Kilat mata Joice menajam mendengar apa yang Marcel katakan. Tatapan yang tersirat seperti laser membunuh lawan. Rahang Marcel mengetat. Tangannya mengepal begitu kuat.
Kemarahan dan emosi menyelimuti Marcel di kala mendengar apa yang Joice katakan. Seakan perkataan Joice telah memancing amarahnya seperti ada bara api yang berada di atas kepalanya.
“How dare you, Joice,” geram Marcel dengan sorot mata kian tajam. Kepala Marcel seakan dipenuhi bara api.
Joice tersenyum patah melihat kemarahan Marcel. “Kenapa kau harus marah, Marcel? Anak yang aku kandung adalah anak yang tidak sama sekali kau inginkan. Harusnya kau setuju dengan apa yang telah aku putuskan.”
Joice merasa dirinya sudah gila karena mengambil sebuah keputusan di mana dirinya harus membunuh. Tapi, dirinya tidak memiliki pilihan lain. Apa yang diputuskannya adalah yang terbaik.
Joice menyadari bahwa anak yang ada di kandungannya adalah yang tak diinginkan Marcel. Sekalipun jauh dari dalam lubuk hati Joice terdalam, dia bahagia dengan hadirnya anak yang ada di kandungannya, tapi tetap saja Joice tidak mau meminta pertanggung jawaban Marcel.
Jika dirinya mempertahankan kandungannya, maka pasti Marcel akan mengatakan dirinya hanya ingin membuat Marcel merasa terikat. Nantinya di masa depan, anak ini pun akan menanyakan siapa ayahnya.
Joice tak sanggup untuk menjelaskan pada anaknya tentang apa yang terjadi. Bahkan jika sampai anaknya mendapatkan perilaku buruk dari ayahnya, pasti Joice tak akan sanggup untuk melihat kekecewaan anaknya.
Hal tersebut yang akhirnya membuat Joice mengambil sebuah keputusan besar. Bagi Joice, lebih baik anaknya tidak perlu hadir di dunia. Dia tidak ingin melihat penderitaan anaknya. Tak dianggap dan diabaikan adalah hal yang menyakitkan.
“Sekalipun aku tidak menginginkan anak itu, tapi anak yang kau kandung memiliki darah De Luca! Bagaimana bisa kau berpikir untuk membunuhnya!” bentak Marcel emosi.
Marcel tidak pernah sama sekali mengira kegilaan Joice yang ingin membunuh darah dagingnya. Marcel tidak pernah sedikit pun berpikir bahwa dirinya untuk meminta Joice menggugurkan anak yang ada di kandungan wanita itu. Cara berpikir Joice benar-benar seperti orang yang sudah kehilangan akal sehat.
Joice menatap rapuh Marcel. Wanita itu menyeka air mata yang sejak tadi bercucuran menyentuh pipinya. “Kau masih memikirkan darah De Luca mengalir di tubuh anak ini? Kau pikir setelah anak ini lahir, dia tidak akan menderita?!” serunya dengan nada cukup tinggi bercampur dengan isak tangis.
“Anak itu tetap memiliki kehidupan, Joice! Kau jangan gila! Sekalipun aku tidak menginginkannya tetap dia darah dagingku, Sialan!” teriak Marcel terpancing emosi. Setiap ucapan yang lolos di bibir Joice, selalu membuatnya terpancing. Itu yang membuat Marcel seperti ada bara api di atas kepalanya.
Joice terisak pilu. “Lalu apa maumu, Marcel?! Apaa?!”
Marcel terdiam sebentar seraya memejamkan mata dan mengatur emosi dalam dirinya. Dia berusaha untuk tetap tenang karena bagaimanapun kondisi Joice masih belum sepenuhnya pulih. Kalau saja Joice tak mengandung anaknya, maka tidak mungkin Marcel peduli.
“Kita akan menikah sampai anak itu lahir. Setelah anak itu lahir, kita akan bercerai,” ucap Marcel yang sontak membuat raut wajah Joice terkejut.
“Tidak! Aku tidak mau! Kau sudah gila, Marcel!” bentak Joice emosi.
“Terserah. Apa yang sudah aku putuskan sudah final. Kita akan bercerai setelah anak itu lahir,” jawab Marcel tegas penuh penekanan.
“Marcel, kau tidak bisa—” Seketika ucapan Joice terpotong di kala wanita itu merasakan sakit luar biasa di perut bagian bawahnya. “Akhh!” Joice menjerit kesakitan sambil menyentuh perutnya.
“Joice?” Marcel panik melihat Joice menjerit.
“M-Marcel perutku! Akhh!” Joice menjerit kesakitan.
Marcel langsung menekan tombol darurat meminta untuk dokter datang. Tampak kepanikan di wajah Marcel begitu terlihat jelas. Terlebih Joice terus menjerit kesakitan.
Tak selang lama, dokter masuk ke dalam ruang rawat Joice. Sang dokter yang melihat Joice menjerit kesakitan langsung mengambil tindakan pertolongan pertama. Tepat di kala dokter datang—Marcel menjauh membiarkan dokter untuk memeriksa keadaan Joice.
Jantung Marcel berdebar tak karuan. Perasaan khawatir, takut, dan cemas melebur menjadi satu. Entah kenapa jantungnya terus berdebar. Apalagi ketika dirinya mendengar suara jeritan Joice yang kesakitan.
Marcel mengembuskan napas kasar dan mengumpat dalam hati. Belum pernah dia merasa khawatir dan takut ini. Padahal dirinya saja tak pernah menginginkan anak dari Joice. Anak itu bisa hadir karena sebuah kesalahan yang sama sekali tak pernah disengaja.
“Bagaimana keadaan Joice?” tanya Marcel seraya menatap sang dokter yang tengah memeriksa keadaan Joice.
Sang dokter menatap Marcel serius. “Tuan, kandungan Nona Joice sangat lemah. Tolong jangan bebani beliau dengan pikiran berat. Itu akan berdampak buruk untuk kandungan beliau, Tuan.”
Marcel terdiam mendengar ucapan sang dokter. Pria itu menatap Joice yang sekarang sudah memejamkan mata. “Aku mengerti,” jawabnya singkat.
“Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Sang dokter bersama dengan dua perawat pamit undur diri dari hadapan Marcel.
Marcel masih bergeming di tempatnya, menatap Joice yang memejamkan mata dengan wajah yang nampak sangat pucat. Perasaan yang dia rasakan saat ini begitu campur aduk. Semuanya menjadi rumit. Tapi, bagaimanapun dia tidak akan mungkin membiarkan Joice membunuh anak yang ada di kandungan wanita itu.
***
“Marcel, bagaimana keadaan Joice?” Hana yang sejak tadi berdiri di depan ruang rawat Joice, meminta Marcel untuk menjawab pertanyaannya. Dia melihat para petugas medis berhamburan datang ke ruang rawat Joice. Itu menandakan ada terjadi sesuatu pada Joice.
“Joice butuh istirahat,” jawab Marcel dingin dan datar.
Hana menghela napas dalam. “Marcel, tadi ibu Joice meneleponku. Aku tidak berani menjawab. Lalu aku sekarang harus apa? Kedua orang tua Joice berhak tahu tentang keadaan Joice sekarang. Aku tidak bisa terus menerus menutupi keadaan Joice.”
“Jawab saja. Kau katakan padanya untuk datang ke rumah sakit. Tidak usah menjelaskan tentang Joice sedang hamil. Aku yang akan bicara pada kedua orang tuanya,” jawab Marcel dingin dan tegas.
Hana menggigit bibir bawahnya semakin bingung. “Marcel, a-apa kau ayah dari bayi yang ada di kandungan Joice sekarang?” tanyanya memberanikan diri.
“Pertanyaan bodoh. Sejak tadi aku masih ada di sini. Apa menurutmu aku mau mengurusi Joice kalau bukan dia mengandung anakku?!” seru Marcel terpancing emosi.
Hana menelan saliva-nya susah payah. Rasa takut, bingung, dan terkejut melebur menjadi satu. “J-jadi kau dan Joice—”
“Berhenti ikut campur! Joice memang mengandung anakku, tapi aku tidak memiliki hubungan apa pun dengannya! Cepat kau hubungi kedua orang tuanya untuk datang ke Milan!” seru Marcel dengan nada cukup tinggi—dan langsung melangkah pergi meninggalkan Hana yang masih bergeming di tempatnya.
Hana menatap gelisah dan cemas punggung Marcel yang mulai lenyap dari pandangannya. “Bagaimana sekarang? Ya Tuhan, rumit sekali,” gumamnya ketakutan dan penuh khawatir.
Pelupuk mata Joice terbuka secara perlahan. Object pertama yang Joice lihat adalah Hana. Manager-nya itu duduk di tepi ranjang dan terus menatapnya. Dia sedikit memijat kepalanya di kala merasakan sedikit pusing.“Joice, minumlah.” Hana segera memberikan segelas air putih untuk Joice, dan juga membantu Joice untuk sedikit bangun.“Thanks, Hana.” Joice meminum perlahan air putih itu.Hana meletakan secangkir gelas yang berisikan air putih ke atas meja. “Aku senang kau sudah siuman, Joice.” Joice duduk dibantu Hana. Wanita itu bersandar di kepala ranjang dalam posisi ada bantal yang bisa membuat punggungnya merasa empuk dan nyaman. Tampak raut wajah Joice menjadi muram. Kepingan memori ingatannya mengingat semuanya. Kehamilan yang sama sekali tidak pernah dia sangka. Joice tak mengira hubungan satu malamnya dengan Marcel berakibat membuat dirinya sampai harus mengandung benih pria itu. Jika saja Joice bisa bertindak untuk mencegah kehamilan, maka dia akan melakukan hal tersebut. Di
“Marcel? Kau di sini?” Brianna berucap seraya menatap Marcel. Dia sedikit tak mengira Marcel mengunjungi Joice. Pasalnya Brianna tahu sejak dulu Marcel paling tidak suka berada di dekat putrinya.“Apa yang membawamu ke sini, Marcel?” Dean sedikit tak ramah melihat kehadiran Marcel. Pria paruh baya yang masih sangat tampan itu, tak bisa ramah dengan Marcel karena selama ini dia tahu Marcel selalu bersikap dingin pada putrinya. Bahkan di masa lalu, Marcel menjauhi Joice seperti Joice adalah virus paling menjijikkan di muka bumi ini. Joice mengembuskan napas gelisah melihat kehadiran Marcel. Dia belum siap orang tuanya tahu, tapi kenapa malah pria itu muncul secepat ini? Sungguh, Joice membenci situasi yang membuatnya tersulut seperti ini.Marcel melangkah mendekat ke arah Brianna dan Dean. “Aku yang membawa Joice ke rumah sakit.”“Kau yang membawa Joice ke rumah sakit?” Mata Brianna sedikit melebar. Dia tak percaya mendengar apa yang Marcel katakan. Rasanya itu semua sangatlah tidak m
Brianna panik luar biasa di kala Joice pingsan. Kepanikan dan rasa takut dalam dirinya sudah tidak bisa lagi tertahankan. Air mata wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu berlinang deras.Dean memeluk Brianna berusaha menenangkan istrinya itu dari kepanikan. Meskipun khawatir dan juga panik, tapi Dean berusaha untuk tenang. Pasalnya jika dia tak bisa mengendalikan rasa panik, maka istrinya akan jauh lebih parah lagi.Marcel sejak tadi berdiri berjarak dari Dean dan Brianna. Raut wajah pria itu dingin dan sorot mata tegas. Meskipun dia sejak tadi hanya diam, nyatanya pancaran matanya menunjukkan rasa cemas.Saat ini dokter tengah memeriksa keadaan Joice. Brianna, Dean, dan Marcel terus menatap dokter yang memeriksa keadaan Joice. Sampai detik ini, Joice belum siuman. Itu yang membuat Brianna terus menangis. Sekalipun Dean sudah menenangkan Brianna, tapi tetap saja Brianna tak bisa berhenti ketakutan.“Brianna, jangan menangis terus. Tenanglah.” Dean mengusap-usap punggung istrin
“M-mengandung anakmu?” Tubuh Miracle nyaris tumbang mendengar apa yang dikatakan oleh Marcel. Beruntung, Mateo segera merengkuh bahu sang istri agar tetap bisa berdiri tegak.“Marcel, jelaskan semua ini dan bicara yang benar!” Mateo memberikan tatapan tajam pada putranya. Tatapan yang tak main-main pada putranya itu. Dia tak suka putranya berbicara sesuatu hal yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.“Nak, tolong bicara yang benar.” Miracle meminta Marcel untuk berbicara dengan benar.Marcel sudah menduga pasti kedua orang tuanya tidak akan langsung memercayai apa yang dirinya katakan. Karena memang apa yang terjadi dikatakan hal yang benar-benar tidak mungkin terjadi.“Aku dan Joice terjebak di sebuah kesalahan. Sekarang Joice mengandung anakku. Aku harus bertanggung jawab. Aku tidak ingin anak itu lahir dalam posisi tidak memiliki status ayah kandung,” ucap Marcel yang seketika itu juga membuat Miracle dan Marcel terkejut.“Berani sekali kau membuat masalah seperti ini, Marcel!” bent
Marcel membubuhkan tanda tangan di dokumen yang diberikan oleh sang asisten. “Apa jadwalku hari ini, Hendy?” tanyanya dingin.“Sore ini Anda harus bertemu dengan salah satu client kita dari Dubai, Tuan,” jawab Hendy sopan memberi tahu.Marcel melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya—waktu menunjukkan pukul satu siang. Itu menandakan dirinya masih memiliki waktu untuk bersantai sejenak.“Kosongkan jadwalku dua jam ke depan. Aku tidak ingin diganggu siapa pun,” ucap Marcel dingin memberi perintah.Hendy mengangguk sopan. “Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Lalu, dia segera pamit undur diri dari hadapan Marcel.Namun di saat Hendy pergi, tiba-tiba terdengar suara keributan—hingga suara dobrakan pintu keras—dan sontak membuat Marcel mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu.“Berengsek!” Seorang pria paruh baya tampan melangkah maju, menarik kerah kemeja Marcel, dan langsung melayangkan pukulan keras di wajah Marcel.BUGHMarcel tak sempat menghindar, karena pukula
Sudah lima hari Joice berada di rumah sakit. Selama berada di rumah sakit, para media tidak bisa sama sekali meliput Joice. Kabar tentang Joice di rumah sakit sangatlah dirahasiakan.Joice libur dari dunia modelling karena memang kondisinya tidak memungkinkan untuk tetap terjun di dunia modelling. Dokter meminta Joice untuk istirahat total agar segera pulih.Dean dan Brianna sekarang lebih banyak mengerti. Pun Joice cenderung lebih banyak diam. Bahkan makan saja kalau tidak dipaksa, Joice tidak akan pernah mungkin mau makan.Dean dan Brianna masih berada di Milan. Mereka tentu tidak akan mungkin meninggalkan Milan, karena masalah Joice dan Marcel masih menggantung. Belum ada titik keputusan yang harus dipatuhi.Samuel, Selena, Mateo, dan Miracle sudah menjenguk Joice. Tapi mereka tidak ada yang mengungkit-ungkit tentang kehamilan Joice. Raut wajah Joice yang muram dan tidak lagi ada kecerian di wajah Joice—membuat Samuel, Selena, Mateo, ataupun Miracle tidak ingin membahas tentang keh
Joice tak mengira kalau ayahnya akan menyetujui pernikahannya dengan Marcel. Padahal sebelumnya ayahnya melarang keras ide konyol Marcel yang ingin menikahinya. Entah, apa yang membuat ayahnya itu berubah pikiran.Joice telah keluar dari rumah sakit. Akan tetapi, dia masih berada di Milan. Dia tinggal di kediaman keluarganya yang ada di Milan. Tentu dia tidak mungkin meninggalkan Milan dalam kondisi seperti ini.Joice bingung dengan segala kerumitan yang ada di hidupnya. Hingga detik ini, dia tidak mengatakan pada siapa pun tentang niat Marcel yang ingin menceraikannya saat anak yang ada di kandungannya sudah lahir.Seburuk-buruknya Marcel, tetap tidak bisa membuat lidah Joice menjelek-jelekkan pria itu. Anggaplah Joice bodoh. Wanita itu memang mengakui akan kebodohannya. Bertahun-tahun mencintai pria yang tak pernah mencintainya sama sekali.Joice menatap cermin melihat penampilannya. Perutnya masih rata belum sama sekali membuncit. Malah tubuh Joice jauh lebih kurus dari sebelumnya.
Butuh waktu yang tak sebentar untuk Samuel akhirnya membiarkan rencana pernikahan Joice dan Marcel. Tidak mudah memang karena Samuel sampai berdebat dengan Dean tentang pernikahan Joice dan Marcel.Bagi Samuel, tetap saja Marcel tidak layak untuk Joice. Namun, sifat saklak Samuel tidak berdaya di kala Dean mengungkit kondisi Joice yang saat ini tengah berbadan dua. Jika sebelumnya cara pikir Dean masih memiliki ego yang besar, kali ini Dean bisa jauh lebih berpikir secara terbuka dan juga bijak. Pernikahan Joice dan Marcel sudah di depan mata. Hanya satu langkah lagi dua insan yang dipersatukan semesta akan segera resmi menjadi suami istri. Selama menjelang pernikahan, Joice dilarang untuk bekerja. Kondisi kehamilan Joice yang sempat lemah membuat Joice banyak sekali aturan.Sedangkan Marcel, jangan ditanya. Menjelang pernikahan malah pria itu sangat sibuk. Marcel bahkan tidak mau terlibat sama sekali dalam hal mengurus pernikahan. Pria itu lebih memercayakan pada asistennya untuk p