Tubuh Marcel menegang mendengar apa yang sang dokter ucapkan. Sepasang iris mata cokelat gelap Marcel berkilat penuh keterkejutan. Pria itu meyakinkan bahwa apa yang dia dengar ini adalah salah, tetapi apa yang dikatakan oleh sang dokter sangatlah jelas. Dia tidak mungkin salah mendengar.
Bukan hanya Marcel yang terkejut tapi juga Hana. Selama ini yang Hana tahu Joice tidak memiliki kekasih. Fakta tentang kehamilan Joice tentunya sulit dicerna oleh wanita itu.
“K-kandungan Joice lemah? Maksudmu Joice—” Marcel berusaha untuk berucap, namun otaknya menjadi blank hingga membuat kata-kata yang hendak dia ucap tersangkut di tenggorokan.
Sang dokter menatap Marcel. “Maaf, Tuan. Apa Anda tidak tahu kalau Nona Joice Osbert sedang hamil?” tanyanya.
Marcel hanya menggeleng dengan tatapan dingin menatap sang dokter. Tatapan yang tersirat meminta sang dokter untuk menjelaskan padanya secara lebih detail.
“Tuan, usia kandungan Nona Joice Osbert adalah lima minggu. Kandungannya lemah karena saya menemukan di tubuh Nona Joice Osbert dimasuki alkohol. Itu berarti Nona Joice Osbert mengkonsumsi alkohol. Padahal usia kandungan yang masih sangat rentan tidak disarankan minum alkohol,” ujar sang dokter memberi tahu tentang keadaan Joice.
“Tadi Joice minum vodka. A-aku yakin Joice tidak tahu kalau sedang hamil. Itu kenapa dia minum alkohol,” ucap Hana gugup.
Sang dokter menatap Hana. “Ada baiknya, jika kita merasa rutin berhubungan seksual, harus segera memeriksa apalagi jikia sampai mengalami terlambat datang bulan.”
Hana menatap bingung sang dokter. Dia tak tahu harus menjawab apa. Pasalnya, dia sangat mengenal dengan baik Joice. Selama ini Joice tidak pernah dekat dengan siapa pun. Kalau sampai Joice hamil, maka akan menjadi tanda tanya besar siapa ayah dari bayi yang dikandung oleh Joice.
Marcel tetap diam mendengar apa yang sang dokter katakan. Napasnya berembus kasar. Pria itu memejamkan mata singkat. Benak Marcel sekarang tengah memikirkan tentang kejadiannya dengan Joice saat di Las Vegas.
‘Shit!’ Marcel mengumpat dalam hati merutuki kejadian yang sama sekali tak pernah dia inginkan. Obat perangsang membuat Marcel benar-benar kehilangan akal sehatnya. Sialnya, di kala dirinya waktu itu dijebak, malah Joice muncul—dan membuat semuanya menjadi berantakan kacau balau.
“Bagaimana keadaan Joice sekarang?” tanya Marcel dingin pada sang dokter.
“Tuan, kondisi Nona Osbert lemah. Saya harap beliau istirahat total untuk beberapa hari ke depan,” jawab sang dokter memberi saran.
“Apa aku bisa melihat Joice?” tanya Marcel lagi.
“Silakan, Tuan.” Sang dokter mempersilakan Marcel.
Marcel langsung masuk ke dalam ruang rawat Joice. Sedangkan Hana masih bergeming di tempatnya—dengan wajah yang kebingungan. Hana tidak tahu bagaimana harus bertindak. Semuanya sangat sulit untuk dicerna.
Di ruang rawat, Marcel menatap Joice yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Pikiran pria itu berkecamuk. Semua umpatan dan makian sejak tadi lolos di dalam hatinya. Sungguh, dia tidak henti mengumpati kebodohannya yang malah terjebak dalam sebuah lingkaran api.
Semua hal menjadi rumit karena Joice sekarang mengandung. Tanpa ragu, Marcel sangat yakin bahwa Joice mengandung anaknya. Kala itu, Marcel di bawah pengaruh obat perangsang. Dia pasti tidak memakai pengaman. Hal tersebut yang membuat Marcel tak tahu harus melakukan apa. Dia bimbang dalam mengambil sebuah keputusan.
***
Mata Joice mengerjap beberapa kali. Cahaya lampu rumah sakit yang menjadi object pertama yang Joice lihat. Rasa di kepalanya sedikit pusing. Pun perut bagian bawahnya sedikit sakit—hingga membuatnya merintih kesakitan.
“Joice? Kau sudah siuman?” Hana terkejut melihat Joice sudah membuka mata. Kelegaan muncul di dalam hatinya. Paling tidak sekarang dia lihat Joice sudah siuman.
Perlahan, kesadaran Joice sudah mulai pulih. “Hana? Aku di mana?”
“Kau di rumah sakit. Saat fashion show, kau pingsan,” jawab Hana memberi tahu.
Joice terdiam mendengar apa yang dikatakan Hana. Kepingan memori di dalam pikirannya muncul. Ya, Joice mengingat saat acara fashion show malah dirinya jatuh pingsan.
Joice mendesah panjang merutuki kebodohannya. Dia tidak menyangka kalau dirinya selemah ini sampai pingsan di acara penting. Sungguh, itu benar-benar sangatlah memalukan.
“Hana, maafkan aku. Aku yakin aku terlalu lelah sampai seperti ini,” ucap Joice pelan.
Hana menggigit bibir bawahnya. Dia bingung bagaimana harus berbicara dengan Joice. “Hm, Joice. Kau bukan kelelahan. Tapi kau—” Ucapannya menggantung, karena bingung.
“Aku kenapa?” Kening Joice mengerut dalam, menatap lekat Hana, meminta manager-nya itu untuk menjawab.
Hana kian menggigit bibir bawahnya. “Joice, harusnya Marcel yang menyampaikan padamu, bukan aku.”
Tadi, di kala Marcel meminta Hana menjaga Joice, pria itu berpesan pada Hana untuk tidak langsung mengatakan tentang kehamilan Joice pada Joice. Hal tersebut yang membuat Hana tidak bisa berkutik sama sekali.
Kening Joice mengerut dalam, menatap tak mengerti pada Hana. “Kenapa harus Marcel? Ada apa dengannya?” tanyanya.
Hana mendesah panjang. “Joice—”
“Kau sedang mengandung.” Marcel menginterupsi percakapan Joice dan Hana. Pria itu yang tadinya meninggalkan sebentar ruang rawat Joice, sekarang sudah kembali, karena memang dia harus menyelesaikan apa yang harus dirinya selesaikan.
Saat Marcel datang, buru-buru Hana pamit pergi. Hana tidak ingin mengganggu Joice dan Marcel. Pun dia yakin akan ada pembahasan pribadi antara Joice dan Marcel.
Mata Joice melebar mendengar apa yang Marcel katakan. Debar jantungnya berpacu tak karuan. “A-apa? H-hamil?” jawabnya terbata-bata.
Marcel mendekat ke arah Joice. “Ya, kau hamil. Kejadian malam itu saat kita di Las Vegas membuatmu hamil.”
Tubuh Joice menegang. Otaknya kesulitan berpikir. Ingatannya teringat akan dirinya yang memang belakangan ini mual hebat dan juga terlambat datang bulan. Joice menggelengkan kepalanya meyakinkan bahwa ini semua salah.
“Tidak mungkin!” seru Joice dengan mata berkaca-kaca.
Marcel menatap dingin Joice. “Kau pikir aku mau menerima semua ini, hah?! Kau yang menjebakku dan sekarang kau lagi menjebakku! Kau tahu aku tidak memakai pengaman kenapa kau tidak langsung minum obat, Bodoh!” bentaknya.
Air mata Joice berlinang jatuh membasahi pipinya di kala Marcel memojokkannya. “Kau pikir aku tahu obat yang kau maksud? Kau jelas tahu kejadian malam itu pertama kali untukku, Marcel!” jawabnya menahan isak tangis.
Joice sama sekali tidak mengerti harus minum obat apa setelah dirinya berhubungan seks dengan Marcel waktu di Las Vegas. Joice berpikir tidak mungkin dirinya sampai mengandung anak Marcel.
Marcel memejamkan mata. Dia ingat bercak darah di sprei ranjang sudah membuktikan di mana Joice memang baru pertama kali melakukan hubungan seksual. Shit! Marcel mengumpat dalam hati.
Joice menyeka air matanya berusaha untuk sekuat mungkin. Nasi telah menjadi bubur. Apa yang telah terjadi sudah berlalu dan sekarang Joice harus bisa menerima semua kenyataan yang ada di depan mata.
“Aku akan menggugurkan anak ini. Kau tidak usah takut. Aku tidak akan meminta pertanggung jawabanmu.”
Kilat mata Joice menajam mendengar apa yang Marcel katakan. Tatapan yang tersirat seperti laser membunuh lawan. Rahang Marcel mengetat. Tangannya mengepal begitu kuat.Kemarahan dan emosi menyelimuti Marcel di kala mendengar apa yang Joice katakan. Seakan perkataan Joice telah memancing amarahnya seperti ada bara api yang berada di atas kepalanya.“How dare you, Joice,” geram Marcel dengan sorot mata kian tajam. Kepala Marcel seakan dipenuhi bara api.Joice tersenyum patah melihat kemarahan Marcel. “Kenapa kau harus marah, Marcel? Anak yang aku kandung adalah anak yang tidak sama sekali kau inginkan. Harusnya kau setuju dengan apa yang telah aku putuskan.”Joice merasa dirinya sudah gila karena mengambil sebuah keputusan di mana dirinya harus membunuh. Tapi, dirinya tidak memiliki pilihan lain. Apa yang diputuskannya adalah yang terbaik.Joice menyadari bahwa anak yang ada di kandungannya adalah yang tak diinginkan Marcel. Sekalipun jauh dari dalam lubuk hati Joice terdalam, dia bahag
Pelupuk mata Joice terbuka secara perlahan. Object pertama yang Joice lihat adalah Hana. Manager-nya itu duduk di tepi ranjang dan terus menatapnya. Dia sedikit memijat kepalanya di kala merasakan sedikit pusing.“Joice, minumlah.” Hana segera memberikan segelas air putih untuk Joice, dan juga membantu Joice untuk sedikit bangun.“Thanks, Hana.” Joice meminum perlahan air putih itu.Hana meletakan secangkir gelas yang berisikan air putih ke atas meja. “Aku senang kau sudah siuman, Joice.” Joice duduk dibantu Hana. Wanita itu bersandar di kepala ranjang dalam posisi ada bantal yang bisa membuat punggungnya merasa empuk dan nyaman. Tampak raut wajah Joice menjadi muram. Kepingan memori ingatannya mengingat semuanya. Kehamilan yang sama sekali tidak pernah dia sangka. Joice tak mengira hubungan satu malamnya dengan Marcel berakibat membuat dirinya sampai harus mengandung benih pria itu. Jika saja Joice bisa bertindak untuk mencegah kehamilan, maka dia akan melakukan hal tersebut. Di
“Marcel? Kau di sini?” Brianna berucap seraya menatap Marcel. Dia sedikit tak mengira Marcel mengunjungi Joice. Pasalnya Brianna tahu sejak dulu Marcel paling tidak suka berada di dekat putrinya.“Apa yang membawamu ke sini, Marcel?” Dean sedikit tak ramah melihat kehadiran Marcel. Pria paruh baya yang masih sangat tampan itu, tak bisa ramah dengan Marcel karena selama ini dia tahu Marcel selalu bersikap dingin pada putrinya. Bahkan di masa lalu, Marcel menjauhi Joice seperti Joice adalah virus paling menjijikkan di muka bumi ini. Joice mengembuskan napas gelisah melihat kehadiran Marcel. Dia belum siap orang tuanya tahu, tapi kenapa malah pria itu muncul secepat ini? Sungguh, Joice membenci situasi yang membuatnya tersulut seperti ini.Marcel melangkah mendekat ke arah Brianna dan Dean. “Aku yang membawa Joice ke rumah sakit.”“Kau yang membawa Joice ke rumah sakit?” Mata Brianna sedikit melebar. Dia tak percaya mendengar apa yang Marcel katakan. Rasanya itu semua sangatlah tidak m
Brianna panik luar biasa di kala Joice pingsan. Kepanikan dan rasa takut dalam dirinya sudah tidak bisa lagi tertahankan. Air mata wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu berlinang deras.Dean memeluk Brianna berusaha menenangkan istrinya itu dari kepanikan. Meskipun khawatir dan juga panik, tapi Dean berusaha untuk tenang. Pasalnya jika dia tak bisa mengendalikan rasa panik, maka istrinya akan jauh lebih parah lagi.Marcel sejak tadi berdiri berjarak dari Dean dan Brianna. Raut wajah pria itu dingin dan sorot mata tegas. Meskipun dia sejak tadi hanya diam, nyatanya pancaran matanya menunjukkan rasa cemas.Saat ini dokter tengah memeriksa keadaan Joice. Brianna, Dean, dan Marcel terus menatap dokter yang memeriksa keadaan Joice. Sampai detik ini, Joice belum siuman. Itu yang membuat Brianna terus menangis. Sekalipun Dean sudah menenangkan Brianna, tapi tetap saja Brianna tak bisa berhenti ketakutan.“Brianna, jangan menangis terus. Tenanglah.” Dean mengusap-usap punggung istrin
“M-mengandung anakmu?” Tubuh Miracle nyaris tumbang mendengar apa yang dikatakan oleh Marcel. Beruntung, Mateo segera merengkuh bahu sang istri agar tetap bisa berdiri tegak.“Marcel, jelaskan semua ini dan bicara yang benar!” Mateo memberikan tatapan tajam pada putranya. Tatapan yang tak main-main pada putranya itu. Dia tak suka putranya berbicara sesuatu hal yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.“Nak, tolong bicara yang benar.” Miracle meminta Marcel untuk berbicara dengan benar.Marcel sudah menduga pasti kedua orang tuanya tidak akan langsung memercayai apa yang dirinya katakan. Karena memang apa yang terjadi dikatakan hal yang benar-benar tidak mungkin terjadi.“Aku dan Joice terjebak di sebuah kesalahan. Sekarang Joice mengandung anakku. Aku harus bertanggung jawab. Aku tidak ingin anak itu lahir dalam posisi tidak memiliki status ayah kandung,” ucap Marcel yang seketika itu juga membuat Miracle dan Marcel terkejut.“Berani sekali kau membuat masalah seperti ini, Marcel!” bent
Marcel membubuhkan tanda tangan di dokumen yang diberikan oleh sang asisten. “Apa jadwalku hari ini, Hendy?” tanyanya dingin.“Sore ini Anda harus bertemu dengan salah satu client kita dari Dubai, Tuan,” jawab Hendy sopan memberi tahu.Marcel melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya—waktu menunjukkan pukul satu siang. Itu menandakan dirinya masih memiliki waktu untuk bersantai sejenak.“Kosongkan jadwalku dua jam ke depan. Aku tidak ingin diganggu siapa pun,” ucap Marcel dingin memberi perintah.Hendy mengangguk sopan. “Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Lalu, dia segera pamit undur diri dari hadapan Marcel.Namun di saat Hendy pergi, tiba-tiba terdengar suara keributan—hingga suara dobrakan pintu keras—dan sontak membuat Marcel mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu.“Berengsek!” Seorang pria paruh baya tampan melangkah maju, menarik kerah kemeja Marcel, dan langsung melayangkan pukulan keras di wajah Marcel.BUGHMarcel tak sempat menghindar, karena pukula
Sudah lima hari Joice berada di rumah sakit. Selama berada di rumah sakit, para media tidak bisa sama sekali meliput Joice. Kabar tentang Joice di rumah sakit sangatlah dirahasiakan.Joice libur dari dunia modelling karena memang kondisinya tidak memungkinkan untuk tetap terjun di dunia modelling. Dokter meminta Joice untuk istirahat total agar segera pulih.Dean dan Brianna sekarang lebih banyak mengerti. Pun Joice cenderung lebih banyak diam. Bahkan makan saja kalau tidak dipaksa, Joice tidak akan pernah mungkin mau makan.Dean dan Brianna masih berada di Milan. Mereka tentu tidak akan mungkin meninggalkan Milan, karena masalah Joice dan Marcel masih menggantung. Belum ada titik keputusan yang harus dipatuhi.Samuel, Selena, Mateo, dan Miracle sudah menjenguk Joice. Tapi mereka tidak ada yang mengungkit-ungkit tentang kehamilan Joice. Raut wajah Joice yang muram dan tidak lagi ada kecerian di wajah Joice—membuat Samuel, Selena, Mateo, ataupun Miracle tidak ingin membahas tentang keh
Joice tak mengira kalau ayahnya akan menyetujui pernikahannya dengan Marcel. Padahal sebelumnya ayahnya melarang keras ide konyol Marcel yang ingin menikahinya. Entah, apa yang membuat ayahnya itu berubah pikiran.Joice telah keluar dari rumah sakit. Akan tetapi, dia masih berada di Milan. Dia tinggal di kediaman keluarganya yang ada di Milan. Tentu dia tidak mungkin meninggalkan Milan dalam kondisi seperti ini.Joice bingung dengan segala kerumitan yang ada di hidupnya. Hingga detik ini, dia tidak mengatakan pada siapa pun tentang niat Marcel yang ingin menceraikannya saat anak yang ada di kandungannya sudah lahir.Seburuk-buruknya Marcel, tetap tidak bisa membuat lidah Joice menjelek-jelekkan pria itu. Anggaplah Joice bodoh. Wanita itu memang mengakui akan kebodohannya. Bertahun-tahun mencintai pria yang tak pernah mencintainya sama sekali.Joice menatap cermin melihat penampilannya. Perutnya masih rata belum sama sekali membuncit. Malah tubuh Joice jauh lebih kurus dari sebelumnya.