Kemeja putih dan celana panjang hitam, dengan rambut yang diikat satu.
Ini adalah interview kesekian setelah lulus kuliah yang bahkan sudah tidak bisa dirinya hitung lagi karena terlalu sering berpindah kantor.
Jadi bagi Ahra, interview adalah hal mudah. Sama mudahnya dengan menjebak pria kaya, kecuali pria bernama Javier.
Ahra merasa dijebak dengan pria itu sampai detik ini.
“Zayn!”
Suara Celine yang tengah memanggil seseorang, membuat Ahra tersadar dari lamunannya.
Ah, pria itu, kalau tidak salah, dia adalah salah satu mantan Celine. Ahra juga yakin dirinya pernah berkenalan dengan pria itu, Celine saja sampai tidak memperkenalkan Ahra lagi pada Zayn.
Sahabatnya yang satu ini, memang sering berganti teman kencan entah apa maksudnya. Celine memang tertutup dalam hal cinta.
“Zayn, aku minta tolong antar Ahra ke HRD yang akan menginterviewnya.”
Pandangan Zayn teralihkan ke Ahra. “Kebetulan aku sendiri yang akan menginterview mu.” Kemudian menunjukan ibu jarinya pada Celine. “Tenang saja, temanmu akan aman denganku.”
Celine mengulum senyum kecil. “Terimakasih, Zayn.”
“Ayo, Ahra. Ikut denganku ke ruangan untuk interview.”
Ahra mengekor pada Zayn. Pria itu tak banyak bicara, hanya fokus ke ponselnya. Itu membuat Ahra semakin gelisah karena tak ada teman bicara.
Dan kegelisahannya itu semakin menjadi ketika mendengar percakapan antara Zayn dengan teman kerjanya yang lain.
Tidak, Ahra tidak menguping, hanya saja Zayn menspeaker obrolan di telepon ketika mereka sedang berada di lift berdua. Jadi Ahra dapat mendengarnya dengan jelas.
“Zayn, kau ada di mana?” tanya seseorang diujung telepon.
“Di lift, dengan peserta interview hari ini.”
“Cepat datang,” timpal teman kantornya dengan tergesa, “Pak Javier ingin menginterview langsung. Dan semua yang mendapatkan jadwal interview berkumpul di satu tempat. Kita akan menginterview mereka bersama Pak Javier.”
“Hah?!” Zayn terkejut, “apa mood dia lebih buruk dari pada biasanya sehingga menargetkan para calon karyawan?”
“Ah aku tidak tahu. Kau jangan telat datang. Dia akan memakanmu hidup-hidup jika dia datang lebih cepat dari pada kau.”
Sambungan telepon diputus sepihak. Zayn terlihat panik.
Namun Ahra lebih panik di sini mendengar nama Javier disebut Zayn! Mendengar nama itu bulu kuduk Ahra terasa meremang.
Ayolah jantung tetap tenang, ini bukan Javier yang mirip! 1 banding 1000 jika Ahra menemukan Javier yang sama di sini. Ahra membatin menenangkan dirinya sendiri.
“Kau boleh duduk di satu bangku kosong yang tersisa di sana, Ahra.”
Zayn dan Ahra masuk ke ruangan cukup besar bertuliskan Chief HR Officer.
Ahra melihat ada sekitar lima orang termasuk dirinya yang duduk di bangku yang sederet dengannya. Tanpa menebak jelas sekali mereka adalah orang yang mendapatkan undangan interview.
Dan di depan mereka , dibataskan oleh meja, ada dua bangku yang sudah di duduki sementara bangku yang di tengah masih kosong.
Pasti bangku itu yang nantinya akan di duduki oleh CEO dari tempatnya melamar ini.
“Selamat pagi, pak.”
Dari belakang tubuhnya, Ahra dapat mendengar suara langkah kaki yang memasuki ruangan. Dan dua orang HR di depannya berdiri seraya membungkukan badan sebagai bentuk hormat.
Otomatis, orang yang akan menjadi calon karyawan pun ikut berdiri dan membalikan tubuh mereka. Kemudian menundukan badan juga.
Bukannya malah-
“Aaa!”
-berteriak seolah tengah bertemu hantu. Seperti yang Ahra lakukan sekarang ini.
Mulutnya tak bisa diajak berkompromi untuk tidak spontan terkejut ketika tahu, Javier yang semalam menghabiskan malam dengannya, adalah Javier yang ternyata merupakan CEO tempatnya melamar kerja!
Kata-kata kotor menumpuk dalam benaknya membentuk kalimat sumpah serapah pada pria yang memiliki dua warna bola mata yang berbeda, yang kini tengah tersenyum simpul padanya.
Semua mata tertuju padanya. Menatap dengan dahi yang mengenyit keheranan.
Ahra tersenyum canggung, mengucapkan maaf hanya lewat gerakan bibir tanpa bersuara.
“Terima kasih,” ucap Javier memecah keheningan, “silahkan duduk.”
Semua yang berada di ruangan menunggu Javier duduk terlebih dahulu, sebelum mereka ikut duduk.
Ahra memperhatikan tiap gerak gerik Javier.
Pria itu membuka tiap berkas dari para pelamar, sebelum melihat ke lima orang yang duduk di depannya.
“Aku akan memulainya dari yang paling terakhir datang.”
Brengsek. Ahra kembali mengumpat dalam hati.
Kedua kalinya, Javier membuatnya menjadi pusat perhatian di ruangan ini.
***
Energinya sudah terkuras. Sumpah demi apa pun dia ingin segera berbaring di rumahnya yang mungil itu dan tidur hingga sore hari besoknya.
Persetan dengan dirinya yang diterima bekerja di sini, Ahra tidak ingin menginjakan kaki di sini lagi. Dia pun yakin, Javier menerimanya karena tujuan tertentu.
Ting!
Pintu lift terbuka.
Melihat siapa yang masuk ke lift dengan aura mengintimidasi itu. Ahra spontan mundur dengan langkah lebar hingga kini dirinya berdiri di sudut lift.
Dan lagi. Kenapa tidak ada yang masuk ke lift lagi setelah CEO yang tidak ingin Ahra temui itu?
“Kau masih belum pulang Mariana? Ah, maksudku Ahra.”
Apa pria itu tidak punya mata? Kalau Ahra sudah pulang pasti sekarang mereka tidak bertemu. Basa basi konyol untuk dalih sengaja ingin salah menyebutkan nama.
“Masih menunggu teman, pak.” Karena posisi jabatan antara mereka, Ahra pun tidak bisa memaki Javier seperti yang dia lakukan ketika seranjang dengan pria itu.
Tak ada obrolan lagi setelahnya.
Sampai di mana lift menuju ke lantai 5. Namun belum sempat Ahra keluar, Javier sudah menutup pintu lift dan kini menuju ke lantai 9. Lantai khusus untuk CEO.
“Hei! Mau apa kau?” Dia panik, tanpa sadar menyingkirkan kesopanan untuk menunjukan kekuatannya.
Ketika pintu terbuka. Javier menggendong Ahra di pundaknya dan menjatuhkan tubuh Ahra di sofa yang berada di ruangannya, tak peduli wanita itu berteriak.
Toh tidak akan ada yang mendengarnya.
“Bagaimana kalau kita mengulang kegiatan kita semalam? Kali ini aku ingin di rekam.”
Ahra membelalakan mata. Dia segera bangkit dari posisi tidurnya dan memberikan jarak antara dirinya dan Javier, “hei brengsek!”
Javier tertawa. “Kau memanggil diri mu sendiri?” sarkas Javier.
Ahra menunjuk Javier. Tangannya sama sekali tidak terlihat gemetar. “Kau memaksa ku meminum pil entah apa itu, kemudian aku tak sadarkan diri. Dan ketika aku sadar, aku berada di hotel berbeda dan hanya mengenakan selimut! Kau melakukannya tanpa persetujuan dari ku pria jahat!”
“Wow tenang dulu.” Javier mengeluarkan ponselnya, menunjukan chat antara mereka, di mana Ahra yang lebih dulu mengajak one night stand. “Di sini kau yang lebih dulu mengajakku. Dan kau bilang kita melakukannya tanpa persetujuan mu? Mungkin kalimat yang tepat adalah, kau kesal karena aku membuat mu tak sadarkan diri sehingga kau tidak bisa merasakan yang kita lakukan semalam.”
“Gila!” pekik Ahra, “membayangkan kau menyentuhku saja aku tidak mau! Apa lagi mengingat rasanya?”
“Padahal kau sempat terdiam waktu melihat aku membuka kemeja ku malam tadi.”
“Hei!” Wajah Ahra memerah padam. Bisa-bisanya bayangan tubuh Javier terlintas dalam otaknya. Dia ingin membalas, “ka-kau juga memperhatikan tubuhku.”
“Tentu saja, aku suka. Wajah cantik dengan bagian yang besar di tempat tertentu. Pria mana yang tidak menyukainya?”
Kemudian dia mengeluarkan beberapa lembar foto dari sakunya.
“Saking sukanya. Aku sampai mengabadikannya ketika kau tidak sadar.”
Ahra terkejut setengah mati melihat foto yang berisi gambaran dirinya tidak mengenakan satu helai benang pun. Secepat kilat dia bergerak maju mengambil foto tersebut dan kembali pada posisi semula. Memberi jarak aman antara dirinya dan Javier.“Ini pelecehan. Aku bisa melaporkan mu,” pekik Ahra Tawa Javier semakin terdengar geli. Tak ada takutnya sama sekali, mungkin dia menganggap punya kekuasaan lebih di sini sehingga Ahra tidak mungkin bisa melawannya. “Kenapa kau tertawa? Apa kau pikir itu tidak mungkin?” “Memangnya orang biasa seperti mu bisa melawan CEO sepertiku?” Javier balik bertanya, nada suaranya terdengar meremehkan.“Aku memang melamar sebagai pekerja kantoran di sini. Tapi jangan salah sangka, ayahku adalah pemilik salah satu firma hukum terbesar di negara ini.” “Aku tahu. Aku menyelidiki semua tentang mu,” jawab Javier, “aku juga tahu sisi mengenaskan mu, di mana kau dibuang
“Aku menuntut penjelasan mu, sekarang,” ucap Celine penuh penekanan pada akhir kalimatnya. Mereka berada di rooftop lantai dua setelah membeli makanan di cafeteria kantor, menumpukan tangan mereka pada batasan rooftop. Seharusnya, Anna yang mengantar Ahra untuk keliling kantor pada hari pertama. Namun, Celine menawarkan diri menggantikan Anna. Tentu saja bukan tanpa alasan Celine menggantikan Anna. Celine ingin tahu detail mengapa Ahra bisa langsung lolos tanpa interview. Meski dirinya pun berpikir hal konyol yang kemungkinan kecil terjadi. Temannya yang bodoh ini, merayu CEO Javier yang dingin itu dengan tubuhnya. “Penjelasan yang mana?” tanya Ahra tampak tak berminat. Dia mengulum es krim vanilla yang tersisa separuh dari cup kecil. “Kenapa kau bisa diterima langsung atas rekomendasi Pak Javier? Kemudian ditempatkan di departemen sekretaris tim utama. Aku saja bisa masuk ke tim ini s
“Wanita tadi mengacungkan jar tengahnya padamu.” Ares mendengus kembali mengingat kejadian beberapa saat lalu. Dia mengenal Javier, jauh dari pada orangtua Javier mengenal anaknya sendiri. Sifat tegas, otoriter dan tak segan memberikan hal buruk pada tiap orang yang tidak disukainya, itu melekat bertahun-tahun dalam diri Javier, Ares yakin orang yang bertemu dengan Javier pertama kali pun juga akan berpikir demikan, terbaca sekali dari sorot mata dingin itu. Dan wanita yang tidak Ares ketahui namanya itu. Ares kagum pada keberaniannya. “Aku lebih heran jika dia membungkuk hormat padaku setelah aku membalikan tubuh dan berjalan menjauh,” jelas Javier seraya membalikan lembar dokumen yang ada di tangannya. Javiver berbicara dengan Ares yang meluangkan waktu untuknya. Tapi pandangan Javier fokus pada hal lain. Ares yang merasa heran, karena setiap kali datang ke kantor Javier,
“Ahra, gajimu sudah lebih dari cukup. Aku rasa kau tidak perlu menipu banyak pria lagi.” “Iya memang. Itu artinya, ini adalah hari pertama aku tidak memeras uang dari korbanku dengan jumlah yang fantastis lagi.” Ahra tidak menghiraukan nasihat dari Celine, dia sibuk menyemprotkan parfume pada tengkuknya hingga menguar aroma coco eau de parfume Chanel dari tubuhnya. Celine mendengus kesal. “Kau tidak kapok juga ya setelah berurusan dengan pak Javier.” Ahra mengedipkan sebelah matanya dan menjentikan jari. “Justru setelah bertemu dengannya aku jadi semakin bernafsu menipu para pria brengsek seperti CEO kita itu. Mendapatkan uang mereka dan menghibur diri dengan menipu mereka. Istilahnya sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.” Wanita seusia Ahra itu menghembuskan nafas kasar. “Aku tidak bisa membedakan, siapa yang lebih brengsek antara kau dengan para pria yang kau tipu itu.” Ahra tertawa p
Javier mendengus geli melihat ekspresi ketakutan yang Ahra tunjukan. Apa wanita itu sedang berpura-pura menjadi korban pemerkosaan untuk memeras Javier? Ah… jadi begitu cara Ahra memeras para korbannya.Javier akan lihat seberapa hebatnya acting wanita itu.“Kenapa kau takut begitu?” Javier menghimpitnya, dengan kedua tangannya yang berada di sisi tubuh Ahra, berjaga agar wanita yang jauh lebih muda darinya tak bisa kabur.Javier dapat merasakan tubuh Ahra gemetar hebat, bahkan tak berkutik sama sekali.“Menjauh dariku,” cicit wanita itu.Bahkan untuk menatap matanya pun, Ahra tak mau. Berbeda dengan pandangan Ahra waktu pertama kali Javier mengerjai wanita itu dengan menggunakan obat perangsang.Wajah ketakutan Ahra, walau Javier berpikir wanita itu tengah berbohong. Tetap saja Javier kesal melihatnya.Javier terbiasa dengan dunia malam. Dia tidak memungkiri bahwa dirinya bisa dibilang brengsek juga sama seperti Ahra.Sudah menjadi kebiasaan baginya berkenalan dengan seorang wanita,
Dia menyereput espresso yang belum lama sampai di mejanya. Rasa pahit mengalir bebas di tenggorokannya, namun dia tetap menikmatinya. “Ahra di mana? Sampai di ibukota aku langsung ke sini karena aku kira Ahra akan ikut kau.” “Dia belum bisa masuk kerja, Jake,” balas Celine seraya meneguk teh hijau pesanannya. “Apa kondisinya separah itu?” tanya Jake dengan ekspresi khawatir. Celine menghembuskan napas berat. “Hampir mirip seperti waktu kau berhasil menemukannya setelah Mark menyekapnya.” &nb
“Javier!” Ares membuka ruangan Javier tanpa permisi. Selesai dengan jam prakteknya di rumah sakit milik kakeknya, dia langsung bergegas menemui Javier. Takut terjadi sesuatu pada sahabatnya karena selama seminggu ini tak kunjung memberi kabar. Namun… apa ini? Javier tengah duduk berhadap-hadapan dengan seorang pria yang Ares kenal adalah detective yang biasa Javier sewa. Obrolan mereka sepertinya amat serius sampai Javier tak menghiraukan kedatangan Ares. Tidak disuruh siapa pun, Ares duduk di samping Javier, ikut memperhatikan detective tersebut sedang membuka beberapa lembaran kertas yang berada di meja. “Kau kenapa memanggilnya lagi?” tanya Ares. Yang Ares maksud di sini tentu saja si detective. “Aku masih mencari tahu soal Ahra,” balas Javier. Ares terkekeh geli. Tak menyangka ada perubahan signifikan pada sahabatnya ini. Bahkan menyewa de
Bunga mawar sialan itu. Akhrinya kembali lagi pada tangan Ahra, Ahra mengambilnya dari Javier. Sengaja, sebab setelah melihat bunga tersebut ada di tangan Javier. Ahra merasa sedikit merasa bersalah. Tolong, perlu digaris bawahi, hanya sedikit. “Sa-saya alergi bunga, Pak!” Masa bodo dengan ucapan asal yang tercetus begitu saja dari mulut Ahra, yang paling penting sekarang dirinya harus keluar dari situasi memuakkan ini. Agar aktingnya lebih meyakinkan. Dia mencoba mencium wangi bunga mawar itu.“Ehm.” Ahra mengernyit, sialan, bunga itu sudah bau karena diambil dari tempat sampah, Ahra benar-benar benci sesuatu yang bau. “Bahkan untuk mencium bunganya saja tidak bisa.”Jake menepuk dahinya.Sementara Javier menimpali. “Ahra, beberapa detik yang lalu kau mencium bunga itu.”Shit. Ahra kembali mengumpat dalam hati. Baru menyadari perbuatan konyolnya yang spontan itu. “Tapi setelah mencium wangi bunga, biasanya saya akan bers