“Wanita tadi mengacungkan jar tengahnya padamu.” Ares mendengus kembali mengingat kejadian beberapa saat lalu.
Dia mengenal Javier, jauh dari pada orangtua Javier mengenal anaknya sendiri.
Sifat tegas, otoriter dan tak segan memberikan hal buruk pada tiap orang yang tidak disukainya, itu melekat bertahun-tahun dalam diri Javier, Ares yakin orang yang bertemu dengan Javier pertama kali pun juga akan berpikir demikan, terbaca sekali dari sorot mata dingin itu.
Dan wanita yang tidak Ares ketahui namanya itu. Ares kagum pada keberaniannya.
“Aku lebih heran jika dia membungkuk hormat padaku setelah aku membalikan tubuh dan berjalan menjauh,” jelas Javier seraya membalikan lembar dokumen yang ada di tangannya.
Javiver berbicara dengan Ares yang meluangkan waktu untuknya. Tapi pandangan Javier fokus pada hal lain.
Ares yang merasa heran, karena setiap kali datang ke kantor Javier, sahabatnya itu selalu mengesampingkan pekerjaannya.
Ares mengambil dokumen yang ada di tangan Javier. Dahinya mengernyit ketika membaca dokumen tersebut, “kau menyewa detective untuk menyelidiki wanita itu?”
Javier kini berdiri dari kursinya, dia memilih duduk di sisi depan meja kerjanya, melipat tangan di depan dada seraya memperhatikan ekspresi kebingungan yang Ares tunjukan.
“Seperti yang kau lihat,” jawab Javier ambigu.
“Kau menyukainya?” tanya Ares.
“Itu adalah salah satu hal yang mustahil di dunia ini.” Kali ini Javier yang mendengus geli, “dia adalah orang kedua yang aku benci setelah mendiang ibuku. Bahkan aku berencana membuat hidupnya seperti di neraka.”
“Kalau begitu suatu saat kau akan mencintainya,” timpal Ares, “kau pasti tahu dan sering dengar juga, jika jarak cinta dan benci itu beda tipis. Semakin kau membencinya, semakin kau terus memikirkannya.”
“Kau tahu masa lalu ku, dan kau juga memutuskan untuk tidak menikah. Aku tidak sepertimu yang mudah jatuh cinta pada tiap wanita yang kau temui,”balas Javier, “jangan-jangan kau yang tertarik pada wanita itu?” ledek Javier.
Ares terdiam sesesaat membaca detail mengenai identitas wanita bernama Ahra. Dia menggeleng tak percaya dengan apa yang dibacanya. Dengan tersenyum miring dia melempar dokumen tersebut di atas meja Javier.
“Terdengar lucu sekali jika aku jatuh cinta pada Ahra yang notabenenya adalah saudiri tiri Naya, mantan kekasihku sendiri.”
Javier mengedikan bahu. “Siapa sangka wanita yang aku cari selama ini ternyata adalah adik tiri Naya.”
Ares menaikan sebelah alisnya. “Apa Ahra ada hubungannya dengan Leo?”
Bunyi bel pertanda ada yang ingin masuk ke ruangan Presdir, membuat Javier tidak segera menjawab pertanyaan Ares.
“Masuk,” ucap Javier setelah menekan tombol pada suatu remote yang membuat suaranya terdengar di pintu luar.
Wanita yang selalu memakai softlens biru dengan sorot mata yang tajam itu –khusus dia tunjukan pada Javier-, menghampiri Javier yang duduk di kursinya. Tidak mempedulikan Ares yang memperhatikan wanita itu.
“Kau baru datang Mariana?”
Ares bingung dengan pertanyaan Javier. Jelas-jelas nama wanita itu Ahra.
Ahra mengigit bawahnya. Seperti sedang meredam sumpah serapah keluar dari bibir ranumnya. “Nama saya Ahra Syahni, pak.”
“Ah aku lupa. Sebab waktu pertama kali kita berkenalan kau menyebut nama mu adalah Mariani.”
Tangan yang berada di sisi tubuhnya itu mengepal kuat. Matanya baru menangkap sosok Ares yang berdiri di samping Javier.
Walau samar Ares dapat melihat sudut bibir Ahra terangkat sedikit.
“Oh… maksud pak Javier, adalah waktu kita bertemu di club malam dan pak Javier mengajak saya untuk one night stand?”
“Pfftt!”
Ares menutup mulutnya yang hampir tertawa karena ucapan Ahra yang sepertinya ingin mempermalukan Javier di depan orang lain.
Gila! Ini menarik!
“Padahal di pertemuan pertama aku lebih mengingat nama mu, ternyata kau lebih mengingat saat kita one night stand. Apa kau kecanduan permainanku sampai kau terus mengingatnya?”
Ahra semakin mendekati Javier. Tidak terlihat malu sama sekali, ketika dirinya mencondongkan tubuhnya dan berkata, “saya sih tidak mengingatnya, kan pak Javier yang memberi saya obat agar tidak sadarkan diri dan hanya menikmati permainan anda sendiri.”
Untuk pertama kalinya selama belasan tahun menjadi sahabat Javier. Dia baru melihat Javier tak berkutik karena ucapan seorang wanita.
Ares tak percaya. Di depannya ini, benar Javier yang sering mempermainkan wanita setelah menghabiskan satu malam bersama?
“Ah, saya tahu, maksud pak Javier menyuruh saya datang ke ruangan ini pasti untuk mengajak saya tidur bersama lagi.”
“Kau gila ya Ah-”
“Sstt!” Ahra menaruh telunjuknya di depan bibir Javier. Wanita itu kini mengusap tengkuk Javier dan berbisik tepat ditelinga Javier, “karena lusa weekend, besok malam saya tunggu di club malam tempat kita bertemu.”
Javier diam mematung pada posisi yang sama.
Dia kalah telak hari ini.
Setelah membuat Javier kehabisan kata-kata Ahra pergi begitu saja keluar dari ruangan Javier. Sepertinya Javier sendiri sampai lupa jika dia menyuruh wanita itu datang keruangannya karena ingin memberikan hukuman.
Ares menganga tak percaya dengan apa yang terjadi di depan mata kepalanya sendiri. Selepas kepergian Ahra dia tertawa keras dan bertepuk tangan beberapa kali.
Javier mendapatkan wanita yang setimpal sebagai lawannya.
“Berhenti tertawa, brengsek!” bentak Javier.
Tentu saja Ares tidak menghiraukannya. “Wanita itu sama gilanya dengan kau, Javier. Dia sepertinya sengaja mau mempermalukan mu di depan ku. Aku jadi penasaran, setelah ini balasan apa yang akan kau lakukan padanya?”
Pria yang biasanya berwajah datar itu, kini menunjukan seringainya, terlihat jelas dirinya yang penuh emosi dan bernafsu untuk membalas Ahra.
Javier memegang tengkuknya yang tadi diusap oleh Ahra. “Kau tidak dengar yang dia katakan? Dia menantangku untuk benar-benar tidur dengannya.”
“Sepertinya dia sering tidur dengan banyak pria, buktinya dia berani seperti itu dengan mu. Berbeda sekali dengan Naya.”
“Lebih tepatnya dia banyak menipu pria, berpura-pura menjadi wanita nakal. Saat ingin melakukan one night stand dengan stranger yang dia temui, dia menyimpan kamera tersembunyi dan berlagak sebagai korban pemerkosaan, kemudian memeras uang dari korbannya itu jika tidak ingin video tersebut disebar.”
Karena kelakuan Ahra terlalu diluar nalar, Ares sampai tidak tahu harus berkomentar apa lagi mengenai Ahra. “Yakin kau mau membuat hidup wanita itu seperti di neraka?”
“Yakin,” jawab Javier percaya diri.
“Kalau lawan mu adalah perempuan seperti itu. Ibaratnya, kau dan dia tengah bermain tarik tambang di kedua sisi jurang neraka, dan yang kalah akan jatuh ke nereka.”
“Entah dengan cara apa pun, aku yang akan lebih dulu menghancurkan hidupnya. Sama seperti dia yang menghancurkan hidupku lebih dulu, dengan membuat Leo akhirnya bunuh diri.”
Senyum geli yang Ares tunjukan memudar karena penuturan Javier. Jika itu menyangkut Leo, Javier tidak akan pernah bisa diajak becanda.
“Dia adalah wanita yang dicintai Leo sampai akhir khayatnya, wanita yang menjadi alasan mengapa Leo bunuh diri. Wanita brengsek itu, karena aku terlalu membencinya, aku lebih memilih membuatnya menderita seumur hidup dari pada membunuhnya.”
Dapat Ares lihat tangan Javier mengepal kuat hingga buku jari pria itu memutih.
“Aku akan mencari tahu apa kelemahan wanita itu sampai ke akar-akarnya dan membuat wanita itu hancur.”
“Ahra, gajimu sudah lebih dari cukup. Aku rasa kau tidak perlu menipu banyak pria lagi.” “Iya memang. Itu artinya, ini adalah hari pertama aku tidak memeras uang dari korbanku dengan jumlah yang fantastis lagi.” Ahra tidak menghiraukan nasihat dari Celine, dia sibuk menyemprotkan parfume pada tengkuknya hingga menguar aroma coco eau de parfume Chanel dari tubuhnya. Celine mendengus kesal. “Kau tidak kapok juga ya setelah berurusan dengan pak Javier.” Ahra mengedipkan sebelah matanya dan menjentikan jari. “Justru setelah bertemu dengannya aku jadi semakin bernafsu menipu para pria brengsek seperti CEO kita itu. Mendapatkan uang mereka dan menghibur diri dengan menipu mereka. Istilahnya sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.” Wanita seusia Ahra itu menghembuskan nafas kasar. “Aku tidak bisa membedakan, siapa yang lebih brengsek antara kau dengan para pria yang kau tipu itu.” Ahra tertawa p
Javier mendengus geli melihat ekspresi ketakutan yang Ahra tunjukan. Apa wanita itu sedang berpura-pura menjadi korban pemerkosaan untuk memeras Javier? Ah… jadi begitu cara Ahra memeras para korbannya.Javier akan lihat seberapa hebatnya acting wanita itu.“Kenapa kau takut begitu?” Javier menghimpitnya, dengan kedua tangannya yang berada di sisi tubuh Ahra, berjaga agar wanita yang jauh lebih muda darinya tak bisa kabur.Javier dapat merasakan tubuh Ahra gemetar hebat, bahkan tak berkutik sama sekali.“Menjauh dariku,” cicit wanita itu.Bahkan untuk menatap matanya pun, Ahra tak mau. Berbeda dengan pandangan Ahra waktu pertama kali Javier mengerjai wanita itu dengan menggunakan obat perangsang.Wajah ketakutan Ahra, walau Javier berpikir wanita itu tengah berbohong. Tetap saja Javier kesal melihatnya.Javier terbiasa dengan dunia malam. Dia tidak memungkiri bahwa dirinya bisa dibilang brengsek juga sama seperti Ahra.Sudah menjadi kebiasaan baginya berkenalan dengan seorang wanita,
Dia menyereput espresso yang belum lama sampai di mejanya. Rasa pahit mengalir bebas di tenggorokannya, namun dia tetap menikmatinya. “Ahra di mana? Sampai di ibukota aku langsung ke sini karena aku kira Ahra akan ikut kau.” “Dia belum bisa masuk kerja, Jake,” balas Celine seraya meneguk teh hijau pesanannya. “Apa kondisinya separah itu?” tanya Jake dengan ekspresi khawatir. Celine menghembuskan napas berat. “Hampir mirip seperti waktu kau berhasil menemukannya setelah Mark menyekapnya.” &nb
“Javier!” Ares membuka ruangan Javier tanpa permisi. Selesai dengan jam prakteknya di rumah sakit milik kakeknya, dia langsung bergegas menemui Javier. Takut terjadi sesuatu pada sahabatnya karena selama seminggu ini tak kunjung memberi kabar. Namun… apa ini? Javier tengah duduk berhadap-hadapan dengan seorang pria yang Ares kenal adalah detective yang biasa Javier sewa. Obrolan mereka sepertinya amat serius sampai Javier tak menghiraukan kedatangan Ares. Tidak disuruh siapa pun, Ares duduk di samping Javier, ikut memperhatikan detective tersebut sedang membuka beberapa lembaran kertas yang berada di meja. “Kau kenapa memanggilnya lagi?” tanya Ares. Yang Ares maksud di sini tentu saja si detective. “Aku masih mencari tahu soal Ahra,” balas Javier. Ares terkekeh geli. Tak menyangka ada perubahan signifikan pada sahabatnya ini. Bahkan menyewa de
Bunga mawar sialan itu. Akhrinya kembali lagi pada tangan Ahra, Ahra mengambilnya dari Javier. Sengaja, sebab setelah melihat bunga tersebut ada di tangan Javier. Ahra merasa sedikit merasa bersalah. Tolong, perlu digaris bawahi, hanya sedikit. “Sa-saya alergi bunga, Pak!” Masa bodo dengan ucapan asal yang tercetus begitu saja dari mulut Ahra, yang paling penting sekarang dirinya harus keluar dari situasi memuakkan ini. Agar aktingnya lebih meyakinkan. Dia mencoba mencium wangi bunga mawar itu.“Ehm.” Ahra mengernyit, sialan, bunga itu sudah bau karena diambil dari tempat sampah, Ahra benar-benar benci sesuatu yang bau. “Bahkan untuk mencium bunganya saja tidak bisa.”Jake menepuk dahinya.Sementara Javier menimpali. “Ahra, beberapa detik yang lalu kau mencium bunga itu.”Shit. Ahra kembali mengumpat dalam hati. Baru menyadari perbuatan konyolnya yang spontan itu. “Tapi setelah mencium wangi bunga, biasanya saya akan bers
Dua belas juta lima ratus lima puluh ribu rupiah. Ahra mengitung uang yang terdapat pada kiriman tak normal yang diberikan Javier. Pada hari senin saat masuk kerja kembali. Dia membawa uang tunai tersebut dalam sebuah tote bag. Sebenarnya, dia bisa saja menemui Javier saat weekend, hanya tinggal pergi ke club malam. Yang entah kenapa Javier pasti tahu tempat Ahra akan menipu para korbannya. Tapi Ahra memilih untuk tidak mengambil resiko tersebut, untuk sementara waktu. Weekend dalam dua hari ini dia menjalani kehidupan normal, tanpa menipu. Rasanya ada yang kurang, dan itu membuat Ahra tidak nyaman, secara drastic mengubah kebiasaan yang selama bertahun-tahun dia lakukan. Ahra berdiri di samping Javier yang sedang menandatangi dokumen dengan perusahaan konstruksi lain karena ingin membuka kantor cabang. Ahra menunggu Javier selesai menandatangi dokumen tersebut untuk kemudia
Tuk! Tuk! Tuk! Ahra mengetuk papan tulis kecil yang berada di ruangan kerja Jake dengan pulpen yang dibawanya. Si pemilik ruangan tampak antusias dengan topik pembahasan sementara Celine menatap malas sahabatnya yang tengah berapi-api membicarakan tentang atasan mereka. “Iblis sepertinya tidak mungkin tobat dan benar-benar merasa bersalah padaku!” tuduh Ahra dengan semangat. “Omongnya beda sekali dengan sumpah serapahnya ingin membuat hidupku hancur. Aku yakin dia tidak mungkin berubah secepat itu.” “Dia pasti merencanakan sesuatu yang lebih buruk.” Jake ikut menyetujui pikiran buruk Ahra tentang Javier. Hanya Celine yang mempunyai tanggapan berbeda. Wanita yang berperawakan seperti barbie itu berkata. “Sepertinya dia menyukaimu. Bukan menyukai sebagai atasan yang berapresiasi dengan karyawannya. Tapi sebagai pria yang menyukai wanita pada umumnya.” “Kau gila?!” balas
Ahra mengambil selfie dirinya dalam pose berbeda beberapa kali, yang tengah berada di kapal untuk menuju ke pulau Nami. Dia mencari foto yang menurutnya paling bagus untuk kemudian dia edit sebelum mempostingnya di sosial media. “Aku kira kau akan berpose seksi setengah telanjang untuk mencari mangsa baru.” Celetukan Javier yang muncul tiba-tiba seperti hantu, membuat Ahra melotot ke pria itu. Dia segera mengecek sekitar, bernapas lega karena tak ada orang di sekitar mereka. Ahra pun membalas pria itu dengan sinis. “Kenapa? Kau mau melihatku yang setengah telanjang lagi?!” Ahra tidak berkata formal. Toh, yang melakukan perjalan dinas ini hanya mereka berdua saja. Walaupun rekan kerja mereka mengira mereka tengah kencan dengan dalih perjalanan bisnis. “Tidak ada yang menarik dari tubuhmu,” balas Javier menohok, “aku sampai heran apa yang para pria brengsek itu lihat darimu.”
“Aku kira kau lupa denganku.” Jake masih terus menyindirnya karena perdebatan pria itu dengan Javier yang ingin mengantar Ahra pulang. Walaupun Ahra sudah memilih untuk pulang bersama Jake. Ahra berdecak. “Masih saja dibahas.” “Aku akan membahas terus jika aku mengingat hari ini,” timpal Jake, “aku menunggmu lama sekali. Dan aku tidak bisa masuk ke restoran tersebut karena katanya sedang di sewa. Aku tak menyangka ternyata Javier yang menyewanya hanya untuk makan malam bersama mu.” “Sudah kubilang bukan begitu.” “Nyatanya yang aku lihat begitu. Kau mau alasan seperti apa lagi?” Pria itu masih merajuk, seperti seorang kekasih yang memergoki wanitanya tengah kencan dengan pria lain. Hapal dengan perangai Jake. Ahra jadi sama sekali tidak ingin meluruskan apa pun. Wanita itu mengibaskan tangannya masa bodo, “terserah kau saja ingin berpikiran seperti apa.”
"Hei. Ada karyawanmu yang menyebalkan, sepertinya dia tidak tahu aku adalah teman dekatmu. Kau sebagai atasannya-" "Stop," potong Javier. Pria itu melepas kacamatanya, menaruh dokumen yang dia pegang di atas meja kerjanya. Alis Ares bertaut, menunjukan kebingungannya. “Ada yang salah dengan bicaraku?” “Ya,” balas Javier, dia menunjuk sahabatnya yang baru-baru ini datang lagi ke kantornya, setelah tanpa rasa bersalah meninggalkan Javier dan Ahra berdua di restoran. “Berhenti menyebut statusku di kantor ini sebagai atasan.” “Hah?” Javier mengedikan bahu. “Belakangan ini aku tidak suka kata-kata itu. Terkesan sombong.” “Kau bicara apa sih, gila?” Ares semakin tidak mengerti, “padahal kau mati-matian merebut posisi sebagai CEO di perusahaan ini.” Javier tidak menanggapi celotehan Ares. Dia kembali mengecek berkas yang harus dia tanda tangani. Terlihat tenang dari luar. Tidak seperti dengan isi kepalanya yang berisik. Ucapan Ares kembali membuatnya mengingat kejadi
Ares : Kado dariku tahun ini. Ku undang wanita yang kau incar itu di acara muAres : Aku tidak ingin mengganggumu. Jadi selamat menikmati waktumu dengannyaAres beruntung karena terlalu lelah Javier sedang tidak bernafsu untuk memaki sahabatnya itu karena mendatangkan Ahra ke tempat ini dan meninggalkan dirinya berdua saja dengan Ahra.Javier menyimpan ponselnya di saku celana.Dia memperhatikan wanita itu dari jauh. Wanita yang tengah melihat lukisan di dinding seolah mengabaikan Javier yang melangkah mendekatinya.Ahra tampak rapih dengan dress navy yang kontras dengan kulit porselennya. Wanita itu tidak mungkin pulang ke rumah lebih dulu untuk berpenampilan serapih itu. Ini pasti ulah sahabatnya. Pantas saja Ares memilih menetap di kantor Javier sampai sore, ternyata untuk membawa Ahra ke sini."Hei," panggil Javier.Ahra masih tidak menoleh, tapi dia membalas dengan ucapan pedasnya seperti biasa, "siapa yang kau panggil itu? Aku punya nama."Javier berdecak sebelum memanggil ulang
“Pak Javier memintamu ke ruangannya. Katanya dia mau kau yang menemaninya meeting.” Celine mendatangi mejanya, dia menaruh lembaran dokumen di atas meja Ahra. Ahra berdehem kemudian batuk keras beberapa kali. Teman divisinya yang lain sampai menoleh, padahal pagi tadi wanita itu baik-baik saja. “Aku sedang tidak enak badan.” Ahra mengambil tangan Celine, menaruh punggung tangan sahabatnya itu di dahinya. Sambil berdoa dalam hati semoga dahinya terasa panas, hasil dari mendiamkan termos yang sedikit panas di dahinya. “Panas sekali.” Celine menarik tangannya. Wanita itu menaikan sebelah alisnya, “padahal tadi kau baik-baik saja, Ahra.” Ahra mengangkat bahunya. “Sepertinya aku demam, kurang istirahat. Bisa minta tolong gantikan tugasku hari ini?” Celine tetap mengangguk walau memandang sahabatnya itu penuh ke curigaan. “Kau akan pulang lebih cepat?” Ahra
"Kau... semalam benar-benar tidak menyentuhku 'kan?" tanya Ahra penuh dengan nada kecurigaan. Javier mendengus. Pandangannya masih tertuju ke jalan, tanpa melihat Ahra yang duduk di kursi penumpang, dia menjawab, "sudah ketiga kalinya kau menanyakan hal ini. Sudah kubilang kalau kau tidak percaya padaku, lihat saja CCTV rumahku." Ahra tidak mau memalukan dirinya sendiri jika kecurigaan yang dia tuduhkan pada Javier itu salah. Tapi di satu sisi dia sama sekali tidak percaya perkataan pria itu. Saat membersihkan diri tadi, bagian bawahnya terasa sakit dan terdapat sedikit cairan yang lengket. Rasanya tidak mungkin dia masturbasi pada saat mabuk. Pasti ada sesuatu! Dia yakin sekali! Dia butuh sesuatu pemancing yang membuatnya ingat apa yang terjadi saat dirinya mabuk. Ahra memicingkan mata. "Bisakah kau beri tahu kenapa semalam aku bisa sampai berada di rumahmu? Aku butuh sesuatu hal yang membuat aku ingat kejadian semalam." Dengan tiba-tiba Javier menginjak remnya.
Aku yakin kau yang lebih dulu jatuh cinta padanya. Kalimat yang Ares katakan menghantui isi kepalanya. Javier menggelengkan kepalanya pelan mengenyahkan perkataan Ares yang mengusiknya. Tanpa sadar dia berkata dengan mulutnya sendiri. “Tidak. Aku tidak menyukainya.” Sayangnya dia mengatakan hal itu dengan suara agak lantang sehingga penghuni table sebelahnya menoleh bingung. Tapi Javier tidak menyadarinya, karena matanya tertuju pada seorang wanita yang duduk di bartender dengan pakaian minim dan sedang berbincang dengan seorang pria. Yang sangat Javier yakini pria itu bukanlah teman si wanita yang Javier buntuti. Hari ini weekend. Seolah mengenal lama, dia tahu kebiasaan Ahra mengunjungi club malam untuk mencari para korban. Pria yang malam ini menjadi korban wanita mematikan itu, harusnya berterima kasih pada Javier karena Javier hari ini mengikuti Ahra.
“Sepertinya anakmu tumbuh dengan baik, Ahra.” Anna meledeknya mengusap perut rata Ahra. Ahra menepisnya kasar dan itu membuat Anna tertawa geli. Diikuti dengan Celine dan Jenni yang juga masih berada di ruang kerja mereka. “Orang gila mana yang berpikir aku sedang hamil anak Pak Javier?” gerutu Ahra. “Satu perusahaan,” sahut Jenni, “kami semua mengira kau kencan dengan Pak Javier, kau tahu melakukan seks bukan hal yang tabu lagi, tentu saja kami berpikir kau dan Pak Javier sudah melakukannya, dan kau semakin mempertegasnya dengan pesan yang kau kirimkan.” Ahra melipat tangan di depan dada. Dia mendelik ke Anna. “Aku salah mengirimkan pesan ke grup chat divisi kita saja, bukan ke grup all divisi. Pasti ada seorang oknum yang menyebarkan itu.” Anna melihat ke arah lain dan berkata, “yang jelas bukan aku.” Ahra menghela napas kasar. Sudah jelas sekali siapa yang menyebarkannya.
Anna : Kau satu kamar dengan Pak Javier? Jenni : Aku kira omongan kau yang kencan dengan Pak Javier hanya gossip saja. Ternyata benar Anna : Apa sebentar lagi kau akan menikah, Ahra? Seratus lebih chat di grup divisinya. Ahra hanya membaca beberapa saja, toh itu sudah menjelaskan mengapa teman divisinya beranggapan seperti itu. Dia salah mengirimkan chat! Harusnya ke grup yang berisi dirinya, Celine dan Jake. Malah mengirimkannya ke grup divisi. Ingin menarik pesan tersebut tapi pesan tersebut sudah dikirim selama berjam-jam dan tidak ada tanggapan sama sekali darinya. Jika dia menariknya sekarang dan berdalih salah mengirimkan pesan. Itu tidak akan mengubah pandangan teman-teman kerjanya yang sudah mendoktrik pikiran mereka jika Ahra memang tengah punya hubungan dengan Javier. Ahra mematikan ponselnya. Dia tidak ingin membaca chat dari siapa pun, walaupun itu tidak d
Javier hendak memakai kacamatanya, guna melihat lebih jelas pekerjaan yang belum diselesaikannya lewat tablet. Biasa bekerja dengan tenang agar lebih konsentrasi, dia benar-benar tidak bisa bekerja dengan suara bising. Apa lagi suara nyanyian sumbang dari wanita yang sedang mengacak kopernya sendiri untuk mencari pakaian. Javier awalnya ingin mengusik Ahra, membuat wanita itu canggung dan tidak nyaman karena harus satu kamar dengannya. Tapi malah Javier yang terusik dengan wanita itu. “Hei.” Javier mencoba memanggilnya. Wanita itu hanya meliriknya sekilas, tidak mengidahkan panggilan Javier. Javier bedecak. “Ahra.” Kali ini dia memanggil nama wanita itu. “Ada apa?” “Apa kau pernah mencoba karaoke yang terdapat score menyanyinya?” Javier balik bertanya Ahra menggeleng, senyum wanita itu mengembang. “Kenapa? Suaraku bagus sekali ya? Aku sudah menduganya! Aku se