Suara Selene, sesosok putri duyung cantik, melantun lembut di tengah samudra, mengalir seperti angin sepoi yang membelai gelombang. Nyanyiannya memikat setiap makhluk laut yang mendengar, membuat lumba-lumba menari di sekitar dan ikan-ikan kecil bergerak dalam harmoni. Bagi Selene, menyanyi bukan sekadar hobi—itu adalah bagian dari dirinya, sebuah panggilan jiwa yang menyatu dengan arus dan desiran ombak. Namun, ada sesuatu yang selalu ia rindukan, sesuatu yang tak pernah ia temukan di kedalaman laut. Saat suaranya menggema di bawah sinar bulan, ia sering memandang ke permukaan, bertanya-tanya apa yang ada di dunia manusia yang begitu jauh dari jangkauannya.
Duyung cantik dengan rambut pirang dan mata biru sebiru lautan itu, memiliki keingintahuan yang tinggi mengenai dunia manusia. Walaupun Saudari-saudarinya seringkali melarang, namun diam-diam Selene terkadang mencari tahu dengan caranya sendiri. Seperti malam ini salah satu contohnya. Dia hendak berenang diam-diam mendekati daratan. Malam ini sinar rembulan lebih terang, sehingga memudahkan perjalanannya. Belum sampai mendekati daratan, tiba-tiba terlihat ada kapal yang karam di depannya. Selene bersembunyi di balik karang-karang laut karena takut keberadaannya akan diketahui manusia. Ketika dia bersembunyi, terdengar pula suara sesuatu yang terjatuh dan tenggelam ke lautan. Dari balik karang, mata duyung itu mengintip, mencari tahu apa yang ada di depannya. Seorang manusia, pria dengan baju linen putih yang basah dan robek sebagian karena kecelakaan kapal, memperlihatkan otot dadanya yang kuat. Celana panjangnya berwarna krem, lusuh karena perjalanan panjang di laut. Pria itu tenggelam jatuh ke dasar lautan dan tak sadarkan diri. Selene yang tadinya tengah bersembunyi, berenang menghampiri pria tersebut. Selene meresa bahwa dia harus menyelematkan pria itu, ia pun membawa pria berambut coklat tersebut dengan susah payah menuju daratan. Sesampainya di daratan, pria yang tak sadarkan diri itu perlahan mulai membuka matanya. Dia masih lemas, dan dengan pandangan yang masih kabur, kedua mata coklatnya menangkap wajah seorang gadis cantik bermata sebiru lautan dengan rambut pirang panjang bergelombang. Namun tak lama, pria itu kembali tak sadarkan diri. Selene lekas pergi dari daratan setelah memastikan sang pria aman dan akan segera ditemukan oleh masyarakat sekitar. Selain itu, ia juga harus segera kembali ke laut mengingat kondisi tubuhnya yang tidak bisa terlalu lama berada di darat. Setelah berada di laut, dirinya bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya ia rasakan tadi? Jantungnya berdegup kencang ketika kulitnya bersentuhan dengan manusia tadi, mukanya memanas dan memerah padam ketika menatapnya. Rasanya seperti banyak kupu-kupu berterbangan di perutnya. Baru pertama kali ia merasakan perasaan seperti ini. Keesokan harinya Selene melakukan aktivitas seperti biasanya, berkeliling laut sambil menyapa teman-temannya. Salah satunya temannya seorang duyung berambut coklat, bernama Marisca. "Hai Selene, bagaimana kabarmu? Hari ini kamu terlihat berbeda", tanya Marisca setelah membalas sapaan Selene. "Kabarku baik, aku sudah menyelesaikan tugasku hari ini", jawab Selene, "Aku terlihat berbeda?", sambungnya sembari melihat-lihat dan menyentuh tubuhnya. Marisca tersenyum dan mendekatkan mulutnya ke telingan Selene seraya berbisik, "Apakah ada kejadian luar biasa yang terjadi kemarin?" Selene terbelalak kaget, takut apa yang ia lakukan diam-diam akan diketahui oleh temannya. "Te-tentu saja tak ada kejadian seperti itu, semua terjadi seperti biasanya kok" "Hmmm, benarkah?", tanya Marisca kembali sembari menyeringai jahil. "I-iya, benar!" Marisca menarik tangan Selene dan membawanya ke suatu tempat yang agak sepi, "Kalau begitu, ikut aku! Ada yang mau aku ceritakan!" Selene hanya bisa pasrah dengan ajakan dari teman duyungnya itu. Marisca memposisikan satu jari telunjuknya di depan bibirnya, memberi isyarat pada Selene agar apa yang akan dia ceritakan padanya untuk dirahasiakan. Selene mengangguk. Marisca pun mulai bercerita. "Kau tau merman yang bernama Kairos? Kemarin aku tidak sengaja bertemu dengannya ketika membersihkan terumbu karang, dia juga ikut membantuku", ucap Marisca, "Dia sangat tampan dan baik hati, sepertinya aku jatuh cinta padanya", serunya kembali. Selene dengan polosnya bertanya, "Jatuh cinta? Memangnya seperti apa rasanya jatuh cinta?" Marisca tertawa mendengar pertanyaan Selene, "Ya ampun, kamu tidak tahu? apakah kamu tidak pernah merasakannya?" Selene hanya diam sesekali menggaruk sebelah pipinya yang tidak gatal. "Ketika kamu jatuh cinta dengan seseorang, kamu akan merasakan gejala-gejala aneh, seperti jantung berdegup kencang, pipimu memanas, perutmu terasa geli aneh, dan kamu tidak bisa berhenti memikirkan orang itu!", Marisca menjelaskan dengan penuh antusias. Mendengar penjelasan dari temannya, Selene langsung tersadar. Ternyata apa yang ia rasakan kemarin adalah perasaan 'itu', ya jatuh cinta. Setelah mendengar ucapan temannya, perasaan Selene menjadi semakin kuat. Setiap malam ia naik ke permukaan untuk mencari sosok pria yang ia taksir itu. Setelah beberapa lama ia mengamati, kini ia mengetahui bahwa pria pujaan hatinya itu bernama Elliot, seorang pelaut muda. Rasa ingin tahu Selene terhadap Elliot semakin menjadi-jadi. Ia tidak puas hanya melihat dari jauh. Ia ingin berjalan di atas tanah, berbincang dengan Elliot, dan mencintainya. Namun ia tahu, seorang duyung tidak bisa hidup di daratan. Selene memutuskan untuk menemui Thalassa, penyihir laut yang tinggal di gua gelap dan penuh reruntuhan kapal. Thalassa dikenal licik dan tidak segan-segan mengambil apa yang paling berharga dari kliennya. “Aku ingin menjadi manusia,” kata Selene dengan penuh keberanian saat bertemu Thalassa. Penyihir itu tertawa kecil. “Menjadi manusia? Kau sadar ini bukan tanpa pengorbanan, kan?” “Aku siap.” “Bagus,” kata Thalassa, menggerakkan tangannya sehingga air di sekeliling mereka berputar. “Aku bisa memberimu kaki, membuatmu menjadi manusia. Tapi, aku membutuhkan bayaran.” Selene mengangguk. “Apa yang kau mau?” “Suaramu.” Kata-kata itu membuat Selene terpaku. Suaranya adalah harta yang paling berharga, bagian dari dirinya yang paling ia banggakan. Tapi keinginannya untuk menjadi manusia lebih besar daripada rasa takut kehilangan itu. “Aku setuju.” Thalassa tersenyum puas. Ia menyentuh tenggorokan Selene, dan perlahan suara merdu duyung itu terlepas dari tubuhnya seperti kabut yang menghilang. Selene terbangun di pantai dengan kaki yang menggantikan ekornya. Tubuhnya terasa asing, tetapi kebahagiaan meluap di hatinya. Ia akhirnya menjadi manusia! Namun, tanpa suara, Selene menghadapi tantangan besar. Ia tidak bisa menjelaskan siapa dirinya, tidak bisa menyapa Elliot, dan hanya mampu tersenyum saat Elliot menolongnya. Saat itu tubuh Selene tak terbalut apapun, Elliot yang melihat hal itu sedikit membuang muka, bagaimanapun dia adalah pria normal. Dengan cepat dia membuka kemeja yang ia pakai dan memakaikannya kepada Selene. Muka Selene memerah malu, karena di depannya ada sang pujaan hati dengan penampilan bertelanjang dada menampilkan dada bidang dan lengan berototnya. Selene mencoba untuk menjelaskan apa yang terjadi, namun mulutnya tak bisa mengeluarkan suara. Elli yang paham akan hal tersebut pun berkata, "Aku akan mengantarmu ke tempat bibi, dia pasti bisa menolongmu" "Bukan, aku hanya ingin bersamamu, hanya kamu yang aku butuhkan Elliot!", itu lah kalimat yang sebenernya ingin diungkapkan oleh Selene, namun sayangnya dia hanya bisa menunduk diam.Selene dibawa oleh Elliot ke sebuah rumah di desa terdekat dari pantai, di dalam rumah tersebut muncul seorang wanita paruh baya yang mungkin dia lah yang disebut "bibi" oleh Elliot itu. "Bi, aku menemukan seorang gadis di pantai, sepertinya dia bisu dan sedikit kebingungan", ucap Elliot. Bibi menatap Selene dari ujung kaki hingga ujung rambut, "Apakah kamu yakin dia bisu? Gadis secantik ini?" Selene hanya bisa terdiam dan menunjukkan senyuman kecil. Ia juga bingung bagaimana menjelaskannya. Selene baru saja tiba di daratan, bingung dan terkejut dengan kehidupan yang sangat berbeda dari dunia laut yang dia kenal. Ia memiliki penampilan manusia yang sempurna, tetapi tanpa suara dan pengetahuan tentang dunia manusia. Bibi yang baik itu pun membawa Selene ke rumahnya, ia memperkenalkan dirinya, Elina, itulah namanya. Bibi Elina adalah orang yang merawat Elliot sedari kecil setelah Elliot kehilangan kedua orang tuanya ketika melaut. Tentu dari luar saja Selene langsung bisa meni
"Oh, dia gadis dari pantai itu, ya? Gadis bisu?"Selene merasa hatinya mencelos, tetapi ia tetap berdiri tegak. Isabella terlihat sempurna, sementara ia merasa begitu kecil dan asing di dunia ini."Selene bukan hanya 'gadis bisu,'" kata Elliot, nadanya sedikit tajam. "Dia sedang belajar banyak hal. Bahkan berani pergi ke pasar sendirian tadi."Isabella mengangkat alisnya. "Oh, begitu? Kau sungguh murah hati, Elliot." Nada suaranya terdengar manis, tetapi Selene merasa ada sesuatu yang menusuk dalam kata-katanya.Isabella lalu kembali memandang Elliot dengan penuh perhatian. "Kau tidak lupa, kan? Kita punya janji makan malam bersama keluargaku malam ini. Ayahku sangat ingin berbicara denganmu."Elliot mengangguk pelan. "Aku ingat. Aku akan ke sana setelah mengantar Selene pulang."Isabella menghela napas, lalu mendekati Elliot dan menyentuh lengannya dengan lembut. "Jangan terlambat, oke?" katanya, sebelum memberikan ciuman cepat di pipi Elliot.Selene mematung. Ia tidak memahami sepen
Elliot berjalan di sepanjang pantai yang sepi, angin laut menyapu rambutnya, membawa harum garam dan kebebasan. kemarin sore, dia bertemu dengan Selene—perempuan yang tak bisa berbicara, namun memiliki cara yang aneh untuk berbicara langsung ke hati. Sekarang, setelah pertemuan itu, perasaannya bercampur aduk.Di satu sisi, ada Isabella, tunangannya yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya, wanita yang selalu mendampinginya sejak kecil. Mereka tumbuh bersama, merencanakan masa depan bersama, dan tak ada yang lebih ia inginkan selain kebahagiaan bersama Isabella. Dia mencintainya dengan cara yang begitu dalam, meskipun terkadang terasa seperti sebuah kewajiban, sebuah harapan yang telah ditetapkan oleh keluarga mereka.Namun, Selene… Selene adalah sesuatu yang berbeda. Ketika Elliot memandangnya tadi, ada sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat, sesuatu yang membuatnya merasa nyaman meskipun pertemuan mereka begitu singkat. Dia tidak tahu mengapa, tetapi saat mereka be
Elliot menarik napas dalam-dalam dan mendekatkan wajahnya ke wajah Selene. Wajah gadis itu semakin memerah dan nampak bingung dan takut. Namun ada secercah harapan di matanya yang berbinar, harapan yang membuat pemuda itu melangkah lebih jauh.Selene menutup mata, tubuhnya bergetar, tetapi tak mampu menghindar. Ketika bibir mereka akhirnya bertemu, ada kilatan energi yang luar biasa, seperti petir yang menyambar di kedalaman lautan. Ciuman itu, meskipun penuh keraguan, penuh hasrat, dan juga cinta yang telah lama terkubur, mengguncang dunia mereka berdua.Semua perasaan yang terpendam, semua keraguan yang ada, seakan sirna seiring ciuman itu. Waktu berhenti, dunia tidak lagi penting. Yang ada hanya mereka—dua hati yang tak bisa lagi dipisahkan oleh apapun, meskipun takdir berusaha memisahkan mereka.Ketika mereka terpisah, Selene menarik napas panjang, menatap Elliot dengan mata penuh air mata yang tak dapat ia tahan.Tanpa mereka sadari, seseorang tengah berdiri tak jauh dari posisi
Elliot mengantar Isabella pulang, mereka berjalan beriringan sambil berpegangan tangan, namun lebih tepatnya hanya Isabella yang memegang tangan Elliot erat. Gadis itu sangat mencintainya, tak ingin melepasnya dan akan melakukan segala cara agar sang kekasih tak berpaling darinya. "Terima kasih sudah mengantarku, Elli", kata Isabella dengan suara yang lembut dan penuh makna. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh kekar Ellliot dengan perlahan, ingin sang pria juga merasakannya. "Aku senang sekali bisa pergi denganmu hari ini"Elliot tersenyum canggung, sedikit terkejut oleh sentuhan itu. Ia merasa sedikit tidak nyaman, namun tak ingin mengecewakan Isabella. "Tidak masalah, Isabella. Aku senang bisa menemanimu," jawabnya, berusaha terdengar normal, meskipun hatinya berdebar.“Elliot,” suara Isabella terdengar lebih dalam saat dia melangkah mendekat, langkah kakinya menggema di lantai kayu yang berkilau di bawah kaki mereka. “Keluargaku pergi beberapa hari. Jadi, aku hanya punya kamu
Elliot memeluk Isabella, "Maafkan aku Isabell.."Setelah berbisik lembut di telinga Isabella, Elliot pergi meninggalkan gadis itu. Tangisan Isabella meledak, seolah setiap tetes air matanya mengalirkan segala kesedihan yang tak tertahankan.Isabella kini benar-benar membenci Selene. Seandainya Selene tak ada, hubungannya dengan Elliot tak akan jadi berantakan seperti sekarang."Aku benci kamu, Selene..."-Malam itu, angin bertiup kencang, membawa dingin yang menusuk tulang saat Elliot berlari menjauh dari rumah Isabella. Setiap langkahnya terasa berat, penuh kebingungan dan kesedihan yang tak bisa dia tafsirkan. Semua yang terjadi begitu cepat, terlalu cepat, dan perasaan cemas menguasai pikirannya. Isabella… wajahnya seakan terus mengikuti, seperti bayangan yang tak bisa dia hindari. Tapi ada sesuatu yang lebih dalam lagi, sesuatu yang mengusik, membuatnya merasa terjebak antara dua dunia. Dalam kegelisahan itu, tanpa dia sadari, langkah kakinya berhenti.Di depan sebuah rumah tua y
Malam itu di bawah cahaya rembulan yang melewati sela-sela jendela kamar Selene, mereka berdua menghabiskan malam bersama.-Pagi itu, udara di luar masih dingin, menyelimuti segala sesuatu dalam kabut tipis yang menutupi jalanan. Elliot sudah bangun lebih awal, sebelum fajar benar-benar menyinari langit. Ia berbaring di samping Selene, menatap gadis itu yang masih terlelap dalam tidurnya, kemudian ia kecup perlahan pipi dan bibir gadis itu. Suasana di kamar itu terasa sunyi, hanya suara napas Selene yang terdengar pelan, damai. Dengan langkah hati-hati, Elliot menurunkan kakinya dari ranjang dan bergerak menuju pintu kamar. Ia berhenti sejenak, memandang Selene yang terbaring tenang, dan sebuah rasa hangat menyelinap di dadanya, perasaan yang sulit dijelaskan. Tapi ia tahu—ia tak bisa tinggal. Ini bukan tempatnya, bukan saatnya.Ia berjalan menuju lorong dengan gerakan cepat namun pelan, takut membangunkan siapa pun. Di luar kamar, rumah itu masih sunyi, bibi Elina belum terbangun, d
Malam semakin larut, dan Bibi Elina duduk di kursi depan rumah, matanya tak henti memandang ke arah jalan yang kosong. Lampu minyak yang redup di meja sampingnya mengeluarkan cahaya kuning yang bergetar, seakan mencerminkan kegelisahannya. Waktu seolah melambat, dan setiap detik yang berlalu terasa semakin berat. Selene belum juga pulang.Hati Bibi Elina mulai dipenuhi kekhawatiran yang terus mengusik pikirannya. Angin malam yang sejuk menyisir rambut abu-abunya, tapi ia tak merasa dingin. Suara jangkrik terdengar jelas, seolah menyampaikan kecemasan yang sama, menyatu dengan kegelisahannya."Kemana perginya anak itu? Mana mungkin hanya membeli roti di pasar bisa menghabiskan waktu berjam-jam", gumamnya gelisah.Dengan gusar wanita itu masuk ke dalam rumahnya dan mengambil syalnya, kemudian mengalungkannya ke leher, mengingat malam ini udara lebih dingin. Tak lupa menutup dan mengunci pintu rumahnya. Ya, Bibi Elina hendak menyusul atau lebih tepatnya mencari Selene ke pasar.-Bibi El
"Selene... dia adalah duyung bersuara indah yang memberikan kedamaian di dasar laut"Mendengar hal itu, Isabella sedikit tersedak ketika menyeruput tehnya. "Uhuk... Selene adalah duyung?!"Tangan wanita tua itu bergerak mengambil cangkir teh di depannya dan menyeruputnya hingga habis."Dia menjadi bisu karena melakukan perjanjian dengan penyihir agar bisa menjadi manusia"Kini semuanya mulai terasa masuk akal, Selene yang tiba-tiba muncul di pesisir pantai dengan keadaan tak bisa bicara dan tak tahu apa-apa mengenai dunia manusia. Isabella tertawa puas, sekarang dia tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.-Selene duduk di dapur rumah Bibi Elina, memandang rempah-rempah yang tersebar di meja. Dengan sedikit ragu-ragu, karena masih belajar, dia memotong bahan-bahan untuk hidangan makan malam nanti.Dia mengangkat pisau, memotong cabai merah dengan hati-hati, kemudian menaburkannya ke dalam panci. Dia masih ingat betapa sulitnya hidup di dunia manusia, jauh dari lautan tempat dia dil
Wanita tua itu menyeringai, senyumnya penuh dengan arti yang tak dapat dijelaskan. Dengan tatapan tajam yang seolah bisa menembus jiwa, dia mendekatkan wajahnya ke Isabella dan berbisik, "Aku tahu apa yang sedang kamu rencanakan, dan aku tahu bagaimana cara kamu bisa mendapatkannya".Isabella mengernyitkan dahinya. Ia menatap wanita tua itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wanita itu berpakaian lusuh dan memakai jubah yang menutupi sebagian wajahnya. Isabella tak menghiraukan wanita itu dan hendak untuk berlalu pergi."Kamu ingin Elliot kembali padamu kan?"Mendengar hal itu, Isabella menghentikan langkahnya. Ia kembali menatap wanita itu dengan ekspresi sedikit terkejut. Bagaimana bisa wanita tua yang tidak ia kenal bisa tahu mengenai keretakan hubungannya dengan Elliot?"Apa yang bisa kamu lakukan untukku, wanita tua?"Wanita itu tersenyum menyeringai, dan tiba-tiba bola kristal di tangannya mengeluarkan cahaya, "Aku bisa melakukan apapun yang kau mau, asal ada imbalannya"-Sele
Elliot akhirnya sampai di depan gudang tua di belakang toko buku yang sudah lama tutup. Tempat itu memang sepi, gelap, dan jarang dilalui orang, hanya dihiasi dengan debu tebal yang menutupi lantai. Suasana yang mencekam membuat napasnya semakin terengah-engah.Tanpa pikir panjang, ia mengabaikan rasa takut yang merayap di hatinya dan dengan cepat mendobrak pintu gudang yang sudah reyot itu. Pintu berderit keras saat ia mendorongnya dengan segenap tenaga, menciptakan suara yang menambah ketegangan malam yang sunyi.Begitu pintu gudang terbuka, Elliot langsung melihat Selene terbaring lemah di sudut ruangan, wajahnya pucat dan tubuhnya terluka. Dua pria berdiri di dekatnya, tersenyum penuh kemenangan. Amarah Elliot meledak seketika. Matanya dipenuhi kebencian dan kepanikan, hatinya berdegup kencang seolah tak sanggup menahan gejolak emosi yang membara.Melihat Selene dalam kondisi terpuruk, ia merasa seolah seluruh dunia mendukungnya untuk membalas perlakuan keja
Malam semakin larut, dan Bibi Elina duduk di kursi depan rumah, matanya tak henti memandang ke arah jalan yang kosong. Lampu minyak yang redup di meja sampingnya mengeluarkan cahaya kuning yang bergetar, seakan mencerminkan kegelisahannya. Waktu seolah melambat, dan setiap detik yang berlalu terasa semakin berat. Selene belum juga pulang.Hati Bibi Elina mulai dipenuhi kekhawatiran yang terus mengusik pikirannya. Angin malam yang sejuk menyisir rambut abu-abunya, tapi ia tak merasa dingin. Suara jangkrik terdengar jelas, seolah menyampaikan kecemasan yang sama, menyatu dengan kegelisahannya."Kemana perginya anak itu? Mana mungkin hanya membeli roti di pasar bisa menghabiskan waktu berjam-jam", gumamnya gelisah.Dengan gusar wanita itu masuk ke dalam rumahnya dan mengambil syalnya, kemudian mengalungkannya ke leher, mengingat malam ini udara lebih dingin. Tak lupa menutup dan mengunci pintu rumahnya. Ya, Bibi Elina hendak menyusul atau lebih tepatnya mencari Selene ke pasar.-Bibi El
Malam itu di bawah cahaya rembulan yang melewati sela-sela jendela kamar Selene, mereka berdua menghabiskan malam bersama.-Pagi itu, udara di luar masih dingin, menyelimuti segala sesuatu dalam kabut tipis yang menutupi jalanan. Elliot sudah bangun lebih awal, sebelum fajar benar-benar menyinari langit. Ia berbaring di samping Selene, menatap gadis itu yang masih terlelap dalam tidurnya, kemudian ia kecup perlahan pipi dan bibir gadis itu. Suasana di kamar itu terasa sunyi, hanya suara napas Selene yang terdengar pelan, damai. Dengan langkah hati-hati, Elliot menurunkan kakinya dari ranjang dan bergerak menuju pintu kamar. Ia berhenti sejenak, memandang Selene yang terbaring tenang, dan sebuah rasa hangat menyelinap di dadanya, perasaan yang sulit dijelaskan. Tapi ia tahu—ia tak bisa tinggal. Ini bukan tempatnya, bukan saatnya.Ia berjalan menuju lorong dengan gerakan cepat namun pelan, takut membangunkan siapa pun. Di luar kamar, rumah itu masih sunyi, bibi Elina belum terbangun, d
Elliot memeluk Isabella, "Maafkan aku Isabell.."Setelah berbisik lembut di telinga Isabella, Elliot pergi meninggalkan gadis itu. Tangisan Isabella meledak, seolah setiap tetes air matanya mengalirkan segala kesedihan yang tak tertahankan.Isabella kini benar-benar membenci Selene. Seandainya Selene tak ada, hubungannya dengan Elliot tak akan jadi berantakan seperti sekarang."Aku benci kamu, Selene..."-Malam itu, angin bertiup kencang, membawa dingin yang menusuk tulang saat Elliot berlari menjauh dari rumah Isabella. Setiap langkahnya terasa berat, penuh kebingungan dan kesedihan yang tak bisa dia tafsirkan. Semua yang terjadi begitu cepat, terlalu cepat, dan perasaan cemas menguasai pikirannya. Isabella… wajahnya seakan terus mengikuti, seperti bayangan yang tak bisa dia hindari. Tapi ada sesuatu yang lebih dalam lagi, sesuatu yang mengusik, membuatnya merasa terjebak antara dua dunia. Dalam kegelisahan itu, tanpa dia sadari, langkah kakinya berhenti.Di depan sebuah rumah tua y
Elliot mengantar Isabella pulang, mereka berjalan beriringan sambil berpegangan tangan, namun lebih tepatnya hanya Isabella yang memegang tangan Elliot erat. Gadis itu sangat mencintainya, tak ingin melepasnya dan akan melakukan segala cara agar sang kekasih tak berpaling darinya. "Terima kasih sudah mengantarku, Elli", kata Isabella dengan suara yang lembut dan penuh makna. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh kekar Ellliot dengan perlahan, ingin sang pria juga merasakannya. "Aku senang sekali bisa pergi denganmu hari ini"Elliot tersenyum canggung, sedikit terkejut oleh sentuhan itu. Ia merasa sedikit tidak nyaman, namun tak ingin mengecewakan Isabella. "Tidak masalah, Isabella. Aku senang bisa menemanimu," jawabnya, berusaha terdengar normal, meskipun hatinya berdebar.“Elliot,” suara Isabella terdengar lebih dalam saat dia melangkah mendekat, langkah kakinya menggema di lantai kayu yang berkilau di bawah kaki mereka. “Keluargaku pergi beberapa hari. Jadi, aku hanya punya kamu
Elliot menarik napas dalam-dalam dan mendekatkan wajahnya ke wajah Selene. Wajah gadis itu semakin memerah dan nampak bingung dan takut. Namun ada secercah harapan di matanya yang berbinar, harapan yang membuat pemuda itu melangkah lebih jauh.Selene menutup mata, tubuhnya bergetar, tetapi tak mampu menghindar. Ketika bibir mereka akhirnya bertemu, ada kilatan energi yang luar biasa, seperti petir yang menyambar di kedalaman lautan. Ciuman itu, meskipun penuh keraguan, penuh hasrat, dan juga cinta yang telah lama terkubur, mengguncang dunia mereka berdua.Semua perasaan yang terpendam, semua keraguan yang ada, seakan sirna seiring ciuman itu. Waktu berhenti, dunia tidak lagi penting. Yang ada hanya mereka—dua hati yang tak bisa lagi dipisahkan oleh apapun, meskipun takdir berusaha memisahkan mereka.Ketika mereka terpisah, Selene menarik napas panjang, menatap Elliot dengan mata penuh air mata yang tak dapat ia tahan.Tanpa mereka sadari, seseorang tengah berdiri tak jauh dari posisi
Elliot berjalan di sepanjang pantai yang sepi, angin laut menyapu rambutnya, membawa harum garam dan kebebasan. kemarin sore, dia bertemu dengan Selene—perempuan yang tak bisa berbicara, namun memiliki cara yang aneh untuk berbicara langsung ke hati. Sekarang, setelah pertemuan itu, perasaannya bercampur aduk.Di satu sisi, ada Isabella, tunangannya yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya, wanita yang selalu mendampinginya sejak kecil. Mereka tumbuh bersama, merencanakan masa depan bersama, dan tak ada yang lebih ia inginkan selain kebahagiaan bersama Isabella. Dia mencintainya dengan cara yang begitu dalam, meskipun terkadang terasa seperti sebuah kewajiban, sebuah harapan yang telah ditetapkan oleh keluarga mereka.Namun, Selene… Selene adalah sesuatu yang berbeda. Ketika Elliot memandangnya tadi, ada sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat, sesuatu yang membuatnya merasa nyaman meskipun pertemuan mereka begitu singkat. Dia tidak tahu mengapa, tetapi saat mereka be