Satu bulan berlalu …
Milan, Italia.
“Good, Joice. Angkat dagumu dan lihat ke arah kanan.” Sang fotografer memberikan interuksi pada Joice yang tengah dipotret. Tentu Joice langsung menuruti interuksi sang fotografer itu.
“Ya, good, Joice. Gerakan sedikit pinggulmu ke kanan. Sesuaikan dengan lekuk tubuhmu,” ucap sang fotografer lagi. Tampak Joice bergaya di depan kamera dengan begitu professional.
Joice bukanlah seorang model baru. Wanita itu sangat tahu bagaimana berpose tetap sempurna di depan kamera. Nama Joice Osbert sudah tak perlu lagi diragukan dalam dunia modelling.
“Oke, selesai. Thanks, Joice,” ucap sang fotografer pada Joice.
Joice tersenyum merespon fotografer itu. Selanjutnya, wanita itu memutuskan untuk melangkah menuju ke ruang istirahatnya. Raut wajahnya sedikit lelah. Memiliki banyak aktivitas dalam pekerjaan kerap membuat Joice melupakan kehidupan pribadinya.
“Joice, apa kau ingin makan?” Hana—sang manager—berucap di kala Joice memasuki ruang istirahat.
Joice menggeleng pelan. “Tidak, Hana. Aku sedang tidak lapar.” Dia duduk di sofa sambil memeluk bantal kecil sofa.
Hana duduk di samping Joice. “Joice, beberapa hari ini kau jarang sekali makan. Kau juga sering mual. Apa kau sedang sakit?” tanyanya khawatir.
Sudah beberapa hari ini, nafsu makan Joice menurun drastis. Pun Joice kehilangan beberapa kilo berat badannya. Setiap kali Hana bertanya selalu Joice mengatakan bahwa dia baik-baik saja.
“Tidak, aku tidak sakit. Mungkin aku sedikit lelah karena jadwalku yang padat,” jawab Joice berusaha untuk tersenyum walaupun pancaran matanya menunjukkan kerapuhan. “Hana, kapan aku kembali ke London? Aku tidak ingin berlama-lama di kota ini.”
Setelah dari Las Vegas, Joice memiliki jadwal pemotretan di Milan. Akan tetapi, dia tidak ingin berlama-lama berada di Milan. Milan adalah kota yang dia hindari karena tak ingin bertemu lagi dengan pria yang telah menorehkan luka begitu dalam padanya.
Hana mengembuskan napas panjang. “Joice, kau masih belum bisa pulang. Kemungkinan tiga hari lagi baru kau bisa pulang. Malam ini saja kau memiliki jamuan makan malam.”
Joice berdecak kesal. “Aku tidak mau ikut di acara jamuan makan malam. Kau saja yang datang mewakiliku.”
Sejak dulu, Joice paling malas menghadiri jamuan makan malam. Pasti para model dan artis hanya memamerkan kekasih mereka yang hebat. Itu yang membuat Joice sangat malas. Biasanya jika acara-acara ajang pamer, Joice selalu meminta Hana untuk mewakilinya. Sedangkan Joice lebih memilih untuk tidur di kamar. Wanita itu sudah memiliki jadwal yang sangat amat padat.
Hana mendengkus tak suka. “Joice, kali ini kau harus hadir. Namamu sudah terdaftar sebagai tamu special. Acara ini bukan murni jamuan makan malam saja, tapi juga pelelangan berlian langka dan mahal. Di akhir acara, akan ada fashion show berlian termahal, dan kau wajib memakai berlian termahal itu. Kau akan menjadi bintang penutup acara.”
Mata Joice menatap jengkel Hana. “Kenapa kau tidak diskusi padaku lebih dulu, Hana?” tanyanya kesal.
Joice paling malas menjadi model di acara pelelangan berlian. Pastinya dia hanya akan bertemu dengan para wanita manja yang merengek meminta dibelikan berlian pada kekasihnya. Joice sedang malas melihat drama-drama murahan.
“Joice, kau mendapatkan bayaran mahal. Selain itu, kau juga akan mendapatkan salah satu koleksi berlian langka yang dipamerkan nanti. Jadi aku pikir kau akan setuju dengan niatku. Come on, Joice. Kau jangan menolak tawaran yang menggiurkan. Kalau kau malas bertemu dengan banyak orang, kau bisa menunggu di dalam ruang khusus para model. Kau bisa menghindari para tamu undangan.” Hana menatap Joice penuh dengan permohonan agar Joice menerima tawaran ini.
Joice memejamkan mata lelah. Dia malas sekali mengambil tawaran yang dimaksud oleh Hana. Tapi manager-nya itu sudah terlanjur menerima. Jika dia membatalkan, maka itu sama saja dengan tidak professional. Joice tidak mau sampai sikapnya ini berdampak buruk untuk karirnya.
“Oke, fine. Aku akan ikut,” ucap Joice dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Hana tersenyum manis. “Ya sudah, aku harus siapkan pakaianmu untuk nanti malam. Kau makanlah. Jangan sampai tidak makan. Terlalu kurus juga tidak bagus.”
Joice mengangguk merespon ucapan Hana. Detik selanjutnya, Hana bangkit berdiri melangkah meninggalkan Joice di ruang istirahat sendirian. Tepat di kala Hana sudah pergi, Joice memutuskan menyandarkan kepalanya ke sofa.
Namun, tiba-tiba perut Joice seakan benar-benar diaduk. Rasa mualnya tidak lagi bisa tertahankan. Dia segera bangkit berdiri—berlari menuju ke toilet yang letaknya tak terlalu jauh darinya.
Hueekkk
Hueekkk
Cairan bening keluar dari mulut Joice. Wanita itu memuntahkan semua isi perutnya. Perut Joice seakan diaduk. Kepalanya pusing luar biasa. Bahkan tubuh Joice nyaris tumbang. Kalau saja Joice yang memegang kuat wastafel—maka sudah pasti Joice akan tumbang.
Joice memutar keran wastafel, membasuh bibirnya dengan air bersih. Wanita itu menyandarkan tubuhnya ke dinding dan memijat keningnya yang sedikit pusing. Raut wajah Joice begitu bingung. Joice tak mengerti kenapa dirinya belakangan ini sering sekali mual hebat.
Seketika sesuatu hal menyelinap masuk ke dalam otak Joice di kala dirinya mengingat akan sesuatu. Kepanikan dan rasa cemas melingkupi wanita cantik itu. Debar jantungnya berpacu dengan kencang—namun buru-buru dia segera menepis rasa khawatir dan takut dalam dirinya.
“Tidak mungkin!” seru Joice seraya meremas perutnya dengan wajah yang masih berusaha menutupi rasa panik.
***
Sebuah pelelangan berlian di pusat kota Milan dihadiri oleh banyak pengusaha, model ternama, bahkan artis kalangan atas. Yang bisa hadir di acara pelelangan itu bukanlah orang sembarangan.
Pelelangan berlian langka yang didominasi dengan acara jamuan makan malam. Banyak sekali pasangan yang hadir. Pasangan yang tentunya selalu memamerkan harta dan paras kecantikan serta ketampanan.
Joice mengembuskan napas panjang. Selama acara berlangsung, dia duduk di kursi tengah. Tak sedikit para pengusaha muda yang sudah memiliki pasangan berusaha menggoda Joice.
Bagaimana tidak? Paras Joice yang cantik luar biasa, membuat para kaum adam bertekuk lutut padanya. Namun, tentu Joice tak pernah sedikit pun tertarik pada pria yang sudah memiliki pasangan.
Hati Joice sekarang seperti kepingan puzzle yang tak tersusun rapi sempurna. Semuanya hancur dan kacau. Tapi wanita itu berusaha sekeras mungkin untuk tetap menjadi sosok yang utuh.
Joice tak ingin orang lain melihat kelemahannya. Hal tersebut yang membuat Joice selalu memiliki tameng untuk dirinya sendiri agar tidak rapuh sama sekali. Memang itu tidak mudah, tapi wanita itu selalu berjuang untuk tetap bisa berdiri di kedua kakinya sendiri.
“Joice, kau di sini?” Hana menghampiri Joice.
Joice menatap Hana. “Aku sedang malas di depan. Di sana ramai sekali.”
Joice sengaja tidak memilih kursi paling depan karena kondisi di depan sangat ramai. Terlebih banyak sekali teman-teman sesama model yang tengah pamer pasangan mereka yang hebat. Sungguh, Joice sangat muak akan itu.
“Kau mau minum?” Hana menawarkan vodka pada Joice.
Joice menerima vodka itu. “Thanks,” jawabnya sambil menyesap perlahan.
“Sebentar lagi akan fashion show berlian langka. Puncaknya adalah dirimu. Kau harus segera bersiap. Konsep gaun sudah dipilihkan. Nanti kau tinggal ganti gaunmu,” kata Hana memberi tahu.
Joice mengangguk terpaksa. Tak ada pilihan lain bagi Joice, selain menuruti perkataan sang manager. Walau sebenarnya dia sangat malas. Tapi apa boleh buat. Demi menjaga nama baik, dia harus bersikap professional.
Joice hendak berbalik, namun tanpa sengaja tatapan Joice teralih pada pasangan yang memasuki tempat acara. Tampak seluruh mata tertuju pada pria tampan yang datang bersama dengan seorang wanita cantik dan seksi.
Raut wajah Joice berubah. Sepasang iris mata abu-abunya berkilat penuh perasaan campur aduk. Pun hatinya seakan terbakar oleh bara api, namun mati-matian dirinya berusaha untuk mengendalikan diri.
‘Marcel.’
Nama itu kembali tercetus di dalam hati Joice. Nama yang sudah satu bulan ini tak ingin dia sebut-sebut lagi. Nama yang sudah Joice hindari ternyata kembali muncul di hadapannya.Napas Joice memburu. Otaknya sulit berpikir jernih. Melihat Marcel datang bersama dengan seorang wanita cantik membuat hati Joice seakan memiliki luka yang tersiram alkohol. Sangat perih dan menyakitkan.Joice menyadari bahwa dirinya memang sangat bodoh. Tak pernah berhenti mencintai seorang pria yang tidak pernah sedikit pun melirik dirinya. Berjuang melupakan bayang-bayang cinta pertamanya bukanlah sesuatu hal yang mudah.“Joice, bukankah itu Marcel De Luca?” tanya Hana memastikan. Sebagai manager Joice sejak lama, tak mungkin Hana tidak tahu tentang Marcel—yang merupakan cinta pertama Joice.“Ya.” Joice memilih untuk menjawab ini, seakan dirinya bersikap acuh tak peduli akan apa yang dia lihat.Hana memilih diam di kala melihat ekspresi wajah Joice. Dia mulai mengerti, dan tak berani lagi berucap karena ta
Tubuh Marcel menegang mendengar apa yang sang dokter ucapkan. Sepasang iris mata cokelat gelap Marcel berkilat penuh keterkejutan. Pria itu meyakinkan bahwa apa yang dia dengar ini adalah salah, tetapi apa yang dikatakan oleh sang dokter sangatlah jelas. Dia tidak mungkin salah mendengar. Bukan hanya Marcel yang terkejut tapi juga Hana. Selama ini yang Hana tahu Joice tidak memiliki kekasih. Fakta tentang kehamilan Joice tentunya sulit dicerna oleh wanita itu.“K-kandungan Joice lemah? Maksudmu Joice—” Marcel berusaha untuk berucap, namun otaknya menjadi blank hingga membuat kata-kata yang hendak dia ucap tersangkut di tenggorokan.Sang dokter menatap Marcel. “Maaf, Tuan. Apa Anda tidak tahu kalau Nona Joice Osbert sedang hamil?” tanyanya.Marcel hanya menggeleng dengan tatapan dingin menatap sang dokter. Tatapan yang tersirat meminta sang dokter untuk menjelaskan padanya secara lebih detail.“Tuan, usia kandungan Nona Joice Osbert adalah lima minggu. Kandungannya lemah karena saya m
Kilat mata Joice menajam mendengar apa yang Marcel katakan. Tatapan yang tersirat seperti laser membunuh lawan. Rahang Marcel mengetat. Tangannya mengepal begitu kuat.Kemarahan dan emosi menyelimuti Marcel di kala mendengar apa yang Joice katakan. Seakan perkataan Joice telah memancing amarahnya seperti ada bara api yang berada di atas kepalanya.“How dare you, Joice,” geram Marcel dengan sorot mata kian tajam. Kepala Marcel seakan dipenuhi bara api.Joice tersenyum patah melihat kemarahan Marcel. “Kenapa kau harus marah, Marcel? Anak yang aku kandung adalah anak yang tidak sama sekali kau inginkan. Harusnya kau setuju dengan apa yang telah aku putuskan.”Joice merasa dirinya sudah gila karena mengambil sebuah keputusan di mana dirinya harus membunuh. Tapi, dirinya tidak memiliki pilihan lain. Apa yang diputuskannya adalah yang terbaik.Joice menyadari bahwa anak yang ada di kandungannya adalah yang tak diinginkan Marcel. Sekalipun jauh dari dalam lubuk hati Joice terdalam, dia bahag
Pelupuk mata Joice terbuka secara perlahan. Object pertama yang Joice lihat adalah Hana. Manager-nya itu duduk di tepi ranjang dan terus menatapnya. Dia sedikit memijat kepalanya di kala merasakan sedikit pusing.“Joice, minumlah.” Hana segera memberikan segelas air putih untuk Joice, dan juga membantu Joice untuk sedikit bangun.“Thanks, Hana.” Joice meminum perlahan air putih itu.Hana meletakan secangkir gelas yang berisikan air putih ke atas meja. “Aku senang kau sudah siuman, Joice.” Joice duduk dibantu Hana. Wanita itu bersandar di kepala ranjang dalam posisi ada bantal yang bisa membuat punggungnya merasa empuk dan nyaman. Tampak raut wajah Joice menjadi muram. Kepingan memori ingatannya mengingat semuanya. Kehamilan yang sama sekali tidak pernah dia sangka. Joice tak mengira hubungan satu malamnya dengan Marcel berakibat membuat dirinya sampai harus mengandung benih pria itu. Jika saja Joice bisa bertindak untuk mencegah kehamilan, maka dia akan melakukan hal tersebut. Di
“Marcel? Kau di sini?” Brianna berucap seraya menatap Marcel. Dia sedikit tak mengira Marcel mengunjungi Joice. Pasalnya Brianna tahu sejak dulu Marcel paling tidak suka berada di dekat putrinya.“Apa yang membawamu ke sini, Marcel?” Dean sedikit tak ramah melihat kehadiran Marcel. Pria paruh baya yang masih sangat tampan itu, tak bisa ramah dengan Marcel karena selama ini dia tahu Marcel selalu bersikap dingin pada putrinya. Bahkan di masa lalu, Marcel menjauhi Joice seperti Joice adalah virus paling menjijikkan di muka bumi ini. Joice mengembuskan napas gelisah melihat kehadiran Marcel. Dia belum siap orang tuanya tahu, tapi kenapa malah pria itu muncul secepat ini? Sungguh, Joice membenci situasi yang membuatnya tersulut seperti ini.Marcel melangkah mendekat ke arah Brianna dan Dean. “Aku yang membawa Joice ke rumah sakit.”“Kau yang membawa Joice ke rumah sakit?” Mata Brianna sedikit melebar. Dia tak percaya mendengar apa yang Marcel katakan. Rasanya itu semua sangatlah tidak m
Brianna panik luar biasa di kala Joice pingsan. Kepanikan dan rasa takut dalam dirinya sudah tidak bisa lagi tertahankan. Air mata wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu berlinang deras.Dean memeluk Brianna berusaha menenangkan istrinya itu dari kepanikan. Meskipun khawatir dan juga panik, tapi Dean berusaha untuk tenang. Pasalnya jika dia tak bisa mengendalikan rasa panik, maka istrinya akan jauh lebih parah lagi.Marcel sejak tadi berdiri berjarak dari Dean dan Brianna. Raut wajah pria itu dingin dan sorot mata tegas. Meskipun dia sejak tadi hanya diam, nyatanya pancaran matanya menunjukkan rasa cemas.Saat ini dokter tengah memeriksa keadaan Joice. Brianna, Dean, dan Marcel terus menatap dokter yang memeriksa keadaan Joice. Sampai detik ini, Joice belum siuman. Itu yang membuat Brianna terus menangis. Sekalipun Dean sudah menenangkan Brianna, tapi tetap saja Brianna tak bisa berhenti ketakutan.“Brianna, jangan menangis terus. Tenanglah.” Dean mengusap-usap punggung istrin
“M-mengandung anakmu?” Tubuh Miracle nyaris tumbang mendengar apa yang dikatakan oleh Marcel. Beruntung, Mateo segera merengkuh bahu sang istri agar tetap bisa berdiri tegak.“Marcel, jelaskan semua ini dan bicara yang benar!” Mateo memberikan tatapan tajam pada putranya. Tatapan yang tak main-main pada putranya itu. Dia tak suka putranya berbicara sesuatu hal yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.“Nak, tolong bicara yang benar.” Miracle meminta Marcel untuk berbicara dengan benar.Marcel sudah menduga pasti kedua orang tuanya tidak akan langsung memercayai apa yang dirinya katakan. Karena memang apa yang terjadi dikatakan hal yang benar-benar tidak mungkin terjadi.“Aku dan Joice terjebak di sebuah kesalahan. Sekarang Joice mengandung anakku. Aku harus bertanggung jawab. Aku tidak ingin anak itu lahir dalam posisi tidak memiliki status ayah kandung,” ucap Marcel yang seketika itu juga membuat Miracle dan Marcel terkejut.“Berani sekali kau membuat masalah seperti ini, Marcel!” bent
Marcel membubuhkan tanda tangan di dokumen yang diberikan oleh sang asisten. “Apa jadwalku hari ini, Hendy?” tanyanya dingin.“Sore ini Anda harus bertemu dengan salah satu client kita dari Dubai, Tuan,” jawab Hendy sopan memberi tahu.Marcel melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya—waktu menunjukkan pukul satu siang. Itu menandakan dirinya masih memiliki waktu untuk bersantai sejenak.“Kosongkan jadwalku dua jam ke depan. Aku tidak ingin diganggu siapa pun,” ucap Marcel dingin memberi perintah.Hendy mengangguk sopan. “Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Lalu, dia segera pamit undur diri dari hadapan Marcel.Namun di saat Hendy pergi, tiba-tiba terdengar suara keributan—hingga suara dobrakan pintu keras—dan sontak membuat Marcel mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu.“Berengsek!” Seorang pria paruh baya tampan melangkah maju, menarik kerah kemeja Marcel, dan langsung melayangkan pukulan keras di wajah Marcel.BUGHMarcel tak sempat menghindar, karena pukula