Kemeja putih dan celana panjang hitam, dengan rambut yang diikat satu.
Ini adalah interview kesekian setelah lulus kuliah yang bahkan sudah tidak bisa dirinya hitung lagi karena terlalu sering berpindah kantor.
Jadi bagi Ahra, interview adalah hal mudah. Sama mudahnya dengan menjebak pria kaya, kecuali pria bernama Javier.
Ahra merasa dijebak dengan pria itu sampai detik ini.
“Zayn!”
Suara Celine yang tengah memanggil seseorang, membuat Ahra tersadar dari lamunannya.
Ah, pria itu, kalau tidak salah, dia adalah salah satu mantan Celine. Ahra juga yakin dirinya pernah berkenalan dengan pria itu, Celine saja sampai tidak memperkenalkan Ahra lagi pada Zayn.
Sahabatnya yang satu ini, memang sering berganti teman kencan entah apa maksudnya. Celine memang tertutup dalam hal cinta.
“Zayn, aku minta tolong antar Ahra ke HRD yang akan menginterviewnya.”
Pandangan Zayn teralihkan ke Ahra. “Kebetulan aku sendiri yang akan menginterview mu.” Kemudian menunjukan ibu jarinya pada Celine. “Tenang saja, temanmu akan aman denganku.”
Celine mengulum senyum kecil. “Terimakasih, Zayn.”
“Ayo, Ahra. Ikut denganku ke ruangan untuk interview.”
Ahra mengekor pada Zayn. Pria itu tak banyak bicara, hanya fokus ke ponselnya. Itu membuat Ahra semakin gelisah karena tak ada teman bicara.
Dan kegelisahannya itu semakin menjadi ketika mendengar percakapan antara Zayn dengan teman kerjanya yang lain.
Tidak, Ahra tidak menguping, hanya saja Zayn menspeaker obrolan di telepon ketika mereka sedang berada di lift berdua. Jadi Ahra dapat mendengarnya dengan jelas.
“Zayn, kau ada di mana?” tanya seseorang diujung telepon.
“Di lift, dengan peserta interview hari ini.”
“Cepat datang,” timpal teman kantornya dengan tergesa, “Pak Javier ingin menginterview langsung. Dan semua yang mendapatkan jadwal interview berkumpul di satu tempat. Kita akan menginterview mereka bersama Pak Javier.”
“Hah?!” Zayn terkejut, “apa mood dia lebih buruk dari pada biasanya sehingga menargetkan para calon karyawan?”
“Ah aku tidak tahu. Kau jangan telat datang. Dia akan memakanmu hidup-hidup jika dia datang lebih cepat dari pada kau.”
Sambungan telepon diputus sepihak. Zayn terlihat panik.
Namun Ahra lebih panik di sini mendengar nama Javier disebut Zayn! Mendengar nama itu bulu kuduk Ahra terasa meremang.
Ayolah jantung tetap tenang, ini bukan Javier yang mirip! 1 banding 1000 jika Ahra menemukan Javier yang sama di sini. Ahra membatin menenangkan dirinya sendiri.
“Kau boleh duduk di satu bangku kosong yang tersisa di sana, Ahra.”
Zayn dan Ahra masuk ke ruangan cukup besar bertuliskan Chief HR Officer.
Ahra melihat ada sekitar lima orang termasuk dirinya yang duduk di bangku yang sederet dengannya. Tanpa menebak jelas sekali mereka adalah orang yang mendapatkan undangan interview.
Dan di depan mereka , dibataskan oleh meja, ada dua bangku yang sudah di duduki sementara bangku yang di tengah masih kosong.
Pasti bangku itu yang nantinya akan di duduki oleh CEO dari tempatnya melamar ini.
“Selamat pagi, pak.”
Dari belakang tubuhnya, Ahra dapat mendengar suara langkah kaki yang memasuki ruangan. Dan dua orang HR di depannya berdiri seraya membungkukan badan sebagai bentuk hormat.
Otomatis, orang yang akan menjadi calon karyawan pun ikut berdiri dan membalikan tubuh mereka. Kemudian menundukan badan juga.
Bukannya malah-
“Aaa!”
-berteriak seolah tengah bertemu hantu. Seperti yang Ahra lakukan sekarang ini.
Mulutnya tak bisa diajak berkompromi untuk tidak spontan terkejut ketika tahu, Javier yang semalam menghabiskan malam dengannya, adalah Javier yang ternyata merupakan CEO tempatnya melamar kerja!
Kata-kata kotor menumpuk dalam benaknya membentuk kalimat sumpah serapah pada pria yang memiliki dua warna bola mata yang berbeda, yang kini tengah tersenyum simpul padanya.
Semua mata tertuju padanya. Menatap dengan dahi yang mengenyit keheranan.
Ahra tersenyum canggung, mengucapkan maaf hanya lewat gerakan bibir tanpa bersuara.
“Terima kasih,” ucap Javier memecah keheningan, “silahkan duduk.”
Semua yang berada di ruangan menunggu Javier duduk terlebih dahulu, sebelum mereka ikut duduk.
Ahra memperhatikan tiap gerak gerik Javier.
Pria itu membuka tiap berkas dari para pelamar, sebelum melihat ke lima orang yang duduk di depannya.
“Aku akan memulainya dari yang paling terakhir datang.”
Brengsek. Ahra kembali mengumpat dalam hati.
Kedua kalinya, Javier membuatnya menjadi pusat perhatian di ruangan ini.
***
Energinya sudah terkuras. Sumpah demi apa pun dia ingin segera berbaring di rumahnya yang mungil itu dan tidur hingga sore hari besoknya.
Persetan dengan dirinya yang diterima bekerja di sini, Ahra tidak ingin menginjakan kaki di sini lagi. Dia pun yakin, Javier menerimanya karena tujuan tertentu.
Ting!
Pintu lift terbuka.
Melihat siapa yang masuk ke lift dengan aura mengintimidasi itu. Ahra spontan mundur dengan langkah lebar hingga kini dirinya berdiri di sudut lift.
Dan lagi. Kenapa tidak ada yang masuk ke lift lagi setelah CEO yang tidak ingin Ahra temui itu?
“Kau masih belum pulang Mariana? Ah, maksudku Ahra.”
Apa pria itu tidak punya mata? Kalau Ahra sudah pulang pasti sekarang mereka tidak bertemu. Basa basi konyol untuk dalih sengaja ingin salah menyebutkan nama.
“Masih menunggu teman, pak.” Karena posisi jabatan antara mereka, Ahra pun tidak bisa memaki Javier seperti yang dia lakukan ketika seranjang dengan pria itu.
Tak ada obrolan lagi setelahnya.
Sampai di mana lift menuju ke lantai 5. Namun belum sempat Ahra keluar, Javier sudah menutup pintu lift dan kini menuju ke lantai 9. Lantai khusus untuk CEO.
“Hei! Mau apa kau?” Dia panik, tanpa sadar menyingkirkan kesopanan untuk menunjukan kekuatannya.
Ketika pintu terbuka. Javier menggendong Ahra di pundaknya dan menjatuhkan tubuh Ahra di sofa yang berada di ruangannya, tak peduli wanita itu berteriak.
Toh tidak akan ada yang mendengarnya.
“Bagaimana kalau kita mengulang kegiatan kita semalam? Kali ini aku ingin di rekam.”
Ahra membelalakan mata. Dia segera bangkit dari posisi tidurnya dan memberikan jarak antara dirinya dan Javier, “hei brengsek!”
Javier tertawa. “Kau memanggil diri mu sendiri?” sarkas Javier.
Ahra menunjuk Javier. Tangannya sama sekali tidak terlihat gemetar. “Kau memaksa ku meminum pil entah apa itu, kemudian aku tak sadarkan diri. Dan ketika aku sadar, aku berada di hotel berbeda dan hanya mengenakan selimut! Kau melakukannya tanpa persetujuan dari ku pria jahat!”
“Wow tenang dulu.” Javier mengeluarkan ponselnya, menunjukan chat antara mereka, di mana Ahra yang lebih dulu mengajak one night stand. “Di sini kau yang lebih dulu mengajakku. Dan kau bilang kita melakukannya tanpa persetujuan mu? Mungkin kalimat yang tepat adalah, kau kesal karena aku membuat mu tak sadarkan diri sehingga kau tidak bisa merasakan yang kita lakukan semalam.”
“Gila!” pekik Ahra, “membayangkan kau menyentuhku saja aku tidak mau! Apa lagi mengingat rasanya?”
“Padahal kau sempat terdiam waktu melihat aku membuka kemeja ku malam tadi.”
“Hei!” Wajah Ahra memerah padam. Bisa-bisanya bayangan tubuh Javier terlintas dalam otaknya. Dia ingin membalas, “ka-kau juga memperhatikan tubuhku.”
“Tentu saja, aku suka. Wajah cantik dengan bagian yang besar di tempat tertentu. Pria mana yang tidak menyukainya?”
Kemudian dia mengeluarkan beberapa lembar foto dari sakunya.
“Saking sukanya. Aku sampai mengabadikannya ketika kau tidak sadar.”
Ahra terkejut setengah mati melihat foto yang berisi gambaran dirinya tidak mengenakan satu helai benang pun. Secepat kilat dia bergerak maju mengambil foto tersebut dan kembali pada posisi semula. Memberi jarak aman antara dirinya dan Javier.“Ini pelecehan. Aku bisa melaporkan mu,” pekik Ahra Tawa Javier semakin terdengar geli. Tak ada takutnya sama sekali, mungkin dia menganggap punya kekuasaan lebih di sini sehingga Ahra tidak mungkin bisa melawannya. “Kenapa kau tertawa? Apa kau pikir itu tidak mungkin?” “Memangnya orang biasa seperti mu bisa melawan CEO sepertiku?” Javier balik bertanya, nada suaranya terdengar meremehkan.“Aku memang melamar sebagai pekerja kantoran di sini. Tapi jangan salah sangka, ayahku adalah pemilik salah satu firma hukum terbesar di negara ini.” “Aku tahu. Aku menyelidiki semua tentang mu,” jawab Javier, “aku juga tahu sisi mengenaskan mu, di mana kau dibuang
“Aku menuntut penjelasan mu, sekarang,” ucap Celine penuh penekanan pada akhir kalimatnya. Mereka berada di rooftop lantai dua setelah membeli makanan di cafeteria kantor, menumpukan tangan mereka pada batasan rooftop. Seharusnya, Anna yang mengantar Ahra untuk keliling kantor pada hari pertama. Namun, Celine menawarkan diri menggantikan Anna. Tentu saja bukan tanpa alasan Celine menggantikan Anna. Celine ingin tahu detail mengapa Ahra bisa langsung lolos tanpa interview. Meski dirinya pun berpikir hal konyol yang kemungkinan kecil terjadi. Temannya yang bodoh ini, merayu CEO Javier yang dingin itu dengan tubuhnya. “Penjelasan yang mana?” tanya Ahra tampak tak berminat. Dia mengulum es krim vanilla yang tersisa separuh dari cup kecil. “Kenapa kau bisa diterima langsung atas rekomendasi Pak Javier? Kemudian ditempatkan di departemen sekretaris tim utama. Aku saja bisa masuk ke tim ini s
“Wanita tadi mengacungkan jar tengahnya padamu.” Ares mendengus kembali mengingat kejadian beberapa saat lalu. Dia mengenal Javier, jauh dari pada orangtua Javier mengenal anaknya sendiri. Sifat tegas, otoriter dan tak segan memberikan hal buruk pada tiap orang yang tidak disukainya, itu melekat bertahun-tahun dalam diri Javier, Ares yakin orang yang bertemu dengan Javier pertama kali pun juga akan berpikir demikan, terbaca sekali dari sorot mata dingin itu. Dan wanita yang tidak Ares ketahui namanya itu. Ares kagum pada keberaniannya. “Aku lebih heran jika dia membungkuk hormat padaku setelah aku membalikan tubuh dan berjalan menjauh,” jelas Javier seraya membalikan lembar dokumen yang ada di tangannya. Javiver berbicara dengan Ares yang meluangkan waktu untuknya. Tapi pandangan Javier fokus pada hal lain. Ares yang merasa heran, karena setiap kali datang ke kantor Javier,
“Ahra, gajimu sudah lebih dari cukup. Aku rasa kau tidak perlu menipu banyak pria lagi.” “Iya memang. Itu artinya, ini adalah hari pertama aku tidak memeras uang dari korbanku dengan jumlah yang fantastis lagi.” Ahra tidak menghiraukan nasihat dari Celine, dia sibuk menyemprotkan parfume pada tengkuknya hingga menguar aroma coco eau de parfume Chanel dari tubuhnya. Celine mendengus kesal. “Kau tidak kapok juga ya setelah berurusan dengan pak Javier.” Ahra mengedipkan sebelah matanya dan menjentikan jari. “Justru setelah bertemu dengannya aku jadi semakin bernafsu menipu para pria brengsek seperti CEO kita itu. Mendapatkan uang mereka dan menghibur diri dengan menipu mereka. Istilahnya sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.” Wanita seusia Ahra itu menghembuskan nafas kasar. “Aku tidak bisa membedakan, siapa yang lebih brengsek antara kau dengan para pria yang kau tipu itu.” Ahra tertawa p
Javier mendengus geli melihat ekspresi ketakutan yang Ahra tunjukan. Apa wanita itu sedang berpura-pura menjadi korban pemerkosaan untuk memeras Javier? Ah… jadi begitu cara Ahra memeras para korbannya.Javier akan lihat seberapa hebatnya acting wanita itu.“Kenapa kau takut begitu?” Javier menghimpitnya, dengan kedua tangannya yang berada di sisi tubuh Ahra, berjaga agar wanita yang jauh lebih muda darinya tak bisa kabur.Javier dapat merasakan tubuh Ahra gemetar hebat, bahkan tak berkutik sama sekali.“Menjauh dariku,” cicit wanita itu.Bahkan untuk menatap matanya pun, Ahra tak mau. Berbeda dengan pandangan Ahra waktu pertama kali Javier mengerjai wanita itu dengan menggunakan obat perangsang.Wajah ketakutan Ahra, walau Javier berpikir wanita itu tengah berbohong. Tetap saja Javier kesal melihatnya.Javier terbiasa dengan dunia malam. Dia tidak memungkiri bahwa dirinya bisa dibilang brengsek juga sama seperti Ahra.Sudah menjadi kebiasaan baginya berkenalan dengan seorang wanita,
Dia menyereput espresso yang belum lama sampai di mejanya. Rasa pahit mengalir bebas di tenggorokannya, namun dia tetap menikmatinya. “Ahra di mana? Sampai di ibukota aku langsung ke sini karena aku kira Ahra akan ikut kau.” “Dia belum bisa masuk kerja, Jake,” balas Celine seraya meneguk teh hijau pesanannya. “Apa kondisinya separah itu?” tanya Jake dengan ekspresi khawatir. Celine menghembuskan napas berat. “Hampir mirip seperti waktu kau berhasil menemukannya setelah Mark menyekapnya.” &nb
“Javier!” Ares membuka ruangan Javier tanpa permisi. Selesai dengan jam prakteknya di rumah sakit milik kakeknya, dia langsung bergegas menemui Javier. Takut terjadi sesuatu pada sahabatnya karena selama seminggu ini tak kunjung memberi kabar. Namun… apa ini? Javier tengah duduk berhadap-hadapan dengan seorang pria yang Ares kenal adalah detective yang biasa Javier sewa. Obrolan mereka sepertinya amat serius sampai Javier tak menghiraukan kedatangan Ares. Tidak disuruh siapa pun, Ares duduk di samping Javier, ikut memperhatikan detective tersebut sedang membuka beberapa lembaran kertas yang berada di meja. “Kau kenapa memanggilnya lagi?” tanya Ares. Yang Ares maksud di sini tentu saja si detective. “Aku masih mencari tahu soal Ahra,” balas Javier. Ares terkekeh geli. Tak menyangka ada perubahan signifikan pada sahabatnya ini. Bahkan menyewa de
Bunga mawar sialan itu. Akhrinya kembali lagi pada tangan Ahra, Ahra mengambilnya dari Javier. Sengaja, sebab setelah melihat bunga tersebut ada di tangan Javier. Ahra merasa sedikit merasa bersalah. Tolong, perlu digaris bawahi, hanya sedikit. “Sa-saya alergi bunga, Pak!” Masa bodo dengan ucapan asal yang tercetus begitu saja dari mulut Ahra, yang paling penting sekarang dirinya harus keluar dari situasi memuakkan ini. Agar aktingnya lebih meyakinkan. Dia mencoba mencium wangi bunga mawar itu.“Ehm.” Ahra mengernyit, sialan, bunga itu sudah bau karena diambil dari tempat sampah, Ahra benar-benar benci sesuatu yang bau. “Bahkan untuk mencium bunganya saja tidak bisa.”Jake menepuk dahinya.Sementara Javier menimpali. “Ahra, beberapa detik yang lalu kau mencium bunga itu.”Shit. Ahra kembali mengumpat dalam hati. Baru menyadari perbuatan konyolnya yang spontan itu. “Tapi setelah mencium wangi bunga, biasanya saya akan bers
“Aku kira kau lupa denganku.” Jake masih terus menyindirnya karena perdebatan pria itu dengan Javier yang ingin mengantar Ahra pulang. Walaupun Ahra sudah memilih untuk pulang bersama Jake. Ahra berdecak. “Masih saja dibahas.” “Aku akan membahas terus jika aku mengingat hari ini,” timpal Jake, “aku menunggmu lama sekali. Dan aku tidak bisa masuk ke restoran tersebut karena katanya sedang di sewa. Aku tak menyangka ternyata Javier yang menyewanya hanya untuk makan malam bersama mu.” “Sudah kubilang bukan begitu.” “Nyatanya yang aku lihat begitu. Kau mau alasan seperti apa lagi?” Pria itu masih merajuk, seperti seorang kekasih yang memergoki wanitanya tengah kencan dengan pria lain. Hapal dengan perangai Jake. Ahra jadi sama sekali tidak ingin meluruskan apa pun. Wanita itu mengibaskan tangannya masa bodo, “terserah kau saja ingin berpikiran seperti apa.”
"Hei. Ada karyawanmu yang menyebalkan, sepertinya dia tidak tahu aku adalah teman dekatmu. Kau sebagai atasannya-" "Stop," potong Javier. Pria itu melepas kacamatanya, menaruh dokumen yang dia pegang di atas meja kerjanya. Alis Ares bertaut, menunjukan kebingungannya. “Ada yang salah dengan bicaraku?” “Ya,” balas Javier, dia menunjuk sahabatnya yang baru-baru ini datang lagi ke kantornya, setelah tanpa rasa bersalah meninggalkan Javier dan Ahra berdua di restoran. “Berhenti menyebut statusku di kantor ini sebagai atasan.” “Hah?” Javier mengedikan bahu. “Belakangan ini aku tidak suka kata-kata itu. Terkesan sombong.” “Kau bicara apa sih, gila?” Ares semakin tidak mengerti, “padahal kau mati-matian merebut posisi sebagai CEO di perusahaan ini.” Javier tidak menanggapi celotehan Ares. Dia kembali mengecek berkas yang harus dia tanda tangani. Terlihat tenang dari luar. Tidak seperti dengan isi kepalanya yang berisik. Ucapan Ares kembali membuatnya mengingat kejadi
Ares : Kado dariku tahun ini. Ku undang wanita yang kau incar itu di acara muAres : Aku tidak ingin mengganggumu. Jadi selamat menikmati waktumu dengannyaAres beruntung karena terlalu lelah Javier sedang tidak bernafsu untuk memaki sahabatnya itu karena mendatangkan Ahra ke tempat ini dan meninggalkan dirinya berdua saja dengan Ahra.Javier menyimpan ponselnya di saku celana.Dia memperhatikan wanita itu dari jauh. Wanita yang tengah melihat lukisan di dinding seolah mengabaikan Javier yang melangkah mendekatinya.Ahra tampak rapih dengan dress navy yang kontras dengan kulit porselennya. Wanita itu tidak mungkin pulang ke rumah lebih dulu untuk berpenampilan serapih itu. Ini pasti ulah sahabatnya. Pantas saja Ares memilih menetap di kantor Javier sampai sore, ternyata untuk membawa Ahra ke sini."Hei," panggil Javier.Ahra masih tidak menoleh, tapi dia membalas dengan ucapan pedasnya seperti biasa, "siapa yang kau panggil itu? Aku punya nama."Javier berdecak sebelum memanggil ulang
“Pak Javier memintamu ke ruangannya. Katanya dia mau kau yang menemaninya meeting.” Celine mendatangi mejanya, dia menaruh lembaran dokumen di atas meja Ahra. Ahra berdehem kemudian batuk keras beberapa kali. Teman divisinya yang lain sampai menoleh, padahal pagi tadi wanita itu baik-baik saja. “Aku sedang tidak enak badan.” Ahra mengambil tangan Celine, menaruh punggung tangan sahabatnya itu di dahinya. Sambil berdoa dalam hati semoga dahinya terasa panas, hasil dari mendiamkan termos yang sedikit panas di dahinya. “Panas sekali.” Celine menarik tangannya. Wanita itu menaikan sebelah alisnya, “padahal tadi kau baik-baik saja, Ahra.” Ahra mengangkat bahunya. “Sepertinya aku demam, kurang istirahat. Bisa minta tolong gantikan tugasku hari ini?” Celine tetap mengangguk walau memandang sahabatnya itu penuh ke curigaan. “Kau akan pulang lebih cepat?” Ahra
"Kau... semalam benar-benar tidak menyentuhku 'kan?" tanya Ahra penuh dengan nada kecurigaan. Javier mendengus. Pandangannya masih tertuju ke jalan, tanpa melihat Ahra yang duduk di kursi penumpang, dia menjawab, "sudah ketiga kalinya kau menanyakan hal ini. Sudah kubilang kalau kau tidak percaya padaku, lihat saja CCTV rumahku." Ahra tidak mau memalukan dirinya sendiri jika kecurigaan yang dia tuduhkan pada Javier itu salah. Tapi di satu sisi dia sama sekali tidak percaya perkataan pria itu. Saat membersihkan diri tadi, bagian bawahnya terasa sakit dan terdapat sedikit cairan yang lengket. Rasanya tidak mungkin dia masturbasi pada saat mabuk. Pasti ada sesuatu! Dia yakin sekali! Dia butuh sesuatu pemancing yang membuatnya ingat apa yang terjadi saat dirinya mabuk. Ahra memicingkan mata. "Bisakah kau beri tahu kenapa semalam aku bisa sampai berada di rumahmu? Aku butuh sesuatu hal yang membuat aku ingat kejadian semalam." Dengan tiba-tiba Javier menginjak remnya.
Aku yakin kau yang lebih dulu jatuh cinta padanya. Kalimat yang Ares katakan menghantui isi kepalanya. Javier menggelengkan kepalanya pelan mengenyahkan perkataan Ares yang mengusiknya. Tanpa sadar dia berkata dengan mulutnya sendiri. “Tidak. Aku tidak menyukainya.” Sayangnya dia mengatakan hal itu dengan suara agak lantang sehingga penghuni table sebelahnya menoleh bingung. Tapi Javier tidak menyadarinya, karena matanya tertuju pada seorang wanita yang duduk di bartender dengan pakaian minim dan sedang berbincang dengan seorang pria. Yang sangat Javier yakini pria itu bukanlah teman si wanita yang Javier buntuti. Hari ini weekend. Seolah mengenal lama, dia tahu kebiasaan Ahra mengunjungi club malam untuk mencari para korban. Pria yang malam ini menjadi korban wanita mematikan itu, harusnya berterima kasih pada Javier karena Javier hari ini mengikuti Ahra.
“Sepertinya anakmu tumbuh dengan baik, Ahra.” Anna meledeknya mengusap perut rata Ahra. Ahra menepisnya kasar dan itu membuat Anna tertawa geli. Diikuti dengan Celine dan Jenni yang juga masih berada di ruang kerja mereka. “Orang gila mana yang berpikir aku sedang hamil anak Pak Javier?” gerutu Ahra. “Satu perusahaan,” sahut Jenni, “kami semua mengira kau kencan dengan Pak Javier, kau tahu melakukan seks bukan hal yang tabu lagi, tentu saja kami berpikir kau dan Pak Javier sudah melakukannya, dan kau semakin mempertegasnya dengan pesan yang kau kirimkan.” Ahra melipat tangan di depan dada. Dia mendelik ke Anna. “Aku salah mengirimkan pesan ke grup chat divisi kita saja, bukan ke grup all divisi. Pasti ada seorang oknum yang menyebarkan itu.” Anna melihat ke arah lain dan berkata, “yang jelas bukan aku.” Ahra menghela napas kasar. Sudah jelas sekali siapa yang menyebarkannya.
Anna : Kau satu kamar dengan Pak Javier? Jenni : Aku kira omongan kau yang kencan dengan Pak Javier hanya gossip saja. Ternyata benar Anna : Apa sebentar lagi kau akan menikah, Ahra? Seratus lebih chat di grup divisinya. Ahra hanya membaca beberapa saja, toh itu sudah menjelaskan mengapa teman divisinya beranggapan seperti itu. Dia salah mengirimkan chat! Harusnya ke grup yang berisi dirinya, Celine dan Jake. Malah mengirimkannya ke grup divisi. Ingin menarik pesan tersebut tapi pesan tersebut sudah dikirim selama berjam-jam dan tidak ada tanggapan sama sekali darinya. Jika dia menariknya sekarang dan berdalih salah mengirimkan pesan. Itu tidak akan mengubah pandangan teman-teman kerjanya yang sudah mendoktrik pikiran mereka jika Ahra memang tengah punya hubungan dengan Javier. Ahra mematikan ponselnya. Dia tidak ingin membaca chat dari siapa pun, walaupun itu tidak d
Javier hendak memakai kacamatanya, guna melihat lebih jelas pekerjaan yang belum diselesaikannya lewat tablet. Biasa bekerja dengan tenang agar lebih konsentrasi, dia benar-benar tidak bisa bekerja dengan suara bising. Apa lagi suara nyanyian sumbang dari wanita yang sedang mengacak kopernya sendiri untuk mencari pakaian. Javier awalnya ingin mengusik Ahra, membuat wanita itu canggung dan tidak nyaman karena harus satu kamar dengannya. Tapi malah Javier yang terusik dengan wanita itu. “Hei.” Javier mencoba memanggilnya. Wanita itu hanya meliriknya sekilas, tidak mengidahkan panggilan Javier. Javier bedecak. “Ahra.” Kali ini dia memanggil nama wanita itu. “Ada apa?” “Apa kau pernah mencoba karaoke yang terdapat score menyanyinya?” Javier balik bertanya Ahra menggeleng, senyum wanita itu mengembang. “Kenapa? Suaraku bagus sekali ya? Aku sudah menduganya! Aku se