Netra yang menggunakan softlens itu mengerjap. Kepalanya terasa pening, dia memijatnya pelan.
Saat matanya terbuka sempurna, dalam seperkian detik dia baru menyadari bahwa pria yang menghabiskan malam dengannya, tidak tertangkap dalam pengelihatnya, bahkan dalam setiap sudut kamar. Tak ada satu orangpun di sini selain dirinya.
Sekilas, samar-samar dia mengingat kejadian semalam. Kembali menjabarkan ulang reka adegan saat bertemu dengan Javier.
Begini susunan yang ada di otak Ahra; mereka bertemu saat jam menunjukan hampir tengah malam, kemudian Javier memesan minuman untuk Ahra. Dan setelahnya, mereka melanjutkan kegiatan di kamar yang sudah Javier pesan.
Kemudian ketika di kamar, Javier mengunci pintu. Pria itu mendekatinya dengan membuka kemejanya perlahan.
Ahra menyentuh bibirnya. “Shit, aku masih dapat merasakan ciuman dari pria itu,” umpatnya.
Dari potongan ingatannya yang terakhir, spontan dia mengecek tubuhnya. Pikirannya berkecamuk mengenai apa yang terjadi ketika kesadarannya hilang.
Disibaknya selimut, berkali-kali dia mengumpat ketika menyadari dirinya tidak mengenakan apa pun.
Pakaiannya berada di samping ranjang, segera dia beranjak untuk mengenakan pakaiannya kembali.
Ketika pandangannya tertuju pada nakas di sebelahnya, Ahra mendapati cek senilai 30 juta.
Dia mengernyit saat mengambil cek tersebut. Merasa aneh dengan nominal yang cukup fantastis itu.
Dia menghiraukan segala pikiran buruk yang mulai berdatangan. Menyampingkan semua hal itu dan bermonolog, “kalau mudah dapat uang begini aku merasa seperti jalang.”
Meski begitu dia tetap mengambilnya. Sebelum buru-buru keluar kamar karena waktu sudah menunjukan pukul 5 pagi, sebab hari ini dirinya harus datang ke kantor Leo Blue Company.
***
“Ini hari pertama kau interview dan kau malah baru pulang ke rumah jam 6 pagi?! Perlu aku ingatkan kau sudah menganggur sebulan setelah kontrakmu selesai?!”
Bentakan itu berasal dari Celine –sahabatnya sejak SMA- yang sedang mencatok rambutnya di ruang depan seraya menunggu Ahra.
“Aku menunggu mu pulang dari malam!”
Ahra meringis. Celine tidak melebih-lebihkan ucapannya. Terbukti dari selimut dan guling kesayangan wanita itu yang berada di sofa.
Ahra memang berjanji akan menginap di rumah Celine setelah urusannya selesai untuk berangkat kerja bersama.
Terlebih Ahra bukan orang yang ingkar janji. Wajar jika Celine menunggu dirinya karena khawatir Ahra tak kunjung datang. Saat mengecek ponselnya pun, ternyata Celine sudah mencoba menghubunginya sebanyak 30 kali!
Juga pesan yang tentunya lebih banyak dari pada panggilan telepon yang diterimanya.
Bukannya meminta maaf atau sekadar memasang wajah bersalah. Ahra malah duduk di sofa depan Celine seraya menyampaikan ke khawatirannya akan pria yang menghabiskan malam dengannya.
“Semalam aku melakukan one night stand!” ucapnya histeris.
Celine menanggapinya biasa. “Lalu?” Berpikir bahwa malam kemarin Ahra berhasil ‘merampok’ pria kaya.
Ahra berdecak. Wajahnya terlihat frustasi. “Celine! Aku tidur dengan Javier! Stranger yang aku temui!”
Kali ini Celine membelalakan matanya. “Dasar gila!” hardiknya, “bagaimana bisa?”
“Aku tidak tahu,” Ahra yang panik terasa sulit mengucapkan banyak perkataan yang bersarang di otaknya, “aku bertemu dengan dia, dan dia membelikan long island iced ted, kemudian kami sampai di kamar dengan aku yang entah kenapa bisa terangsang karena sentuhannya. Dan-”
“Tunggu,” Celine memotong, dia berhenti mencatok rambutnya dan menatap serius ke Celine, “kau minum alcohol yang dibelikan oleh stranger di pertemuan pertama kalian?”
Ahra yang menyadari ucapan Celine, membeku sesaat sebelum mengumpat pada dirinya sendiri. “Damn. Aku kecolongan!”
Celine menepuk dahinya sendiri. “Sampai juga pada hari di mana kau sial.”
“Bagaimana kalau aku hamil anak pria itu? Bagaimana kalau ternyata pria itu punya penyakit kelamin? Bagaimana kalau-”
Ucapan Ahra terhenti karena Celine melemparkan handuk miliknya tepat di wajah Ahra.
“Kau harusnya memikirkan hal itu ketika hendak memulai pekerjaan sampinganmu sebagai penipu. Sekarang kau mandi bersihkan dirimu dan minum perada mabuk.”
Ahra hendak beradu argument lagi mengenai sesuatu buruk yang menghantui kepalanya. Tapi melihat raut wajah Celine yang menyeramkan. Ahra lebih memilih untuk mengunci mulutnya. Mengikuti perintah Celine untuk membersihkan diri.
“Kau jangan khawatir tentang dirimu. Sepulang kerja kita cek kondisi tubuhmu.”
Ahra menghembuskan napas pelan. Rasa tenang hadir sesaat. Sepedas apa pun omongan Celine, dia memang orang yang paling peduli pada Ahra.
Bahkan lebih dari orangtua Ahra sendiri.
***
Wanita cantik bermata hazel itu.
Dia tersenyum ketika berpapasan denganku. Ah, cantiknya. Ahra Syahni, aku semakin tergila-gila padanya.
Pria yang memiliki iris mata yang berbeda itu, menatap tajam foto yang terselip antara lembaran kertas berisi catatan harian itu, potret seorang perempuan yang mengenakan almameter salah satu universitas di ibukota.
Kemudian mengambil sebuah foto di saku celananya, foto dengan wajah yang sama seperti yang terdapat di buku catatan tersebut. Foto perempuan yang menghabiskan malam dengannya. Ya,wanita dikedua foto itu adalah wanita yang sama.
Tafsiran pada kalimat ‘menghabiskan malam’. Bukan menghabiskan malam dengan bermadu kasih seolah sedang one night stand. Namun, menghabiskan malam dengan Ahra yang tertidur pulas karena obat yang diberikan, sementara dirinya memfoto wanita itu yang tidak mengenakan apa pun.
Foto yang akan dirinya gunakan untuk membuat wanita itu menjadi lemah. Kriminal memang.
Tapi tak beda jauh dari apa yang Ahra lakukan pada tiap pria yang menjadi korbannya.
“Permisi pak Javier.”
Mendengar namanya disertai pintu ruangannya yang terbuka. Javier segera menaruh buku catatan dengan lembaran kertas yang sudah menguning itu ke laci meja kerjanya.
“Ada apa?” tanya Javier kepada Celine, salah satu sekretarisnya.
“Sebentar lagi ada meeting dengan CEO Amethsy Group. Mobilnya-”
“Tunggu,” potong Javier, yang membuat Celine menatap keheranan, “aku ingin meeting ditunda hingga sore.”
“Maaf pak, saya sudah berbicara dengan sekretaris CEO dari pihak Amethsy Group, meeting tidak bisa diubah dari pihak merekanya.”
“Kalau begitu bilang pihak mereka, kerja samanya akan batal,” balas Javier tegas.
Diikuti gesture tubuh menautkan kedua tangannya di atas meja yang terdapat papan hitam bertuliskan Javier Naresandeva, CEO Leo Blue Company.
Membuat sekretarisnya menelan ludah, dan tak berani beradu pandangan dengan tatapan tajam yang Javier tunjukan. “Baik. Akan saya sampaikan.”
Sekretarisnya mengetik sesuatu pada tab yang dibawanya sebelum kembali bertanya pada Javier. “Maaf, pak. Meeting yang tertunda, ingin diisi dengan jadwal apa?”
“Aku ingin memilih langsung calon karyawan untuk departemen stakerholder relation and BoD secretary yang akan interview hari ini.”
“Baik, jadi-” Celine berhenti mengetik di tabnya setelah menelaah ulang alasan yang Javier berikan, “-bapak ingin hadir dalam jadwal interview?”
“Kau sudah satu tahun denganku. Kau masih tidak hapal juga kalau aku tidak suka mengulang ucapanku, Nona Celine?”
Celine mengigit bibir bawahnya. “Baik, pak,” balas Celine tanpa banyak bertanya kembali, “jadwal interviewnya akan mulai sebentar lagi. Saya akan hubungi divisi HR, untuk menunda memulai interview sampai bapak datang ke ruangan divisi HR.”
“Aku tidak ingin melihat calon karyawan interview satu persatu-satu. Kumpulkan semua orang yang mendapatkan undangan interview dalam satu tempat. Aku ingin menginterview mereka di waktu yang bersamaan.”
Celine dengan lihat mengetik pesan Javier dengan cepat untuk di sampaikan ke divisi tujuan. “Sudah, pak. Kita bisa ke ruangan divisi HR sekarang.”
“Kau langsung mengurus jadwalku yang lain saja. Panggil sekretaris yang lain untuk berada si sampingku.”
“Baik, pak.”
Javier beranjak dari kursi putarnya. Dengan menunjukan seringai tipis dia berkata, “aku tidak sabar melihat calon karyawan yang akan melakukan interview hari ini.”
Kemeja putih dan celana panjang hitam, dengan rambut yang diikat satu. Ini adalah interview kesekian setelah lulus kuliah yang bahkan sudah tidak bisa dirinya hitung lagi karena terlalu sering berpindah kantor. Jadi bagi Ahra, interview adalah hal mudah. Sama mudahnya dengan menjebak pria kaya, kecuali pria bernama Javier. Ahra merasa dijebak dengan pria itu sampai detik ini. “Zayn!” Suara Celine yang tengah memanggil seseorang, membuat Ahra tersadar dari lamunannya. Ah, pria itu, kalau tidak salah, dia adalah salah satu mantan Celine. Ahra juga yakin dirinya pernah berkenalan dengan pria itu, Celine saja sampai tidak memperkenalkan Ahra lagi pada Zayn. Sahabatnya yang satu ini, memang sering berganti teman kencan entah apa maksudnya. Celine memang tertutup dalam hal cinta. “Zayn, aku minta tolong antar Ahra ke HRD yang akan menginterviewnya.”
Ahra terkejut setengah mati melihat foto yang berisi gambaran dirinya tidak mengenakan satu helai benang pun. Secepat kilat dia bergerak maju mengambil foto tersebut dan kembali pada posisi semula. Memberi jarak aman antara dirinya dan Javier.“Ini pelecehan. Aku bisa melaporkan mu,” pekik Ahra Tawa Javier semakin terdengar geli. Tak ada takutnya sama sekali, mungkin dia menganggap punya kekuasaan lebih di sini sehingga Ahra tidak mungkin bisa melawannya. “Kenapa kau tertawa? Apa kau pikir itu tidak mungkin?” “Memangnya orang biasa seperti mu bisa melawan CEO sepertiku?” Javier balik bertanya, nada suaranya terdengar meremehkan.“Aku memang melamar sebagai pekerja kantoran di sini. Tapi jangan salah sangka, ayahku adalah pemilik salah satu firma hukum terbesar di negara ini.” “Aku tahu. Aku menyelidiki semua tentang mu,” jawab Javier, “aku juga tahu sisi mengenaskan mu, di mana kau dibuang
“Aku menuntut penjelasan mu, sekarang,” ucap Celine penuh penekanan pada akhir kalimatnya. Mereka berada di rooftop lantai dua setelah membeli makanan di cafeteria kantor, menumpukan tangan mereka pada batasan rooftop. Seharusnya, Anna yang mengantar Ahra untuk keliling kantor pada hari pertama. Namun, Celine menawarkan diri menggantikan Anna. Tentu saja bukan tanpa alasan Celine menggantikan Anna. Celine ingin tahu detail mengapa Ahra bisa langsung lolos tanpa interview. Meski dirinya pun berpikir hal konyol yang kemungkinan kecil terjadi. Temannya yang bodoh ini, merayu CEO Javier yang dingin itu dengan tubuhnya. “Penjelasan yang mana?” tanya Ahra tampak tak berminat. Dia mengulum es krim vanilla yang tersisa separuh dari cup kecil. “Kenapa kau bisa diterima langsung atas rekomendasi Pak Javier? Kemudian ditempatkan di departemen sekretaris tim utama. Aku saja bisa masuk ke tim ini s
“Wanita tadi mengacungkan jar tengahnya padamu.” Ares mendengus kembali mengingat kejadian beberapa saat lalu. Dia mengenal Javier, jauh dari pada orangtua Javier mengenal anaknya sendiri. Sifat tegas, otoriter dan tak segan memberikan hal buruk pada tiap orang yang tidak disukainya, itu melekat bertahun-tahun dalam diri Javier, Ares yakin orang yang bertemu dengan Javier pertama kali pun juga akan berpikir demikan, terbaca sekali dari sorot mata dingin itu. Dan wanita yang tidak Ares ketahui namanya itu. Ares kagum pada keberaniannya. “Aku lebih heran jika dia membungkuk hormat padaku setelah aku membalikan tubuh dan berjalan menjauh,” jelas Javier seraya membalikan lembar dokumen yang ada di tangannya. Javiver berbicara dengan Ares yang meluangkan waktu untuknya. Tapi pandangan Javier fokus pada hal lain. Ares yang merasa heran, karena setiap kali datang ke kantor Javier,
“Ahra, gajimu sudah lebih dari cukup. Aku rasa kau tidak perlu menipu banyak pria lagi.” “Iya memang. Itu artinya, ini adalah hari pertama aku tidak memeras uang dari korbanku dengan jumlah yang fantastis lagi.” Ahra tidak menghiraukan nasihat dari Celine, dia sibuk menyemprotkan parfume pada tengkuknya hingga menguar aroma coco eau de parfume Chanel dari tubuhnya. Celine mendengus kesal. “Kau tidak kapok juga ya setelah berurusan dengan pak Javier.” Ahra mengedipkan sebelah matanya dan menjentikan jari. “Justru setelah bertemu dengannya aku jadi semakin bernafsu menipu para pria brengsek seperti CEO kita itu. Mendapatkan uang mereka dan menghibur diri dengan menipu mereka. Istilahnya sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.” Wanita seusia Ahra itu menghembuskan nafas kasar. “Aku tidak bisa membedakan, siapa yang lebih brengsek antara kau dengan para pria yang kau tipu itu.” Ahra tertawa p
Javier mendengus geli melihat ekspresi ketakutan yang Ahra tunjukan. Apa wanita itu sedang berpura-pura menjadi korban pemerkosaan untuk memeras Javier? Ah… jadi begitu cara Ahra memeras para korbannya.Javier akan lihat seberapa hebatnya acting wanita itu.“Kenapa kau takut begitu?” Javier menghimpitnya, dengan kedua tangannya yang berada di sisi tubuh Ahra, berjaga agar wanita yang jauh lebih muda darinya tak bisa kabur.Javier dapat merasakan tubuh Ahra gemetar hebat, bahkan tak berkutik sama sekali.“Menjauh dariku,” cicit wanita itu.Bahkan untuk menatap matanya pun, Ahra tak mau. Berbeda dengan pandangan Ahra waktu pertama kali Javier mengerjai wanita itu dengan menggunakan obat perangsang.Wajah ketakutan Ahra, walau Javier berpikir wanita itu tengah berbohong. Tetap saja Javier kesal melihatnya.Javier terbiasa dengan dunia malam. Dia tidak memungkiri bahwa dirinya bisa dibilang brengsek juga sama seperti Ahra.Sudah menjadi kebiasaan baginya berkenalan dengan seorang wanita,
Dia menyereput espresso yang belum lama sampai di mejanya. Rasa pahit mengalir bebas di tenggorokannya, namun dia tetap menikmatinya. “Ahra di mana? Sampai di ibukota aku langsung ke sini karena aku kira Ahra akan ikut kau.” “Dia belum bisa masuk kerja, Jake,” balas Celine seraya meneguk teh hijau pesanannya. “Apa kondisinya separah itu?” tanya Jake dengan ekspresi khawatir. Celine menghembuskan napas berat. “Hampir mirip seperti waktu kau berhasil menemukannya setelah Mark menyekapnya.” &nb
“Javier!” Ares membuka ruangan Javier tanpa permisi. Selesai dengan jam prakteknya di rumah sakit milik kakeknya, dia langsung bergegas menemui Javier. Takut terjadi sesuatu pada sahabatnya karena selama seminggu ini tak kunjung memberi kabar. Namun… apa ini? Javier tengah duduk berhadap-hadapan dengan seorang pria yang Ares kenal adalah detective yang biasa Javier sewa. Obrolan mereka sepertinya amat serius sampai Javier tak menghiraukan kedatangan Ares. Tidak disuruh siapa pun, Ares duduk di samping Javier, ikut memperhatikan detective tersebut sedang membuka beberapa lembaran kertas yang berada di meja. “Kau kenapa memanggilnya lagi?” tanya Ares. Yang Ares maksud di sini tentu saja si detective. “Aku masih mencari tahu soal Ahra,” balas Javier. Ares terkekeh geli. Tak menyangka ada perubahan signifikan pada sahabatnya ini. Bahkan menyewa de
“Aku kira kau lupa denganku.” Jake masih terus menyindirnya karena perdebatan pria itu dengan Javier yang ingin mengantar Ahra pulang. Walaupun Ahra sudah memilih untuk pulang bersama Jake. Ahra berdecak. “Masih saja dibahas.” “Aku akan membahas terus jika aku mengingat hari ini,” timpal Jake, “aku menunggmu lama sekali. Dan aku tidak bisa masuk ke restoran tersebut karena katanya sedang di sewa. Aku tak menyangka ternyata Javier yang menyewanya hanya untuk makan malam bersama mu.” “Sudah kubilang bukan begitu.” “Nyatanya yang aku lihat begitu. Kau mau alasan seperti apa lagi?” Pria itu masih merajuk, seperti seorang kekasih yang memergoki wanitanya tengah kencan dengan pria lain. Hapal dengan perangai Jake. Ahra jadi sama sekali tidak ingin meluruskan apa pun. Wanita itu mengibaskan tangannya masa bodo, “terserah kau saja ingin berpikiran seperti apa.”
"Hei. Ada karyawanmu yang menyebalkan, sepertinya dia tidak tahu aku adalah teman dekatmu. Kau sebagai atasannya-" "Stop," potong Javier. Pria itu melepas kacamatanya, menaruh dokumen yang dia pegang di atas meja kerjanya. Alis Ares bertaut, menunjukan kebingungannya. “Ada yang salah dengan bicaraku?” “Ya,” balas Javier, dia menunjuk sahabatnya yang baru-baru ini datang lagi ke kantornya, setelah tanpa rasa bersalah meninggalkan Javier dan Ahra berdua di restoran. “Berhenti menyebut statusku di kantor ini sebagai atasan.” “Hah?” Javier mengedikan bahu. “Belakangan ini aku tidak suka kata-kata itu. Terkesan sombong.” “Kau bicara apa sih, gila?” Ares semakin tidak mengerti, “padahal kau mati-matian merebut posisi sebagai CEO di perusahaan ini.” Javier tidak menanggapi celotehan Ares. Dia kembali mengecek berkas yang harus dia tanda tangani. Terlihat tenang dari luar. Tidak seperti dengan isi kepalanya yang berisik. Ucapan Ares kembali membuatnya mengingat kejadi
Ares : Kado dariku tahun ini. Ku undang wanita yang kau incar itu di acara muAres : Aku tidak ingin mengganggumu. Jadi selamat menikmati waktumu dengannyaAres beruntung karena terlalu lelah Javier sedang tidak bernafsu untuk memaki sahabatnya itu karena mendatangkan Ahra ke tempat ini dan meninggalkan dirinya berdua saja dengan Ahra.Javier menyimpan ponselnya di saku celana.Dia memperhatikan wanita itu dari jauh. Wanita yang tengah melihat lukisan di dinding seolah mengabaikan Javier yang melangkah mendekatinya.Ahra tampak rapih dengan dress navy yang kontras dengan kulit porselennya. Wanita itu tidak mungkin pulang ke rumah lebih dulu untuk berpenampilan serapih itu. Ini pasti ulah sahabatnya. Pantas saja Ares memilih menetap di kantor Javier sampai sore, ternyata untuk membawa Ahra ke sini."Hei," panggil Javier.Ahra masih tidak menoleh, tapi dia membalas dengan ucapan pedasnya seperti biasa, "siapa yang kau panggil itu? Aku punya nama."Javier berdecak sebelum memanggil ulang
“Pak Javier memintamu ke ruangannya. Katanya dia mau kau yang menemaninya meeting.” Celine mendatangi mejanya, dia menaruh lembaran dokumen di atas meja Ahra. Ahra berdehem kemudian batuk keras beberapa kali. Teman divisinya yang lain sampai menoleh, padahal pagi tadi wanita itu baik-baik saja. “Aku sedang tidak enak badan.” Ahra mengambil tangan Celine, menaruh punggung tangan sahabatnya itu di dahinya. Sambil berdoa dalam hati semoga dahinya terasa panas, hasil dari mendiamkan termos yang sedikit panas di dahinya. “Panas sekali.” Celine menarik tangannya. Wanita itu menaikan sebelah alisnya, “padahal tadi kau baik-baik saja, Ahra.” Ahra mengangkat bahunya. “Sepertinya aku demam, kurang istirahat. Bisa minta tolong gantikan tugasku hari ini?” Celine tetap mengangguk walau memandang sahabatnya itu penuh ke curigaan. “Kau akan pulang lebih cepat?” Ahra
"Kau... semalam benar-benar tidak menyentuhku 'kan?" tanya Ahra penuh dengan nada kecurigaan. Javier mendengus. Pandangannya masih tertuju ke jalan, tanpa melihat Ahra yang duduk di kursi penumpang, dia menjawab, "sudah ketiga kalinya kau menanyakan hal ini. Sudah kubilang kalau kau tidak percaya padaku, lihat saja CCTV rumahku." Ahra tidak mau memalukan dirinya sendiri jika kecurigaan yang dia tuduhkan pada Javier itu salah. Tapi di satu sisi dia sama sekali tidak percaya perkataan pria itu. Saat membersihkan diri tadi, bagian bawahnya terasa sakit dan terdapat sedikit cairan yang lengket. Rasanya tidak mungkin dia masturbasi pada saat mabuk. Pasti ada sesuatu! Dia yakin sekali! Dia butuh sesuatu pemancing yang membuatnya ingat apa yang terjadi saat dirinya mabuk. Ahra memicingkan mata. "Bisakah kau beri tahu kenapa semalam aku bisa sampai berada di rumahmu? Aku butuh sesuatu hal yang membuat aku ingat kejadian semalam." Dengan tiba-tiba Javier menginjak remnya.
Aku yakin kau yang lebih dulu jatuh cinta padanya. Kalimat yang Ares katakan menghantui isi kepalanya. Javier menggelengkan kepalanya pelan mengenyahkan perkataan Ares yang mengusiknya. Tanpa sadar dia berkata dengan mulutnya sendiri. “Tidak. Aku tidak menyukainya.” Sayangnya dia mengatakan hal itu dengan suara agak lantang sehingga penghuni table sebelahnya menoleh bingung. Tapi Javier tidak menyadarinya, karena matanya tertuju pada seorang wanita yang duduk di bartender dengan pakaian minim dan sedang berbincang dengan seorang pria. Yang sangat Javier yakini pria itu bukanlah teman si wanita yang Javier buntuti. Hari ini weekend. Seolah mengenal lama, dia tahu kebiasaan Ahra mengunjungi club malam untuk mencari para korban. Pria yang malam ini menjadi korban wanita mematikan itu, harusnya berterima kasih pada Javier karena Javier hari ini mengikuti Ahra.
“Sepertinya anakmu tumbuh dengan baik, Ahra.” Anna meledeknya mengusap perut rata Ahra. Ahra menepisnya kasar dan itu membuat Anna tertawa geli. Diikuti dengan Celine dan Jenni yang juga masih berada di ruang kerja mereka. “Orang gila mana yang berpikir aku sedang hamil anak Pak Javier?” gerutu Ahra. “Satu perusahaan,” sahut Jenni, “kami semua mengira kau kencan dengan Pak Javier, kau tahu melakukan seks bukan hal yang tabu lagi, tentu saja kami berpikir kau dan Pak Javier sudah melakukannya, dan kau semakin mempertegasnya dengan pesan yang kau kirimkan.” Ahra melipat tangan di depan dada. Dia mendelik ke Anna. “Aku salah mengirimkan pesan ke grup chat divisi kita saja, bukan ke grup all divisi. Pasti ada seorang oknum yang menyebarkan itu.” Anna melihat ke arah lain dan berkata, “yang jelas bukan aku.” Ahra menghela napas kasar. Sudah jelas sekali siapa yang menyebarkannya.
Anna : Kau satu kamar dengan Pak Javier? Jenni : Aku kira omongan kau yang kencan dengan Pak Javier hanya gossip saja. Ternyata benar Anna : Apa sebentar lagi kau akan menikah, Ahra? Seratus lebih chat di grup divisinya. Ahra hanya membaca beberapa saja, toh itu sudah menjelaskan mengapa teman divisinya beranggapan seperti itu. Dia salah mengirimkan chat! Harusnya ke grup yang berisi dirinya, Celine dan Jake. Malah mengirimkannya ke grup divisi. Ingin menarik pesan tersebut tapi pesan tersebut sudah dikirim selama berjam-jam dan tidak ada tanggapan sama sekali darinya. Jika dia menariknya sekarang dan berdalih salah mengirimkan pesan. Itu tidak akan mengubah pandangan teman-teman kerjanya yang sudah mendoktrik pikiran mereka jika Ahra memang tengah punya hubungan dengan Javier. Ahra mematikan ponselnya. Dia tidak ingin membaca chat dari siapa pun, walaupun itu tidak d
Javier hendak memakai kacamatanya, guna melihat lebih jelas pekerjaan yang belum diselesaikannya lewat tablet. Biasa bekerja dengan tenang agar lebih konsentrasi, dia benar-benar tidak bisa bekerja dengan suara bising. Apa lagi suara nyanyian sumbang dari wanita yang sedang mengacak kopernya sendiri untuk mencari pakaian. Javier awalnya ingin mengusik Ahra, membuat wanita itu canggung dan tidak nyaman karena harus satu kamar dengannya. Tapi malah Javier yang terusik dengan wanita itu. “Hei.” Javier mencoba memanggilnya. Wanita itu hanya meliriknya sekilas, tidak mengidahkan panggilan Javier. Javier bedecak. “Ahra.” Kali ini dia memanggil nama wanita itu. “Ada apa?” “Apa kau pernah mencoba karaoke yang terdapat score menyanyinya?” Javier balik bertanya Ahra menggeleng, senyum wanita itu mengembang. “Kenapa? Suaraku bagus sekali ya? Aku sudah menduganya! Aku se