Netra yang menggunakan softlens itu mengerjap. Kepalanya terasa pening, dia memijatnya pelan.
Saat matanya terbuka sempurna, dalam seperkian detik dia baru menyadari bahwa pria yang menghabiskan malam dengannya, tidak tertangkap dalam pengelihatnya, bahkan dalam setiap sudut kamar. Tak ada satu orangpun di sini selain dirinya.
Sekilas, samar-samar dia mengingat kejadian semalam. Kembali menjabarkan ulang reka adegan saat bertemu dengan Javier.
Begini susunan yang ada di otak Ahra; mereka bertemu saat jam menunjukan hampir tengah malam, kemudian Javier memesan minuman untuk Ahra. Dan setelahnya, mereka melanjutkan kegiatan di kamar yang sudah Javier pesan.
Kemudian ketika di kamar, Javier mengunci pintu. Pria itu mendekatinya dengan membuka kemejanya perlahan.
Ahra menyentuh bibirnya. “Shit, aku masih dapat merasakan ciuman dari pria itu,” umpatnya.
Dari potongan ingatannya yang terakhir, spontan dia mengecek tubuhnya. Pikirannya berkecamuk mengenai apa yang terjadi ketika kesadarannya hilang.
Disibaknya selimut, berkali-kali dia mengumpat ketika menyadari dirinya tidak mengenakan apa pun.
Pakaiannya berada di samping ranjang, segera dia beranjak untuk mengenakan pakaiannya kembali.
Ketika pandangannya tertuju pada nakas di sebelahnya, Ahra mendapati cek senilai 30 juta.
Dia mengernyit saat mengambil cek tersebut. Merasa aneh dengan nominal yang cukup fantastis itu.
Dia menghiraukan segala pikiran buruk yang mulai berdatangan. Menyampingkan semua hal itu dan bermonolog, “kalau mudah dapat uang begini aku merasa seperti jalang.”
Meski begitu dia tetap mengambilnya. Sebelum buru-buru keluar kamar karena waktu sudah menunjukan pukul 5 pagi, sebab hari ini dirinya harus datang ke kantor Leo Blue Company.
***
“Ini hari pertama kau interview dan kau malah baru pulang ke rumah jam 6 pagi?! Perlu aku ingatkan kau sudah menganggur sebulan setelah kontrakmu selesai?!”
Bentakan itu berasal dari Celine –sahabatnya sejak SMA- yang sedang mencatok rambutnya di ruang depan seraya menunggu Ahra.
“Aku menunggu mu pulang dari malam!”
Ahra meringis. Celine tidak melebih-lebihkan ucapannya. Terbukti dari selimut dan guling kesayangan wanita itu yang berada di sofa.
Ahra memang berjanji akan menginap di rumah Celine setelah urusannya selesai untuk berangkat kerja bersama.
Terlebih Ahra bukan orang yang ingkar janji. Wajar jika Celine menunggu dirinya karena khawatir Ahra tak kunjung datang. Saat mengecek ponselnya pun, ternyata Celine sudah mencoba menghubunginya sebanyak 30 kali!
Juga pesan yang tentunya lebih banyak dari pada panggilan telepon yang diterimanya.
Bukannya meminta maaf atau sekadar memasang wajah bersalah. Ahra malah duduk di sofa depan Celine seraya menyampaikan ke khawatirannya akan pria yang menghabiskan malam dengannya.
“Semalam aku melakukan one night stand!” ucapnya histeris.
Celine menanggapinya biasa. “Lalu?” Berpikir bahwa malam kemarin Ahra berhasil ‘merampok’ pria kaya.
Ahra berdecak. Wajahnya terlihat frustasi. “Celine! Aku tidur dengan Javier! Stranger yang aku temui!”
Kali ini Celine membelalakan matanya. “Dasar gila!” hardiknya, “bagaimana bisa?”
“Aku tidak tahu,” Ahra yang panik terasa sulit mengucapkan banyak perkataan yang bersarang di otaknya, “aku bertemu dengan dia, dan dia membelikan long island iced ted, kemudian kami sampai di kamar dengan aku yang entah kenapa bisa terangsang karena sentuhannya. Dan-”
“Tunggu,” Celine memotong, dia berhenti mencatok rambutnya dan menatap serius ke Celine, “kau minum alcohol yang dibelikan oleh stranger di pertemuan pertama kalian?”
Ahra yang menyadari ucapan Celine, membeku sesaat sebelum mengumpat pada dirinya sendiri. “Damn. Aku kecolongan!”
Celine menepuk dahinya sendiri. “Sampai juga pada hari di mana kau sial.”
“Bagaimana kalau aku hamil anak pria itu? Bagaimana kalau ternyata pria itu punya penyakit kelamin? Bagaimana kalau-”
Ucapan Ahra terhenti karena Celine melemparkan handuk miliknya tepat di wajah Ahra.
“Kau harusnya memikirkan hal itu ketika hendak memulai pekerjaan sampinganmu sebagai penipu. Sekarang kau mandi bersihkan dirimu dan minum perada mabuk.”
Ahra hendak beradu argument lagi mengenai sesuatu buruk yang menghantui kepalanya. Tapi melihat raut wajah Celine yang menyeramkan. Ahra lebih memilih untuk mengunci mulutnya. Mengikuti perintah Celine untuk membersihkan diri.
“Kau jangan khawatir tentang dirimu. Sepulang kerja kita cek kondisi tubuhmu.”
Ahra menghembuskan napas pelan. Rasa tenang hadir sesaat. Sepedas apa pun omongan Celine, dia memang orang yang paling peduli pada Ahra.
Bahkan lebih dari orangtua Ahra sendiri.
***
Wanita cantik bermata hazel itu.
Dia tersenyum ketika berpapasan denganku. Ah, cantiknya. Ahra Syahni, aku semakin tergila-gila padanya.
Pria yang memiliki iris mata yang berbeda itu, menatap tajam foto yang terselip antara lembaran kertas berisi catatan harian itu, potret seorang perempuan yang mengenakan almameter salah satu universitas di ibukota.
Kemudian mengambil sebuah foto di saku celananya, foto dengan wajah yang sama seperti yang terdapat di buku catatan tersebut. Foto perempuan yang menghabiskan malam dengannya. Ya,wanita dikedua foto itu adalah wanita yang sama.
Tafsiran pada kalimat ‘menghabiskan malam’. Bukan menghabiskan malam dengan bermadu kasih seolah sedang one night stand. Namun, menghabiskan malam dengan Ahra yang tertidur pulas karena obat yang diberikan, sementara dirinya memfoto wanita itu yang tidak mengenakan apa pun.
Foto yang akan dirinya gunakan untuk membuat wanita itu menjadi lemah. Kriminal memang.
Tapi tak beda jauh dari apa yang Ahra lakukan pada tiap pria yang menjadi korbannya.
“Permisi pak Javier.”
Mendengar namanya disertai pintu ruangannya yang terbuka. Javier segera menaruh buku catatan dengan lembaran kertas yang sudah menguning itu ke laci meja kerjanya.
“Ada apa?” tanya Javier kepada Celine, salah satu sekretarisnya.
“Sebentar lagi ada meeting dengan CEO Amethsy Group. Mobilnya-”
“Tunggu,” potong Javier, yang membuat Celine menatap keheranan, “aku ingin meeting ditunda hingga sore.”
“Maaf pak, saya sudah berbicara dengan sekretaris CEO dari pihak Amethsy Group, meeting tidak bisa diubah dari pihak merekanya.”
“Kalau begitu bilang pihak mereka, kerja samanya akan batal,” balas Javier tegas.
Diikuti gesture tubuh menautkan kedua tangannya di atas meja yang terdapat papan hitam bertuliskan Javier Naresandeva, CEO Leo Blue Company.
Membuat sekretarisnya menelan ludah, dan tak berani beradu pandangan dengan tatapan tajam yang Javier tunjukan. “Baik. Akan saya sampaikan.”
Sekretarisnya mengetik sesuatu pada tab yang dibawanya sebelum kembali bertanya pada Javier. “Maaf, pak. Meeting yang tertunda, ingin diisi dengan jadwal apa?”
“Aku ingin memilih langsung calon karyawan untuk departemen stakerholder relation and BoD secretary yang akan interview hari ini.”
“Baik, jadi-” Celine berhenti mengetik di tabnya setelah menelaah ulang alasan yang Javier berikan, “-bapak ingin hadir dalam jadwal interview?”
“Kau sudah satu tahun denganku. Kau masih tidak hapal juga kalau aku tidak suka mengulang ucapanku, Nona Celine?”
Celine mengigit bibir bawahnya. “Baik, pak,” balas Celine tanpa banyak bertanya kembali, “jadwal interviewnya akan mulai sebentar lagi. Saya akan hubungi divisi HR, untuk menunda memulai interview sampai bapak datang ke ruangan divisi HR.”
“Aku tidak ingin melihat calon karyawan interview satu persatu-satu. Kumpulkan semua orang yang mendapatkan undangan interview dalam satu tempat. Aku ingin menginterview mereka di waktu yang bersamaan.”
Celine dengan lihat mengetik pesan Javier dengan cepat untuk di sampaikan ke divisi tujuan. “Sudah, pak. Kita bisa ke ruangan divisi HR sekarang.”
“Kau langsung mengurus jadwalku yang lain saja. Panggil sekretaris yang lain untuk berada si sampingku.”
“Baik, pak.”
Javier beranjak dari kursi putarnya. Dengan menunjukan seringai tipis dia berkata, “aku tidak sabar melihat calon karyawan yang akan melakukan interview hari ini.”
Kemeja putih dan celana panjang hitam, dengan rambut yang diikat satu. Ini adalah interview kesekian setelah lulus kuliah yang bahkan sudah tidak bisa dirinya hitung lagi karena terlalu sering berpindah kantor. Jadi bagi Ahra, interview adalah hal mudah. Sama mudahnya dengan menjebak pria kaya, kecuali pria bernama Javier. Ahra merasa dijebak dengan pria itu sampai detik ini. “Zayn!” Suara Celine yang tengah memanggil seseorang, membuat Ahra tersadar dari lamunannya. Ah, pria itu, kalau tidak salah, dia adalah salah satu mantan Celine. Ahra juga yakin dirinya pernah berkenalan dengan pria itu, Celine saja sampai tidak memperkenalkan Ahra lagi pada Zayn. Sahabatnya yang satu ini, memang sering berganti teman kencan entah apa maksudnya. Celine memang tertutup dalam hal cinta. “Zayn, aku minta tolong antar Ahra ke HRD yang akan menginterviewnya.”
Ahra terkejut setengah mati melihat foto yang berisi gambaran dirinya tidak mengenakan satu helai benang pun. Secepat kilat dia bergerak maju mengambil foto tersebut dan kembali pada posisi semula. Memberi jarak aman antara dirinya dan Javier.“Ini pelecehan. Aku bisa melaporkan mu,” pekik Ahra Tawa Javier semakin terdengar geli. Tak ada takutnya sama sekali, mungkin dia menganggap punya kekuasaan lebih di sini sehingga Ahra tidak mungkin bisa melawannya. “Kenapa kau tertawa? Apa kau pikir itu tidak mungkin?” “Memangnya orang biasa seperti mu bisa melawan CEO sepertiku?” Javier balik bertanya, nada suaranya terdengar meremehkan.“Aku memang melamar sebagai pekerja kantoran di sini. Tapi jangan salah sangka, ayahku adalah pemilik salah satu firma hukum terbesar di negara ini.” “Aku tahu. Aku menyelidiki semua tentang mu,” jawab Javier, “aku juga tahu sisi mengenaskan mu, di mana kau dibuang
“Aku menuntut penjelasan mu, sekarang,” ucap Celine penuh penekanan pada akhir kalimatnya. Mereka berada di rooftop lantai dua setelah membeli makanan di cafeteria kantor, menumpukan tangan mereka pada batasan rooftop. Seharusnya, Anna yang mengantar Ahra untuk keliling kantor pada hari pertama. Namun, Celine menawarkan diri menggantikan Anna. Tentu saja bukan tanpa alasan Celine menggantikan Anna. Celine ingin tahu detail mengapa Ahra bisa langsung lolos tanpa interview. Meski dirinya pun berpikir hal konyol yang kemungkinan kecil terjadi. Temannya yang bodoh ini, merayu CEO Javier yang dingin itu dengan tubuhnya. “Penjelasan yang mana?” tanya Ahra tampak tak berminat. Dia mengulum es krim vanilla yang tersisa separuh dari cup kecil. “Kenapa kau bisa diterima langsung atas rekomendasi Pak Javier? Kemudian ditempatkan di departemen sekretaris tim utama. Aku saja bisa masuk ke tim ini s
“Wanita tadi mengacungkan jar tengahnya padamu.” Ares mendengus kembali mengingat kejadian beberapa saat lalu. Dia mengenal Javier, jauh dari pada orangtua Javier mengenal anaknya sendiri. Sifat tegas, otoriter dan tak segan memberikan hal buruk pada tiap orang yang tidak disukainya, itu melekat bertahun-tahun dalam diri Javier, Ares yakin orang yang bertemu dengan Javier pertama kali pun juga akan berpikir demikan, terbaca sekali dari sorot mata dingin itu. Dan wanita yang tidak Ares ketahui namanya itu. Ares kagum pada keberaniannya. “Aku lebih heran jika dia membungkuk hormat padaku setelah aku membalikan tubuh dan berjalan menjauh,” jelas Javier seraya membalikan lembar dokumen yang ada di tangannya. Javiver berbicara dengan Ares yang meluangkan waktu untuknya. Tapi pandangan Javier fokus pada hal lain. Ares yang merasa heran, karena setiap kali datang ke kantor Javier,
“Ahra, gajimu sudah lebih dari cukup. Aku rasa kau tidak perlu menipu banyak pria lagi.” “Iya memang. Itu artinya, ini adalah hari pertama aku tidak memeras uang dari korbanku dengan jumlah yang fantastis lagi.” Ahra tidak menghiraukan nasihat dari Celine, dia sibuk menyemprotkan parfume pada tengkuknya hingga menguar aroma coco eau de parfume Chanel dari tubuhnya. Celine mendengus kesal. “Kau tidak kapok juga ya setelah berurusan dengan pak Javier.” Ahra mengedipkan sebelah matanya dan menjentikan jari. “Justru setelah bertemu dengannya aku jadi semakin bernafsu menipu para pria brengsek seperti CEO kita itu. Mendapatkan uang mereka dan menghibur diri dengan menipu mereka. Istilahnya sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.” Wanita seusia Ahra itu menghembuskan nafas kasar. “Aku tidak bisa membedakan, siapa yang lebih brengsek antara kau dengan para pria yang kau tipu itu.” Ahra tertawa p
Javier mendengus geli melihat ekspresi ketakutan yang Ahra tunjukan. Apa wanita itu sedang berpura-pura menjadi korban pemerkosaan untuk memeras Javier? Ah… jadi begitu cara Ahra memeras para korbannya.Javier akan lihat seberapa hebatnya acting wanita itu.“Kenapa kau takut begitu?” Javier menghimpitnya, dengan kedua tangannya yang berada di sisi tubuh Ahra, berjaga agar wanita yang jauh lebih muda darinya tak bisa kabur.Javier dapat merasakan tubuh Ahra gemetar hebat, bahkan tak berkutik sama sekali.“Menjauh dariku,” cicit wanita itu.Bahkan untuk menatap matanya pun, Ahra tak mau. Berbeda dengan pandangan Ahra waktu pertama kali Javier mengerjai wanita itu dengan menggunakan obat perangsang.Wajah ketakutan Ahra, walau Javier berpikir wanita itu tengah berbohong. Tetap saja Javier kesal melihatnya.Javier terbiasa dengan dunia malam. Dia tidak memungkiri bahwa dirinya bisa dibilang brengsek juga sama seperti Ahra.Sudah menjadi kebiasaan baginya berkenalan dengan seorang wanita,
Dia menyereput espresso yang belum lama sampai di mejanya. Rasa pahit mengalir bebas di tenggorokannya, namun dia tetap menikmatinya. “Ahra di mana? Sampai di ibukota aku langsung ke sini karena aku kira Ahra akan ikut kau.” “Dia belum bisa masuk kerja, Jake,” balas Celine seraya meneguk teh hijau pesanannya. “Apa kondisinya separah itu?” tanya Jake dengan ekspresi khawatir. Celine menghembuskan napas berat. “Hampir mirip seperti waktu kau berhasil menemukannya setelah Mark menyekapnya.” &nb
“Javier!” Ares membuka ruangan Javier tanpa permisi. Selesai dengan jam prakteknya di rumah sakit milik kakeknya, dia langsung bergegas menemui Javier. Takut terjadi sesuatu pada sahabatnya karena selama seminggu ini tak kunjung memberi kabar. Namun… apa ini? Javier tengah duduk berhadap-hadapan dengan seorang pria yang Ares kenal adalah detective yang biasa Javier sewa. Obrolan mereka sepertinya amat serius sampai Javier tak menghiraukan kedatangan Ares. Tidak disuruh siapa pun, Ares duduk di samping Javier, ikut memperhatikan detective tersebut sedang membuka beberapa lembaran kertas yang berada di meja. “Kau kenapa memanggilnya lagi?” tanya Ares. Yang Ares maksud di sini tentu saja si detective. “Aku masih mencari tahu soal Ahra,” balas Javier. Ares terkekeh geli. Tak menyangka ada perubahan signifikan pada sahabatnya ini. Bahkan menyewa de