Dia menyereput espresso yang belum lama sampai di mejanya. Rasa pahit mengalir bebas di tenggorokannya, namun dia tetap menikmatinya.
“Ahra di mana? Sampai di ibukota aku langsung ke sini karena aku kira Ahra akan ikut kau.”
“Dia belum bisa masuk kerja, Jake,” balas Celine seraya meneguk teh hijau pesanannya.
“Apa kondisinya separah itu?” tanya Jake dengan ekspresi khawatir.
Celine menghembuskan napas berat. “Hampir mirip seperti waktu kau berhasil menemukannya setelah Mark menyekapnya.”
&nb
“Javier!” Ares membuka ruangan Javier tanpa permisi. Selesai dengan jam prakteknya di rumah sakit milik kakeknya, dia langsung bergegas menemui Javier. Takut terjadi sesuatu pada sahabatnya karena selama seminggu ini tak kunjung memberi kabar. Namun… apa ini? Javier tengah duduk berhadap-hadapan dengan seorang pria yang Ares kenal adalah detective yang biasa Javier sewa. Obrolan mereka sepertinya amat serius sampai Javier tak menghiraukan kedatangan Ares. Tidak disuruh siapa pun, Ares duduk di samping Javier, ikut memperhatikan detective tersebut sedang membuka beberapa lembaran kertas yang berada di meja. “Kau kenapa memanggilnya lagi?” tanya Ares. Yang Ares maksud di sini tentu saja si detective. “Aku masih mencari tahu soal Ahra,” balas Javier. Ares terkekeh geli. Tak menyangka ada perubahan signifikan pada sahabatnya ini. Bahkan menyewa de
Bunga mawar sialan itu. Akhrinya kembali lagi pada tangan Ahra, Ahra mengambilnya dari Javier. Sengaja, sebab setelah melihat bunga tersebut ada di tangan Javier. Ahra merasa sedikit merasa bersalah. Tolong, perlu digaris bawahi, hanya sedikit. “Sa-saya alergi bunga, Pak!” Masa bodo dengan ucapan asal yang tercetus begitu saja dari mulut Ahra, yang paling penting sekarang dirinya harus keluar dari situasi memuakkan ini. Agar aktingnya lebih meyakinkan. Dia mencoba mencium wangi bunga mawar itu.“Ehm.” Ahra mengernyit, sialan, bunga itu sudah bau karena diambil dari tempat sampah, Ahra benar-benar benci sesuatu yang bau. “Bahkan untuk mencium bunganya saja tidak bisa.”Jake menepuk dahinya.Sementara Javier menimpali. “Ahra, beberapa detik yang lalu kau mencium bunga itu.”Shit. Ahra kembali mengumpat dalam hati. Baru menyadari perbuatan konyolnya yang spontan itu. “Tapi setelah mencium wangi bunga, biasanya saya akan bers
Dua belas juta lima ratus lima puluh ribu rupiah. Ahra mengitung uang yang terdapat pada kiriman tak normal yang diberikan Javier. Pada hari senin saat masuk kerja kembali. Dia membawa uang tunai tersebut dalam sebuah tote bag. Sebenarnya, dia bisa saja menemui Javier saat weekend, hanya tinggal pergi ke club malam. Yang entah kenapa Javier pasti tahu tempat Ahra akan menipu para korbannya. Tapi Ahra memilih untuk tidak mengambil resiko tersebut, untuk sementara waktu. Weekend dalam dua hari ini dia menjalani kehidupan normal, tanpa menipu. Rasanya ada yang kurang, dan itu membuat Ahra tidak nyaman, secara drastic mengubah kebiasaan yang selama bertahun-tahun dia lakukan. Ahra berdiri di samping Javier yang sedang menandatangi dokumen dengan perusahaan konstruksi lain karena ingin membuka kantor cabang. Ahra menunggu Javier selesai menandatangi dokumen tersebut untuk kemudia
Tuk! Tuk! Tuk! Ahra mengetuk papan tulis kecil yang berada di ruangan kerja Jake dengan pulpen yang dibawanya. Si pemilik ruangan tampak antusias dengan topik pembahasan sementara Celine menatap malas sahabatnya yang tengah berapi-api membicarakan tentang atasan mereka. “Iblis sepertinya tidak mungkin tobat dan benar-benar merasa bersalah padaku!” tuduh Ahra dengan semangat. “Omongnya beda sekali dengan sumpah serapahnya ingin membuat hidupku hancur. Aku yakin dia tidak mungkin berubah secepat itu.” “Dia pasti merencanakan sesuatu yang lebih buruk.” Jake ikut menyetujui pikiran buruk Ahra tentang Javier. Hanya Celine yang mempunyai tanggapan berbeda. Wanita yang berperawakan seperti barbie itu berkata. “Sepertinya dia menyukaimu. Bukan menyukai sebagai atasan yang berapresiasi dengan karyawannya. Tapi sebagai pria yang menyukai wanita pada umumnya.” “Kau gila?!” balas
Ahra mengambil selfie dirinya dalam pose berbeda beberapa kali, yang tengah berada di kapal untuk menuju ke pulau Nami. Dia mencari foto yang menurutnya paling bagus untuk kemudian dia edit sebelum mempostingnya di sosial media. “Aku kira kau akan berpose seksi setengah telanjang untuk mencari mangsa baru.” Celetukan Javier yang muncul tiba-tiba seperti hantu, membuat Ahra melotot ke pria itu. Dia segera mengecek sekitar, bernapas lega karena tak ada orang di sekitar mereka. Ahra pun membalas pria itu dengan sinis. “Kenapa? Kau mau melihatku yang setengah telanjang lagi?!” Ahra tidak berkata formal. Toh, yang melakukan perjalan dinas ini hanya mereka berdua saja. Walaupun rekan kerja mereka mengira mereka tengah kencan dengan dalih perjalanan bisnis. “Tidak ada yang menarik dari tubuhmu,” balas Javier menohok, “aku sampai heran apa yang para pria brengsek itu lihat darimu.”
Javier hendak memakai kacamatanya, guna melihat lebih jelas pekerjaan yang belum diselesaikannya lewat tablet. Biasa bekerja dengan tenang agar lebih konsentrasi, dia benar-benar tidak bisa bekerja dengan suara bising. Apa lagi suara nyanyian sumbang dari wanita yang sedang mengacak kopernya sendiri untuk mencari pakaian. Javier awalnya ingin mengusik Ahra, membuat wanita itu canggung dan tidak nyaman karena harus satu kamar dengannya. Tapi malah Javier yang terusik dengan wanita itu. “Hei.” Javier mencoba memanggilnya. Wanita itu hanya meliriknya sekilas, tidak mengidahkan panggilan Javier. Javier bedecak. “Ahra.” Kali ini dia memanggil nama wanita itu. “Ada apa?” “Apa kau pernah mencoba karaoke yang terdapat score menyanyinya?” Javier balik bertanya Ahra menggeleng, senyum wanita itu mengembang. “Kenapa? Suaraku bagus sekali ya? Aku sudah menduganya! Aku se
Anna : Kau satu kamar dengan Pak Javier? Jenni : Aku kira omongan kau yang kencan dengan Pak Javier hanya gossip saja. Ternyata benar Anna : Apa sebentar lagi kau akan menikah, Ahra? Seratus lebih chat di grup divisinya. Ahra hanya membaca beberapa saja, toh itu sudah menjelaskan mengapa teman divisinya beranggapan seperti itu. Dia salah mengirimkan chat! Harusnya ke grup yang berisi dirinya, Celine dan Jake. Malah mengirimkannya ke grup divisi. Ingin menarik pesan tersebut tapi pesan tersebut sudah dikirim selama berjam-jam dan tidak ada tanggapan sama sekali darinya. Jika dia menariknya sekarang dan berdalih salah mengirimkan pesan. Itu tidak akan mengubah pandangan teman-teman kerjanya yang sudah mendoktrik pikiran mereka jika Ahra memang tengah punya hubungan dengan Javier. Ahra mematikan ponselnya. Dia tidak ingin membaca chat dari siapa pun, walaupun itu tidak d
“Sepertinya anakmu tumbuh dengan baik, Ahra.” Anna meledeknya mengusap perut rata Ahra. Ahra menepisnya kasar dan itu membuat Anna tertawa geli. Diikuti dengan Celine dan Jenni yang juga masih berada di ruang kerja mereka. “Orang gila mana yang berpikir aku sedang hamil anak Pak Javier?” gerutu Ahra. “Satu perusahaan,” sahut Jenni, “kami semua mengira kau kencan dengan Pak Javier, kau tahu melakukan seks bukan hal yang tabu lagi, tentu saja kami berpikir kau dan Pak Javier sudah melakukannya, dan kau semakin mempertegasnya dengan pesan yang kau kirimkan.” Ahra melipat tangan di depan dada. Dia mendelik ke Anna. “Aku salah mengirimkan pesan ke grup chat divisi kita saja, bukan ke grup all divisi. Pasti ada seorang oknum yang menyebarkan itu.” Anna melihat ke arah lain dan berkata, “yang jelas bukan aku.” Ahra menghela napas kasar. Sudah jelas sekali siapa yang menyebarkannya.