Sinar matahari menembus sela-sela jendela. Dua pasangan yang tertidur pulas dalam kondisi tubuh telanjang dan hanya terselimuti oleh selimut tebal itu—perlahan mulai membuka kedua mata mereka.
Saat mata mereka sudah terbuka. Raut wajah keduanya sama-sama menegang melihat satu sama lain tubuh mereka telanjang dan hanya terselimuti oleh selimut tebal. Wajah mereka menunjukkan jelas memucat terkejut.
“Kau—” Marcel hendak berucap, namun satu demi satu kepingan memori di dalam diri Marcel terkuak. Pria itu mengingat tentang kejadian tadi malam. Kejadian di mana ada yang menjebak dirinya.
“Shit!” Marcel mengumpat seraya mengusap wajah kasar. Sialnya, wanita yang dia tiduri adalah Joice. Bukan jalang yang bisa dia bayar. Semua semakin rumit membuat emosinya terpancing.
Joice menarik selimut menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Raut wajahnya muram di kala melihat reaksi kemarahan di wajah Marcel. Dia pikir kalau Marcel akan langsung mengakui kesalahan dan meminta maaf padanya. Bahkan Joice berharap kejadian tadi malam membuat Marcel bisa bersikap baik padanya.
“Kenapa kau tidak menahanku, Joice?! Atau kau sengaja melakukan ini semua demi agar aku bisa bersimpatik padamu?!” Mata Marcel menyalang tajam, menatap Joice penuh tuntutan. Pria itu menyalahkan Joice yang tak menahan dirinya.
Mata Joice berkaca-kaca mendengar ucapan menusuk Marcel. Kalimat yang Marcel ucapakan layaknya pisau tajam yang menusuk jantungnya. Tak pernah dia sangka kalau Marcel akan mengatakan seperti itu.
“Kau bilang aku sengaja, Marcel? Apa kau lupa ingatan berkali-kali aku memintamu untuk berhenti, tapi kau tidak bisa mengendalikan dirimu!” seru Joice dengan air mata yang sudah tak lagi bisa tertahankan.
Ya, tadi malam Joice murni mendatangi klub malam hanya demi mengilangkan penat di pikirannya. Marcel De Luca adalah seorang pria yang sejak dulu dia hindari. Tidak pernah Joice sangka semesta kembali mempertemukannya dengan Marcel De Luca.
Kejadian tadi malam murni Joice ingin membantu Marcel. Akan tetapi, semua niat baiknya kacau di kala Marcel lepas kendali. Sungguh, tak pernah terbesit sedikit pun dalam pikiran Joice untuk menjebak Marcel.
Lebih dari satu tahun sudah Joice tak pernah melihat pria yang menjadi cinta pertamanya itu. Sekarang semesta kembali mempertemukannya dalam kondisi serumit ini. Padahal terakhir Joice sudah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa dirinya tidak akan pernah menaruh harapan apa pun lagi pada Marcel De Luca.
Marcel mengumpat dalam hati mendengar apa yang dikatakan oleh Joice. Pria itu menyibak selimut, dan segera memakai celananya yang berserakan di lantai kamar. Emosi dan kemarahan telah menyelimutinya membuatnya tak lagi bisa terkendali.
“Aku tahu kau hanya mencari-cari alasan agar aku iba padamu, Joice! Kau pikir aku tidak mengenalmu, hah?! Kau selalu melakukan banyak cara agar bisa berada di dekatku! Kau tahu? Kau membuat dirimu seperti wanita murahan di luar sana!” sarkas Marcel yang begitu amat menusuk hati Joice.
Sepasang iris mata cokelat gelap Marcel berkilat tajam penuh amarah yang membakarnya. Pria itu tak mengira kembali bertemu dengan Joice. Dia sangat yakin bahwa pasti Joice sengaja mengambil kesempatan dirinya yang tak berdaya akibat obat sialan yang membuat otaknya tak mampu berpikir jernih.
Satu demi satu air mata Joice sudah tidak lagi bisa tertahankan. Kata-kata Marcel layaknya cambuk yang memukulnya dengan sangat keras dan menusuk jantungnya. Detik itu juga Joice bangkit berdiri seraya menutupi tubuhnya dengan selimut. Mata wanita itu memancarkan jelas kekecewaan yang mendalam.
“Fine, aku memang wanita murahan! Aku memang jalang! Lalu apa urusannya denganmu? Jika kau menganggapku mengambil kesempatan atas kejadian tadi malam, silakan, Marcel De Luca! Kau berhak menghakimiku! Bahkan sekalipun kau menganggapku wanita paling rendah di dunia ini, aku pun akan tetap menerima semua hinaanmu itu. Kau tahu kenapa? Karena aku sadar di matamu, aku tidak pernah memiliki sedikit saja sela kebaikan. Di matamu, aku selalu menjadi wanita paling buruk! Sekalipun aku berbuat baik, tetap di matamu aku adalah wanita busuk!” Nada bicara Joice bergetar menahan pilu di kala mengatakan itu.
Joice tak lagi membela diri tentang kejadian tadi malam. Malah wanita itu membiarkan Marcel menghina dirinya sesuka hati pria itu. Karena dia tahu sekeras apa pun dirinya membela diri, tetap tidak akan menuaikan hasil apa pun. Marcel De Luca akan tetap memandang rendah Joice. Pembelaan yang dilakukan Joice akan tetap percuma jika orang tersebut tak menggubrisnya.
Rahang Marcel mengetat mendengar semua perkataan Joice. Tangannya mengepal begitu kuat. Dia memakai kemejanya asal dan hendak meninggalkan tempat itu, namun seketika raut wajah Marcel berubah melihat bercak darah yang ada di sprei ranjang kamar hotel.
Joice yang masih menahan sakit di titik sensitive-nya menatap bercak darah di sprei ranjang. Senyuman rapuh dan kecewa terlukis di wajahnya. Selanjutnya, dia menatap wajah Marcel yang sejak tadi menegang terkejut tak bisa berkata apa pun.
Bercak darah di sprei ranjang sebagai bukti di mana Joice masih perawan. Hal tersebut yang membuat wajah Marcel membeku akibat keterkejutan. Tadi malam, Marcel hilang kendali dan beberapa potongan memori tentang tadi malam tak sepenuhnya diingatnya.
“Kenapa kau terkejut, Marcel? Tenang saja, aku tidak akan meminta pertanggung jawabanmu. Kau menganggapku pelacur, kan? Jadi tidak usah terkejut seperti itu. Aku ini pelacur yang bisa tidur dengan pria mana pun. Sekarang kau boleh pergi. Anggap saja kejadian tadi malam tidak pernah terjadi,” ucap Joice dengan air mata yang tak henti bercucuran membasahi pipinya.
Mengatakan hal seperti itu, bukanlah hal mudah bagi Joice Osbert. Tapi dia membiarkan dirinya dianggap seperti pelacur. Jika itu yang membuat Marcel senang dan puas, maka dia akan melakukannya.
Marcel membeku diam di tempatnya. Raut wajah pria itu nampak begitu amat campur aduk. Segala kemarahan, kesal, dan emosi telah melebur menjadi satu. Joice bukan lagi anak kecil. Usia Joice bukan lagi usia anak-anak. Wanita itu bahkan hampir 30 tahun. Bagaimana mungkin seorang wanita yang usianya hampir 30 tahun tapi masih perawan? Semuanya sulit dicerna oleh Marcel.
Napas Marcel memburu. Pria itu berusaha untuk tenang dan tidak langsung murka. Selanjutnya, pria itu memberikan tatapan dingin dan tajam pada Joice. “Kau sudah tahu di mataku kau tetap sama. Tidak bernilai sama sekali. Kejadian tadi malam hanya kesalahan. Aku senang kalau kau berpikir demikian. Jadi aku tidak perlu banyak menjelaskan, kalau kau tidak berharga sama sekali di mataku!” Setelah mengatakan kalimat tajam itu, Marcel berbalik melangkah pergi meninggalkan tempat itu dan tak mau lagi melihat ke arah Joice.
Tubuh Joice ambruk ke lantai di kala Marcel sudah pergi. Air matanya satu demi satu membasahi pipinya. Tangis Joice kali ini semakin pilu dan menyakitkan. Semua kata-kata Marcel terus teringiang di dalam pikirannya.
“Kau jahat, Marcel. Kau jahat,” ucap Joice lirih dan pilu.
Satu bulan berlalu … Milan, Italia. “Good, Joice. Angkat dagumu dan lihat ke arah kanan.” Sang fotografer memberikan interuksi pada Joice yang tengah dipotret. Tentu Joice langsung menuruti interuksi sang fotografer itu.“Ya, good, Joice. Gerakan sedikit pinggulmu ke kanan. Sesuaikan dengan lekuk tubuhmu,” ucap sang fotografer lagi. Tampak Joice bergaya di depan kamera dengan begitu professional.Joice bukanlah seorang model baru. Wanita itu sangat tahu bagaimana berpose tetap sempurna di depan kamera. Nama Joice Osbert sudah tak perlu lagi diragukan dalam dunia modelling.“Oke, selesai. Thanks, Joice,” ucap sang fotografer pada Joice.Joice tersenyum merespon fotografer itu. Selanjutnya, wanita itu memutuskan untuk melangkah menuju ke ruang istirahatnya. Raut wajahnya sedikit lelah. Memiliki banyak aktivitas dalam pekerjaan kerap membuat Joice melupakan kehidupan pribadinya.“Joice, apa kau ingin makan?” Hana—sang manager—berucap di kala Joice memasuki ruang istirahat.Joice mengge
Nama itu kembali tercetus di dalam hati Joice. Nama yang sudah satu bulan ini tak ingin dia sebut-sebut lagi. Nama yang sudah Joice hindari ternyata kembali muncul di hadapannya.Napas Joice memburu. Otaknya sulit berpikir jernih. Melihat Marcel datang bersama dengan seorang wanita cantik membuat hati Joice seakan memiliki luka yang tersiram alkohol. Sangat perih dan menyakitkan.Joice menyadari bahwa dirinya memang sangat bodoh. Tak pernah berhenti mencintai seorang pria yang tidak pernah sedikit pun melirik dirinya. Berjuang melupakan bayang-bayang cinta pertamanya bukanlah sesuatu hal yang mudah.“Joice, bukankah itu Marcel De Luca?” tanya Hana memastikan. Sebagai manager Joice sejak lama, tak mungkin Hana tidak tahu tentang Marcel—yang merupakan cinta pertama Joice.“Ya.” Joice memilih untuk menjawab ini, seakan dirinya bersikap acuh tak peduli akan apa yang dia lihat.Hana memilih diam di kala melihat ekspresi wajah Joice. Dia mulai mengerti, dan tak berani lagi berucap karena ta
Tubuh Marcel menegang mendengar apa yang sang dokter ucapkan. Sepasang iris mata cokelat gelap Marcel berkilat penuh keterkejutan. Pria itu meyakinkan bahwa apa yang dia dengar ini adalah salah, tetapi apa yang dikatakan oleh sang dokter sangatlah jelas. Dia tidak mungkin salah mendengar. Bukan hanya Marcel yang terkejut tapi juga Hana. Selama ini yang Hana tahu Joice tidak memiliki kekasih. Fakta tentang kehamilan Joice tentunya sulit dicerna oleh wanita itu.“K-kandungan Joice lemah? Maksudmu Joice—” Marcel berusaha untuk berucap, namun otaknya menjadi blank hingga membuat kata-kata yang hendak dia ucap tersangkut di tenggorokan.Sang dokter menatap Marcel. “Maaf, Tuan. Apa Anda tidak tahu kalau Nona Joice Osbert sedang hamil?” tanyanya.Marcel hanya menggeleng dengan tatapan dingin menatap sang dokter. Tatapan yang tersirat meminta sang dokter untuk menjelaskan padanya secara lebih detail.“Tuan, usia kandungan Nona Joice Osbert adalah lima minggu. Kandungannya lemah karena saya m
Kilat mata Joice menajam mendengar apa yang Marcel katakan. Tatapan yang tersirat seperti laser membunuh lawan. Rahang Marcel mengetat. Tangannya mengepal begitu kuat.Kemarahan dan emosi menyelimuti Marcel di kala mendengar apa yang Joice katakan. Seakan perkataan Joice telah memancing amarahnya seperti ada bara api yang berada di atas kepalanya.“How dare you, Joice,” geram Marcel dengan sorot mata kian tajam. Kepala Marcel seakan dipenuhi bara api.Joice tersenyum patah melihat kemarahan Marcel. “Kenapa kau harus marah, Marcel? Anak yang aku kandung adalah anak yang tidak sama sekali kau inginkan. Harusnya kau setuju dengan apa yang telah aku putuskan.”Joice merasa dirinya sudah gila karena mengambil sebuah keputusan di mana dirinya harus membunuh. Tapi, dirinya tidak memiliki pilihan lain. Apa yang diputuskannya adalah yang terbaik.Joice menyadari bahwa anak yang ada di kandungannya adalah yang tak diinginkan Marcel. Sekalipun jauh dari dalam lubuk hati Joice terdalam, dia bahag
Pelupuk mata Joice terbuka secara perlahan. Object pertama yang Joice lihat adalah Hana. Manager-nya itu duduk di tepi ranjang dan terus menatapnya. Dia sedikit memijat kepalanya di kala merasakan sedikit pusing.“Joice, minumlah.” Hana segera memberikan segelas air putih untuk Joice, dan juga membantu Joice untuk sedikit bangun.“Thanks, Hana.” Joice meminum perlahan air putih itu.Hana meletakan secangkir gelas yang berisikan air putih ke atas meja. “Aku senang kau sudah siuman, Joice.” Joice duduk dibantu Hana. Wanita itu bersandar di kepala ranjang dalam posisi ada bantal yang bisa membuat punggungnya merasa empuk dan nyaman. Tampak raut wajah Joice menjadi muram. Kepingan memori ingatannya mengingat semuanya. Kehamilan yang sama sekali tidak pernah dia sangka. Joice tak mengira hubungan satu malamnya dengan Marcel berakibat membuat dirinya sampai harus mengandung benih pria itu. Jika saja Joice bisa bertindak untuk mencegah kehamilan, maka dia akan melakukan hal tersebut. Di
“Marcel? Kau di sini?” Brianna berucap seraya menatap Marcel. Dia sedikit tak mengira Marcel mengunjungi Joice. Pasalnya Brianna tahu sejak dulu Marcel paling tidak suka berada di dekat putrinya.“Apa yang membawamu ke sini, Marcel?” Dean sedikit tak ramah melihat kehadiran Marcel. Pria paruh baya yang masih sangat tampan itu, tak bisa ramah dengan Marcel karena selama ini dia tahu Marcel selalu bersikap dingin pada putrinya. Bahkan di masa lalu, Marcel menjauhi Joice seperti Joice adalah virus paling menjijikkan di muka bumi ini. Joice mengembuskan napas gelisah melihat kehadiran Marcel. Dia belum siap orang tuanya tahu, tapi kenapa malah pria itu muncul secepat ini? Sungguh, Joice membenci situasi yang membuatnya tersulut seperti ini.Marcel melangkah mendekat ke arah Brianna dan Dean. “Aku yang membawa Joice ke rumah sakit.”“Kau yang membawa Joice ke rumah sakit?” Mata Brianna sedikit melebar. Dia tak percaya mendengar apa yang Marcel katakan. Rasanya itu semua sangatlah tidak m
Brianna panik luar biasa di kala Joice pingsan. Kepanikan dan rasa takut dalam dirinya sudah tidak bisa lagi tertahankan. Air mata wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu berlinang deras.Dean memeluk Brianna berusaha menenangkan istrinya itu dari kepanikan. Meskipun khawatir dan juga panik, tapi Dean berusaha untuk tenang. Pasalnya jika dia tak bisa mengendalikan rasa panik, maka istrinya akan jauh lebih parah lagi.Marcel sejak tadi berdiri berjarak dari Dean dan Brianna. Raut wajah pria itu dingin dan sorot mata tegas. Meskipun dia sejak tadi hanya diam, nyatanya pancaran matanya menunjukkan rasa cemas.Saat ini dokter tengah memeriksa keadaan Joice. Brianna, Dean, dan Marcel terus menatap dokter yang memeriksa keadaan Joice. Sampai detik ini, Joice belum siuman. Itu yang membuat Brianna terus menangis. Sekalipun Dean sudah menenangkan Brianna, tapi tetap saja Brianna tak bisa berhenti ketakutan.“Brianna, jangan menangis terus. Tenanglah.” Dean mengusap-usap punggung istrin
“M-mengandung anakmu?” Tubuh Miracle nyaris tumbang mendengar apa yang dikatakan oleh Marcel. Beruntung, Mateo segera merengkuh bahu sang istri agar tetap bisa berdiri tegak.“Marcel, jelaskan semua ini dan bicara yang benar!” Mateo memberikan tatapan tajam pada putranya. Tatapan yang tak main-main pada putranya itu. Dia tak suka putranya berbicara sesuatu hal yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.“Nak, tolong bicara yang benar.” Miracle meminta Marcel untuk berbicara dengan benar.Marcel sudah menduga pasti kedua orang tuanya tidak akan langsung memercayai apa yang dirinya katakan. Karena memang apa yang terjadi dikatakan hal yang benar-benar tidak mungkin terjadi.“Aku dan Joice terjebak di sebuah kesalahan. Sekarang Joice mengandung anakku. Aku harus bertanggung jawab. Aku tidak ingin anak itu lahir dalam posisi tidak memiliki status ayah kandung,” ucap Marcel yang seketika itu juga membuat Miracle dan Marcel terkejut.“Berani sekali kau membuat masalah seperti ini, Marcel!” bent