“Sepertinya anakmu tumbuh dengan baik, Ahra.” Anna meledeknya mengusap perut rata Ahra. Ahra menepisnya kasar dan itu membuat Anna tertawa geli. Diikuti dengan Celine dan Jenni yang juga masih berada di ruang kerja mereka. “Orang gila mana yang berpikir aku sedang hamil anak Pak Javier?” gerutu Ahra. “Satu perusahaan,” sahut Jenni, “kami semua mengira kau kencan dengan Pak Javier, kau tahu melakukan seks bukan hal yang tabu lagi, tentu saja kami berpikir kau dan Pak Javier sudah melakukannya, dan kau semakin mempertegasnya dengan pesan yang kau kirimkan.” Ahra melipat tangan di depan dada. Dia mendelik ke Anna. “Aku salah mengirimkan pesan ke grup chat divisi kita saja, bukan ke grup all divisi. Pasti ada seorang oknum yang menyebarkan itu.” Anna melihat ke arah lain dan berkata, “yang jelas bukan aku.” Ahra menghela napas kasar. Sudah jelas sekali siapa yang menyebarkannya.
Aku yakin kau yang lebih dulu jatuh cinta padanya. Kalimat yang Ares katakan menghantui isi kepalanya. Javier menggelengkan kepalanya pelan mengenyahkan perkataan Ares yang mengusiknya. Tanpa sadar dia berkata dengan mulutnya sendiri. “Tidak. Aku tidak menyukainya.” Sayangnya dia mengatakan hal itu dengan suara agak lantang sehingga penghuni table sebelahnya menoleh bingung. Tapi Javier tidak menyadarinya, karena matanya tertuju pada seorang wanita yang duduk di bartender dengan pakaian minim dan sedang berbincang dengan seorang pria. Yang sangat Javier yakini pria itu bukanlah teman si wanita yang Javier buntuti. Hari ini weekend. Seolah mengenal lama, dia tahu kebiasaan Ahra mengunjungi club malam untuk mencari para korban. Pria yang malam ini menjadi korban wanita mematikan itu, harusnya berterima kasih pada Javier karena Javier hari ini mengikuti Ahra.
"Kau... semalam benar-benar tidak menyentuhku 'kan?" tanya Ahra penuh dengan nada kecurigaan. Javier mendengus. Pandangannya masih tertuju ke jalan, tanpa melihat Ahra yang duduk di kursi penumpang, dia menjawab, "sudah ketiga kalinya kau menanyakan hal ini. Sudah kubilang kalau kau tidak percaya padaku, lihat saja CCTV rumahku." Ahra tidak mau memalukan dirinya sendiri jika kecurigaan yang dia tuduhkan pada Javier itu salah. Tapi di satu sisi dia sama sekali tidak percaya perkataan pria itu. Saat membersihkan diri tadi, bagian bawahnya terasa sakit dan terdapat sedikit cairan yang lengket. Rasanya tidak mungkin dia masturbasi pada saat mabuk. Pasti ada sesuatu! Dia yakin sekali! Dia butuh sesuatu pemancing yang membuatnya ingat apa yang terjadi saat dirinya mabuk. Ahra memicingkan mata. "Bisakah kau beri tahu kenapa semalam aku bisa sampai berada di rumahmu? Aku butuh sesuatu hal yang membuat aku ingat kejadian semalam." Dengan tiba-tiba Javier menginjak remnya.
“Pak Javier memintamu ke ruangannya. Katanya dia mau kau yang menemaninya meeting.” Celine mendatangi mejanya, dia menaruh lembaran dokumen di atas meja Ahra. Ahra berdehem kemudian batuk keras beberapa kali. Teman divisinya yang lain sampai menoleh, padahal pagi tadi wanita itu baik-baik saja. “Aku sedang tidak enak badan.” Ahra mengambil tangan Celine, menaruh punggung tangan sahabatnya itu di dahinya. Sambil berdoa dalam hati semoga dahinya terasa panas, hasil dari mendiamkan termos yang sedikit panas di dahinya. “Panas sekali.” Celine menarik tangannya. Wanita itu menaikan sebelah alisnya, “padahal tadi kau baik-baik saja, Ahra.” Ahra mengangkat bahunya. “Sepertinya aku demam, kurang istirahat. Bisa minta tolong gantikan tugasku hari ini?” Celine tetap mengangguk walau memandang sahabatnya itu penuh ke curigaan. “Kau akan pulang lebih cepat?” Ahra
Ares : Kado dariku tahun ini. Ku undang wanita yang kau incar itu di acara muAres : Aku tidak ingin mengganggumu. Jadi selamat menikmati waktumu dengannyaAres beruntung karena terlalu lelah Javier sedang tidak bernafsu untuk memaki sahabatnya itu karena mendatangkan Ahra ke tempat ini dan meninggalkan dirinya berdua saja dengan Ahra.Javier menyimpan ponselnya di saku celana.Dia memperhatikan wanita itu dari jauh. Wanita yang tengah melihat lukisan di dinding seolah mengabaikan Javier yang melangkah mendekatinya.Ahra tampak rapih dengan dress navy yang kontras dengan kulit porselennya. Wanita itu tidak mungkin pulang ke rumah lebih dulu untuk berpenampilan serapih itu. Ini pasti ulah sahabatnya. Pantas saja Ares memilih menetap di kantor Javier sampai sore, ternyata untuk membawa Ahra ke sini."Hei," panggil Javier.Ahra masih tidak menoleh, tapi dia membalas dengan ucapan pedasnya seperti biasa, "siapa yang kau panggil itu? Aku punya nama."Javier berdecak sebelum memanggil ulang
"Hei. Ada karyawanmu yang menyebalkan, sepertinya dia tidak tahu aku adalah teman dekatmu. Kau sebagai atasannya-" "Stop," potong Javier. Pria itu melepas kacamatanya, menaruh dokumen yang dia pegang di atas meja kerjanya. Alis Ares bertaut, menunjukan kebingungannya. “Ada yang salah dengan bicaraku?” “Ya,” balas Javier, dia menunjuk sahabatnya yang baru-baru ini datang lagi ke kantornya, setelah tanpa rasa bersalah meninggalkan Javier dan Ahra berdua di restoran. “Berhenti menyebut statusku di kantor ini sebagai atasan.” “Hah?” Javier mengedikan bahu. “Belakangan ini aku tidak suka kata-kata itu. Terkesan sombong.” “Kau bicara apa sih, gila?” Ares semakin tidak mengerti, “padahal kau mati-matian merebut posisi sebagai CEO di perusahaan ini.” Javier tidak menanggapi celotehan Ares. Dia kembali mengecek berkas yang harus dia tanda tangani. Terlihat tenang dari luar. Tidak seperti dengan isi kepalanya yang berisik. Ucapan Ares kembali membuatnya mengingat kejadi
“Aku kira kau lupa denganku.” Jake masih terus menyindirnya karena perdebatan pria itu dengan Javier yang ingin mengantar Ahra pulang. Walaupun Ahra sudah memilih untuk pulang bersama Jake. Ahra berdecak. “Masih saja dibahas.” “Aku akan membahas terus jika aku mengingat hari ini,” timpal Jake, “aku menunggmu lama sekali. Dan aku tidak bisa masuk ke restoran tersebut karena katanya sedang di sewa. Aku tak menyangka ternyata Javier yang menyewanya hanya untuk makan malam bersama mu.” “Sudah kubilang bukan begitu.” “Nyatanya yang aku lihat begitu. Kau mau alasan seperti apa lagi?” Pria itu masih merajuk, seperti seorang kekasih yang memergoki wanitanya tengah kencan dengan pria lain. Hapal dengan perangai Jake. Ahra jadi sama sekali tidak ingin meluruskan apa pun. Wanita itu mengibaskan tangannya masa bodo, “terserah kau saja ingin berpikiran seperti apa.”
Celine: Ahra. Jangan pulang lewat jam 7 pagiCeline: Besok kau ada interview di kantorku. “Hai.” Sapaan singkat dengan warna suara yang terdengar berat itu berhasil membuat fokusnya yang tertuju pada ponsel, beralih pada pria jangkung yang berdiri di sampingnya. Bibir layaknya apel yang matang itu tersenyum tipis. Dan memberikan anggukan kecil sebagai balasan positif. Pria itu menjulurkan tangannya lebih dulu, hendak bersalaman. “Aku pemilik akun bernama Leo. Tapi karena sudah bertemu, sepertinya kau harus mengenal nama asliku. Kau bisa memanggilku Javier,” ucapnya menyebut nama. Wanita yang menjadi lawan bicaranya pun membalas uluran tangannya. “Panggil saja aku Mariana. Well¸ itu namaku.” Pria itu tampak sedikit terkejut. “Oh jadi nama mu memang Mariana?” Wanita yang menyebut dirinya itu Mariana, mengangguk kecil. Tatapan matanya yang memikat dibuatnya aga
“Aku kira kau lupa denganku.” Jake masih terus menyindirnya karena perdebatan pria itu dengan Javier yang ingin mengantar Ahra pulang. Walaupun Ahra sudah memilih untuk pulang bersama Jake. Ahra berdecak. “Masih saja dibahas.” “Aku akan membahas terus jika aku mengingat hari ini,” timpal Jake, “aku menunggmu lama sekali. Dan aku tidak bisa masuk ke restoran tersebut karena katanya sedang di sewa. Aku tak menyangka ternyata Javier yang menyewanya hanya untuk makan malam bersama mu.” “Sudah kubilang bukan begitu.” “Nyatanya yang aku lihat begitu. Kau mau alasan seperti apa lagi?” Pria itu masih merajuk, seperti seorang kekasih yang memergoki wanitanya tengah kencan dengan pria lain. Hapal dengan perangai Jake. Ahra jadi sama sekali tidak ingin meluruskan apa pun. Wanita itu mengibaskan tangannya masa bodo, “terserah kau saja ingin berpikiran seperti apa.”
"Hei. Ada karyawanmu yang menyebalkan, sepertinya dia tidak tahu aku adalah teman dekatmu. Kau sebagai atasannya-" "Stop," potong Javier. Pria itu melepas kacamatanya, menaruh dokumen yang dia pegang di atas meja kerjanya. Alis Ares bertaut, menunjukan kebingungannya. “Ada yang salah dengan bicaraku?” “Ya,” balas Javier, dia menunjuk sahabatnya yang baru-baru ini datang lagi ke kantornya, setelah tanpa rasa bersalah meninggalkan Javier dan Ahra berdua di restoran. “Berhenti menyebut statusku di kantor ini sebagai atasan.” “Hah?” Javier mengedikan bahu. “Belakangan ini aku tidak suka kata-kata itu. Terkesan sombong.” “Kau bicara apa sih, gila?” Ares semakin tidak mengerti, “padahal kau mati-matian merebut posisi sebagai CEO di perusahaan ini.” Javier tidak menanggapi celotehan Ares. Dia kembali mengecek berkas yang harus dia tanda tangani. Terlihat tenang dari luar. Tidak seperti dengan isi kepalanya yang berisik. Ucapan Ares kembali membuatnya mengingat kejadi
Ares : Kado dariku tahun ini. Ku undang wanita yang kau incar itu di acara muAres : Aku tidak ingin mengganggumu. Jadi selamat menikmati waktumu dengannyaAres beruntung karena terlalu lelah Javier sedang tidak bernafsu untuk memaki sahabatnya itu karena mendatangkan Ahra ke tempat ini dan meninggalkan dirinya berdua saja dengan Ahra.Javier menyimpan ponselnya di saku celana.Dia memperhatikan wanita itu dari jauh. Wanita yang tengah melihat lukisan di dinding seolah mengabaikan Javier yang melangkah mendekatinya.Ahra tampak rapih dengan dress navy yang kontras dengan kulit porselennya. Wanita itu tidak mungkin pulang ke rumah lebih dulu untuk berpenampilan serapih itu. Ini pasti ulah sahabatnya. Pantas saja Ares memilih menetap di kantor Javier sampai sore, ternyata untuk membawa Ahra ke sini."Hei," panggil Javier.Ahra masih tidak menoleh, tapi dia membalas dengan ucapan pedasnya seperti biasa, "siapa yang kau panggil itu? Aku punya nama."Javier berdecak sebelum memanggil ulang
“Pak Javier memintamu ke ruangannya. Katanya dia mau kau yang menemaninya meeting.” Celine mendatangi mejanya, dia menaruh lembaran dokumen di atas meja Ahra. Ahra berdehem kemudian batuk keras beberapa kali. Teman divisinya yang lain sampai menoleh, padahal pagi tadi wanita itu baik-baik saja. “Aku sedang tidak enak badan.” Ahra mengambil tangan Celine, menaruh punggung tangan sahabatnya itu di dahinya. Sambil berdoa dalam hati semoga dahinya terasa panas, hasil dari mendiamkan termos yang sedikit panas di dahinya. “Panas sekali.” Celine menarik tangannya. Wanita itu menaikan sebelah alisnya, “padahal tadi kau baik-baik saja, Ahra.” Ahra mengangkat bahunya. “Sepertinya aku demam, kurang istirahat. Bisa minta tolong gantikan tugasku hari ini?” Celine tetap mengangguk walau memandang sahabatnya itu penuh ke curigaan. “Kau akan pulang lebih cepat?” Ahra
"Kau... semalam benar-benar tidak menyentuhku 'kan?" tanya Ahra penuh dengan nada kecurigaan. Javier mendengus. Pandangannya masih tertuju ke jalan, tanpa melihat Ahra yang duduk di kursi penumpang, dia menjawab, "sudah ketiga kalinya kau menanyakan hal ini. Sudah kubilang kalau kau tidak percaya padaku, lihat saja CCTV rumahku." Ahra tidak mau memalukan dirinya sendiri jika kecurigaan yang dia tuduhkan pada Javier itu salah. Tapi di satu sisi dia sama sekali tidak percaya perkataan pria itu. Saat membersihkan diri tadi, bagian bawahnya terasa sakit dan terdapat sedikit cairan yang lengket. Rasanya tidak mungkin dia masturbasi pada saat mabuk. Pasti ada sesuatu! Dia yakin sekali! Dia butuh sesuatu pemancing yang membuatnya ingat apa yang terjadi saat dirinya mabuk. Ahra memicingkan mata. "Bisakah kau beri tahu kenapa semalam aku bisa sampai berada di rumahmu? Aku butuh sesuatu hal yang membuat aku ingat kejadian semalam." Dengan tiba-tiba Javier menginjak remnya.
Aku yakin kau yang lebih dulu jatuh cinta padanya. Kalimat yang Ares katakan menghantui isi kepalanya. Javier menggelengkan kepalanya pelan mengenyahkan perkataan Ares yang mengusiknya. Tanpa sadar dia berkata dengan mulutnya sendiri. “Tidak. Aku tidak menyukainya.” Sayangnya dia mengatakan hal itu dengan suara agak lantang sehingga penghuni table sebelahnya menoleh bingung. Tapi Javier tidak menyadarinya, karena matanya tertuju pada seorang wanita yang duduk di bartender dengan pakaian minim dan sedang berbincang dengan seorang pria. Yang sangat Javier yakini pria itu bukanlah teman si wanita yang Javier buntuti. Hari ini weekend. Seolah mengenal lama, dia tahu kebiasaan Ahra mengunjungi club malam untuk mencari para korban. Pria yang malam ini menjadi korban wanita mematikan itu, harusnya berterima kasih pada Javier karena Javier hari ini mengikuti Ahra.
“Sepertinya anakmu tumbuh dengan baik, Ahra.” Anna meledeknya mengusap perut rata Ahra. Ahra menepisnya kasar dan itu membuat Anna tertawa geli. Diikuti dengan Celine dan Jenni yang juga masih berada di ruang kerja mereka. “Orang gila mana yang berpikir aku sedang hamil anak Pak Javier?” gerutu Ahra. “Satu perusahaan,” sahut Jenni, “kami semua mengira kau kencan dengan Pak Javier, kau tahu melakukan seks bukan hal yang tabu lagi, tentu saja kami berpikir kau dan Pak Javier sudah melakukannya, dan kau semakin mempertegasnya dengan pesan yang kau kirimkan.” Ahra melipat tangan di depan dada. Dia mendelik ke Anna. “Aku salah mengirimkan pesan ke grup chat divisi kita saja, bukan ke grup all divisi. Pasti ada seorang oknum yang menyebarkan itu.” Anna melihat ke arah lain dan berkata, “yang jelas bukan aku.” Ahra menghela napas kasar. Sudah jelas sekali siapa yang menyebarkannya.
Anna : Kau satu kamar dengan Pak Javier? Jenni : Aku kira omongan kau yang kencan dengan Pak Javier hanya gossip saja. Ternyata benar Anna : Apa sebentar lagi kau akan menikah, Ahra? Seratus lebih chat di grup divisinya. Ahra hanya membaca beberapa saja, toh itu sudah menjelaskan mengapa teman divisinya beranggapan seperti itu. Dia salah mengirimkan chat! Harusnya ke grup yang berisi dirinya, Celine dan Jake. Malah mengirimkannya ke grup divisi. Ingin menarik pesan tersebut tapi pesan tersebut sudah dikirim selama berjam-jam dan tidak ada tanggapan sama sekali darinya. Jika dia menariknya sekarang dan berdalih salah mengirimkan pesan. Itu tidak akan mengubah pandangan teman-teman kerjanya yang sudah mendoktrik pikiran mereka jika Ahra memang tengah punya hubungan dengan Javier. Ahra mematikan ponselnya. Dia tidak ingin membaca chat dari siapa pun, walaupun itu tidak d
Javier hendak memakai kacamatanya, guna melihat lebih jelas pekerjaan yang belum diselesaikannya lewat tablet. Biasa bekerja dengan tenang agar lebih konsentrasi, dia benar-benar tidak bisa bekerja dengan suara bising. Apa lagi suara nyanyian sumbang dari wanita yang sedang mengacak kopernya sendiri untuk mencari pakaian. Javier awalnya ingin mengusik Ahra, membuat wanita itu canggung dan tidak nyaman karena harus satu kamar dengannya. Tapi malah Javier yang terusik dengan wanita itu. “Hei.” Javier mencoba memanggilnya. Wanita itu hanya meliriknya sekilas, tidak mengidahkan panggilan Javier. Javier bedecak. “Ahra.” Kali ini dia memanggil nama wanita itu. “Ada apa?” “Apa kau pernah mencoba karaoke yang terdapat score menyanyinya?” Javier balik bertanya Ahra menggeleng, senyum wanita itu mengembang. “Kenapa? Suaraku bagus sekali ya? Aku sudah menduganya! Aku se