"Ah, lega banget!" Kevan merapikan celananya sebelum keluar dari toilet. Dia membuka pintu dengan pelan. Dia berjalan menuju wastafel dan mencuci tangannya."Ini toilet kayak hotel aja! Mana WC-nya duduk. Nggak bisa sambil udud pula. Tapi, untung perutku bisa diajak kompromi.""Kevan Hanindra!"Seseorang menepuk punggung Kevan. Dia melihat sosok Adnan dari cermin di wastafel. "Coach Adnan?""Iya, Kevan. Saya nggak sangka kamu bener-bener Cucu Tuan Christian." Adnan berbicara terus terang.Adnan mencuci tangannya di wastafel sebelah kiri Kevan. Dia tidak berhenti tersenyum.'Astaga! Bisa gawat kalau dia ngomong ke Tuan Rudi!' seru Kevan cemas. "Kamu kenapa? Sakit?" tanya Adnan begitu menyadari Kevan bengong. "Kok tegang banget? Santai aja, Van! Saya justru takjub kamu yang notabenenya seorang Cucu keluarga kaya masih bisa kerja di rumah Rudi."Kevan menyadari tidak ada perubahan sikap Adnan meskipun pria itu sudah mengetahui identitas Kevan yang sebenarnya. Tapi, Kevan juga cemas dan
"Dengan kuasa saya sebagai CEO, akan mudah menemukan kesalahan Ken Hanindra. Saya mau dia jatuh miskin."'Sebenarnya ada masalah apa antara Coach dengan Paman Ken?' pikir Kevan. 'Meskipun Paman Ken itu Adik kandung Mama, tapi dia udah keterlaluan. Aku nggak akan biarin siapapun hina Mama!'"Aku percaya sama Coach. Nanti weekend kita omongin lagi, gimana?"Adnan mengangguk. "Ya, saya tunggu kamu di lapangan tembak.""Oke, Coach," ucap Kevan menyetujui. "Kalau gitu, saya duluan, Van."Adnan menepuk-nepuk pundak Kevan sambil berlalu. Tidak ada keraguan yang terpancar di wajah Kevan. Dia berjalan perlahan menyusul Adnan menuju lift di mana kedua anak buahnya menunggu."Setelah hancurin Gibran, aku memang punya niat menyeret Paman Ken ke dalam masalah. Aku nggak sangka akan punya partner seorang CEO."Kevan bangga pada dirinya sendiri. Dia semakin percaya diri. "Paman Ken pasti kepo, kenapa aku bisa kenal Coach Adnan?!" "Tuan Muda!" panggil Ziyad. "Kenapa Anda lama banget? Pak Adnan bi
"Yang bener, Nek?" Kevan tidak percaya. Dia menatap menu makan malam yang sudah tersaji di atas meja makan. "Tapi, di mana?""Di dapur," jawab Berto. "Makan sana di dapur! Jangan buat aku dan yang lainnya mual!""Iya, nih. Bikin aku nggak nafsu makan aja," gerutu Magenta."Makanya kamu jangan deket-deket sama dia!" seru Gisele. "Dia itu pembawa sial!"Brak!Christian menggebrak meja makan. Pria tua itu tidak banyak bicara, tetapi sikapnya yang tidak terduga-duga mampu mengejutkan semua orang."Kalian ini nggak tahu diri! Kalian nggak bisa ngehargain sesama saudara!" seru Christian menegur cucu-cucunya. "Biar gimanapun, Kevan itu Kakak sepupu kalian.""Nggak tahu diri gimana, Kek?" Berto tidak mau kalah. "Dia yang nggak bisa ngehargain sesama saudara! Dia udah buat image Gibran jatuh."Berto dengan berani membalikkan kata-kata Christian. Apa Christian akan diam saja?"Bagus kamu, Berto! Udah kasih apa kamu ke keluarga ini? Makan aja kamu masih ditanggung Kakek dan Nenek. Kamu itu cuma
'Kakek lagi ngapain, sih? Dia lagi udud atau apa? Ngapain duduk ngebelakangin aku gitu?' tanya Kevan menerka-nerka di dalam hati. "Ada apa, Kakek?"Kevan bertanya begitu Dabin keluar dari ruang kerja Christian. Dia berdiri di depan meja kerja pria tua itu. Christian memutar kursinya. Diantara jari telunjuk dan jari tengah, terselip cerutu yang belum pernah dilihat Kevan. 'Itu rokok apaan, ya? Kayaknya elegan banget,' pikir Kevan."Jelasin semua foto ini!"Christian melemparkan beberapa foto ke atas meja kerja. Kevan terkejut melihat foto wajahnya bersama Adnan.'Sialan! Siapa yang foto aku dan Coach Adnan?' Kevan kesal. Dia merasa gagal menjaga privasi."Iーini ....""Jangan tanya saya dapet dari mana! Jawab aja pertanyaan saya!"Kevan tahu Christian marah padanya. Kevan mengambil satu lembar foto itu."Aku dan Pak Adnanー""Apa yang kamu obrolin sama Pak Adnan? Bisnis apa yang kalian lakukan berdua?"Seketika itu juga, Kevan teringat ultimatum yang diberikan Maudy padanya."Kerja sa
"Apa?! Cia kenapa?!"Seketika itu juga, rasa kantuk Kevan hilang begitu mendengar Omar dan Ziyad menyebutkan nama Ciara. Jantungnya berdebar setiap kali mendengar nama perempuan yang mengisi hatinya. Ziyad duduk di pinggir ranjang. "Nona Ciara ...." Ziyad menatap Kevan. Dia berbicara dengan penuh keraguan."Apa?! Kenapa sama Cia?! Apa si brengsek itu ngelakuin hal gila ke Cia?! Cepet jawab, Ziyad!"Ziyad tidak menjawab pertanyaan Kevan. Dia justru menatap Omar. "Kamu aja yang kasih tahu Tuan Kevan!" serunya pada Omar. "Nona Cia drop. Sekarang di rumah sakit Mitra Internasional Baubau. Coba periksa HP Anda! Barangkali ada pihak keluarga Darwin yang telepon."Omar bicara dengan cepat. Kevan mendadak panik. Dia beranjak turun dari ranjang."Astaga!"Kevan mencari-cari ponselnya. Dia bahkan lupa di mana meletakkan benda kecil itu. "Ya Tuhan! Di mana HP aku?!" Kevan marah. Dia ingin cepat-cepat tahu kabar Ciara."Tuan!" panggil Omar. "Ini HP Anda." Omar mengambil ponsel Kevan yang bera
"Nona Cia, kamu tahu nggak? Aku tuh yakin kamu bisa sembuh dan jalani aktivitas kayak biasa."Setelah Felicia pergi menyusul suaminya ke ruang dokter, Kevan duduk di kursi menemani Ciara. Sesekali dia mengusap punggung tangan Ciara dengan lembut. "Kamu itu cewek yang kuat, Non. Inget nggak, kita pernah naik gunung Terrano Mount? Kamu nggak ada capeknya sama sekali, Non."Meskipun Kevan tahu Ciara menutup matanya, dia tetap mengajak perempuan itu bicara. Dia seolah tidak ingin kehilangan kesempatan berdua dengan Ciara. "Kalau kamu tidur terus, siapa yang mau kasih makan gelandangan, Non? Ayo dong bangun!" Kevan mulai sedih. Dia mengingat senyum Ciara. Dia mengingat candaan Ciara dan segala hal tentang Ciara Darwin. "Aku janji deh, akan buat kamu terus senyum dan temani proses sembuh kamu. Gimana? Kapan lagi bareng Kevan yang ganteng ini. Iya, nggak?"Kevan bangun. Dia mengusap rambut Ciara. Dia mengambil sisirnya yang berada di dalam tas. "Aku bantu sisirin rambut kamu ya, Non?"
"Belum ada kabar apa-apa dari Deyan, Tuan," jawab Omar.Bersamaan dengan itu, ponsel lama Kevan bergetar. Dia segera mengambilnya dari dalam saku celana.Bima: Van, Nyonya Feli dan Tuan Rudi udah balik ke kamar Nona Ciara. Mereka tanya kamu.Kevan membaca pesan dari Bima. Dia segera mengetik pesan balasan.Kevan: Ya. Aku ke kamar Nona sekarang.Usai membalas pesan Bima, Kevan berdiri. Dia hendak pergi ke ruang rawat inap Ciara. Omar bertanya, "Apa Anda mau ke ruang rawat inap Nona Ciara sekarang?" "Iya. Kalian tunggu di bawah aja," jawab Kevan. "Ziyad, bunga pesenan aku mana?"Ziyad meberik buket bunga mawar kepada Kevan, "Ini, Tuan," katanya. "Oke.""Anda nggak apa-apa naik lift sendrian, Tuan?" tanya Ziyad khawatir. Raut wajahnya seakan tidak rela membiarkan Kevan pergi sendirian."Santai aja! Tuanmu ini sekarang sudah berteman akrab sama lift." Kevan cengengesan. Kevan berjalan menuju lift. Selama menjadi cucu pertama keluarga Hanindra, baru kali ini dia pergi tanpa asisten mau
'Kartu hitam. Kartu hitam. Aku bisa pakai kartu hitam Naga Merah itu.'Kevan mengingat kartu unlimited pemberian Christian. Dia pikir, sekarang adalah waktu yang tepat untuk menggunakan kartu hitam naga merah.'Tapi, kalau Kakek tanya, gimana? Aku nggak mau pakai kalau belum terdesak.'Otak Kevan tidak bisa bekerja dengan baik. Dia kembali ragu. Dia terlihat pucat. "Kamu kenapa, Van? Sakit? Kamu balik aja ke rumah dan istirahat!"Mendengar suara Felicia membuat Kevan tersadar.'Ini bukan saatnya ngelamun. Gerak cepat, Van! Jangan sampai telat nolong Cia!' Hati kecil Kevan berseru menginginkan dia melakukan sesuatu dengan cepat. Kevan menoleh ke arah Felicia. "Aku nggak apa-apa, Nyonya. Aku kaget dengan penjelasan Nyonya dan Tuan," jawab Kevan dengan cepat. "Kalau boleh, aku izin pergi sebentar."Felicia mengangguk. "Ya, pergi aja."Kevan membungkuk. "Aku nggak lama, Nyonya, Tuan. Aku pasti ke sini lagi."Kevan melangkah pergi. Dia membuka pintu ruang rawat inap. "Eh, udah selesai,
Donita menyadari ada yang tidak beres dengan suaminya. "Leon, kamu kenapa?" tanyanya, cemas. Donita bergegas lari ke arah Leon. Tangan Leon bergetar hebat. Setelah melototi dokumen kesehatan Christian di tangannya, sekarang Leon sedang menatap wajah ayahnya yang semakin memucat. Kemudian, dia segera membaca laporan keuangan keluarga.Melihat pemandangan itu, tidak ada seorang pun yang berbicara. Mereka menunggu reaksi Leon. Donita menarik paksa dokumen dari tangan Leon. Beberapa detik kemudian, mulutnya menganga lebar. "Ini nggak mungkin!" teriak Donita. "Ini pasti ada yang salah." Donita melirik Cinta yang duduk tenang memandanginya. "Iya kan, Mama mertua? Ini cuma halusinasi aku aja karena terlalu stres." Donita berkata dengan frustasi.Cinta menggeleng. Sedangkan Leon mematung di tempat. "Paman Leon sama Bibi Donita kaget, ya?" Suara Kevan memecahkan keheningan. "Di rumah ini, cuma keluarga kalian dan anak-anak Paman Ken aja yang belum tau."Hati Leon dan Donita semakin terir
Setelah kesalahpahaman dengan Ciara selesai, Kevan meminta tunangannya pergi ke Pink Beach Island lebih dulu bersama Felicia dan Quden untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan Kevan kembali ke kota Paloma. Dia ingin menjemput keluarganya sebelum menyusul Ciara. Sehari sebelumnya, Ciara sudah mengetahui rencana pernikahan mereka. Karena keduanya melakukan fitting baju pengantin bersama. "Huhhh!" Kevan menghela napas panjang. Dia baru tiba di rumah besar keluarga Hanindra. Dia berjalan menuju ruang tengah di mana semua orang telah menunggunya."Tuan, Anda harus sabar!" Omar senantiasa mengingatkan Kevan. Kevan tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa menoleh.Setibanya di ruang tengah, semua orang sudah duduk bersama Christian dan Cinta. "Silakan duduk, Tuan!" Rofiq mempersilakan Kevan untuk duduk di sisi kanan Christian. "Malam, Kakek, Nenek," sapa Kevan. Lalu, dia menatap kedua Theo dan Jasmine yang duduk di sebelahnya. Rencana Kevan untuk menyusul Ciara tidak berjalan dengan
"Apa?! Anak kandung Kak Kevan?!"Ciara mengulangi kata-kata Nulla. Dia merasa hal itu sangat mustahil. Tapi jika dipikir-pikir, tidak ada hal mustahil di dunia ini kan? Bagaimana bisa, Kevan yang begitu bucin kepada Ciara menghamili wanita lain? Apalagi wanita itu adalah Nulla yang notabenenya mantan pacar sekaligus cinta pertama Kevan. Namun, jika sudah berurusan dengan nafsu, apapun bisa saja terjadi, kan?Kevan menghela napas kasar. Dia menatap Nulla yang sedang tersenyum lebar. Kevan beranjak pergi menghampiri Ciara. "Yang, jangan dengerin Nulla!"Ciara menghempas tangan Kevan. Dia memandangi Kevan dan Nulla bergantian. "Kamu belum bisa move on dari Cinta pertama kamu ya, Kak?" Wajah Ciara masam. "Kalo kamu belum selesai sama masa lalu, jangan berani-beraninya mulai sama orang baru."Usai mengatakan hal itu, Ciara pergi. Dia mengambil langkah cepat seolah tidak peduli dengan jantungnya yang terasa sakit. "Eh, Van! Kamu mau ke mana?" Nulla berteriak. Dia mencoba menghalangi Ke
"Masuk, Van!"Nulla membuka pintu kamar apartemen nomor 303. Namun, Kevan tidak langsung masuk. Merasa tidak ada pergerakan dari Kevan, Nulla menoleh ke belakang. "Kenapa? Ayo masuk!" ajaknya lagi. Nulla baru selesai mandi. Rambutnya basah dan dia masih memakai jubah mandi. Kevan tidak bodoh. Nulla pasti sedang merencanakan sesuatu. Bisa jadi firasat Omar tadi benar. Untuk sesaat, Nulla sibuk dengan ponselnya. Dia sedang mengetik pesan singkat untuk seseorang.Nulla: Nona Ciara, cepetan dateng ke Grand Hyeth Apartment nomor 303. Kamu pasti penasaran aku dan tunangan kamu ngapain aja, kan?Nulla tidak berniat menunggu pesan balasan Ciara. Dia kembali menatap Kevan. "Ada perlu apa?" tanya Kevan dengan tatapan sinis. "Di sini aja ngomongnya!"Kevan enggan masuk. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan."Aku mau ngomongin tentang Miguel. Kamu yakin mau ngomong di depan pintu? Kamu nggak takut kalo ada yang nguping?"Nulla berdiri di ambang pintu, lalu celingukan. Sepi. Suasana di kori
Sesampainya di rumah, Kevan melihat Ciara murung. Ciara berbaring lesu di kamarnya. Dia bahkan tidak menyadari kehadiran Kevan dan Felicia. Felicia menghampiri anak satu-satunya. "Cia!" Ciara terkejut. Dia segera bangun. "Mama kapan pulang?" Sore hari yang redup ini sepertinya kota Baubau akan diguyur hujan. Suasana hati Kevan sedang tidak baik, sama seperti Ciara. Kevan mendekati Quden yang berdiri di dekat pintu. "Apa seharian ini Cia cuma tiduran aja?" tanyanya, penasaran. "Dia nggak bales chat aku sama sekali. Gimana nafsu makannya hari ini?"Quden adalah seorang yang jujur. Dia pun menjawab apa adanya. "Nona sama sekali nggak mau makan. Dia cuma minum susu aja, Bos." Kevan menatap Ciara yang sedang berbicara dengan Felicia. Wajah keduanya sedih. "Seharian ini, Nona Ciara habisin waktu di depan laptop baca-baca berita keluarga Darwin. Jadi, apa rencana Bos selanjutnya? Ngomong-ngomong, Pak Omar ke mana?""Omar masih di pengadilan. Aku balik sama Angga." Kevan terlihat benar-
"Huh!" Kevan melirik Felicia sedang menghela napas berat. Sejak tadi, Kevan berusaha menguatkan hati calon ibu mertuanya. Kevan memberikan botol air mineral kepada Felicia. "Ma, minum dulu!" Kevan lega. Karena setidaknya, Felicia masih mau minum di tengah ketegangan suasana ruang sidang. Dua hari lalu, Ciara sudah membereskan para pemegang saham yang ingin mundur dari Darwin Group. Ciara mentransfer uang sebanyak Rp 10 triliun sebagai ganti saham mereka. Tidak hanya itu, sehari sebelum sidang perdata digelar, keluarga Darwin sudah mengumumkan kebangkrutan mereka. Kini, Darwin Group telah diakuisisi oleh K.C Tobacco milik Kevan. Dengan cara itu, sudah sangat jelas bahwa K.C Tobacco ingin mengambil alih penuh tanpa melibatkan pemegang saham lama dalam struktur kepemilikan baru. Akuisisi ini memang menyakitkan bagi Ciara dan Felicia. Namun, mereka tidak memiliki cara lain. Selain itu, mereka berdua masih memiliki saham di K.C Tobacco. Tentu saja, Miguel tidak tahu hal itu. Denga
Pukul 9:00 malam waktu kota Baubau. Kevan dan Ciara sudah kembali ke rumah 1 jam yang lalu. Ciara tampak kelelahan. Mereka duduk di ruang tamu.Kevan duduk di sofa single menghadap ke pintu utama. Sedangkan Ciara dan Felicia duduk di sofa panjang bersama Arkan. Omar dan Angga berdiri di belakang Kevan. "Cia, kamu hebat. Kamu kuat menghadapi orang-orang. Aku salut sama keberanian kamu." Arkan tidak berhenti membanggakan Ciara. Namun, Kevan berwajah masam saat mendengarnya. Pintu pun terbuka. Quden berdiri di ambang pintu. Dia menatap Kevan. "Tuan, ada jajaran eksekutif di luar mau ketemu Anda dan Nona Ciara." Quden memberitahu. Sorot matanya tajam penuh dengan ancaman."Suruh masuk aja!" perintah Kevan. Kevan menatap Ciara dan Felicia. Lalu, mengangguk kepada Quden."Baik," sahut Quden. Tidak lama, dia menghilang di balik pintu. "Mama sama Cia inget kan rencana kita? Sekarang udah waktunya eksekusi."Kevan melihat Felicia tersenyum dengan paksa. Dia juga melihat sorot mata Felic
Rapat mendadak dengan jajaran eksekutif sudah selesai. Sekarang, Ciara sedang rapat bersama tim public relation dan tim kuasa hukum perusahaan di ruangan yang sama. Kevan tidak beranjak dari kursinya. Dia dengan setia menunggu Ciara menyelesaikan rapat. Di samping Kevan, Arkan duduk dengan tenang. Dia ingin melihat kepiawaian Ciara memimpin rapat.Di ruang rapat, Ciara berbicara. “Kita harus mengambil langkah-langkah yang sudah aku rencanakan untuk memulihkan kepercayaan dan memastikan Darwin Group tetap menjadi perusahaan yang dihormati,” katanya, antusias. Semua orang mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah tantangan besar, tapi dengan strategi yang tepat, mereka bisa mengatasi dampak negatif dan membangun kembali reputasi perusahaan."Siapa ketua tim public relation di sini?" tanya Ciara. Seorang wanita berambut pirang sebahu mengangkat tangan. "Saya, Nona. Nama saya Susan Arardjo.""Oke, Susan. Pertama-tama, aku mau hari ini kamu buat agenda transparansi dan komunikasi
Hari berikutnya, Ciara dan Kevan kembali ke pulau Pearl. Pagi ini, Ciara akan mengadakan rapat darurat dengan para eksekutif perusahaan Darwin Group. Kevan dan Ciara kembali bersama Arkan yang sekarang sedang rapat bersama pengacara yang dia bawa dan tim pengacara perusahaan di ruangan berbeda. Di ruang rapat Darwin Group, Ciara berbicara kepada tim manajemen. “Kita harus bekerja keras untuk memulihkan reputasi perusahaan. Aku tau, ini nggak akan mudah. Tapi dengan kerja sama dan dedikasi, aku yakin kita bisa mengatasi tantangan ini,” katanya dengan penuh semangat.Tim manajemen mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah saat yang sulit. Tapi, mereka bertekad untuk membawa Darwin Group kembali ke jalur yang benar. Mereka akan memastikan perusahaan ini tetap menjadi simbol integritas dan kepercayaan.Ciara menatap sekretarisnya. "Sarah, bagiin sekarang!""Baik, Nona." Sarah berdiri. Dia membagikan satu lembar kertas kepada tim manajemen. Kevan dan para jajaran direksi hanya te