“Aku menuntut penjelasan mu, sekarang,” ucap Celine penuh penekanan pada akhir kalimatnya.
Mereka berada di rooftop lantai dua setelah membeli makanan di cafeteria kantor, menumpukan tangan mereka pada batasan rooftop. Seharusnya, Anna yang mengantar Ahra untuk keliling kantor pada hari pertama. Namun, Celine menawarkan diri menggantikan Anna.
Tentu saja bukan tanpa alasan Celine menggantikan Anna. Celine ingin tahu detail mengapa Ahra bisa langsung lolos tanpa interview.
Meski dirinya pun berpikir hal konyol yang kemungkinan kecil terjadi. Temannya yang bodoh ini, merayu CEO Javier yang dingin itu dengan tubuhnya.
“Penjelasan yang mana?” tanya Ahra tampak tak berminat. Dia mengulum es krim vanilla yang tersisa separuh dari cup kecil.
“Kenapa kau bisa diterima langsung atas rekomendasi Pak Javier? Kemudian ditempatkan di departemen sekretaris tim utama. Aku saja bisa masuk ke tim ini setelah 3 tahun bekerja di sini, itu pun setelah dipromosikan oleh Jenni,” cecar Celine, “tidak mungkin ‘kan kau tidur dengan Pak Javier sehingga dia memberikan keistimewaan khusus untuk mu?” Kemudian dia menghela napas pelan, dan mengetuk kepalanya sendiri, “maafkan aku sudah langsung menuduhmu. Pak Javier ‘kan tidak menyukai wanita, mana mungkin kau tidur dengannya.”
Ahra menghela napas panjang. Dia meringis ketika menjawab, “sialnya, tebakan mu itu benar. Aku sudah tidur dengan dia.”
“Hah?!” teriak Celine tak percaya, membuat orang-orang yang juga berada di rooftop melirik ke arah mereka sesaat.
“Kubunuh kau jika berbicara dengan lantang lagi,” ancam Ahra dengan berbisik.
“Kau saja baru bertemu dengan Javier sekali, itu pun tadi. Bagaimana bisa kau tidur dengannya? Jangan bilang, kalau kau datang ke ruangnnya dan menggodanya seperti kau menggoda pria brengsek yang sering mau temui?”
“Kau kira aku semurahan itu hanya untuk dapat pekerjaan?” geram Ahra tanpa sadar, bahwa hampir tiap hari dirinya datang ke club malam, menawarkan one night stand –meski untuk menjebak- hanya untuk mendapatkan uang dengan cara cepat. “Kalau hanya untuk mendapat pekerjaan di tempat bergengsi, itu mudah bagiku. Kau tahu kan aku punya banyak pengalaman kerja.”
“Kalau begitu cepat jelaskan. Jangan bertele-tele dan membuat orang lain penasaran.”
“Kau ingat tidak sehari sebelum aku interview di sini, aku sempat ke club malam untuk menipu seorang pria?”
Celine mengangguk. “Aku ingat pria pintar itu. Bukannya terkena godaan mu. Malah menjebakmu kembali.”
Ahra menyenderkan kepalanya pada besi pembatas seolah pasrah dengan keadaan. “Pria di club malam itu, ternyata adalah CEO kita. Dan aku baru mengetahuinya saat interview.”
“Gila!” pekik Celine, untungnya kali ini tidak ada yang memperhatikan mereka meski Celine menjawab ucapannya yang responsive. “Ini kebetulan yang sangat konyol! Aku tak menyangka ternyata pria yang kau temui adalah CEO kita.”
“Aku juga tidak menyangka, Celine,” Ahra berdecak, “aku pernah dengar bahwa dunia hanya selebar daun kelor. Aku tak menyangka, aku mempercayai ucapan itu di kondisi seperti ini.”
“Aku kenal kau. Kau adalah orang yang paling malas menghadapi masalah. Lantas, kenapa kau masih mau bekerja di sini?”
“Kau kira aku mau begitu saja?” Ahra memasang wajah kesal. Sebab mengingat kejadian di ruangan Javier, “dengan wajah iblisnya, dia berkata ingin menahanku di Leo Blue Company.”
“Supaya kau bisa terus memuaskannya?”
Ahra mendelik kesal. “Dia ingin membuat kehidupanku layaknya di neraka. Dia bilang aku mengusik seseorang yang penting untuknya, ya… kurang lebih begitu.”
Celine menepuk pundak Ahra. “Dia tidak main-main dengan ucapannya. Setelah dia menggantikan mendiang ibunya sebagai CEO. Perusahaan benar-benar seperti penjara karena kepemimpinannya yang otoriter. Ya, meskipun karenanya, perusahaan semakin maju dan membuat dirinya masuk ke 30 forbes under 30.”
“Aku masa bodo dengan semua hal baik atau buruk menyangkut dirinya,” kata Ahra, “yang ingin aku tahu setengah mati, siapa orang terdekatnya yang pernah aku usik. Kau, bisa bantu aku mencari tahunya ‘kan?”
“Sepertinya cukup sulit,” gumam Celine, “pria yang kita mau selidiki ini adalah CEO Leo Blue Company. Sementara kita adalah karyawannya.”
“Aku akan menipu lebih banyak pria, dan uangnya akan aku gunakan menyewa detective professional.”
Celine menjitak kepala Ahra. “Setelah bertemu kasus seperti ini, kau tidak ada kapoknya sama sekali, bodoh.”
Ahra mengusap kepalanya. “Lalu aku harus apa?”
“Buat dia jatuh cinta dan selidiki siapa orang yang membuatnya seperti itu.”
“Itu terdengar leih mustahil,” balas Ahra.
“Kau benar juga, kita ‘kan tidak hidup di dunia novel romantis,” Celine menghembuskan napas panjang. Menepuk pundak Ahra pelan dan mengusapnya seakan memberikan dukungan. “Akhirnya datang juga saat ini. Kau menerima karma mu, karena mempermainkan pria. Kau bertemu juga dengan lawan yang seimbang.”
“Lawan yang seimbang katamu?” Ahra tertawa sarkastik. “Tidak semudah itu untuk membuat hidupku seperti di neraka. Aku sudah berpengalaman menghadapi pria brengsek. Dan aku yakin akan mudah sekali menanganinya. Akan aku buat dia terperangkap omongannya sendiri.”
Ahra meremas kuat cup es krimnya yang tersisa sedikit sehingga menumpahkan isinya yang sudah cair mengenai tangannya. Tangan yang licin dan pengangannya yang tidak menguat, membuat cup es krim tersebut jatuh ke lantai satu.
Sialnya, bukan jatuh tepat ke lantai, namun tepat mengenai kepala seseorang.
Celine memukul lengan Ahra. “Apa yang kau lakukan?! Ini hari pertama jangan membuat masalah.”
“Aku juga tahu.”
Ahra mengambil tissue yang ada di tangan Celine tanpa meminta izin terlebih dahulu. Kemudian langsung berlari menuju lantai satu menemui orang yang tak sengaja dia jatuhkan cup es krim, tanpa melihat dulu siapa korbannya itu.
Dalam hati dia mengumpat. Bukan mengumpat karena keteledorannya, namun mengumpat menyumpahi Javier. Bahkan dirinya hanya membicarakan tentang pria itu, dirinya sudah tertimpa ke sialan.
“Permisi.”
Ahra menepuk pundak seorang lelaki yang lebih tinggi darinya. Lelaki itu mengenakan kaos polos warna hitam sehingga kontras dengan tumpahan es krim vanilla. Dari pakaiannya, jelas sekali jika orang ini bukan pegawai perusahaan ini.
“Maaf, saya tidak sengaja.”
“Iya tidak apa-apa.”
Pria itu membalikan badan, Ahra meringis kepala pria itu juga terkena oleh sisa es krim milik Ahra. Tangan Ahra terulur hendak membersihkan es krim di kepala pria itu.
Namun seseorang menahan tangannya dengan kuat hingga tubuh Ahra kini berbalik menghadap orang itu.
“Apa yang kau lakukan pada sahabatku, Nona Ahra?”
Bahkan ketika dirinya sudah berdoa dengan khusyu agar tidak bertemu dengan Javier. CEO gila itu tetap tertangkap dalam pengelihatannya.
Apa jabatan tinggi yang dimilikinya hanya sekadar gelar? Dia pasti tidak memiliki kesibukan apa pun!
“Maaf, pak,” Ahra mencoba sopan di depan banyak orang, “es krim milik saya jatuh dari lantai dua dan tidak sengaja mengenai-”
“Ares,” sambung pria itu seraya memperkenalkan diri
“-Pak Ares, teman anda,” lanjut Ahra.
“Oh aku paham. Berarti kau membuang sampah ke bawahkan?”
“Bukan-”
“Kau tahu peraturan di perusahaan ini sangat ketat?” potong Javier, “datang ke ruanganku setelah break time selesai,” cecar Javier sampai tidak sempat membuat Ahra membela dirinya.
Javier langsung membalikan tubuh, berjalan entah ke mana menjauhi Ahra.
“Mati saja kau, CEO sialan!” desis Ahra sepelan mungkin, Ahra menunjukan jari tengahnya.
Sementara pria bernama Ares itu tertawa geli melihat Ahra tampak tidak takut terhadap Javier yang notabene adalah CEO tempatnya bekerja.
“Wanita tadi mengacungkan jar tengahnya padamu.” Ares mendengus kembali mengingat kejadian beberapa saat lalu. Dia mengenal Javier, jauh dari pada orangtua Javier mengenal anaknya sendiri. Sifat tegas, otoriter dan tak segan memberikan hal buruk pada tiap orang yang tidak disukainya, itu melekat bertahun-tahun dalam diri Javier, Ares yakin orang yang bertemu dengan Javier pertama kali pun juga akan berpikir demikan, terbaca sekali dari sorot mata dingin itu. Dan wanita yang tidak Ares ketahui namanya itu. Ares kagum pada keberaniannya. “Aku lebih heran jika dia membungkuk hormat padaku setelah aku membalikan tubuh dan berjalan menjauh,” jelas Javier seraya membalikan lembar dokumen yang ada di tangannya. Javiver berbicara dengan Ares yang meluangkan waktu untuknya. Tapi pandangan Javier fokus pada hal lain. Ares yang merasa heran, karena setiap kali datang ke kantor Javier,
“Ahra, gajimu sudah lebih dari cukup. Aku rasa kau tidak perlu menipu banyak pria lagi.” “Iya memang. Itu artinya, ini adalah hari pertama aku tidak memeras uang dari korbanku dengan jumlah yang fantastis lagi.” Ahra tidak menghiraukan nasihat dari Celine, dia sibuk menyemprotkan parfume pada tengkuknya hingga menguar aroma coco eau de parfume Chanel dari tubuhnya. Celine mendengus kesal. “Kau tidak kapok juga ya setelah berurusan dengan pak Javier.” Ahra mengedipkan sebelah matanya dan menjentikan jari. “Justru setelah bertemu dengannya aku jadi semakin bernafsu menipu para pria brengsek seperti CEO kita itu. Mendapatkan uang mereka dan menghibur diri dengan menipu mereka. Istilahnya sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.” Wanita seusia Ahra itu menghembuskan nafas kasar. “Aku tidak bisa membedakan, siapa yang lebih brengsek antara kau dengan para pria yang kau tipu itu.” Ahra tertawa p
Javier mendengus geli melihat ekspresi ketakutan yang Ahra tunjukan. Apa wanita itu sedang berpura-pura menjadi korban pemerkosaan untuk memeras Javier? Ah… jadi begitu cara Ahra memeras para korbannya.Javier akan lihat seberapa hebatnya acting wanita itu.“Kenapa kau takut begitu?” Javier menghimpitnya, dengan kedua tangannya yang berada di sisi tubuh Ahra, berjaga agar wanita yang jauh lebih muda darinya tak bisa kabur.Javier dapat merasakan tubuh Ahra gemetar hebat, bahkan tak berkutik sama sekali.“Menjauh dariku,” cicit wanita itu.Bahkan untuk menatap matanya pun, Ahra tak mau. Berbeda dengan pandangan Ahra waktu pertama kali Javier mengerjai wanita itu dengan menggunakan obat perangsang.Wajah ketakutan Ahra, walau Javier berpikir wanita itu tengah berbohong. Tetap saja Javier kesal melihatnya.Javier terbiasa dengan dunia malam. Dia tidak memungkiri bahwa dirinya bisa dibilang brengsek juga sama seperti Ahra.Sudah menjadi kebiasaan baginya berkenalan dengan seorang wanita,
Dia menyereput espresso yang belum lama sampai di mejanya. Rasa pahit mengalir bebas di tenggorokannya, namun dia tetap menikmatinya. “Ahra di mana? Sampai di ibukota aku langsung ke sini karena aku kira Ahra akan ikut kau.” “Dia belum bisa masuk kerja, Jake,” balas Celine seraya meneguk teh hijau pesanannya. “Apa kondisinya separah itu?” tanya Jake dengan ekspresi khawatir. Celine menghembuskan napas berat. “Hampir mirip seperti waktu kau berhasil menemukannya setelah Mark menyekapnya.” &nb
“Javier!” Ares membuka ruangan Javier tanpa permisi. Selesai dengan jam prakteknya di rumah sakit milik kakeknya, dia langsung bergegas menemui Javier. Takut terjadi sesuatu pada sahabatnya karena selama seminggu ini tak kunjung memberi kabar. Namun… apa ini? Javier tengah duduk berhadap-hadapan dengan seorang pria yang Ares kenal adalah detective yang biasa Javier sewa. Obrolan mereka sepertinya amat serius sampai Javier tak menghiraukan kedatangan Ares. Tidak disuruh siapa pun, Ares duduk di samping Javier, ikut memperhatikan detective tersebut sedang membuka beberapa lembaran kertas yang berada di meja. “Kau kenapa memanggilnya lagi?” tanya Ares. Yang Ares maksud di sini tentu saja si detective. “Aku masih mencari tahu soal Ahra,” balas Javier. Ares terkekeh geli. Tak menyangka ada perubahan signifikan pada sahabatnya ini. Bahkan menyewa de
Bunga mawar sialan itu. Akhrinya kembali lagi pada tangan Ahra, Ahra mengambilnya dari Javier. Sengaja, sebab setelah melihat bunga tersebut ada di tangan Javier. Ahra merasa sedikit merasa bersalah. Tolong, perlu digaris bawahi, hanya sedikit. “Sa-saya alergi bunga, Pak!” Masa bodo dengan ucapan asal yang tercetus begitu saja dari mulut Ahra, yang paling penting sekarang dirinya harus keluar dari situasi memuakkan ini. Agar aktingnya lebih meyakinkan. Dia mencoba mencium wangi bunga mawar itu.“Ehm.” Ahra mengernyit, sialan, bunga itu sudah bau karena diambil dari tempat sampah, Ahra benar-benar benci sesuatu yang bau. “Bahkan untuk mencium bunganya saja tidak bisa.”Jake menepuk dahinya.Sementara Javier menimpali. “Ahra, beberapa detik yang lalu kau mencium bunga itu.”Shit. Ahra kembali mengumpat dalam hati. Baru menyadari perbuatan konyolnya yang spontan itu. “Tapi setelah mencium wangi bunga, biasanya saya akan bers
Dua belas juta lima ratus lima puluh ribu rupiah. Ahra mengitung uang yang terdapat pada kiriman tak normal yang diberikan Javier. Pada hari senin saat masuk kerja kembali. Dia membawa uang tunai tersebut dalam sebuah tote bag. Sebenarnya, dia bisa saja menemui Javier saat weekend, hanya tinggal pergi ke club malam. Yang entah kenapa Javier pasti tahu tempat Ahra akan menipu para korbannya. Tapi Ahra memilih untuk tidak mengambil resiko tersebut, untuk sementara waktu. Weekend dalam dua hari ini dia menjalani kehidupan normal, tanpa menipu. Rasanya ada yang kurang, dan itu membuat Ahra tidak nyaman, secara drastic mengubah kebiasaan yang selama bertahun-tahun dia lakukan. Ahra berdiri di samping Javier yang sedang menandatangi dokumen dengan perusahaan konstruksi lain karena ingin membuka kantor cabang. Ahra menunggu Javier selesai menandatangi dokumen tersebut untuk kemudia
Tuk! Tuk! Tuk! Ahra mengetuk papan tulis kecil yang berada di ruangan kerja Jake dengan pulpen yang dibawanya. Si pemilik ruangan tampak antusias dengan topik pembahasan sementara Celine menatap malas sahabatnya yang tengah berapi-api membicarakan tentang atasan mereka. “Iblis sepertinya tidak mungkin tobat dan benar-benar merasa bersalah padaku!” tuduh Ahra dengan semangat. “Omongnya beda sekali dengan sumpah serapahnya ingin membuat hidupku hancur. Aku yakin dia tidak mungkin berubah secepat itu.” “Dia pasti merencanakan sesuatu yang lebih buruk.” Jake ikut menyetujui pikiran buruk Ahra tentang Javier. Hanya Celine yang mempunyai tanggapan berbeda. Wanita yang berperawakan seperti barbie itu berkata. “Sepertinya dia menyukaimu. Bukan menyukai sebagai atasan yang berapresiasi dengan karyawannya. Tapi sebagai pria yang menyukai wanita pada umumnya.” “Kau gila?!” balas