Nama itu kembali tercetus di dalam hati Joice. Nama yang sudah satu bulan ini tak ingin dia sebut-sebut lagi. Nama yang sudah Joice hindari ternyata kembali muncul di hadapannya.
Napas Joice memburu. Otaknya sulit berpikir jernih. Melihat Marcel datang bersama dengan seorang wanita cantik membuat hati Joice seakan memiliki luka yang tersiram alkohol. Sangat perih dan menyakitkan.
Joice menyadari bahwa dirinya memang sangat bodoh. Tak pernah berhenti mencintai seorang pria yang tidak pernah sedikit pun melirik dirinya. Berjuang melupakan bayang-bayang cinta pertamanya bukanlah sesuatu hal yang mudah.
“Joice, bukankah itu Marcel De Luca?” tanya Hana memastikan. Sebagai manager Joice sejak lama, tak mungkin Hana tidak tahu tentang Marcel—yang merupakan cinta pertama Joice.
“Ya.” Joice memilih untuk menjawab ini, seakan dirinya bersikap acuh tak peduli akan apa yang dia lihat.
Hana memilih diam di kala melihat ekspresi wajah Joice. Dia mulai mengerti, dan tak berani lagi berucap karena takut menyinggung perasaan Joice.
“Joice? Is that you?” Seorang wanita cantik yang datang bersama dengan Marcel menyapa Joice. Tampak raut wajah Marcel berubah melihat Joice ternyata hadir di acara pelelangan berlian langka.
“Ya.” Joice berusaha tersenyum anggun di hadapan Paige—wanita yang dibawa oleh Marcel. Paige Sevim adalah model sekaligus artis ternama. Joice mengenal karena beberapa kali terlibat project bersama dengan Paige Sevim. Hanya saja, Joice sama sekali tidak mengira bahwa Paige dan Marcel saling mengenal.
Memang Joice kerap mendengar berita tentang Marcel yang kerap gonta-ganti wanita. Tapi tidak pernah terbesit dalam pikiran Joice bahwa Marcel akan mendatangi pelelangan berlian langka bersama dengan seorang wanita.
Marcel De Luca—pria berdarah Italia itu memang tinggal di Milan. Sedangkan Joice menetap tinggal di London. Hubungan keluarga keduanya yang dekat yang membuat awal mula Joice jatuh cinta pada sosok Marcel De Luca.
Akan tetapi, kejadian bulan lalu membuat Joice benar-benar telah membuka mata. Bahwa memang dirinya dan Marcel tidak akan pernah bisa disatukan. Mereka adalah dua orang yang tak mungkin bisa bersama.
“Joice, aku tidak sangka kau akan hadir di acara seperti ini. Aku pikir kau akan meminta manager-mu mewakilimu,” kata Paige anggun.
Joice menatap Paige. “Aku di sini bukan hanya sekedar datang saja, tapi juga aku bekerja. Aku akan menjadi model yang memakai berlian langkah di penghujung acaral.” Wanita itu menjawab dengan nada tenang, tanpa mau melihat Marcel.
Kata-kata Marcel terakhir padanya terngiang di dalam benak Joice. Yang harus wanita itu ingat adalah Marcel hanya akan selalu memandang rendah dirinya. Tidak akan pernah berubah sama sekali. Itu yang terus tertanam di pikiran Joice.
“Ah, really? Bagus sekali. Congrats, Joice,” jawab Paige semakin memeluk lengan Marcel.
Joice tersenyum samar. “Baiklah, aku harus permisi. Sebentar lagi giliranku.” Lalu, dia pergi begitu saja meninggalkan Marcel dan Paige. Hana yang sejak tadi ada di samping Joice—segera menyusul Joice.
Marcel terdiam di tempatnya menatap punggung Joice yang mulai lenyap dari pandangannya. Sepasang iris mata cokelat gelap Marcel terus menatap Joice. Sejak tadi Joice tak melihat ke arahnya sama sekali. Baguslah. Itu kata yang Marcel ucap dalam hatinya. Dia pun tak ingin Joice kembali dekat-dekat dengannya.
“Marcel, kalau tidak salah keluargamu dekat dengan keluarga Joice, kan? Boleh aku tahu sedekat apa?” tanya Paige seraya menatap Marcel.
“Sepupuku adalah sepupu Joice juga. Bibiku menikah dengan Pamannya Joice,” jawab Marcel datar.
“Ah, begitu.” Paige menyandarkan kepalanya di lengan kekar Marcel. “Aku dulu sempat takut kalau kau jatuh cinta pada Joice.”
“Jangan berbicara konyol,” tukas Marcel dingin.
Paige tersenyum sambil mendongakkan kepalanya. “Iya, aku kan hanya menduga saja. Kalau itu tidak benar, aku senang mendengarnya.”
Marcel memilih untuk diam tak berkata apa pun di kala mendengar ucapan Paige.
Tak selang lama, Joice muncul di panggung berjalan sempurna layaknya model ternama. Kalung berlian langka yang dia pakai nampak memukau. Penampilan Joice malam itu layaknya seorang Dewi.
Para pria yang ada di acara pelelangan itu tak henti-hentinya menatap kagum Joice. Sedangkan para wanita fokus pada berlian yang dipakai Joice. Para wanita sudah menyiapkan angka nominal terbaik demi bisa mendapatkan kalung berlian yang dipakai oleh Joice.
Joice yang tengah berjalan di atas panggung—tiba-tiba merasakan sakit luar biasa di perut bagian bawahnya. Rasanya seakan dililit. Peluh bermunculan di keningnya. Pandangannya pun mulai buram bahkan Joice sudah tak mampu berdiri.
Dada Joice terasa begitu sesak luar biasa. Napasnya tercekat. Lalu dalam hitungan detik tubuh wanita itu terjatuh di atas panggung—hingga membuat semua orang di sana terkejut—termasuk Marcel.
“Joice?!” seru Hana panik melihat Joice jatuh pingsan. Dia langsung naik ke atas panggung, berusaha membangunkan, tapi hasilnya nihil. Joice tak kunjung membuka mata.
Para keamanan berhamburan datang di kala melihat Joice jatuh pingsan. Salah satu pihak keamanan mencoba menggendong Joice, namun Marcel yang tadinya hanya diam—malah bergerak maju dan meminta keamanan untuk menyingkir.
Tanpa banyak bicara, Marcel menggendong Joice gaya bridal—dan melangkah pergi meninggalkan pesta itu. Tampak Paige terkejut akan tindakan Marcel yang pergi meninggalkannya.
“Marcel, tunggu!” seru Paige berusaha memanggil Marcel, tapi sayangnya tidak didengar sama sekali oleh pria itu.
***
Marcel berdiri di depan UGD dengan sorot mata tajam. Dalam hati pria itu mengumpati dirinya yang malah membawa Joice ke rumah sakit. Harusnya dia membiarkan Joice dibawa oleh pihak keamanan. Shit! Marcel tak henti-hentinya mengumpat.
Hana mondar-mandir tidak jelas di depan ruang UGD. Raut wajah Hana begitu panik dan khawatir. Dia sampai menggigit kukunya demi mengurangi rasa cemas dan khawatir.
“Marcel, apa aku harus menghubungi kedua orang tua Joice sekarang?” tanya Hana meminta pendapat Marcel. Dia tahu bahwa keluarga Joice dekat dengan keluarga Marcel, jadi tidak ada salahnya meminta pendapat Marcel.
“Nanti saja. Tunggu dokter memberi tahu sakitnya,” ucap Marcel dingin dan tegas.
Hana mengangguk-anggukan kepalanya. “Kau benar juga. Tunggu sampai dokter memberi tahu kita saja.” Dia memutuskan untuk mengikuti saran Marcel—yang tak langsung memberi tahu kedua orang tua Joice.
Ceklek!
Dokter keluar dari UGD. Marcel dan Hana melangkah mendekat ke arah dokter yang sudah berdiri di ambang pintu.
“Dokter, bagaimana keadaan Joice?” tanya Hana cepat.
Dokter menurunkan masker di wajahnya. “Siapa suami dari Nyonya Joice Osbert?”
“Joice belum menikah. Ada apa, Dok?” tanya Hana lagi bingung.
“Maaf, apa kekasihnya ada di sini?” tanya sang dokter lagi.
“Katakan padaku, ada apa dengannya?” Marcel sudah tidak tahan di kala sang dokter tidak langsung menjawab pertanyaan Hana.
“Tuan, kandungan Nona Joice Osbert sangat lemah,” jawab sang dokter yang sontak membuat raut wajah Marcel menegang terkejut.
Tubuh Marcel menegang mendengar apa yang sang dokter ucapkan. Sepasang iris mata cokelat gelap Marcel berkilat penuh keterkejutan. Pria itu meyakinkan bahwa apa yang dia dengar ini adalah salah, tetapi apa yang dikatakan oleh sang dokter sangatlah jelas. Dia tidak mungkin salah mendengar. Bukan hanya Marcel yang terkejut tapi juga Hana. Selama ini yang Hana tahu Joice tidak memiliki kekasih. Fakta tentang kehamilan Joice tentunya sulit dicerna oleh wanita itu.“K-kandungan Joice lemah? Maksudmu Joice—” Marcel berusaha untuk berucap, namun otaknya menjadi blank hingga membuat kata-kata yang hendak dia ucap tersangkut di tenggorokan.Sang dokter menatap Marcel. “Maaf, Tuan. Apa Anda tidak tahu kalau Nona Joice Osbert sedang hamil?” tanyanya.Marcel hanya menggeleng dengan tatapan dingin menatap sang dokter. Tatapan yang tersirat meminta sang dokter untuk menjelaskan padanya secara lebih detail.“Tuan, usia kandungan Nona Joice Osbert adalah lima minggu. Kandungannya lemah karena saya m
Kilat mata Joice menajam mendengar apa yang Marcel katakan. Tatapan yang tersirat seperti laser membunuh lawan. Rahang Marcel mengetat. Tangannya mengepal begitu kuat.Kemarahan dan emosi menyelimuti Marcel di kala mendengar apa yang Joice katakan. Seakan perkataan Joice telah memancing amarahnya seperti ada bara api yang berada di atas kepalanya.“How dare you, Joice,” geram Marcel dengan sorot mata kian tajam. Kepala Marcel seakan dipenuhi bara api.Joice tersenyum patah melihat kemarahan Marcel. “Kenapa kau harus marah, Marcel? Anak yang aku kandung adalah anak yang tidak sama sekali kau inginkan. Harusnya kau setuju dengan apa yang telah aku putuskan.”Joice merasa dirinya sudah gila karena mengambil sebuah keputusan di mana dirinya harus membunuh. Tapi, dirinya tidak memiliki pilihan lain. Apa yang diputuskannya adalah yang terbaik.Joice menyadari bahwa anak yang ada di kandungannya adalah yang tak diinginkan Marcel. Sekalipun jauh dari dalam lubuk hati Joice terdalam, dia bahag
Pelupuk mata Joice terbuka secara perlahan. Object pertama yang Joice lihat adalah Hana. Manager-nya itu duduk di tepi ranjang dan terus menatapnya. Dia sedikit memijat kepalanya di kala merasakan sedikit pusing.“Joice, minumlah.” Hana segera memberikan segelas air putih untuk Joice, dan juga membantu Joice untuk sedikit bangun.“Thanks, Hana.” Joice meminum perlahan air putih itu.Hana meletakan secangkir gelas yang berisikan air putih ke atas meja. “Aku senang kau sudah siuman, Joice.” Joice duduk dibantu Hana. Wanita itu bersandar di kepala ranjang dalam posisi ada bantal yang bisa membuat punggungnya merasa empuk dan nyaman. Tampak raut wajah Joice menjadi muram. Kepingan memori ingatannya mengingat semuanya. Kehamilan yang sama sekali tidak pernah dia sangka. Joice tak mengira hubungan satu malamnya dengan Marcel berakibat membuat dirinya sampai harus mengandung benih pria itu. Jika saja Joice bisa bertindak untuk mencegah kehamilan, maka dia akan melakukan hal tersebut. Di
“Marcel? Kau di sini?” Brianna berucap seraya menatap Marcel. Dia sedikit tak mengira Marcel mengunjungi Joice. Pasalnya Brianna tahu sejak dulu Marcel paling tidak suka berada di dekat putrinya.“Apa yang membawamu ke sini, Marcel?” Dean sedikit tak ramah melihat kehadiran Marcel. Pria paruh baya yang masih sangat tampan itu, tak bisa ramah dengan Marcel karena selama ini dia tahu Marcel selalu bersikap dingin pada putrinya. Bahkan di masa lalu, Marcel menjauhi Joice seperti Joice adalah virus paling menjijikkan di muka bumi ini. Joice mengembuskan napas gelisah melihat kehadiran Marcel. Dia belum siap orang tuanya tahu, tapi kenapa malah pria itu muncul secepat ini? Sungguh, Joice membenci situasi yang membuatnya tersulut seperti ini.Marcel melangkah mendekat ke arah Brianna dan Dean. “Aku yang membawa Joice ke rumah sakit.”“Kau yang membawa Joice ke rumah sakit?” Mata Brianna sedikit melebar. Dia tak percaya mendengar apa yang Marcel katakan. Rasanya itu semua sangatlah tidak m
Brianna panik luar biasa di kala Joice pingsan. Kepanikan dan rasa takut dalam dirinya sudah tidak bisa lagi tertahankan. Air mata wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu berlinang deras.Dean memeluk Brianna berusaha menenangkan istrinya itu dari kepanikan. Meskipun khawatir dan juga panik, tapi Dean berusaha untuk tenang. Pasalnya jika dia tak bisa mengendalikan rasa panik, maka istrinya akan jauh lebih parah lagi.Marcel sejak tadi berdiri berjarak dari Dean dan Brianna. Raut wajah pria itu dingin dan sorot mata tegas. Meskipun dia sejak tadi hanya diam, nyatanya pancaran matanya menunjukkan rasa cemas.Saat ini dokter tengah memeriksa keadaan Joice. Brianna, Dean, dan Marcel terus menatap dokter yang memeriksa keadaan Joice. Sampai detik ini, Joice belum siuman. Itu yang membuat Brianna terus menangis. Sekalipun Dean sudah menenangkan Brianna, tapi tetap saja Brianna tak bisa berhenti ketakutan.“Brianna, jangan menangis terus. Tenanglah.” Dean mengusap-usap punggung istrin
“M-mengandung anakmu?” Tubuh Miracle nyaris tumbang mendengar apa yang dikatakan oleh Marcel. Beruntung, Mateo segera merengkuh bahu sang istri agar tetap bisa berdiri tegak.“Marcel, jelaskan semua ini dan bicara yang benar!” Mateo memberikan tatapan tajam pada putranya. Tatapan yang tak main-main pada putranya itu. Dia tak suka putranya berbicara sesuatu hal yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.“Nak, tolong bicara yang benar.” Miracle meminta Marcel untuk berbicara dengan benar.Marcel sudah menduga pasti kedua orang tuanya tidak akan langsung memercayai apa yang dirinya katakan. Karena memang apa yang terjadi dikatakan hal yang benar-benar tidak mungkin terjadi.“Aku dan Joice terjebak di sebuah kesalahan. Sekarang Joice mengandung anakku. Aku harus bertanggung jawab. Aku tidak ingin anak itu lahir dalam posisi tidak memiliki status ayah kandung,” ucap Marcel yang seketika itu juga membuat Miracle dan Marcel terkejut.“Berani sekali kau membuat masalah seperti ini, Marcel!” bent
Marcel membubuhkan tanda tangan di dokumen yang diberikan oleh sang asisten. “Apa jadwalku hari ini, Hendy?” tanyanya dingin.“Sore ini Anda harus bertemu dengan salah satu client kita dari Dubai, Tuan,” jawab Hendy sopan memberi tahu.Marcel melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya—waktu menunjukkan pukul satu siang. Itu menandakan dirinya masih memiliki waktu untuk bersantai sejenak.“Kosongkan jadwalku dua jam ke depan. Aku tidak ingin diganggu siapa pun,” ucap Marcel dingin memberi perintah.Hendy mengangguk sopan. “Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Lalu, dia segera pamit undur diri dari hadapan Marcel.Namun di saat Hendy pergi, tiba-tiba terdengar suara keributan—hingga suara dobrakan pintu keras—dan sontak membuat Marcel mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu.“Berengsek!” Seorang pria paruh baya tampan melangkah maju, menarik kerah kemeja Marcel, dan langsung melayangkan pukulan keras di wajah Marcel.BUGHMarcel tak sempat menghindar, karena pukula
Sudah lima hari Joice berada di rumah sakit. Selama berada di rumah sakit, para media tidak bisa sama sekali meliput Joice. Kabar tentang Joice di rumah sakit sangatlah dirahasiakan.Joice libur dari dunia modelling karena memang kondisinya tidak memungkinkan untuk tetap terjun di dunia modelling. Dokter meminta Joice untuk istirahat total agar segera pulih.Dean dan Brianna sekarang lebih banyak mengerti. Pun Joice cenderung lebih banyak diam. Bahkan makan saja kalau tidak dipaksa, Joice tidak akan pernah mungkin mau makan.Dean dan Brianna masih berada di Milan. Mereka tentu tidak akan mungkin meninggalkan Milan, karena masalah Joice dan Marcel masih menggantung. Belum ada titik keputusan yang harus dipatuhi.Samuel, Selena, Mateo, dan Miracle sudah menjenguk Joice. Tapi mereka tidak ada yang mengungkit-ungkit tentang kehamilan Joice. Raut wajah Joice yang muram dan tidak lagi ada kecerian di wajah Joice—membuat Samuel, Selena, Mateo, ataupun Miracle tidak ingin membahas tentang keh