Las Vegas, Nevada, USA.
“Joice, kau mau ke mana malam-malam seperti ini? Besok kau memiliki pemotretan pagi.” Seorang manager mengingatkan Joice untuk tidak pergi ke mana pun. Apalagi ini sudah tengah malam, dan besok Joice memiliki jadwal yang padat.
Joice menghela napas dalam. “Aku sedang bosan. Aku butuh sesuatu yang membuat otakku menjadi tenang. Kau tenanglah. Jangan khawatirkan aku. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”
“Tapi—”
“Come on, aku ini jenuh dengan segala rutinitasku. Jangan mengekangku. Aku juga ingin memiliki kehidupan bebas.” Joice memotong ucapan managernya itu—dan langsung berjalan anggun meninggalkan sang manager yang nampak pasrah. Jika sudah seperti ini, maka apa yang menjadi keinginan Joice haruslah terwujud. Tidak bisa berkata tidak.
Sebuah klub malam ternama di Las Vegas begitu meriah. Malam semakin larut suasana di klub malam itu semakin memanas. Aroma tembakau dan aroma alkohol yang begitu kuat telah melebur menjadi satu.
Para pelayan memakai seragam kelinci seksi demi para membuat pengunjung pria terkagum akan kemolekan pelayan seksi di klub malam itu. Tidak sedikit pasangan di sana saling mencumbu.
Lantai dansa penuh dengan lautan manusia. Mereka bisa juga bukanlah pasangan. Hanya pasangan ‘One Night Stand’. Pasangan di mana hanya sekedar cinta satu malam saja. Setelah itu besoknya mereka akan lupa, bahkan seakan tidak saling mengenali satu sama lain lagi.
Joice berada di klub malam itu, bukan bermaksud ingin mencari teman kencan. Dia sengaja berada di klub malam itu karena merasa bosan terus menerus berada di kamar hotel.
Model cantik dan terkenal itu selalu menghabiskan hidupnya di lokasi pemotretan. Hal itu yang membuat Joice merasa jenuh, dan ingin menghabiskan waktu bersantai sejenak mengistirahatkan penat di pikirannya.
“Minum?” seorang pria tampan menawarkan wine pada Joice.
“No, thanks.” Joice segera menghindar dari pria itu, tanpa mau melihat ke arahnya.
Joice bukanlah wanita kuno yang tak pernah mendatangi klub malam. Berprofesi sebagai model terkenal membuatnya sudah terbiasa dengan kehidupan malam. Tapi meski demikian, wanita itu tak pernah sedikit pun menghiraukan pria yang menggodanya.
Seperti saat ini, sudah banyak sekali tatapan lapar yang menatap Joice Osbert, namun sayangnya tak ada satu pun pria yang dipedulikan olehnya. Joice malah menjauh dari pria-pria yang berusaha menggodanya itu.
“Berikan aku wine.” Joice duduk di depan kursi bartender, meminta sang bartender memberikan wine padanya.
“Baik, Nona.” Sang bartender segera menyiapkan wine untuk Joice.
Joice menerima wine itu dan menyesap perlahan. Dia sedikit menikmati alunan musik yang memekak telinga. Suasana klub malam yang meriah sedikit mengusir rasa kesepian di dalam diri Joice.
Lalu … tatapan Joice tanpa sengaja teralih pada seorang pria yang duduk di kursi VIP sendirian dan seperti tengah merintih kesakitan. Tampak raut wajah Joice berubah melihat sosok pria yang ada di hadapannya adalah sosok pria yang sangat dia kenali.
“Marcel?” Joice langsung bangkit berdiri, menatap lekat pria yang duduk sendiri di kursi VVIP. Tanpa banyak berpikir, dia segera menghampiri pria itu.
“Marcel? Kau kenapa?” Joice mendekat ke arah Marcel, dan menyentuh tangan pria tampan dan gagah itu. Pria yang sangat dirinya kenali.
“Lepas! Pergilah!” seru Marcel emosi.
Joice menggeleng tegas. “Aku tidak akan meninggalkanmu. Kau kenapa, Marcel?”
Marcel memejamkan mata menahan sakit di sekujur tubuhnya yang tak bisa lagi tertahankan. Sentuhan tangan halus dan lembut Joice membuat Marcel kehilangan akal sehatnya untuk berpikir jernih.
Joice merasa ada yang aneh pada Marcel. Dia sangat mengenal Marcel dengan baik. “Ikut aku.” Akhirnya, Joice memutuskan untuk membawa pergi Marcel meninggalkan klub malam.
Awalnya, Marcel sempat melakukan penolakan, tetapi sentuhan tangan lembut Joice membuat pria itu benar-benar tidak bisa berpikir. Sesuatu hal mendorong pria itu untuk ikut bersama dengan Joice.
***
Aroma pengharum ruangan lavender menyeruak ke indra penciuman. Joice membawa Marcel ke sebuah hotel yang letaknya tak jauh dari klub malam. Wanita itu bingung ingin membawa Marcel ke mana. Karena yang Joice tahu Marcel tak tinggal di Las Vegas. Jika Marcel berada di Las Vegas, itu artinya Marcel hanya sekedar berlibur atau sedang melakukan perjalanan bisnis.
Joice membantu Marcel untuk berbaring di tempat tidur, namun tiba-tiba di kala dia hendak menjauh malah Marcel menarik tangannya hingga membuat tubuh Joice menindih tubuh Marcel.
“M-Marcel—” Baru saja Joice hendak berucap, Marcel sudah langsung berguling menindih tubuh Joice. Sontak Joice terkejut akan tindakan Marcel itu.
“M-Marcel—” Joice baru saja ingin kembali berucap tapi Marcel sudah langsung melumat bibirnya dengan liar.
Seketika mata Joice melebar terkejut di kala Marcel mencium bibirnya dengan liar dan agresif. Joice memukuli dada bidang Marcel, meminta Marcel untuk melepaskannya, namun alih-alih terlepas malah pria itu mencium Joice dengan semakin liar dan menggebu—hingga membuat Joice nyaris kehabisan napas.
“Kau yang mengantarkan dirimu. Jangan salahkan aku,” bisik Marcel serak.
“Akh!” Joice meringis di kala Marcel meremas dadanya. Sungguh, mendapatkan sentuhan dari pria yang dia cintai sejak lama, membuat seluruh tubuhnya menjadi lemah dan tak berdaya.
Marcel melucuti satu demi satu pakaian Joice, hingga tubuh polos wanita itu terekspos. Detik selanjutnya, tanpa peduli dengan jeritan Joice—Marcel menyatukan miliknya ke dalam milik wanita itu.
Malam itu menjadi malam, mimpi buruk bagi Joice, namun tak benar-benar dikatakan buruk, karena Marcel adalah pria yang sejak lama dia cintai. Sayangnya cinta itu tak pernah terbalaskan.
Sinar matahari menembus sela-sela jendela. Dua pasangan yang tertidur pulas dalam kondisi tubuh telanjang dan hanya terselimuti oleh selimut tebal itu—perlahan mulai membuka kedua mata mereka. Saat mata mereka sudah terbuka. Raut wajah keduanya sama-sama menegang melihat satu sama lain tubuh mereka telanjang dan hanya terselimuti oleh selimut tebal. Wajah mereka menunjukkan jelas memucat terkejut.“Kau—” Marcel hendak berucap, namun satu demi satu kepingan memori di dalam diri Marcel terkuak. Pria itu mengingat tentang kejadian tadi malam. Kejadian di mana ada yang menjebak dirinya.“Shit!” Marcel mengumpat seraya mengusap wajah kasar. Sialnya, wanita yang dia tiduri adalah Joice. Bukan jalang yang bisa dia bayar. Semua semakin rumit membuat emosinya terpancing.Joice menarik selimut menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Raut wajahnya muram di kala melihat reaksi kemarahan di wajah Marcel. Dia pikir kalau Marcel akan langsung mengakui kesalahan dan meminta maaf padanya. Bahkan Joic
Satu bulan berlalu … Milan, Italia. “Good, Joice. Angkat dagumu dan lihat ke arah kanan.” Sang fotografer memberikan interuksi pada Joice yang tengah dipotret. Tentu Joice langsung menuruti interuksi sang fotografer itu.“Ya, good, Joice. Gerakan sedikit pinggulmu ke kanan. Sesuaikan dengan lekuk tubuhmu,” ucap sang fotografer lagi. Tampak Joice bergaya di depan kamera dengan begitu professional.Joice bukanlah seorang model baru. Wanita itu sangat tahu bagaimana berpose tetap sempurna di depan kamera. Nama Joice Osbert sudah tak perlu lagi diragukan dalam dunia modelling.“Oke, selesai. Thanks, Joice,” ucap sang fotografer pada Joice.Joice tersenyum merespon fotografer itu. Selanjutnya, wanita itu memutuskan untuk melangkah menuju ke ruang istirahatnya. Raut wajahnya sedikit lelah. Memiliki banyak aktivitas dalam pekerjaan kerap membuat Joice melupakan kehidupan pribadinya.“Joice, apa kau ingin makan?” Hana—sang manager—berucap di kala Joice memasuki ruang istirahat.Joice mengge
Nama itu kembali tercetus di dalam hati Joice. Nama yang sudah satu bulan ini tak ingin dia sebut-sebut lagi. Nama yang sudah Joice hindari ternyata kembali muncul di hadapannya.Napas Joice memburu. Otaknya sulit berpikir jernih. Melihat Marcel datang bersama dengan seorang wanita cantik membuat hati Joice seakan memiliki luka yang tersiram alkohol. Sangat perih dan menyakitkan.Joice menyadari bahwa dirinya memang sangat bodoh. Tak pernah berhenti mencintai seorang pria yang tidak pernah sedikit pun melirik dirinya. Berjuang melupakan bayang-bayang cinta pertamanya bukanlah sesuatu hal yang mudah.“Joice, bukankah itu Marcel De Luca?” tanya Hana memastikan. Sebagai manager Joice sejak lama, tak mungkin Hana tidak tahu tentang Marcel—yang merupakan cinta pertama Joice.“Ya.” Joice memilih untuk menjawab ini, seakan dirinya bersikap acuh tak peduli akan apa yang dia lihat.Hana memilih diam di kala melihat ekspresi wajah Joice. Dia mulai mengerti, dan tak berani lagi berucap karena ta
Tubuh Marcel menegang mendengar apa yang sang dokter ucapkan. Sepasang iris mata cokelat gelap Marcel berkilat penuh keterkejutan. Pria itu meyakinkan bahwa apa yang dia dengar ini adalah salah, tetapi apa yang dikatakan oleh sang dokter sangatlah jelas. Dia tidak mungkin salah mendengar. Bukan hanya Marcel yang terkejut tapi juga Hana. Selama ini yang Hana tahu Joice tidak memiliki kekasih. Fakta tentang kehamilan Joice tentunya sulit dicerna oleh wanita itu.“K-kandungan Joice lemah? Maksudmu Joice—” Marcel berusaha untuk berucap, namun otaknya menjadi blank hingga membuat kata-kata yang hendak dia ucap tersangkut di tenggorokan.Sang dokter menatap Marcel. “Maaf, Tuan. Apa Anda tidak tahu kalau Nona Joice Osbert sedang hamil?” tanyanya.Marcel hanya menggeleng dengan tatapan dingin menatap sang dokter. Tatapan yang tersirat meminta sang dokter untuk menjelaskan padanya secara lebih detail.“Tuan, usia kandungan Nona Joice Osbert adalah lima minggu. Kandungannya lemah karena saya m
Kilat mata Joice menajam mendengar apa yang Marcel katakan. Tatapan yang tersirat seperti laser membunuh lawan. Rahang Marcel mengetat. Tangannya mengepal begitu kuat.Kemarahan dan emosi menyelimuti Marcel di kala mendengar apa yang Joice katakan. Seakan perkataan Joice telah memancing amarahnya seperti ada bara api yang berada di atas kepalanya.“How dare you, Joice,” geram Marcel dengan sorot mata kian tajam. Kepala Marcel seakan dipenuhi bara api.Joice tersenyum patah melihat kemarahan Marcel. “Kenapa kau harus marah, Marcel? Anak yang aku kandung adalah anak yang tidak sama sekali kau inginkan. Harusnya kau setuju dengan apa yang telah aku putuskan.”Joice merasa dirinya sudah gila karena mengambil sebuah keputusan di mana dirinya harus membunuh. Tapi, dirinya tidak memiliki pilihan lain. Apa yang diputuskannya adalah yang terbaik.Joice menyadari bahwa anak yang ada di kandungannya adalah yang tak diinginkan Marcel. Sekalipun jauh dari dalam lubuk hati Joice terdalam, dia bahag
Pelupuk mata Joice terbuka secara perlahan. Object pertama yang Joice lihat adalah Hana. Manager-nya itu duduk di tepi ranjang dan terus menatapnya. Dia sedikit memijat kepalanya di kala merasakan sedikit pusing.“Joice, minumlah.” Hana segera memberikan segelas air putih untuk Joice, dan juga membantu Joice untuk sedikit bangun.“Thanks, Hana.” Joice meminum perlahan air putih itu.Hana meletakan secangkir gelas yang berisikan air putih ke atas meja. “Aku senang kau sudah siuman, Joice.” Joice duduk dibantu Hana. Wanita itu bersandar di kepala ranjang dalam posisi ada bantal yang bisa membuat punggungnya merasa empuk dan nyaman. Tampak raut wajah Joice menjadi muram. Kepingan memori ingatannya mengingat semuanya. Kehamilan yang sama sekali tidak pernah dia sangka. Joice tak mengira hubungan satu malamnya dengan Marcel berakibat membuat dirinya sampai harus mengandung benih pria itu. Jika saja Joice bisa bertindak untuk mencegah kehamilan, maka dia akan melakukan hal tersebut. Di
“Marcel? Kau di sini?” Brianna berucap seraya menatap Marcel. Dia sedikit tak mengira Marcel mengunjungi Joice. Pasalnya Brianna tahu sejak dulu Marcel paling tidak suka berada di dekat putrinya.“Apa yang membawamu ke sini, Marcel?” Dean sedikit tak ramah melihat kehadiran Marcel. Pria paruh baya yang masih sangat tampan itu, tak bisa ramah dengan Marcel karena selama ini dia tahu Marcel selalu bersikap dingin pada putrinya. Bahkan di masa lalu, Marcel menjauhi Joice seperti Joice adalah virus paling menjijikkan di muka bumi ini. Joice mengembuskan napas gelisah melihat kehadiran Marcel. Dia belum siap orang tuanya tahu, tapi kenapa malah pria itu muncul secepat ini? Sungguh, Joice membenci situasi yang membuatnya tersulut seperti ini.Marcel melangkah mendekat ke arah Brianna dan Dean. “Aku yang membawa Joice ke rumah sakit.”“Kau yang membawa Joice ke rumah sakit?” Mata Brianna sedikit melebar. Dia tak percaya mendengar apa yang Marcel katakan. Rasanya itu semua sangatlah tidak m
Brianna panik luar biasa di kala Joice pingsan. Kepanikan dan rasa takut dalam dirinya sudah tidak bisa lagi tertahankan. Air mata wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu berlinang deras.Dean memeluk Brianna berusaha menenangkan istrinya itu dari kepanikan. Meskipun khawatir dan juga panik, tapi Dean berusaha untuk tenang. Pasalnya jika dia tak bisa mengendalikan rasa panik, maka istrinya akan jauh lebih parah lagi.Marcel sejak tadi berdiri berjarak dari Dean dan Brianna. Raut wajah pria itu dingin dan sorot mata tegas. Meskipun dia sejak tadi hanya diam, nyatanya pancaran matanya menunjukkan rasa cemas.Saat ini dokter tengah memeriksa keadaan Joice. Brianna, Dean, dan Marcel terus menatap dokter yang memeriksa keadaan Joice. Sampai detik ini, Joice belum siuman. Itu yang membuat Brianna terus menangis. Sekalipun Dean sudah menenangkan Brianna, tapi tetap saja Brianna tak bisa berhenti ketakutan.“Brianna, jangan menangis terus. Tenanglah.” Dean mengusap-usap punggung istrin
Lombok, Indonesia. Menepuh perjalanan jauh dari London ke Lombok adalah hal yang tak pernah Joice sangka-sangka. Saat usia Janita dan Marvel dua tahun, Joice pernah diajak Marcel ke Bali dan Jakarta. Hanya saja dia belum pernah ke Lombok. Wanita cantik itu takjub, di kala Marcel membawanya benar-benar berkeliling pedesaan.Joice tak pernah mengira Marcel akan membawanya serta tiga anaknya berlibur ke Lombok. Liburan di benua Eropa dan Amerika adalah hal biasa untuk Joice bersama keluarga. Akan tetapi, liburan ke Asia benar-benar sangat menakjubkan!“Sayang, ini indah sekali. Terima kasih sudah membawaku ke sini.” Mata Joice berkaca-kaca menatap Marcel dengan haru.Marcel mengecup kening Joice. “Aku sudah yakin kau akan menyukai tempat ini.”Joice tersenyum lembut seraya menatap tiga anaknya yang sedang berlari-larian. “Waktu terasa sangatlah cepat. Dulu, aku selalu hidup berdua dengan Hana. Ke mana pun aku pergi, maka Hana akan ikut denganku. Tapi sekarang semua berubah di kala takdi
London, UK. Janji suci pernikahan yang terucap secara bergantian di bibir Landon dan Anya—wanita yang menikah dengan Landon—nampak membuat Joice sejak tadi tersenyum penuh haru bahagia. Sepasang iris mata Joice menunjukkan betapa dia bahagia. Kepingan memori teringat akan masa kecilnya bersama dengan sang adik, membuat Joice meneteskan air mata haru.Landon bertemu dengan Anya saat adiknya itu tengah berlibur ke Singapore. Singkat cerita, mereka hanya berawal berkencan biasa, namun ternyata berujung pada pernikahan. Tentunya perjalanan mereka tak selalu mulus. Ada kalanya naik turun. Tapi Joice selalu memberikan nasihat terbaik untuk adiknya, di kala adiknya mengalami masalah hubungan percintaan.Joice menetap tinggal di Milan, karena ikut dengan sang suami. Jarak tinggalnya dengan orang tua serta adiknya memang jauh, tapi Joice sering sekali mengunjungi London. Banyak keluarga yang tinggal di London, tentunya membuat Joice wajib mengunjungi kota indah itu.Selama proses upacara pern
*Dua minggu lagi hari pernikahanku. Kau pasti akan ke London, kan? Jangan bilang kau sibuk. Aku tidak akan lagi menganggapmu, jika kau sampai tidak datang di hari pernikahanku.* Pesan singkat dari Landon membuat Joice mengulumkan senyumannya. Wanita berparas cantik itu terlihat gemas akan pesan yang dia baca ini. Well, Joice tak akan mungkin hari pernikahan adiknya yang akan diadakan dua minggu lagi.Singkat cerita, beberapa bulan lalu Landon mendatangi Milan, memperkenalkan seseorang wanita cantik yang merupakan calon istri adiknya itu. Joice tentu saja bahagia mendengar kabar Landon akan segera menikah.Sudah sejak lama Joice meminta Landon untuk segera menikah. Karena bagaimanapun, Joice tahu bahwa kedua orang tuanya menginginkan Landon memiliki keluarga seperti dirinya dan Marcel. Doa Joice selama ini terjawab. Adiknya akhirnya dipertemukan dengan takdirnya.“Kenapa kau senyum-senyum seperti itu, Sayang?” Marcel mendekat, menghampiri sang istri. Joice mengalihkan pandangannya,
“Mommy, Daddy, kami pulang.”Marvel, Janita, dan si bungsu—Maxime—menghamburkan tubuh mereka pada kedua orang tua mereka. Pun tentu Joice dan Marcel membalas pelukan tiga anak mereka dengan lembut dan penuh kasih sayang.Kemarin, kedua orang tua Marcel sudah kembali ke Milan. Namun, mereka tidak langsung mengembalikan Maxime. Yang mereka lakukan malah menjemput Marvel dan Janita untuk berjalan-jalan. Weekend terakhir, tak ingin diasia-siakan oleh kedua orang tua Marcel itu.Sekarang Marvel, Janita, dan Maxime dipulangkan, karena Marvel dan Janita akan masuk sekolah. Maxime juga dipulangkan, karena pastinya Marcel dan Joice sangatlah merindukan putra bungsu mereka.“Sayang Mommy. Ah, kalian baru pulang jalan-jalan. Pasti kalian happy.” Joice menciumi ketiga anaknya itu. Bergantian dengan Marcel yang kini menciumi tiga anaknya. “Mommy kami senang sekali diajak jalan-jalan Grandpa Mateo dan Grandma Miracle,” ucap Janita dengan riang gembira.Joice tersenyum mendengar apa yang dikatakan
Joice turun dari mobil, dan melangkah terburu-buru masuk ke dalam mansion menuju kamar. Tentu saja, Marcel segera menyusul Joice yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mereka. Sejak di mana bertemu dengan Poppy—Joice memang terlihat masih marah. Padahal seharusnya Joice sudah tidak lagi marah padanya.“Joice, kau masih mendiamiku setelah aku memberikan penjelasan padamu?” Marcel masuk ke dalam kamar, mendekat pada Joice.“Aku ingin istirahat, Marcel. Tolong kau keluar.” Joice tetap bersikap dingin, dan acuh, meminta Marcel untuk keluar. Dia masih enggan untuk bicara dengan suaminya. Sekalipun, tadi dia sudah bertemu dengan Poppy—tetap saja dia masih kesal dan marah.Marcel berusaha bersabar menghadapi sang istri yang cemburu buta. Dia menarik tangan Joice—membuat tubuh istrinya itu masuk ke dalam dekapannya. Tampak Joice berontak di kala Marcel memeluknya dengan erat.“Marcel, lepaskan aku! Lepas!” Joice mendorong dada bidang Marcel.“Jika kau berontak, maka aku akan benar-benar b
Mobil sport milik Marcel terhenti di sebuah restoran ternama di Milan. Detik itu juga raut wajah Joice berubah menunjukkan jelas kebingungannya. Dia sedang marah, tapi kenapa malah diajak ke restoran? Apa-apaan ini? Sungguh! Joice menjadi semakin kesal pada Marcel.“Marcel, kau kenapa mengajakku ke sini?” seru Joice kesal pada Marcel.“Kita akan bertemu dengan seseorang.” Marcel membuka seat belt-nya, turun dari mobil—dan membukakan pintu mobil untuk istri tercintanya itu.“Bertemu siapa?!” Joice enggan untuk bertemu siapa pun. Dalam kondisi raut wajah yang sedang marah, menunjukkan jelas rasa tak suka jika harus bertemu dengan orang. Entah siapa yang ingin ditunjukkan oleh suaminya itu. Marcel menunduk, membuka seat belt sang istri. “Kau akan tahu, jika kau sudah turun.” Lalu, pria itu menarik tangan istrinya—memaksa untuk turun dari mobil. Joice mendesah kasar ketika tangannya ditarik sang suami masuk ke dalam restoran. Dia tidak memiliki pilihan lain untuk mengikuti suaminya it
“Mom, kenapa kau tidur di kamarku? Nanti Daddy kesepian. Kasihan Daddy, Mom. Daddy bilang padaku, dia tidak akan bisa tidur nyenyak, jika tanpa Mommy.” Janita menatap Joice yang tidur di kamarnya. Biasanya ibunya itu akan menemaninya tidur, jika dia tengah sakit. Tapi dia sehat dan baik-baik saja. Itu yang membuat gadis kecil itu bingung.Joice memeluk Janita dan mengecupi pipi bulat putrinya itu. “Mommy sangat merindukanmu. Itu kenapa Mommy tidur denganmu. Memangnya kau tidak suka tidur bersama Mommy?”Janita tersenyum lembut dan manis. “Tentu saja aku suka, Mommy. Aku suka tidur bersama Mommy. Tapi, aku kasihan pada Daddy tidur sendiri. Nanti Daddy kesepian. Bagaimana kalau Daddy diajak tidur bersama kita saja?” Gadis kecil itu memberikan ide luar biasa.“Tidak!” tolak Joice tegas, dengan raut wajah jengkel.“Kenapa tidak, Mommy? Kasihan Daddy tidur sendiri.” Raut wajah Janita muram.“Daddy tidak tidur sendiri. Malam ini Daddy tidur bersama Marvel, Little Girl.” Marcel melangkah men
Weekend tiba. Marvel dan Janita bersorak riang gembira. Dua anak kembar itu libur. Mereka sekarang asik berkutat pada dengan iPad mereka masing-masing. Mereka tenang tak memiliki gangguan. Pasalnya Maxime masih bersama dengan kakek dan nenek mereka. Jika Maxime ada di rumah, sudah pasti adiknya itu akan mengganggu dengan membuat kekacauan. Marvel asik bermain game mobil balap. Janita asik bermain game barbie. Akan tetapi tentu Janita bermain game sambil mengemil cake yang dibuatkan pelayan. Gadis kecil itu memang terkenal sangat menyukai cake manis.“Marvel, Janita. Kalian mendapatkan video call Grandpa Dean dan Grandma Brianna. Ayo jawab telepon kakek kalian dulu.” Joice menghampiri dua anak kembarnya yang tengah asik bermain dengan iPad.“Yes, Mommy.” Marvel dan Janita menjawab dengan patuh. Mereka langsung berlari menghampiri pengasuh mereka—yang tengah memegang ponsel. Dua bocah itu bahagia mendengar kakek dan nenek mereka video call.Joice tersenyum sambil menggeleng-gelengkan k
Janita tersenyum-senyum seraya melangkah masuk ke dalam rumah. Gadis kecil cantik itu baru saja pulang sekolah—dengan wajah yang riang gembira. Sayangnya tidak dengan Marvel yang pulang dalam keadaan menekuk bibirnya.“Mommy, aku dan Kak Marvel sudah pulang.” Janita berseru dengan suara cempreng dan nyaring—membuat Marvel harus menutup kedua telinganya.“Anak-anak Mommy sudah pulang.” Joice tersenyum menyambut dua anak kembarnya yang sudah pulang. “Ayo ganti pakaian kalian dulu. Cuci tangan bersih, lalu kita makan siang bersama.”Janita dan Marvel sama-sama mengangguk patuh. Mereka menuju ke kamar mereka masing-masing bersamaan dengan para pengasuh mereka. Tepat di kala Janita dan Marvel sudah masuk ke dalam kamar—Joice bersenandung sambil menyiapkan makanan lezat yang sudah dia siapkan untuk dua anak kembarnya. Joice telah mengurangi pekerjaannya yang bergelut di dunia model. Bukan berhenti, tapi hanya mengurangi porsi pekerjaan. Bisa dikatakan fokus utama Joice adalah mengurus suam