Hari itu, Amanda membawa Evelyn dan juga Elying ke rumah Neneknya. Dalam perjalanan, Evelyn hanya berdiam diri. Berbeda dengan Elying yang tampak sibuk membaca sebuah buku. Sesekali Amanda menatapnya dari kaca spion tengah broadway.
Amanda menghela napas. Kejadian akhir-akhir ini memang membuat wanita yang baru genap berumur 35 tahun itu hampir frustasi. Namun, Amanda tergolong wanita yang kuat. Ya, sekuat apapun dia bertahan pasti ada titik di mana dia harus merasakan jenuh.
Perjalanan kurang lebih dari 1 jam yang harus Amanda tempuh. Kington Surrey kota yang Amanda tuju. Dalam perjalanan semua hanya terdiam, bahkan Flying dan Evelyn tertidur. Sedangkan Amanda fokus sibuk menyetir.
Sesampai di rumah Sang Ibu, Amanda memarkirkan mobilnya di garasi sebelah rumah. Tampak seorang wanita tua, sekitar umur 70 tahun keluar dari dalam rumah. Wanita tua tersebut tersenyum melihat kedatangan putri semata wayangnya, Amanda beserta kedua cucu kesayangannya.
Amanda membangunkan Elying dan Evelyn. Keduanya langsung terbangun dan menatap ke luar jendela.
"Apa kita sudah sampai, Bu?" tanya Elying pelan. Berbeda dengan Evelyn, anak itu langsung keluar dari mobil dan berjalan mendekati Sang Nenek.
"Apa kabar, Sayang!" ucap Nenek Pamela pada Evelyn.
"Baik, Nek!" balas Evelyn.
Respon Evelyn sangat berbeda pada Sang Nenek. Evelyn langsung memeluk Nenek Pamela. Amanda yang memperhatikan keduanya tersenyum.
"Kenapa dia begitu berbeda, jika berada di samping Neneknya?" lirihnya.
"Ayo Ibu, kita ke sana," Elying menggandeng tangan Ibunya, menariknya untuk segera masuk ke rumah Nenek Pamela.
Nenek Pamela tinggal seorang diri di kota Kingston. Suaminya sudah lama meninggal karena sakit. Evelyn memang sangat dekat dengan Nenek Pamela, dan sangat menurut dengan Nenek Pamela.
Keputusan Amanda memindahkan Evelyn di kota Kingston, karena permintaan dari Elying. Amanda akhirnya menuruti, dan Evelyn sama sekali tak menolaknya, karena Evelyn memang sangat menginginkan tinggal bersama Neneknya. Kehidupan baru Evelyn bermula dari sini.
"Eve, ayo bangun. Di luar cuaca sangat cerah," ujar Elying.
Dia menggoyang-goyangkan tubuh Evelyn. Anak itu hanya menggeliat sebentar, kemudian dia berganti posisi, lalu kembali tak bergerak. Evelyn kembali tertidur, Elying pun kembali membangunkan adiknya.
"Eve, bukankah hari ini kau akan survei sekolah barumu?"
Untuk sesaat suasana hening, setelah itu Evelyn bergerak dan bangun dari tidurnya, berhenti sejenak membiarkan tenaga terkumpul. Matanya masih belum sepenuhnya terbuka.
"Ayo, bangun. Ibu sudah siap!" ujar Elying.
"Iya, aku sudah bangun," lirihnya pelan.
Evelyn menyibakkan selimut dari badannya. Dia berjalan gontai meninggalkan Elying, dan masuk ke dalam kamar mandi. Elying hanya menarik napas, lalu tangannya meraih selimut dan melipatnya. Setelah selesai merapikan ranjang Evelyn, Elying berteriak tepat di depan sebuah pintu.
"Eveee, jangan lama-lama ya!" teriaknya. Namun, tak ada respon dari Evelyn, yang ada hanya suara air yang terdengar. Elying mengangkat bahunya, lalu dia melangkah keluar
"Mana Evelyn?" tanya nenek Pamela.
"Dia sedang mandi, Nek!" jawab Elying.
"Apa Eve sudah siap, El?" tanya Amanda yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
"Mungkin sebentar lagi dia akan selesai, Bu!" balas Elying.
Amanda berjalan mendekati Ibunya yang tengah sibuk di dapur. Wanita cantik tersebut membantu Ibunya membawakan piring berisi roti panggang. Amanda menaruhnya di atas nakas. Nenek Pamela menyusul Amanda dan duduk di kursi. Wanita berumur 70 tahun ini masih terlihat sehat.
"Kenapa kalian berdua tidak tinggal sekalian disini?" saran Nenek Pamela.
"Nanggung Nek. Mungkn setelah lulus saja, El akan tinggal disini," jawab Elying.
"Amanda ...."
"Aku baru saja mengawali karierku, Bu!" ucap Amanda.
Nenek Pamela menarik napas, memahaminya. Akan tetapi, wanita tua tersebut sudah cukup senang, karena Evelyn tetap tinggal dan menemaninya. Beberapa menit setelah itu, Evelyn yang sudah siap bergabung di ruang makan dengan yang lainnya.
Amanda memarkirkan mobil di salah satu sekolah ternama di Kingston Surrey. Wanita tersebut segera melepas seatbell dan keluar dari dalam mobil. Evelyn segera menyusul sang Ibu keluar dari dalam mobil, anak berusia 10 tahun tersebut mendekati Ibunya.
"Bagaimana?" tanya Amanda, "Nenek yang merekomendasikan sekolah ini untukmu."
Evelyn terdiam sesaat, kemudian dia menganggukkan kepalanya tanda setuju.
__***__
Kehidupan baru untuk Evelyn setelah dia pindah sekolah di kota Kingston. Evelyn tidak merasa kesulitan untuk beradaptasi di tempat tersebut. Tak butuh waktu lama, Evelyn berbaur dan mendapatkan teman baru. Mungkin dengan begini, Evelyn akan melupakan semuanya, melupakan tentang sakit hati atau kekesalannya. Tak bisa dipungkiri Evelyn memang sangat benci dengan Ayahnya.
Bagi Evelyn, tinggal dengan Nenek Pamela memang bukan hal baru. Kalaupun disuruh memilih pun, Evelyn lebih memilih tinggal dengan Neneknya. Bukan berarti dia benci dengan Ibunya, hanya saja Evelyn sudah benar-benar kecewa dengan kedua orang tuanya.
Nenek Pamela pun dari dulu selalu mengajari Evelyn hal-hal baik. Untuk kali ini pun, Nenek Pamela juga memberi penjelasan dan pengertian pada Evelyn kenapa kedua orang tuanya harus bercerai. Di umur Evelyn yang masih 10 tahun memang umur yang dibilang masih belia untuk mengetahui apa itu perceraian.
Suasana baru yang ada di rumah Nenek Pamela tentu saja memberikan aura yang positif untuk Evelyn. Lima bulan setelah pindah di kota Kingston Surrey, Evelyn kembali berprestasi. Hal ini tentu saja membuat Amanda menjadi sangat bahagia, seperti halnya Elying. Mendengar kedua putrinya kembali berprestasi, Amanda tak lagi merasa khawatir. Wanita tersebut mulai bisa fokus akan masa depannya juga. Tak hanya itu, di kantor pun Amanda sudah mulai mengejar jenjang kariernta yang sempat terhenti karena dia harus menikah dengan Anthony.
Setiap akhir pekan atau bertepatan dengan liburan, Amanda selalu menengok Evelyn. Sebagai Ibu, dia tetap harus memperhatikan Evelyn. Anak berusia 10 tahun itu memang sudah kembali seperti semula. Dia kembali menjadi anak yang ceria, anak yang aktif, dan murah senyum.
"Aku juga ingin tinggal disini!" celetuk Elying.
"Nenek akan sangat bahagia jika kau tinggal disini bersama dengan Nenek dan Evelyn,"
"Tapi untuk saat ini Elying belum bisa, Nek. Aku menunggu sampai lulus nanti," terangnya.
"Tidak apa, fokuslah dulu!" balas Evelyn.
"Benar apa yang di ucapkan Evelyn. Nanti jika saatnya tiba, kau juga akan tinggal disini bersama dengan Nenek," sahut Nenek Pamela. "Benar 'kan, Amanda?"
"Hah? Apa, Bu?"
Amanda memang sedang tidak dalam keadaan konsentrasi, dia tengah sibuk dengan laptopnya. Walaupun weekend pun, Amanda selalu menyempatkan mengerjakan tugas-tugas kantornya.
"Maaf, Bu. Aku sedang tidak fokus mendengarkan pembicaraan kalian," ujar Amanda.
"Akhir-akhir ini, kau memang terlihat sangat sibuk. Pesan Ibu, sesibuk apapun kau harus tetap memperhatikan anak-anakmu. Jangan sampai nanti kau menyesal," saran Pamela.
Amanda melepaskan kacamatanya dan menaruhnya di atas nakas, lalu dia menatap wanita tua yang sedang duduk di seberang meja.
“Kau paham 'kan apa yang Ibu maksud?" Pamela menatap Amanda.
“Tentu saja aku paham, Bu. Ibu tidak perlu khawatir!" Amanda sedikit membuat wanita tua tersebut bernapas lega. Bukan tidak ingin, cucu-cucunya mengikuti jejak anaknya, tapi ada baiknya memang berjaga-jaga. Apalagi Elying dan Evelyn, mereka semua adalah anak gadis. Pamela memang menyayangi kedua gadis itu.
Buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya, seperti itulah kata pepatah. Peribahasa yang memang menggambarkan watak dan perilaku seseorang.
Kekhawatiran apa yang Pamela rasakan?
Temukan jawabannya dichapter 4!
To be Continue dear 。・:*:・(✿◕3◕)❤
"Apa! Ayah akan menikah lagi?!" Enam bulan telah berlalu, belum sembuh rasa trauma yang dirasa Evelyn. Kini Evelyn harus mendengarkan kabar buruk. Kabar buruk yang disampaikan oleh Ibunya sendiri tentang sang Ayah. Amanda mengangguk pelan, "iya, sayang. Ayahmu akan menikah lagi." "Lalu, kenapa Ibu memberitahuku akan hal itu?!" "Ayahmu meminta Ibu untuk memberitahukan padamu juga Kakakmu, Elying. Ayahmu menyuruhmu untuk datang ke acara pernikahannya," jelas Amanda. "Tidak!!!" teriak Evelyn, "aku tidak akan pernah datang ke acara pernikahan dia!" lanjut Evelyn. Evelyn benar-benar menolak tawaran untuk hadir di acara pernikahan Ayahnya. Dia masih enggan untuk bertemu dengan Ayahnya ataupun bertatap muka langsung. Ya, Evelyn masih merasakan rasa sakit di hatinya. Dia benar-benar muak dengan Ayahnya sendiri. Amanda pun tidak bisa memaksakan kehendak kedua anaknya tersebut. Elying pun menolak undangan tersebut, dan sekarang gilirannya untuk
Setelah Anthony menikah lagi, pria tersebut langsung menghilang bak ditelan bumi, sama sekali tak ada kabar. Namun, 7 tahun kemudian Anthony muncul lagi. Pria itu berdiri di depan gerbang sekolah Evelyn. Evelyn yang hari itu tampak lesu, dikarenakan dia habis kena tegur wali kelasnya. Kesalahan Evelyn saat itu adalah dia ketahuan menyontek. Evelyn yang dulu terkenal sebagai murid yang rajin dan pandai. Cuaca hari itu begitu sangat mendung. Gulungan awan hitam mampu mengusir sinar matahari yang menyengat. Ya, hamparan awan hitam terus bergerak menutupi awan putih. Sesaat terdengar suara gemuruh petir yang menandakan hujan akan segera turun. Gadis berambut blondy dengan manik mata berwarna biru melangkah menuju gerbang sekolah. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti. Sorot matanya tajam menatap seseorang. Anthony yang sadar akan kedatangan Evelyn segera memposisikan dirinya berdiri tegap dari sandarannya di mobil. Evelyn memasang muka tidak suka aka
Sekolah Evelyn SMA Kingston kedatangan murid pindahan. Murid laki-laki ini langsung menjadi sorotan di sekolah barunya. Terutama murid-murid perempuan. "Ayo masuk!" Ajak anak laki-laki itu. Evelyn pun menurutinya masuk ke dalam gerbang sekolah. Untung mereka berdua tidak telat sampai di sekolah. Anak laki-laki yang berperawakan tegap, tampan, maskulin, dan murah senyum itu ternyata adalah seorang murid baru. Anak laki-laki yang sama. Evelyn terus menatap punggung anak laki-laki yang ada di depannya. Evelyn tersadar ketika ada seseorang memanggilnya dari kejauhan. "Eveee!! Kau mau masuk kelas senior?" "A-apa? Ke-kelas senior?" Evelyn terlihat kaget. Ternyata dia tak sadar mengikuti anak laki-laki tersebut. "Kau mau ikut masuk ke dalam?" tanyanya. Evelyn tersenyum malu, dia langsung membalikkan badannya meninggalkan anak laki-laki tersebut. Evelyn berlari masuk ke dalam kelasnya, dan disambut riuh oleh teman-teman sekelasnya. Evelyn meng
Menjalani kehidupan bukanlah suatu yang mudah. Ada saja masalah atau persoalan hidup yang harus dihadapi, terlepas itu berat atau tidak setiap orang pernah mengalami sulitnya hidup. Hidup memang selalu membutuhkan semangat agar tidak mudah putus asa dan selalu optimis bahwa hari esok akan menjadi hari yang membahagiakan. Layaknya roda, kehidupan terus berputar, terkadang kita sering merasa masalah yang kita hadapi berat dan membuat kita berpikir bahwa masalah tersebut tidak akan berlalu. Namun, percayalah semua hal di dunia ini tidak ada yang permanen dan suatu saat akan berlalu termasuk masalah kita. Smangat hidup sangat dibutuhkan oleh semua orang, hal ini lantaran semangat akan membuat kita tak pernah berhenti berjuang untuk setiap kebaikan. Sebagai manusia kita juga harus selalu berpikir positif bahwa setiap masalah yang dihadapi merupakan cara agar kita bisa baik satu tingkat lebih baik. Namun, ada kalanya orang-orang terdekat juga bisa membuat kita kembali pada titik keterpuru
Acara pesta ulang tahun yang diadakan oleh Amanda untuk anaknya yang bernama Evelyn telah berakhir. Para undangan satu persatu pulang meninggalkan tempat tersebut. Tersisa hanya Alice, Sabrina, dan Nicholas. Amanda mendekati ketiga sahabat dari anaknya, Evelyn. Amanda tersenyum sumringah menatap ketiganya. "Terima kasih, kalian sudah datang ke acara ini. Hanya sebuah acara pesta ulang tahun kecil-kecilan, tapi ini mungkin akan sangat berarti untuk Evelyn," terlihat sangat jelas mata Amanda berkaca-kaca. "Sama-sama, Aunty. Kami pun sangat senang bisa berada disini, terlebih berada di sekitar Evelyn," ujar Alice. Amanda terlihat sangat bahagia. Ternyata di lingkungan Eve yang baru, Eve di kelilingi orang-orang yang sangat peduli dengannya. Amanda menatap Nicholas, wanita itu terlihat sangat asing dengan wajah anak laki-laki itu. Nicholas menunduk dan tersenyum. "Ini siapa?" Amanda menanyakan pada Alice. "Nicholas, Aunty. Panggil saja Nic
Evelyn melangkah lesu menyusuri trotoar. Hari itu masih pagi, baru sekitar jam 6 pagi, tapi Evelyn sudah tampak tak semangat dan terlihat tidak bersemangat. Dalam hati dia terus menerus mengomel-ngomel. Hingga akhirnya dia menabrak seseorang dijalan. "Awww!!" pekiknya. "Kalau jalan itu mata lihat ke depan, bukan menunduk, semua orang jadi kau hormati!" "Lagi pula kenapa kau berhenti di tengah jalan!" Evelyn ketus. "Tengah jalan? Ini pinggir jalan. Itu di depan zebra-cross, tempat pejalan kaki menyeberang!" Evelyn memiringkan kepalanya, menghindari tubuh yang sedang berdiri di depannya, lalu dia mendongak ke atas menatap rambu lalu lintas. "Oppz—sorry!" cicitnya. Saat lampu merah menyala, dengan reflek anak laki-laki itu menarik tangan Evelyn dan segera membawanya untuk menyeberang. Evelyn menurut saja saat tangannya ditarik olehnya. Setelah
Evelyn merenung duduk di sisi ranjang. Dia memegang kalung yang melingkar manis di lehernya. Kalung silver berliontin lumba-lumba itu terlihat sangat cocok terpasang di lehernya. "Cantik!" celetuk Evelyn. Senyuman mengembang di bibirnya. Namun, setelah itu mendadak sirna. Kembali dia teringat wajah pria brengsek itu. Evelyn mendongak, menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Hari sudah mulai beranjak senja. Tak lama setelah itu, terdengar sebuah teriakan memanggil namanya. "Eveeee!" "Yaaa!" "Ayo makan!" Evelyn melangkah mendekati pintu kamarnya. Namun, dia urungkan niatnya. Tangannya yang terulur, kembali dia tarik. Bukan tak mau bergabung untuk makan malam, tapi karena Evelyn mendengar ada suara pria brengsek itu. "Kenapa dia ada disini? Apa Ibu yang mengundangnya?" Eve melangkah kembali duduk di sisi ranjang. Dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan pria itu. Eve menghembaskan tubuhnya. Dia
Rumah pohon yang ada di pohon tak jauh dari rumahnya. Rumah yang dulu dibuat oleh Nicholas dan Ayahnya. Rumah itu selalu dipakai oleh Nicholas untuk menyendiri. Kini Nicholas membawa Evelyn ke rumah pohon favoritnya. Evelyn terlihat sangat senang berada di sana. Dia begitu sangat betah sampai dia ketiduran di rumah pohon itu. Ketika Evelyn tertidur, Nicholas tampak memandangi wajahnya dengan seksama. Nicholas begitu menikmati keindahan paras Eve, dia tertegun melihatnya. Saat Eve menggeliat pelan, Nicholas tampak gelagapan. Eve merubah posisi tidurnya. Dia sepertinya sedang mencari posisi tempat yang nyaman. Seharusnya sudah nyaman, karena Nicky menaruh karpet dengan bulu halus serta ada kasur lipat, bahkan selimut tebal. Apa dia akan tidur terus? Padahal hari sudah mulai sore. Bagaimana kalau sampai orang rumah khawatir mencarinya, batin Nicky. Nicky berusaha memban
Setelah setahun Evelyn bergelut di dunia kumbangan hitam. Biaya hidupnya pun terpenuhi secara financial. Bahkan dia sampai lupa dengan orang-orang terdekatnya dan dia pun selalu beralasan jika ibunya akan berkunjung untuk menemuinya. Saat Evelyn menunggu pelanggannya justru dia malah dikejutkan dengan kedatangan sang ayah. Pria itu berdiri di depan Evelyn dan memanggilnya. Evelyn sempat senang dan lega karena jemputannya sudah datang setelah 30 menit dia menunggu. Namun, kejutan yang dia dapat malam itu. "Ayah!" Evelyn berdiri dan terkejut. Begitu pula dengan Anthony. "Kenapa kau ada di sini?" tanya Anthony. "Aku sedang menunggu seseorang. Ayah sendiri kenapa ada di sini?" Evelyn bertanya balik pada Anthony. "Ayah ke sini untuk menjemput seseorang," jawabnya. Mendengar itu, Evelyn mengerutkan alis dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Pikir
"Kau mau ini, Eve?" Irene mengangkat bungkusan."Kembalikan itu!" teriak Evelyn."Kenapa?" tanya Irene. "Kau mau memberikan ini pada Ronan?" kata Irene memancing. Evelyn menatap kaget pada Irene. Dia mengerutkan kedua alisnya. "Kenapa reaksimu seperti itu? Apa kau terkejut mendengarnya? Apa kau kaget kenapa aku menyebut nama Ronan?" Kau pasti penasaran, kan?"Evelyn segera membayar Mulata tersebut dan tanpa aba-aba Evelyn menarik tangan Irene kasar."Wow ... wow, kenapa kau menarik tanganku dengan kasar?" Irene tertawa.Evelyn menarik Irene dan melepaskan tangan itu di sebuah gang kecil yang sepi. Tanpa ekspresi Evelyn menatap sengit pada Irene."Santai dong, Eve. Kenapa kau menatapku dengan tatapan sengit?""Kau——""Ah, kau ingin tahu dari mana aku mengenal Ronan?" Irene melangkah mendekati Irene dan memasukkan bungkus
Sudah jelas dan sudah dipastikan jika Christine akan malu bertemu dengan Nicholas. Ya, Christine memang belum mengungkapkan perasaannya, akan tetapi Nicholas sudah lebih dulu menjelaskannya bahkan kata-kata itu tajam dan menusuk ke hati Christine.Sempat kesal, tapi Christine mulai sadar bahwa apa yang dia lakukan memang salah. Christine teringat akan kata-kata Nicholas.Flashback on,"Aku membawamu kemarin karena aku ingin membuka matamu, bahwa apa yang kau lakukan salah. Kau menjadikan dirimu sendiri sebagai bahan taruhan? Kenapa aku menyetujuinya?" Nicholas berdecak heran dengan apa yang dia tahu.Christine sendiri juga terkejut dengan apa yang baru saja dia dengar dari Nicholas. Christine bingung dari mana Nicholas bisa mengetahui akan hal itu.Christine hanya diam membisu, dia menunduk dan tidak mampu menatap Nicholas. Malu, kesal, dan marah. Mungkin itu yang cocok dan sedang dirasakan oleh Christine."Coba kau pikir
Melihat tatapan Nicky yang begitu dalam dari kejauhan, Christine mengira jika Nicky mulai menyukainya. Christine terbawa oleh perasaan sendiri dan membuatnya semakin percaya diri jika dia bisa menaklukkan hati Nicholas.Diam-diam Christine selalu mencuri-curi pandang saat dia sedang menikmati makan siangnya. Hal itu terus berlanjut hingga tiga hari.Nicky juga kadang menatap Christine dari tempat duduknya. Tatapannya tetap dingin, datar, dan tanpa ekspresi. Akan tetapi tidak merubah visual ketampanan wajahnya. Semakin Nicky terlihat cuek, wajah tampannya semakin bersinar."Apa kau menyukainya?" Deren menepuk bahu Nicky. Pemuda itu menoleh dan tersenyum miring. "Gadis itu bernama Christine. Dia jurusan bahasa setahuku dan dia adalah idola di kampus ini. Sama sepertimu." Deren tertawa.Nicky menghela napas panjang dan mengambil brokoli dengan menggunakan garpu."Kalau kau ingin mengenalnya lebih dekat. Aku bisa membantumu. Lagi pula sudah banyak gadi
Nicholas melangkahkan kakinya di koridor kampus. Tiba-tiba seorang gadis cantik berlari dan menghampiri Nicky. Dia memberikan sebuah kado dan langsung pergi begitu saja.Pesona Nicky semakin hari tidak perlu diragukan lagi. Dia benar-benar menjadi idola di kampusnya. Nicky menerima kado itu dan membukanya. Di dalam bungkusan kado itu ada coklat dan secarik kertas bertuliskan 'I like you. Will be my boyfriend?'.Nicky kembali menutup bungkusan kado itu dan melangkah ke kerumunan anak laki-laki yang sedang duduk di kursi. Nicky pun ikut bergabung dan memberikan bungkusan itu kepada mereka."Ada yang mau coklat?" ucap Nicky.Sontak semuanya menjawab dengan jawaban yang sama dan mereka memakai coklat itu sampai habis."Wah, ada yang mengutarakan isi hatinya lagi padamu?" tanya Angger dengan membaca tulisan di kertas tersebut."Siapa?" ucap yang lain dengan rasa penasaran. Nicky
Enam bulan telah berlalu. Semua berjalan seperti bagaimana mestinya dan Evelyn pun sudah mendekati jenjang terakhir. Bahkan dia sendiri lupa akan Nicholas karena tempat Nicky sudah diisi oleh Ronan.Eve pun memilih untuk tinggal seorang diri dengan menyewa sebuah kamar dengan ukuran kecil. Alasan Eve untuk keluar dari rumah adalah fokus dalam hasil akhir, tapi sebenarnya bukanlah itu.Ada alasan lain yang tidak bisa Evelyn katakan pada siapapun. Keras kepala Evelyn untuk kali ini tidak bisa ditentang oleh Nenek, Ibu, dan juga Kakaknya. Pernah Ibunya menentang Evelyn hingga menampar pipi gadis itu dan membuat Evelyn kabur dari rumah selama satu minggu.Satu minggu itu pula Ibu dan Kakaknya mencari Evelyn kemana-mana. Pada akhirnya Evelyn kembali ke rumah karena bujukan dari Ronan dan ternyata selama kabur itupun Evelyn tinggal di rumah Ronan. Setelah kejadian itu Evelyn memutuskan hidup sendiri.Tak hanya itu saja, h
Ternyata Irene justru lebih dulu mengutarakan maksudnya pada Ella dan Beatric. Entah sebenarnya mereka bertiga ada ikatan batin atau tidak, tapi yang jelas semua bisa kebetulan sama.Ella dan Beatric yang bingung bagaimana cara menyampaikan maksudnya pada Irene soal kemauan si bos besar itu, tapi justru Irene sendiri yang langsung mengutarakan isi hatinya tanpa basa-basi yang tidak jelas. Itulah yang membuat Ella dan Beatric mendadak terserang batuk-batuk."Apa kau yakin soal itu, Irene?" Ella belum mau bicara jujur. Dia takut salah dalam berucap. Beatric pun sudah memberi kode dengan menyenggol lengannya dan lucunya lagi. Beatruc berbicara dengan Ella menggunakan aplikasi percakapan, padahal mereka berdua duduk berdampingan sangat dekat. Hal itu mereka lakukan untuk menghindari jika sampai Irene salah menangkap pembicaraan mereka dan akhirnya marah.Oleh sebab itu mereka mengobrol lewat aplikasi chatting di ponsel mereka. Benar-benar sangat aneh dan Irene pun t
Masa depanku telah hancur. Aku harus bagaimana? Apa aku harus bicara jujur pada nenek? Ah ... tidak-tidak. Aku tidak boleh bicara pada nenek, tapi aku pun tidak bisa bicara dengan ibu dan kakak. Mereka pasti akan marah besar atau bisa jadi jika nenek mendengar ini---Evelyn benar-benar dalam posisi bingung. Dia tidak bisa berpikir jernih. Evelyn menyandarkan tubuhnya di dinding dan perlahan tubuhnya melorot ke bawah dan jatuh ke lantai. Dalam hatinya dia benar-benar bingung bercampur takut. Evelyn tidak bisa memendamnya sendiri. Dia ingin mengeluarkan keluh kesahnya, tapi dengan siapa? Nicholas sudah pindah. Sedangkan Alice dan Sabrina sudah menjauh darinya. Ronan? Apalagi dengan pemuda itu, dengan Ronan justru Evelyn tidak bisa berbuat apa-apa. Dialah yang memulai semuanya, tapi entah kenapa Eve juga nyaman jika sedang bersama dengan Ronan. Amanda dan Elying tidak pernah memperhatikan Evelyn, Pamela sendiri sudah tua. Ap
"Darah?" Irene melempar celananya ke dalam ember. "Kalau begini bagaimana bisa aku menggertak Ronan?" Irene mengacak-acak rambutnya sendiri. Tubuhnya menyandar pada dinding kamar mandi dan menengadahkan kepalanya. Irene justru merasa frustrasi. Di mana-mana jika melakukan hubungan terlarang dan tidak hamil justru dia akan senang, tapi tidak dengan Irene. Melihat kenyataan bahwa dirinya telah datang bulan membuat Irene marah besar. "Ini semua gara-gara Evelyn. Aku harus membuat perhitungan denganmu, Eve!" Irene terlihat sangat geram. Irene terdiam sesaat, terlintas sesuatu di dalam benaknya. Mungkin itu yang terbaik. Apa salahnya untuk mencobanya, tapi mereka kemarin——Irene membalikkan badannya, dia tampak terkejut saat sang ibu masuk ke dalam kamar mandi. "Kau tidak mendengar, ya?" tanyanya. "Apa? Mendengar apa?" kata Irene. "Hukumanmu itu b