Celine: Ahra. Jangan pulang lewat jam 7 pagi
Celine: Besok kau ada interview di kantorku.
“Hai.”
Sapaan singkat dengan warna suara yang terdengar berat itu berhasil membuat fokusnya yang tertuju pada ponsel, beralih pada pria jangkung yang berdiri di sampingnya.
Bibir layaknya apel yang matang itu tersenyum tipis. Dan memberikan anggukan kecil sebagai balasan positif.
Pria itu menjulurkan tangannya lebih dulu, hendak bersalaman. “Aku pemilik akun bernama Leo. Tapi karena sudah bertemu, sepertinya kau harus mengenal nama asliku. Kau bisa memanggilku Javier,” ucapnya menyebut nama.
Wanita yang menjadi lawan bicaranya pun membalas uluran tangannya. “Panggil saja aku Mariana. Well¸ itu namaku.”
Pria itu tampak sedikit terkejut. “Oh jadi nama mu memang Mariana?”
Wanita yang menyebut dirinya itu Mariana, mengangguk kecil.
Tatapan matanya yang memikat dibuatnya agar terilhat meyakinkan. Sampai dia yakin bahwa pria disampingnya ini tidak akan tahu dirinya tengah berbohong mengenai identitasnya.
Lelaki brengsek yang kebetulan sedang sial, akan bertemu dengannya sebagai Mariana.
Menyembunyikan identitas aslinya yang sebenarnya bernama Ahra. Lulusan S1 salah satu kampus ibukota, yang masih kerja berpindah-pindah karena statusnya sebagai karyawan kontrak.
Pria itu menaruh gelas yang ada di genggamannya. “Kau mau minum apa?” tanyanya dengan suara baritone.
“Long island iced tea.”
“Oh, kau bisa minum yang kadar alcoholnya tinggi juga?”
Ahra mengedikan bahu. “Begitulah.”
Terbiasa dengan dunia malam, hanya minum beberapa gelas tidak akan membuatnya mabuk dengan mudah. Jadi aman jika dia menghabiskan satu gelas minuman beralcohol kemudian dilanjutkan dengan obrolan intim di kamar nanti.
“Oke. Aku pesankan ya.”
Javier melangkah menuju bartender guna memesankan minuman yang disebut oleh Ahra.
Ahra menutup sebelah matanya, tangan mengukur jarak bahu Javier dari jauh. Dia bersiul pelan dan menjilat bibir bawahnya. Karena yakin malam ini akan mendapatkan mangsa yang sempurna.
Tak butuh waktu lama bagi pria itu membawakan dua minuman yang serupa ke meja yang mereka tempati.
“Untukmu.”
Javier menaruh gelas tersebut di depan Ahra. Seraya pria itu duduk di samping Ahra, dan mulai meneguk minumannya lebih dulu.
Lewat pelupuk matanya, diam-diam Ahra memperhatikan Javier.
Tubuh pria itu kekar. Terlihat jelas dari kemeja yang pas di tubuhnya sehingga tampak menerawang, terlebih lagi dengan lengan kemeja panjang yang digulungnya. Wajahnya diukir sempurna oleh Tuhan. Hidung mancung, bulu mata yang panjang dengan alis yang tampak tegas. Ah –Ahra juga yakin pasti jika disentuh kulit porselen pria itu lebih halus dari pada kulitnya.
“Sudah puas memperhatikanku?” tanya Javier. Ternyata pria itu sadar sedang diperhatikan.
Bukan Ahra namanya, kalau berlagak menjadi gadis polos saat menjadi Mariana. “Belum,” jawabnya setengah berbisik tepat di telinga pria itu, menyentuh tengkuk Javier dengan gerakan pelan. “Aku ingin lihat yang lebih.”
Javier menoleh sehingga hidung mereka bersentuhan. Dapat Ahra lihat bahwa pria itu heterochromia memiliki iris mata yang berbeda warna, biru seperti lautan dan emerald layaknya batu giok. Unik.
“Warna mata mu cantik,” ucap Ahra tanpa sadar. “Aku baru pertama kali lihat seseorang yang memiliki heterochromia.”
Javier tersenyum miring. “Jika nanti kau melihat yang seperti ini lagi. Sudah dipastikan itu adalah aku.”
Ahra menjauhkan wajahnya dari Javier. Memberikan jarak antar mereka seperti semula. “Aku tidak pernah bertemu kembali dengan pria yang sudah one night stand denganku.”
Tentu saja. Ahra akan menghilang layaknya Cinderella ketika berhasil memeras dompet korbannya. Bedanya, tidak akan pernah ada yang berhasil menemukannya lagi. Termasuk Javier. Akan Ahra pastikan itu.
“Berarti aku akan menjadi satu-satunya pria yang akan bertemu denganmu, setelah kita menghabiskan malam bersama,” ujar Javier yakin.
Ahra mendengus, dia mengambil gelas yang sudah disuguhkan padanya, meminum perlahan liquid yang ada di sana perlahan, hingga habis seperempat. “Coba saja kalau bisa,” tantang Ahra.
“Kalau bisa. Aku akan mendapatkan apa?”
Ahra menaikan sebelah alisnya. “Aku akan menuruti seluruh keinginanmu.”
Javier tampak tertarik dengan ditandai tawa pelan darinya. “Sepertinya jika nanti kita bertemu kembali. Kita harus membuat perjanjian ini di atas materai agar kau tidak kabur.”
Ahra yang tampak masa bodoh menjawab, “tentu saja. Siapa takut.”
Seorang pria yang memakai seragam layaknya bodyguard menghampiri mereka yang tengah berbincang, dia membisikan sesuatu kepada Javier.
“Mariana, bagaimana kalau kita melanjutkan obrolan di kamar?”
Ahra melihat sekilas jam tangan yang dipakainya, sudah hampir jam 11 malam. Dia harus keluar dari tempat ini sebelum pukul 3 pagi. Waktu yang pas melancarkan aksinya sekarang.
“Boleh.”
Bodyguard itu menunjukan jalan menuju kamar VVIP yang Javier pesan. Javier sendiri menggenggam tangan Ahra tanpa sungkan seolah mereka sepasang kekasih.
Benar sih. Kekasih satu malam.
Dan status itu akan berakhir ketika Ahra sudah keluar dari kamar yang mewah ini.
Ahra duduk di ranjang berukurang king size, menunggu Javier mengunci pintu.
Ada yang berbeda di sini.
Biasanya, setelah masuk kamar Ahra akan bersiap mengeluarkan ponselnya. Berlagak manis dan meminta korbannya untuk meninggalkannya sendiri.
Tapi, kenapa sekarang dia merasakan euphoria tersendiri ketika melihat Javier berjalan ke arahnya seraya melepaskan kancing kemejanya sendiri. Ada gejolak aneh pada tubuhnya, yang belum pernah Ahra rasakan.
“Matikan saja ya. Aku lebih suka melakukannya saat gelap.”
Tanpa persetujuan dari Ahra. Javier mematikan lampu kamar dan hanya menyisahkan lampu tidur saja sehingga membuat kamar ini terasa temaran.
Namun Ahra tampak melihat jelas tubuh atletis Javier tanpa terhalang kemeja.
Ahra terasa tercekat ketika Javier sudah ada di depannya, membungkukan tubuhnya agar sejajar dengan Ahra. Ahra terkurung dalam kukungannya.
“Kau… tidak mau mandi dulu? Bukankah lebih enak melakukannya setelah bersih-bersih?” Ahra mencoba dengan alibinya. Meski dia yakin kali ini tidak terlihat meyakinkan sama sekali.
Javier tersenyum miring. “Untuk apa? Toh, setelah selesai kita akan mandi bersama ‘kan.”
Javier menipiskan jarak antara mereka, pria itu memberikan sentuhan pada tengkuk belakang Ahra. Dengan ciuman tipis pada bahu polosnya.
Brengsek! Tubuhnya semakin memanas hanya karena sentuhan kecil, Ahra membatin.
Tubuhnya terasa disengat aliran listrik kecil tiap Javier memberikan ciuman pada bagian tubuhnya yang terekspos.
Abort mission. Dia harus menyelesaikan ini segera saat sadar dirinya terangsang.
Shit. Kenapa tubuhnya jadi mudah terangsang seperti ini? Ayolah. Bahkan untuk mendapatkan kepuasan dengan melakukannya sendiri pun, Ahra sudah tidak mau sejak kejadian beberapa tahun lalu. Kenapa rasanya dia jadi mudah ditaklukan oleh stranger?
“Tunggu.” Ahra menahan tubuh Javier, ketika pria itu berniat menurunkan resleting bodycon dress yang dia kenakan.
Javier tampak tak menghiraukannya, setelah menurunkan resleting dress. Dia mendorong pelan tubuh Ahra hingga berbaring.
“Aku bukan tipe yang suka dipuaskan. Biar aku saja yang memuaskan mu, sayang.”
Javier mengeluarkan semacam obat dalam kantung celananya. Memasukan obat itu ke dalam mulutnya, kemudian meminum air yang ada di nakas samping ranjang.
Awalnya. Ahra mengira pria itu meminum obat perangsang atau obat kuat semacamnya.
Sampai Javier menutup hidung Ahra dengan tangannya hingga dia hanya bisa bernapas lewat mulut. Dan dari sanalah Javier mencium Ahra, membuat Ahra terpaksa menelam obat yang ternyata Javier siapkan untuk dirinya.
Ahra membelalakan mata saat menyadari itu. Sial, apa yang sudah masuk ke tubuhnya itu?
“Hei. Apa yang kau lakukan?!” tegasnya. Berusaha memberontak dari kuncian tubuh Javier.
Sayangnya Javier lebih kuat dari pada dirinya. “Hanya ingin membuatmu tidak akan melupakanku.”
Lagi, Ahra salah mengira jika obat yang tertelan olehnya adalah semacam obat perangsang. Namun ternyata, yang dia rasakan saat ini adalah kesadarannya yang perlahan mengilang
Wajah tampan Javier yang pada detik sebelumnya tertangkap oleh pengelihatannya. Kini digantikan oleh kegelapan ketika matanya menutup total.
Netra yang menggunakan softlens itu mengerjap. Kepalanya terasa pening, dia memijatnya pelan. Saat matanya terbuka sempurna, dalam seperkian detik dia baru menyadari bahwa pria yang menghabiskan malam dengannya, tidak tertangkap dalam pengelihatnya, bahkan dalam setiap sudut kamar. Tak ada satu orangpun di sini selain dirinya. Sekilas, samar-samar dia mengingat kejadian semalam. Kembali menjabarkan ulang reka adegan saat bertemu dengan Javier. Begini susunan yang ada di otak Ahra; mereka bertemu saat jam menunjukan hampir tengah malam, kemudian Javier memesan minuman untuk Ahra. Dan setelahnya, mereka melanjutkan kegiatan di kamar yang sudah Javier pesan. Kemudian ketika di kamar, Javier mengunci pintu. Pria itu mendekatinya dengan membuka kemejanya perlahan. Ahra menyentuh bibirnya. “Shit, aku masih dapat merasakan ciuman dari pria itu,” umpatnya. Dari potongan ingatannya y
Kemeja putih dan celana panjang hitam, dengan rambut yang diikat satu. Ini adalah interview kesekian setelah lulus kuliah yang bahkan sudah tidak bisa dirinya hitung lagi karena terlalu sering berpindah kantor. Jadi bagi Ahra, interview adalah hal mudah. Sama mudahnya dengan menjebak pria kaya, kecuali pria bernama Javier. Ahra merasa dijebak dengan pria itu sampai detik ini. “Zayn!” Suara Celine yang tengah memanggil seseorang, membuat Ahra tersadar dari lamunannya. Ah, pria itu, kalau tidak salah, dia adalah salah satu mantan Celine. Ahra juga yakin dirinya pernah berkenalan dengan pria itu, Celine saja sampai tidak memperkenalkan Ahra lagi pada Zayn. Sahabatnya yang satu ini, memang sering berganti teman kencan entah apa maksudnya. Celine memang tertutup dalam hal cinta. “Zayn, aku minta tolong antar Ahra ke HRD yang akan menginterviewnya.”
Ahra terkejut setengah mati melihat foto yang berisi gambaran dirinya tidak mengenakan satu helai benang pun. Secepat kilat dia bergerak maju mengambil foto tersebut dan kembali pada posisi semula. Memberi jarak aman antara dirinya dan Javier.“Ini pelecehan. Aku bisa melaporkan mu,” pekik Ahra Tawa Javier semakin terdengar geli. Tak ada takutnya sama sekali, mungkin dia menganggap punya kekuasaan lebih di sini sehingga Ahra tidak mungkin bisa melawannya. “Kenapa kau tertawa? Apa kau pikir itu tidak mungkin?” “Memangnya orang biasa seperti mu bisa melawan CEO sepertiku?” Javier balik bertanya, nada suaranya terdengar meremehkan.“Aku memang melamar sebagai pekerja kantoran di sini. Tapi jangan salah sangka, ayahku adalah pemilik salah satu firma hukum terbesar di negara ini.” “Aku tahu. Aku menyelidiki semua tentang mu,” jawab Javier, “aku juga tahu sisi mengenaskan mu, di mana kau dibuang
“Aku menuntut penjelasan mu, sekarang,” ucap Celine penuh penekanan pada akhir kalimatnya. Mereka berada di rooftop lantai dua setelah membeli makanan di cafeteria kantor, menumpukan tangan mereka pada batasan rooftop. Seharusnya, Anna yang mengantar Ahra untuk keliling kantor pada hari pertama. Namun, Celine menawarkan diri menggantikan Anna. Tentu saja bukan tanpa alasan Celine menggantikan Anna. Celine ingin tahu detail mengapa Ahra bisa langsung lolos tanpa interview. Meski dirinya pun berpikir hal konyol yang kemungkinan kecil terjadi. Temannya yang bodoh ini, merayu CEO Javier yang dingin itu dengan tubuhnya. “Penjelasan yang mana?” tanya Ahra tampak tak berminat. Dia mengulum es krim vanilla yang tersisa separuh dari cup kecil. “Kenapa kau bisa diterima langsung atas rekomendasi Pak Javier? Kemudian ditempatkan di departemen sekretaris tim utama. Aku saja bisa masuk ke tim ini s
“Wanita tadi mengacungkan jar tengahnya padamu.” Ares mendengus kembali mengingat kejadian beberapa saat lalu. Dia mengenal Javier, jauh dari pada orangtua Javier mengenal anaknya sendiri. Sifat tegas, otoriter dan tak segan memberikan hal buruk pada tiap orang yang tidak disukainya, itu melekat bertahun-tahun dalam diri Javier, Ares yakin orang yang bertemu dengan Javier pertama kali pun juga akan berpikir demikan, terbaca sekali dari sorot mata dingin itu. Dan wanita yang tidak Ares ketahui namanya itu. Ares kagum pada keberaniannya. “Aku lebih heran jika dia membungkuk hormat padaku setelah aku membalikan tubuh dan berjalan menjauh,” jelas Javier seraya membalikan lembar dokumen yang ada di tangannya. Javiver berbicara dengan Ares yang meluangkan waktu untuknya. Tapi pandangan Javier fokus pada hal lain. Ares yang merasa heran, karena setiap kali datang ke kantor Javier,
“Ahra, gajimu sudah lebih dari cukup. Aku rasa kau tidak perlu menipu banyak pria lagi.” “Iya memang. Itu artinya, ini adalah hari pertama aku tidak memeras uang dari korbanku dengan jumlah yang fantastis lagi.” Ahra tidak menghiraukan nasihat dari Celine, dia sibuk menyemprotkan parfume pada tengkuknya hingga menguar aroma coco eau de parfume Chanel dari tubuhnya. Celine mendengus kesal. “Kau tidak kapok juga ya setelah berurusan dengan pak Javier.” Ahra mengedipkan sebelah matanya dan menjentikan jari. “Justru setelah bertemu dengannya aku jadi semakin bernafsu menipu para pria brengsek seperti CEO kita itu. Mendapatkan uang mereka dan menghibur diri dengan menipu mereka. Istilahnya sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.” Wanita seusia Ahra itu menghembuskan nafas kasar. “Aku tidak bisa membedakan, siapa yang lebih brengsek antara kau dengan para pria yang kau tipu itu.” Ahra tertawa p
Javier mendengus geli melihat ekspresi ketakutan yang Ahra tunjukan. Apa wanita itu sedang berpura-pura menjadi korban pemerkosaan untuk memeras Javier? Ah… jadi begitu cara Ahra memeras para korbannya.Javier akan lihat seberapa hebatnya acting wanita itu.“Kenapa kau takut begitu?” Javier menghimpitnya, dengan kedua tangannya yang berada di sisi tubuh Ahra, berjaga agar wanita yang jauh lebih muda darinya tak bisa kabur.Javier dapat merasakan tubuh Ahra gemetar hebat, bahkan tak berkutik sama sekali.“Menjauh dariku,” cicit wanita itu.Bahkan untuk menatap matanya pun, Ahra tak mau. Berbeda dengan pandangan Ahra waktu pertama kali Javier mengerjai wanita itu dengan menggunakan obat perangsang.Wajah ketakutan Ahra, walau Javier berpikir wanita itu tengah berbohong. Tetap saja Javier kesal melihatnya.Javier terbiasa dengan dunia malam. Dia tidak memungkiri bahwa dirinya bisa dibilang brengsek juga sama seperti Ahra.Sudah menjadi kebiasaan baginya berkenalan dengan seorang wanita,
Dia menyereput espresso yang belum lama sampai di mejanya. Rasa pahit mengalir bebas di tenggorokannya, namun dia tetap menikmatinya. “Ahra di mana? Sampai di ibukota aku langsung ke sini karena aku kira Ahra akan ikut kau.” “Dia belum bisa masuk kerja, Jake,” balas Celine seraya meneguk teh hijau pesanannya. “Apa kondisinya separah itu?” tanya Jake dengan ekspresi khawatir. Celine menghembuskan napas berat. “Hampir mirip seperti waktu kau berhasil menemukannya setelah Mark menyekapnya.” &nb
“Aku kira kau lupa denganku.” Jake masih terus menyindirnya karena perdebatan pria itu dengan Javier yang ingin mengantar Ahra pulang. Walaupun Ahra sudah memilih untuk pulang bersama Jake. Ahra berdecak. “Masih saja dibahas.” “Aku akan membahas terus jika aku mengingat hari ini,” timpal Jake, “aku menunggmu lama sekali. Dan aku tidak bisa masuk ke restoran tersebut karena katanya sedang di sewa. Aku tak menyangka ternyata Javier yang menyewanya hanya untuk makan malam bersama mu.” “Sudah kubilang bukan begitu.” “Nyatanya yang aku lihat begitu. Kau mau alasan seperti apa lagi?” Pria itu masih merajuk, seperti seorang kekasih yang memergoki wanitanya tengah kencan dengan pria lain. Hapal dengan perangai Jake. Ahra jadi sama sekali tidak ingin meluruskan apa pun. Wanita itu mengibaskan tangannya masa bodo, “terserah kau saja ingin berpikiran seperti apa.”
"Hei. Ada karyawanmu yang menyebalkan, sepertinya dia tidak tahu aku adalah teman dekatmu. Kau sebagai atasannya-" "Stop," potong Javier. Pria itu melepas kacamatanya, menaruh dokumen yang dia pegang di atas meja kerjanya. Alis Ares bertaut, menunjukan kebingungannya. “Ada yang salah dengan bicaraku?” “Ya,” balas Javier, dia menunjuk sahabatnya yang baru-baru ini datang lagi ke kantornya, setelah tanpa rasa bersalah meninggalkan Javier dan Ahra berdua di restoran. “Berhenti menyebut statusku di kantor ini sebagai atasan.” “Hah?” Javier mengedikan bahu. “Belakangan ini aku tidak suka kata-kata itu. Terkesan sombong.” “Kau bicara apa sih, gila?” Ares semakin tidak mengerti, “padahal kau mati-matian merebut posisi sebagai CEO di perusahaan ini.” Javier tidak menanggapi celotehan Ares. Dia kembali mengecek berkas yang harus dia tanda tangani. Terlihat tenang dari luar. Tidak seperti dengan isi kepalanya yang berisik. Ucapan Ares kembali membuatnya mengingat kejadi
Ares : Kado dariku tahun ini. Ku undang wanita yang kau incar itu di acara muAres : Aku tidak ingin mengganggumu. Jadi selamat menikmati waktumu dengannyaAres beruntung karena terlalu lelah Javier sedang tidak bernafsu untuk memaki sahabatnya itu karena mendatangkan Ahra ke tempat ini dan meninggalkan dirinya berdua saja dengan Ahra.Javier menyimpan ponselnya di saku celana.Dia memperhatikan wanita itu dari jauh. Wanita yang tengah melihat lukisan di dinding seolah mengabaikan Javier yang melangkah mendekatinya.Ahra tampak rapih dengan dress navy yang kontras dengan kulit porselennya. Wanita itu tidak mungkin pulang ke rumah lebih dulu untuk berpenampilan serapih itu. Ini pasti ulah sahabatnya. Pantas saja Ares memilih menetap di kantor Javier sampai sore, ternyata untuk membawa Ahra ke sini."Hei," panggil Javier.Ahra masih tidak menoleh, tapi dia membalas dengan ucapan pedasnya seperti biasa, "siapa yang kau panggil itu? Aku punya nama."Javier berdecak sebelum memanggil ulang
“Pak Javier memintamu ke ruangannya. Katanya dia mau kau yang menemaninya meeting.” Celine mendatangi mejanya, dia menaruh lembaran dokumen di atas meja Ahra. Ahra berdehem kemudian batuk keras beberapa kali. Teman divisinya yang lain sampai menoleh, padahal pagi tadi wanita itu baik-baik saja. “Aku sedang tidak enak badan.” Ahra mengambil tangan Celine, menaruh punggung tangan sahabatnya itu di dahinya. Sambil berdoa dalam hati semoga dahinya terasa panas, hasil dari mendiamkan termos yang sedikit panas di dahinya. “Panas sekali.” Celine menarik tangannya. Wanita itu menaikan sebelah alisnya, “padahal tadi kau baik-baik saja, Ahra.” Ahra mengangkat bahunya. “Sepertinya aku demam, kurang istirahat. Bisa minta tolong gantikan tugasku hari ini?” Celine tetap mengangguk walau memandang sahabatnya itu penuh ke curigaan. “Kau akan pulang lebih cepat?” Ahra
"Kau... semalam benar-benar tidak menyentuhku 'kan?" tanya Ahra penuh dengan nada kecurigaan. Javier mendengus. Pandangannya masih tertuju ke jalan, tanpa melihat Ahra yang duduk di kursi penumpang, dia menjawab, "sudah ketiga kalinya kau menanyakan hal ini. Sudah kubilang kalau kau tidak percaya padaku, lihat saja CCTV rumahku." Ahra tidak mau memalukan dirinya sendiri jika kecurigaan yang dia tuduhkan pada Javier itu salah. Tapi di satu sisi dia sama sekali tidak percaya perkataan pria itu. Saat membersihkan diri tadi, bagian bawahnya terasa sakit dan terdapat sedikit cairan yang lengket. Rasanya tidak mungkin dia masturbasi pada saat mabuk. Pasti ada sesuatu! Dia yakin sekali! Dia butuh sesuatu pemancing yang membuatnya ingat apa yang terjadi saat dirinya mabuk. Ahra memicingkan mata. "Bisakah kau beri tahu kenapa semalam aku bisa sampai berada di rumahmu? Aku butuh sesuatu hal yang membuat aku ingat kejadian semalam." Dengan tiba-tiba Javier menginjak remnya.
Aku yakin kau yang lebih dulu jatuh cinta padanya. Kalimat yang Ares katakan menghantui isi kepalanya. Javier menggelengkan kepalanya pelan mengenyahkan perkataan Ares yang mengusiknya. Tanpa sadar dia berkata dengan mulutnya sendiri. “Tidak. Aku tidak menyukainya.” Sayangnya dia mengatakan hal itu dengan suara agak lantang sehingga penghuni table sebelahnya menoleh bingung. Tapi Javier tidak menyadarinya, karena matanya tertuju pada seorang wanita yang duduk di bartender dengan pakaian minim dan sedang berbincang dengan seorang pria. Yang sangat Javier yakini pria itu bukanlah teman si wanita yang Javier buntuti. Hari ini weekend. Seolah mengenal lama, dia tahu kebiasaan Ahra mengunjungi club malam untuk mencari para korban. Pria yang malam ini menjadi korban wanita mematikan itu, harusnya berterima kasih pada Javier karena Javier hari ini mengikuti Ahra.
“Sepertinya anakmu tumbuh dengan baik, Ahra.” Anna meledeknya mengusap perut rata Ahra. Ahra menepisnya kasar dan itu membuat Anna tertawa geli. Diikuti dengan Celine dan Jenni yang juga masih berada di ruang kerja mereka. “Orang gila mana yang berpikir aku sedang hamil anak Pak Javier?” gerutu Ahra. “Satu perusahaan,” sahut Jenni, “kami semua mengira kau kencan dengan Pak Javier, kau tahu melakukan seks bukan hal yang tabu lagi, tentu saja kami berpikir kau dan Pak Javier sudah melakukannya, dan kau semakin mempertegasnya dengan pesan yang kau kirimkan.” Ahra melipat tangan di depan dada. Dia mendelik ke Anna. “Aku salah mengirimkan pesan ke grup chat divisi kita saja, bukan ke grup all divisi. Pasti ada seorang oknum yang menyebarkan itu.” Anna melihat ke arah lain dan berkata, “yang jelas bukan aku.” Ahra menghela napas kasar. Sudah jelas sekali siapa yang menyebarkannya.
Anna : Kau satu kamar dengan Pak Javier? Jenni : Aku kira omongan kau yang kencan dengan Pak Javier hanya gossip saja. Ternyata benar Anna : Apa sebentar lagi kau akan menikah, Ahra? Seratus lebih chat di grup divisinya. Ahra hanya membaca beberapa saja, toh itu sudah menjelaskan mengapa teman divisinya beranggapan seperti itu. Dia salah mengirimkan chat! Harusnya ke grup yang berisi dirinya, Celine dan Jake. Malah mengirimkannya ke grup divisi. Ingin menarik pesan tersebut tapi pesan tersebut sudah dikirim selama berjam-jam dan tidak ada tanggapan sama sekali darinya. Jika dia menariknya sekarang dan berdalih salah mengirimkan pesan. Itu tidak akan mengubah pandangan teman-teman kerjanya yang sudah mendoktrik pikiran mereka jika Ahra memang tengah punya hubungan dengan Javier. Ahra mematikan ponselnya. Dia tidak ingin membaca chat dari siapa pun, walaupun itu tidak d
Javier hendak memakai kacamatanya, guna melihat lebih jelas pekerjaan yang belum diselesaikannya lewat tablet. Biasa bekerja dengan tenang agar lebih konsentrasi, dia benar-benar tidak bisa bekerja dengan suara bising. Apa lagi suara nyanyian sumbang dari wanita yang sedang mengacak kopernya sendiri untuk mencari pakaian. Javier awalnya ingin mengusik Ahra, membuat wanita itu canggung dan tidak nyaman karena harus satu kamar dengannya. Tapi malah Javier yang terusik dengan wanita itu. “Hei.” Javier mencoba memanggilnya. Wanita itu hanya meliriknya sekilas, tidak mengidahkan panggilan Javier. Javier bedecak. “Ahra.” Kali ini dia memanggil nama wanita itu. “Ada apa?” “Apa kau pernah mencoba karaoke yang terdapat score menyanyinya?” Javier balik bertanya Ahra menggeleng, senyum wanita itu mengembang. “Kenapa? Suaraku bagus sekali ya? Aku sudah menduganya! Aku se