasa buntu saat mencari solusi dari setiap masalah. Bahkan ada yang sampai depresi dan mengakhiri hidupnya.
Itulah yang sedang dirasakan oleh Evelyn. Masalah yang dia alami berasal dari orang tuanya sendiri. Namun, mereka berdua tidak menyadarinya jika anak-anaknya yang menderita. Tapi itu semua sudah terjadi, bagaikan nasi sudah menjadi bubur, memutar balikkan waktu pun tidak bisa.
Evelyn yang malang harus berusaha untuk tegar. Beruntung dia mempunyai nenek yang begitu sangat memperhatikan dia.
To be continue,
Setelah Anthony menikah lagi, pria tersebut langsung menghilang bak ditelan bumi, sama sekali tak ada kabar. Namun, 7 tahun kemudian Anthony muncul lagi. Pria itu berdiri di depan gerbang sekolah Evelyn. Evelyn yang hari itu tampak lesu, dikarenakan dia habis kena tegur wali kelasnya. Kesalahan Evelyn saat itu adalah dia ketahuan menyontek. Evelyn yang dulu terkenal sebagai murid yang rajin dan pandai. Cuaca hari itu begitu sangat mendung. Gulungan awan hitam mampu mengusir sinar matahari yang menyengat. Ya, hamparan awan hitam terus bergerak menutupi awan putih. Sesaat terdengar suara gemuruh petir yang menandakan hujan akan segera turun. Gadis berambut blondy dengan manik mata berwarna biru melangkah menuju gerbang sekolah. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti. Sorot matanya tajam menatap seseorang. Anthony yang sadar akan kedatangan Evelyn segera memposisikan dirinya berdiri tegap dari sandarannya di mobil. Evelyn memasang muka tidak suka aka
Sekolah Evelyn SMA Kingston kedatangan murid pindahan. Murid laki-laki ini langsung menjadi sorotan di sekolah barunya. Terutama murid-murid perempuan. "Ayo masuk!" Ajak anak laki-laki itu. Evelyn pun menurutinya masuk ke dalam gerbang sekolah. Untung mereka berdua tidak telat sampai di sekolah. Anak laki-laki yang berperawakan tegap, tampan, maskulin, dan murah senyum itu ternyata adalah seorang murid baru. Anak laki-laki yang sama. Evelyn terus menatap punggung anak laki-laki yang ada di depannya. Evelyn tersadar ketika ada seseorang memanggilnya dari kejauhan. "Eveee!! Kau mau masuk kelas senior?" "A-apa? Ke-kelas senior?" Evelyn terlihat kaget. Ternyata dia tak sadar mengikuti anak laki-laki tersebut. "Kau mau ikut masuk ke dalam?" tanyanya. Evelyn tersenyum malu, dia langsung membalikkan badannya meninggalkan anak laki-laki tersebut. Evelyn berlari masuk ke dalam kelasnya, dan disambut riuh oleh teman-teman sekelasnya. Evelyn meng
Menjalani kehidupan bukanlah suatu yang mudah. Ada saja masalah atau persoalan hidup yang harus dihadapi, terlepas itu berat atau tidak setiap orang pernah mengalami sulitnya hidup. Hidup memang selalu membutuhkan semangat agar tidak mudah putus asa dan selalu optimis bahwa hari esok akan menjadi hari yang membahagiakan. Layaknya roda, kehidupan terus berputar, terkadang kita sering merasa masalah yang kita hadapi berat dan membuat kita berpikir bahwa masalah tersebut tidak akan berlalu. Namun, percayalah semua hal di dunia ini tidak ada yang permanen dan suatu saat akan berlalu termasuk masalah kita. Smangat hidup sangat dibutuhkan oleh semua orang, hal ini lantaran semangat akan membuat kita tak pernah berhenti berjuang untuk setiap kebaikan. Sebagai manusia kita juga harus selalu berpikir positif bahwa setiap masalah yang dihadapi merupakan cara agar kita bisa baik satu tingkat lebih baik. Namun, ada kalanya orang-orang terdekat juga bisa membuat kita kembali pada titik keterpuru
Acara pesta ulang tahun yang diadakan oleh Amanda untuk anaknya yang bernama Evelyn telah berakhir. Para undangan satu persatu pulang meninggalkan tempat tersebut. Tersisa hanya Alice, Sabrina, dan Nicholas. Amanda mendekati ketiga sahabat dari anaknya, Evelyn. Amanda tersenyum sumringah menatap ketiganya. "Terima kasih, kalian sudah datang ke acara ini. Hanya sebuah acara pesta ulang tahun kecil-kecilan, tapi ini mungkin akan sangat berarti untuk Evelyn," terlihat sangat jelas mata Amanda berkaca-kaca. "Sama-sama, Aunty. Kami pun sangat senang bisa berada disini, terlebih berada di sekitar Evelyn," ujar Alice. Amanda terlihat sangat bahagia. Ternyata di lingkungan Eve yang baru, Eve di kelilingi orang-orang yang sangat peduli dengannya. Amanda menatap Nicholas, wanita itu terlihat sangat asing dengan wajah anak laki-laki itu. Nicholas menunduk dan tersenyum. "Ini siapa?" Amanda menanyakan pada Alice. "Nicholas, Aunty. Panggil saja Nic
Evelyn melangkah lesu menyusuri trotoar. Hari itu masih pagi, baru sekitar jam 6 pagi, tapi Evelyn sudah tampak tak semangat dan terlihat tidak bersemangat. Dalam hati dia terus menerus mengomel-ngomel. Hingga akhirnya dia menabrak seseorang dijalan. "Awww!!" pekiknya. "Kalau jalan itu mata lihat ke depan, bukan menunduk, semua orang jadi kau hormati!" "Lagi pula kenapa kau berhenti di tengah jalan!" Evelyn ketus. "Tengah jalan? Ini pinggir jalan. Itu di depan zebra-cross, tempat pejalan kaki menyeberang!" Evelyn memiringkan kepalanya, menghindari tubuh yang sedang berdiri di depannya, lalu dia mendongak ke atas menatap rambu lalu lintas. "Oppz—sorry!" cicitnya. Saat lampu merah menyala, dengan reflek anak laki-laki itu menarik tangan Evelyn dan segera membawanya untuk menyeberang. Evelyn menurut saja saat tangannya ditarik olehnya. Setelah
Evelyn merenung duduk di sisi ranjang. Dia memegang kalung yang melingkar manis di lehernya. Kalung silver berliontin lumba-lumba itu terlihat sangat cocok terpasang di lehernya. "Cantik!" celetuk Evelyn. Senyuman mengembang di bibirnya. Namun, setelah itu mendadak sirna. Kembali dia teringat wajah pria brengsek itu. Evelyn mendongak, menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Hari sudah mulai beranjak senja. Tak lama setelah itu, terdengar sebuah teriakan memanggil namanya. "Eveeee!" "Yaaa!" "Ayo makan!" Evelyn melangkah mendekati pintu kamarnya. Namun, dia urungkan niatnya. Tangannya yang terulur, kembali dia tarik. Bukan tak mau bergabung untuk makan malam, tapi karena Evelyn mendengar ada suara pria brengsek itu. "Kenapa dia ada disini? Apa Ibu yang mengundangnya?" Eve melangkah kembali duduk di sisi ranjang. Dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan pria itu. Eve menghembaskan tubuhnya. Dia
Rumah pohon yang ada di pohon tak jauh dari rumahnya. Rumah yang dulu dibuat oleh Nicholas dan Ayahnya. Rumah itu selalu dipakai oleh Nicholas untuk menyendiri. Kini Nicholas membawa Evelyn ke rumah pohon favoritnya. Evelyn terlihat sangat senang berada di sana. Dia begitu sangat betah sampai dia ketiduran di rumah pohon itu. Ketika Evelyn tertidur, Nicholas tampak memandangi wajahnya dengan seksama. Nicholas begitu menikmati keindahan paras Eve, dia tertegun melihatnya. Saat Eve menggeliat pelan, Nicholas tampak gelagapan. Eve merubah posisi tidurnya. Dia sepertinya sedang mencari posisi tempat yang nyaman. Seharusnya sudah nyaman, karena Nicky menaruh karpet dengan bulu halus serta ada kasur lipat, bahkan selimut tebal. Apa dia akan tidur terus? Padahal hari sudah mulai sore. Bagaimana kalau sampai orang rumah khawatir mencarinya, batin Nicky. Nicky berusaha memban
Evelyn berdiri tepat di sebuah rumah pohon. Hari itu memang dia berniat untuk menginap di rumah pohon milik Nicholas. Sebenarnya apa yang terjadi pada Evelyn? Beberapa jam sebelumnya. Evelyn yang baru pulang dari sekolah berdiri mematung ketika melihat sebuah mobil hitam terparkir di depan rumah neneknya. Eve sudah bisa menduga bahwa itu adalah mobil milik ayahnya. Evelyn memutuskan untuk masuk ke dalam rumah neneknya, dia tampak cuek ketika melihat ayahnya berdiri menyambutnya dan hendak memeluk dirinya. Namun, Eve langsung menepisnya. Evelyn langsung masuk ke dalam kamarnya. Namun, Anthony mengejarnya. Pria itu terus mengetuk pintu kamar Eve, hingga Eve membukanya, tapi dia langsung melangkah meninggalkan Anthony dengan sebuah tas di tangannya. Dia langsung berlari keluar dari rumahnya tanpa berpamitan dengan neneknya. Satu tujuan yang dituju Eve adalah rumah pohon milik Nicholas. Itulah tempat