"Kalau pertanyaan saya buat Anda risih, abaikan aja, Coach! Saya nggak bermaksud untukー"Kevan merasa telah salah bicara. Dia melihat perubahan sikap dan wajah Adnan. "Saya mantan Penembak Jitu pasukan elit khusus negara tetangga, Van," jawab Adnan datar. "Sekali membunuh, harga saya mahal."Kevan tertegun hingga kesulitan menelan ludahnya. Kevan menatap Adnan tanpa berkedip."Astaga! Saya nggak sangka belajar menembak langsung dari ahlinya!""Kamu tahu 3 hal yang paling utama untuk jadi seorang sniper?"Kevan sejenak berpikir keras. "Paham menentukan arah mata angin, fokus, dan kecepatan," jawabnya menggebu-gebu.Adnan tertawa, "Ha! Ha! Ha! Masih nggak tepat."Kevan bingung. Dia merasa kecil di hadapan Adnan. 'Ah, ngapain aku insecure?! Aku ini kan pewaris pertama keluarga Hanindra!' Jiwa sombong Kevan mulai muncul. Selama hidupnya, dia tidak pernah merasa kecil di hadapan siapapun."Tiga hal paling utama untuk jadi seorang sniper yang hebat tak terkalahkan adalah kesabaran, cara me
"Tuan, pesawat kita udah mendarat di Bandar udara internasional Shipyard," Ziyad berbisik. Senin pagi. Kevan sekarang berada di dalam pesawat jet pribadi milik keluarga Hanindra. Pesawat jet itu merupakan hadiah dari kakek dan neneknya atas kembalinya Kevan ke keluarga Hanindra. Namun, tentu saja Kevan tidak tahu. 'Andaikan Tuan Kevan tahu kalau pesawat jet ini hadiah dari Tuan Christian dan Nyonya Cinta, dia pasti minta aku kembaliin ke mereka,' gumam Ziyad di dalam hati. Diam-diam, Ziyad terkekeh. Masih di dalam hati, Ziyad berseru, 'Kapan lagi Tuan Kevan punya barang mahal, selain HP dan apartemen? Itupun berdebat dulu sama aku!' "Meeting-nya mulai jam berapa?""Jam 8:00, Tuan," jawab Ziyad. Kevan melirik jam tangan yang harganya tidak seberapa itu. "Masih 45 menit," ujar Kevan. Dia melepaskan kacamata hitamnya. "Ngomong-ngomong, Tuan Muda pakai kacamata hitam agar mata Anda nggak silau?" tanya Ziyad."Kira-kira begitu," jawab Kevan sambil cengengesan. "Omar, apa mereka ada
"Maaf, lift VVIP sedang dalam perbaikan." Ziyad membaca papan pengumuman yang terpasang di dinding lift VVIP. Dia kecewa. Dia beralih menatap Kevan."Gimana, Tuan? Apa Anda nggak masalah kalau kita naik lift karyawan?" tanya Ziyad ragu. "Siapa takut?!" Kevan melangkah pergi menuju lift karyawan yang berada di tepat di belakangnya. Ya, lift khusus petinggi perusahaan dan lift khusus karyawan berada saling berhadapan. Maka, tidak perlu jauh-jauh untuk bisa menjangkaunya. Kevan berdiri di barisan paling depan. Begitu pintu lift karyawan terbuka, dia melangkah masuk diikuti oleh Ziyad dan Omar. Batas maksimum kapasitas lift hanya 17 orang. Kevan berdiri di paling belakang. Ziyad berada di sisi kanan dan Omar di sisi kirinya. Kevan segera mengeluarkan kacamata hitam dan memakainya. "Astaga! Kalau noraknya kumat kayak gini, rasanya aku mau bilang ... dia bukan Tuanku!"Antara kasihan dan malu, Ziyad menoleh ke arah lain agar dia tidak kelepasan tawa. Begitu juga dengan Omar yang sedan
'Ya Lord! Dia ... dia bukannya Coach Adnan Mahdi?!' Kevan membatu saat melihat sosok pria berbadan tegap yang dikenalnya. Dia adalah pelatih menembak Kevan yang dipilih majikannya. Adnan Mahdi. Seorang mantan penembak jitu pasukan khusus yang memilih pensiun dari dunia sniper dan berkarir di bidang bisnis. Sosok Adnan berhasil membuat Kevan penasaran sejak kemarin. Dan sekarang, Kevan semakin penasaran dengan kehadirannya di perusahaan keluarga Hanindra. 'Kok bisa Coach Adnan menjabat sebagai CEO HHC? Sejak kapan? Apa Kakek tahu, siapa dia?'Kevan duduk di kursinya. Pria bernama Adnan tersenyum saat Kevan menatapnya. Sesekali, Adnan mengangguk sebagai sapaan.Merasa ada yang janggal, Gibran kembali mengolok-olok Kevan. Gibran berkata, "Eh Gembel, ngapain kamu ngeliatin CEO kita kayak gitu? Kamu iri? Dia yang berusia nyaris 50 tahun bisa menjabat sebagai CEO? Sedangkan kamu, kuliah aja belum lulus! Cih!"Kevan diam. Dia hanya tersenyum tipis sebagai respon terhadap perkataan Gibran
"Jasmine Hanindra?""Siapa Jasmine Hanindra?"Suasana gaduh memenuhi ruang meeting. Kevan diam. Dia menunggu suasana kembali kondusif. "Tuan!" panggil Ziyad. "Kenapa Anda bilang gitu? Mereka nggak perlu tahu siapa kedua orang tua Anda.""Memangnya salah, kalau mereka tahu kedua orang tuaku?" tanya Kevan. "Mama harus diakui di keluarga Hanindra.""Tapi, Tuan Muda ... Tuan Christian pasti nggak suka. Gimana kalau Beliau marah?"Detik itu juga, Kevan menatap wajah Christian yang berubah merah padam. 'Sial! Bener juga kata Ziyad!' serunya di dalam hati. "Tolong diam! Berikan waktu untuk Tuan Kevan!"Hanin berteriak. Seketika itu juga, semua orang mengunci mulut mereka. "Ibu saya adalah anak pertama dan anak perempuan satu-satunya di keluarga Hanindra. Namun, Beliau memilih jalan berbeda," ujar Kevan melanjutkan bicaranya. "Saya rasa, kita nggak bisa nge-judge pilihan hidup seseorang."Meskipun Ziyad sudah mengingatkan Kevan untuk tidak bicara sesuka hati, tetapi dia tetap berbicara apap
"Oh aku nggak sangka, Manajer Umum yang songong itu ternyata kamu, Kevan?" Gibran berbisik di telinga Kevan. "Mampus kamu! Lihat, kan? Semua orang marah sama kamu! Tamat riwayat kamu!" kecam Gibran.Gibran tersenyum lebar. Dia puas mengetahui reaksi orang-orang kepada Kevan. Tanpa diketahui Kevan, Gibran bermain mata dengan ayahnyaーKen Hanindra."Kamu itu anak baru! Tapi, sok tahu!" seru Gibran menyudutkan Kevan. Kevan tahu semua orang sedang menatapnya. Dia juga tahu semua orang tidak menyukai keputusannya. 'Kalau semua orang menentang keputusan aku, terus siapa aja yang sependapat dengan aku dan menyetujui proposal Darwin Group?' tanya Kevan pada diri sendiri. 'Oh, aku tahu harus lakuin apa sekarang!'"Ziyad, berapa persen orang yang menyetujui proposal Darwin Group? Dan, berapa persen yang tidak menyetujuinya?" tanya Kevan cepat-cepat. Dia tidak ingin Christian dan semua orang menunggunya.Tidak perlu waktu lama, Maudy membantu Ziyad menjawab."Dari 100% suara dewan direksi, 49%
"Baik, Tuan Kevan," balas Hanin. Hanin dengan cepat menyambungkan flashdisk milik Kevan ke laptopnya. Layar putih di belakang Christian pun menyala. "Mampus kamu, Gibran! Habis ini, kamu nggak bisa ngelak dan ngehina-hina aku lagi!" seru Kevan pelan. "Yang terpenting, kamu nggak bisa ngehina Mama dan Papa aku lagi!"Kevan menatap Gibran yang juga sedang menatapnya. Dia berdiri merapat ke dinding tepat di belakang kursi Leon Hanindra yang berhadap-hadapan dengan kursinya. Dia sudah menunggu hari ini sejak akhir pekan lalu."Apa itu?!""Itu kan Tuan Gibran?""Iya, bener. Itu Tuan Gibran anak dari Tuan Ken Hanindra.""Bukannya itu Sekretaris Pak Miguel?""Iya. Tapi, apa yang mereka bicarakan?"Merasa namanya dipanggil, Gibran segera mengikuti arah pandang mereka ke layar putih di belakang Christian. Gibran terkejut. Dia salah tingkah. "Iーini, kan ...." Wajah Gibran memucat. Dia bahkan tidak berani menatap Christian. "Sial! Kevan dapat video ini dari mana? Apa ada orang-orang ku yang b
"Apa kalian semua akan pertahankan hubungan kerja sama cara kotor kayak ini?" tanya Kevan mengakhiri ucapannya. Dia duduk dengan tenang di kursinya. "Heh, gembel! Nggak usah sok suci!" tegur Gibran dengan suara tertahan. "Kamu itu nggak tahu apa-apa tentang nge-deal. Jadi mending diem aja!""Seenggaknya, aku nggak bodoh kayak kamu!" hardik Kevan membuat Gibran tidak berkutik.Gibran hendak membantah tuduhan Kevan. Dia berkata, "Kamuー"Brak!"Diem kamu, Gibran!" bentak Christian dengan wajah merah padam. Atmosfer ruang meeting berubah suram seketika. Semua orang terdiam. Mereka menunggu Christian bicara. Namun, pria tua itu justru terdiam."Saya nggak sangka, manajer pemasaran dan perencanaan HHC punya cara kotor kayak gitu! Pantas aja kamu begitu vokal menentang keputusan dewan direksi untuk menyetujui proposal Darwin Group!"Itu adalah suara Olivia. Wanita itu memang terkenal berani bersuara. Dia tidak memandang lawan bicaranya. "Saya pikir, Pak Gibran bersih dari hal-hal macam it
Donita menyadari ada yang tidak beres dengan suaminya. "Leon, kamu kenapa?" tanyanya, cemas. Donita bergegas lari ke arah Leon. Tangan Leon bergetar hebat. Setelah melototi dokumen kesehatan Christian di tangannya, sekarang Leon sedang menatap wajah ayahnya yang semakin memucat. Kemudian, dia segera membaca laporan keuangan keluarga.Melihat pemandangan itu, tidak ada seorang pun yang berbicara. Mereka menunggu reaksi Leon. Donita menarik paksa dokumen dari tangan Leon. Beberapa detik kemudian, mulutnya menganga lebar. "Ini nggak mungkin!" teriak Donita. "Ini pasti ada yang salah." Donita melirik Cinta yang duduk tenang memandanginya. "Iya kan, Mama mertua? Ini cuma halusinasi aku aja karena terlalu stres." Donita berkata dengan frustasi.Cinta menggeleng. Sedangkan Leon mematung di tempat. "Paman Leon sama Bibi Donita kaget, ya?" Suara Kevan memecahkan keheningan. "Di rumah ini, cuma keluarga kalian dan anak-anak Paman Ken aja yang belum tau."Hati Leon dan Donita semakin terir
Setelah kesalahpahaman dengan Ciara selesai, Kevan meminta tunangannya pergi ke Pink Beach Island lebih dulu bersama Felicia dan Quden untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan Kevan kembali ke kota Paloma. Dia ingin menjemput keluarganya sebelum menyusul Ciara. Sehari sebelumnya, Ciara sudah mengetahui rencana pernikahan mereka. Karena keduanya melakukan fitting baju pengantin bersama. "Huhhh!" Kevan menghela napas panjang. Dia baru tiba di rumah besar keluarga Hanindra. Dia berjalan menuju ruang tengah di mana semua orang telah menunggunya."Tuan, Anda harus sabar!" Omar senantiasa mengingatkan Kevan. Kevan tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa menoleh.Setibanya di ruang tengah, semua orang sudah duduk bersama Christian dan Cinta. "Silakan duduk, Tuan!" Rofiq mempersilakan Kevan untuk duduk di sisi kanan Christian. "Malam, Kakek, Nenek," sapa Kevan. Lalu, dia menatap kedua Theo dan Jasmine yang duduk di sebelahnya. Rencana Kevan untuk menyusul Ciara tidak berjalan dengan
"Apa?! Anak kandung Kak Kevan?!"Ciara mengulangi kata-kata Nulla. Dia merasa hal itu sangat mustahil. Tapi jika dipikir-pikir, tidak ada hal mustahil di dunia ini kan? Bagaimana bisa, Kevan yang begitu bucin kepada Ciara menghamili wanita lain? Apalagi wanita itu adalah Nulla yang notabenenya mantan pacar sekaligus cinta pertama Kevan. Namun, jika sudah berurusan dengan nafsu, apapun bisa saja terjadi, kan?Kevan menghela napas kasar. Dia menatap Nulla yang sedang tersenyum lebar. Kevan beranjak pergi menghampiri Ciara. "Yang, jangan dengerin Nulla!"Ciara menghempas tangan Kevan. Dia memandangi Kevan dan Nulla bergantian. "Kamu belum bisa move on dari Cinta pertama kamu ya, Kak?" Wajah Ciara masam. "Kalo kamu belum selesai sama masa lalu, jangan berani-beraninya mulai sama orang baru."Usai mengatakan hal itu, Ciara pergi. Dia mengambil langkah cepat seolah tidak peduli dengan jantungnya yang terasa sakit. "Eh, Van! Kamu mau ke mana?" Nulla berteriak. Dia mencoba menghalangi Ke
"Masuk, Van!"Nulla membuka pintu kamar apartemen nomor 303. Namun, Kevan tidak langsung masuk. Merasa tidak ada pergerakan dari Kevan, Nulla menoleh ke belakang. "Kenapa? Ayo masuk!" ajaknya lagi. Nulla baru selesai mandi. Rambutnya basah dan dia masih memakai jubah mandi. Kevan tidak bodoh. Nulla pasti sedang merencanakan sesuatu. Bisa jadi firasat Omar tadi benar. Untuk sesaat, Nulla sibuk dengan ponselnya. Dia sedang mengetik pesan singkat untuk seseorang.Nulla: Nona Ciara, cepetan dateng ke Grand Hyeth Apartment nomor 303. Kamu pasti penasaran aku dan tunangan kamu ngapain aja, kan?Nulla tidak berniat menunggu pesan balasan Ciara. Dia kembali menatap Kevan. "Ada perlu apa?" tanya Kevan dengan tatapan sinis. "Di sini aja ngomongnya!"Kevan enggan masuk. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan."Aku mau ngomongin tentang Miguel. Kamu yakin mau ngomong di depan pintu? Kamu nggak takut kalo ada yang nguping?"Nulla berdiri di ambang pintu, lalu celingukan. Sepi. Suasana di kori
Sesampainya di rumah, Kevan melihat Ciara murung. Ciara berbaring lesu di kamarnya. Dia bahkan tidak menyadari kehadiran Kevan dan Felicia. Felicia menghampiri anak satu-satunya. "Cia!" Ciara terkejut. Dia segera bangun. "Mama kapan pulang?" Sore hari yang redup ini sepertinya kota Baubau akan diguyur hujan. Suasana hati Kevan sedang tidak baik, sama seperti Ciara. Kevan mendekati Quden yang berdiri di dekat pintu. "Apa seharian ini Cia cuma tiduran aja?" tanyanya, penasaran. "Dia nggak bales chat aku sama sekali. Gimana nafsu makannya hari ini?"Quden adalah seorang yang jujur. Dia pun menjawab apa adanya. "Nona sama sekali nggak mau makan. Dia cuma minum susu aja, Bos." Kevan menatap Ciara yang sedang berbicara dengan Felicia. Wajah keduanya sedih. "Seharian ini, Nona Ciara habisin waktu di depan laptop baca-baca berita keluarga Darwin. Jadi, apa rencana Bos selanjutnya? Ngomong-ngomong, Pak Omar ke mana?""Omar masih di pengadilan. Aku balik sama Angga." Kevan terlihat benar-
"Huh!" Kevan melirik Felicia sedang menghela napas berat. Sejak tadi, Kevan berusaha menguatkan hati calon ibu mertuanya. Kevan memberikan botol air mineral kepada Felicia. "Ma, minum dulu!" Kevan lega. Karena setidaknya, Felicia masih mau minum di tengah ketegangan suasana ruang sidang. Dua hari lalu, Ciara sudah membereskan para pemegang saham yang ingin mundur dari Darwin Group. Ciara mentransfer uang sebanyak Rp 10 triliun sebagai ganti saham mereka. Tidak hanya itu, sehari sebelum sidang perdata digelar, keluarga Darwin sudah mengumumkan kebangkrutan mereka. Kini, Darwin Group telah diakuisisi oleh K.C Tobacco milik Kevan. Dengan cara itu, sudah sangat jelas bahwa K.C Tobacco ingin mengambil alih penuh tanpa melibatkan pemegang saham lama dalam struktur kepemilikan baru. Akuisisi ini memang menyakitkan bagi Ciara dan Felicia. Namun, mereka tidak memiliki cara lain. Selain itu, mereka berdua masih memiliki saham di K.C Tobacco. Tentu saja, Miguel tidak tahu hal itu. Denga
Pukul 9:00 malam waktu kota Baubau. Kevan dan Ciara sudah kembali ke rumah 1 jam yang lalu. Ciara tampak kelelahan. Mereka duduk di ruang tamu.Kevan duduk di sofa single menghadap ke pintu utama. Sedangkan Ciara dan Felicia duduk di sofa panjang bersama Arkan. Omar dan Angga berdiri di belakang Kevan. "Cia, kamu hebat. Kamu kuat menghadapi orang-orang. Aku salut sama keberanian kamu." Arkan tidak berhenti membanggakan Ciara. Namun, Kevan berwajah masam saat mendengarnya. Pintu pun terbuka. Quden berdiri di ambang pintu. Dia menatap Kevan. "Tuan, ada jajaran eksekutif di luar mau ketemu Anda dan Nona Ciara." Quden memberitahu. Sorot matanya tajam penuh dengan ancaman."Suruh masuk aja!" perintah Kevan. Kevan menatap Ciara dan Felicia. Lalu, mengangguk kepada Quden."Baik," sahut Quden. Tidak lama, dia menghilang di balik pintu. "Mama sama Cia inget kan rencana kita? Sekarang udah waktunya eksekusi."Kevan melihat Felicia tersenyum dengan paksa. Dia juga melihat sorot mata Felic
Rapat mendadak dengan jajaran eksekutif sudah selesai. Sekarang, Ciara sedang rapat bersama tim public relation dan tim kuasa hukum perusahaan di ruangan yang sama. Kevan tidak beranjak dari kursinya. Dia dengan setia menunggu Ciara menyelesaikan rapat. Di samping Kevan, Arkan duduk dengan tenang. Dia ingin melihat kepiawaian Ciara memimpin rapat.Di ruang rapat, Ciara berbicara. “Kita harus mengambil langkah-langkah yang sudah aku rencanakan untuk memulihkan kepercayaan dan memastikan Darwin Group tetap menjadi perusahaan yang dihormati,” katanya, antusias. Semua orang mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah tantangan besar, tapi dengan strategi yang tepat, mereka bisa mengatasi dampak negatif dan membangun kembali reputasi perusahaan."Siapa ketua tim public relation di sini?" tanya Ciara. Seorang wanita berambut pirang sebahu mengangkat tangan. "Saya, Nona. Nama saya Susan Arardjo.""Oke, Susan. Pertama-tama, aku mau hari ini kamu buat agenda transparansi dan komunikasi
Hari berikutnya, Ciara dan Kevan kembali ke pulau Pearl. Pagi ini, Ciara akan mengadakan rapat darurat dengan para eksekutif perusahaan Darwin Group. Kevan dan Ciara kembali bersama Arkan yang sekarang sedang rapat bersama pengacara yang dia bawa dan tim pengacara perusahaan di ruangan berbeda. Di ruang rapat Darwin Group, Ciara berbicara kepada tim manajemen. “Kita harus bekerja keras untuk memulihkan reputasi perusahaan. Aku tau, ini nggak akan mudah. Tapi dengan kerja sama dan dedikasi, aku yakin kita bisa mengatasi tantangan ini,” katanya dengan penuh semangat.Tim manajemen mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah saat yang sulit. Tapi, mereka bertekad untuk membawa Darwin Group kembali ke jalur yang benar. Mereka akan memastikan perusahaan ini tetap menjadi simbol integritas dan kepercayaan.Ciara menatap sekretarisnya. "Sarah, bagiin sekarang!""Baik, Nona." Sarah berdiri. Dia membagikan satu lembar kertas kepada tim manajemen. Kevan dan para jajaran direksi hanya te