Elliot memeluk Isabella, "Maafkan aku Isabell.."
Setelah berbisik lembut di telinga Isabella, Elliot pergi meninggalkan gadis itu. Tangisan Isabella meledak, seolah setiap tetes air matanya mengalirkan segala kesedihan yang tak tertahankan. Isabella kini benar-benar membenci Selene. Seandainya Selene tak ada, hubungannya dengan Elliot tak akan jadi berantakan seperti sekarang. "Aku benci kamu, Selene..."-
Malam itu, angin bertiup kencang, membawa dingin yang menusuk tulang saat Elliot berlari menjauh dari rumah Isabella. Setiap langkahnya terasa berat, penuh kebingungan dan kesedihan yang tak bisa dia tafsirkan. Semua yang terjadi begitu cepat, terlalu cepat, dan perasaan cemas menguasai pikirannya. Isabella… wajahnya seakan terus mengikuti, seperti bayangan yang tak bisa dia hindari. Tapi ada sesuatu yang lebih dalam lagi, sesuatu yang mengusik, membuatnya merasa terjebak antara dua dunia. Dalam kegelisahan itu, tanpa dia sadari, langkah kakinya berhenti.
Di depan sebuah rumah tua yang tampak sunyi, ia menatap pintu yang terletak di ujung jalan gelap. Pintu itu tampak familiar, namun samar—seperti memori yang hampir terlupakan. Ketika dia mengangkat pandangannya, terlihatlah nama yang terukir di papan kayu di depan rumah: Elina.
Selene. Nama itu muncul dalam pikirannya begitu saja, tanpa bisa ditahan. Sosok perempuan itu, yang telah mengikat hatinya dalam jaring pesona yang tak bisa dia lepas. Ada sesuatu tentang Selene yang membuatnya tak bisa berhenti berpikir tentangnya, meskipun dia tahu harusnya melupakan semuanya. Namun, di malam yang sepi ini, rasanya segala yang mengikatnya dengan Isabella tiba-tiba hilang, digantikan oleh bayangan Selene yang mempesona. Perlahan, Elliot menyentuh gagang pintu itu, hampir tak sadar bahwa di balik pintu ini, sebuah kenyataan yang lebih rumit sedang menunggu untuk membuka dirinya.
Elliot menarik napas panjang saat kakinya melangkah melewati ambang pintu rumah yang sudah lama tak ia masuki. Suasana di dalamnya masih terasa sama, seperti memori yang terhenti waktu itu—bau kayu tua yang khas, cahaya redup dari lampu minyak yang selalu menyala di malam hari, dan suara angin yang berdesir pelan di sela-sela jendela. Rumah bibi Elina adalah tempat yang penuh kenangan, rumah yang dulu memberi rasa aman ketika ia masih kecil, tempat di mana ia dirawat dengan penuh kasih sayang setelah kehilangan orang tuanya.
Malam itu, meski sudah lama tak pernah datang, Elliot tahu persis ke mana harus pergi. Ia melangkah ke sisi kiri lorong, tempat di mana bibi Elina selalu menyembunyikan kunci cadangan. Tangan Elliot bergerak cekatan, menemukan kotak kayu kecil di balik tanaman hias yang selalu ada di sana. Sebuah kunci tua tergenggam di tangannya, dan tanpa ragu, ia memutarnya di kunci pintu depan rumah. Tak ada suara, tak ada yang terbangun. Semua tampak begitu tenang, seolah rumah ini memang menunggu kedatangannya.
Dengan langkah hati-hati, Elliot menyusuri rumah itu. Penghuni rumah—bibi Elina dan Selene—sedang tidur lelap. Malam ini, rumah itu seakan menyimpan rahasia yang lebih dalam, sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kenangan masa kecil. Ia tiba di depan kamar Selene, dan tanpa berpikir panjang, ia menyentuh gagang pintu. Pintu itu, entah mengapa, tak terkunci—sebuah keanehan yang langsung menggugah rasa penasarannya.
Perasaan Elliot seakan dipaksa oleh sesuatu yang lebih kuat, sesuatu yang tak bisa dia hindari. Dengan satu tarikan napas lagi, ia mendorong pintu itu perlahan. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh sinar rembulan yang menerobos lewat jendela. Dan di sana, di atas ranjang yang lebar, Selene terbaring, tenang dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang mengalir di atas bantal, seolah mengundang pandangan Elliot untuk mendekat.
Di saat itu, pikirannya berkelana. Kenapa ia datang ke sini? Kenapa malam ini, setelah semuanya berakhir dengan Isabella, ia malah berakhir di sini, di tempat yang penuh dengan bayangannya? Elliot tidak tahu. Tapi ada sesuatu dalam diri Selene yang memanggilnya kembali—sesuatu yang lebih kuat daripada alasan yang bisa ia temukan. Perasaan itu muncul lagi, mengalir dalam dirinya, membuatnya merasa terjebak dalam jaring yang tak bisa dilepaskan. Dia hanya tahu satu hal: malam ini, di kamar Selene, ia merasa ada sesuatu yang harus terjadi.
Elliot berdiri begitu dekat dengan Selene, merasakan kehangatan tubuh gadis itu meskipun jarak antara mereka hanya selembar selimut tipis. Sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan mengalir dalam dirinya, membuatnya tak mampu berpaling. Tangan Elliot, tanpa disadari, terulur dengan lembut menuju pipi Selene. Jari-jarinya menyentuh kulitnya yang halus, terasa begitu nyata, seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa ia memang berada di sini, di sampingnya, setelah sekian lama berjuang melawan perasaan ini.
Saat sentuhannya semakin dalam, hati Elliot berdetak lebih cepat. Ia memejamkan mata sejenak, merasakan tiap detik yang bergerak perlahan di sekelilingnya. Tanpa ragu, ia menurunkan tubuhnya, merangkul Selene dengan hati-hati. Pelukannya itu penuh kehangatan, hampir seperti perlindungan, namun juga mengandung kerinduan yang dalam. Dia tahu, ini mungkin bukan tempat yang tepat, tapi perasaan ini terlalu kuat untuk dibendung.
Selene terkejut. Gerakan lembut dari Elliot itu membuat tubuhnya bergerak sedikit, dan dalam keheningan yang mendalam, mata Selene perlahan terbuka. Sekejap, dunia seperti terhenti. Wajahnya tampak bingung, tercengang melihat Elliot yang memeluknya dengan cemas, seolah-olah telah menunggu untuk melakukannya sejak lama.
"Elliot?" Suaranya serak, suara yang terbawa mimpi. Selene berusaha mengangkat tubuhnya, tetapi Elliot menahan dengan pelukan yang semakin erat, seakan enggan melepaskannya. Ia bisa merasakan ketegangan di antara mereka, perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Selene," gumam Elliot, suaranya hampir hilang, terhanyut dalam kedalaman perasaan yang membingungkannya. "Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana."
Selene diam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia bisa merasakan kehangatan tubuh Elliot, dan matanya menatapnya dengan penuh kebingungan, seolah bertanya-tanya apa yang sebenarnya diinginkan Elliot dari dirinya. Namun, di balik kebingungannya, ada juga sesuatu yang lain—sesuatu yang telah ada sejak pertama kali mereka bertemu. Sebuah tarikan yang tak bisa dijelaskan, seperti benang tak terlihat yang menghubungkan mereka berdua.
Selene mengangkat tangannya perlahan, menyentuh dada Elliot, merasakan degup jantungnya yang cepat, seolah selaras dengan perasaan yang bertumbuh di dalam dirinya. "Elliot…" katanya lagi, lebih lembut kali ini, "kenapa kamu di sini?"
Tanpa menjawab pertanyaan gadis itu, Elliot mendekatkan wajahnya dan mencium Selene dengan lembut. Awalnya Selene terbelalak kaget, namun akhirnya ia membalas ciuman pemuda itu. Ciuman yang tadinya hanya sentuhan bibir berubah perlahan menjadi lumatan. Tangan kiri Elliot bergerak untuk mendorong belakang kepala Selene untuk memperdalam ciumannya. Sedangkan tangan kanannya bergerak di balik selimut untuk menyingkap gaun tidur Selene.
Selene sedikit tersentak karena semua yang ia terima saat ini adalah pertama kali baginya, bahkan ciuman ini juga adalah ciuman pertamanya. Selene hanya bisa pasrah dan menerima semua tindakan Elliot.
Perlahan pemuda bertubuh kekar itu menindih tubuh mungil Selene, mereka masih berciuman dengan kedua tangan Elliot yang masih setia menjelajahi seluruh bagian tubuh Selene tanpa terkecuali. Selene hanya bisa menutup matanya sambil sesekali menggigit bibir bawahnya.
Malam itu di bawah cahaya rembulan yang melewati sela-sela jendela kamar Selene, mereka berdua menghabiskan malam bersama.-Pagi itu, udara di luar masih dingin, menyelimuti segala sesuatu dalam kabut tipis yang menutupi jalanan. Elliot sudah bangun lebih awal, sebelum fajar benar-benar menyinari langit. Ia berbaring di samping Selene, menatap gadis itu yang masih terlelap dalam tidurnya, kemudian ia kecup perlahan pipi dan bibir gadis itu. Suasana di kamar itu terasa sunyi, hanya suara napas Selene yang terdengar pelan, damai. Dengan langkah hati-hati, Elliot menurunkan kakinya dari ranjang dan bergerak menuju pintu kamar. Ia berhenti sejenak, memandang Selene yang terbaring tenang, dan sebuah rasa hangat menyelinap di dadanya, perasaan yang sulit dijelaskan. Tapi ia tahu—ia tak bisa tinggal. Ini bukan tempatnya, bukan saatnya.Ia berjalan menuju lorong dengan gerakan cepat namun pelan, takut membangunkan siapa pun. Di luar kamar, rumah itu masih sunyi, bibi Elina belum terbangun, d
Malam semakin larut, dan Bibi Elina duduk di kursi depan rumah, matanya tak henti memandang ke arah jalan yang kosong. Lampu minyak yang redup di meja sampingnya mengeluarkan cahaya kuning yang bergetar, seakan mencerminkan kegelisahannya. Waktu seolah melambat, dan setiap detik yang berlalu terasa semakin berat. Selene belum juga pulang.Hati Bibi Elina mulai dipenuhi kekhawatiran yang terus mengusik pikirannya. Angin malam yang sejuk menyisir rambut abu-abunya, tapi ia tak merasa dingin. Suara jangkrik terdengar jelas, seolah menyampaikan kecemasan yang sama, menyatu dengan kegelisahannya."Kemana perginya anak itu? Mana mungkin hanya membeli roti di pasar bisa menghabiskan waktu berjam-jam", gumamnya gelisah.Dengan gusar wanita itu masuk ke dalam rumahnya dan mengambil syalnya, kemudian mengalungkannya ke leher, mengingat malam ini udara lebih dingin. Tak lupa menutup dan mengunci pintu rumahnya. Ya, Bibi Elina hendak menyusul atau lebih tepatnya mencari Selene ke pasar.-Bibi El
Elliot akhirnya sampai di depan gudang tua di belakang toko buku yang sudah lama tutup. Tempat itu memang sepi, gelap, dan jarang dilalui orang, hanya dihiasi dengan debu tebal yang menutupi lantai. Suasana yang mencekam membuat napasnya semakin terengah-engah.Tanpa pikir panjang, ia mengabaikan rasa takut yang merayap di hatinya dan dengan cepat mendobrak pintu gudang yang sudah reyot itu. Pintu berderit keras saat ia mendorongnya dengan segenap tenaga, menciptakan suara yang menambah ketegangan malam yang sunyi.Begitu pintu gudang terbuka, Elliot langsung melihat Selene terbaring lemah di sudut ruangan, wajahnya pucat dan tubuhnya terluka. Dua pria berdiri di dekatnya, tersenyum penuh kemenangan. Amarah Elliot meledak seketika. Matanya dipenuhi kebencian dan kepanikan, hatinya berdegup kencang seolah tak sanggup menahan gejolak emosi yang membara.Melihat Selene dalam kondisi terpuruk, ia merasa seolah seluruh dunia mendukungnya untuk membalas perlakuan keja
Wanita tua itu menyeringai, senyumnya penuh dengan arti yang tak dapat dijelaskan. Dengan tatapan tajam yang seolah bisa menembus jiwa, dia mendekatkan wajahnya ke Isabella dan berbisik, "Aku tahu apa yang sedang kamu rencanakan, dan aku tahu bagaimana cara kamu bisa mendapatkannya".Isabella mengernyitkan dahinya. Ia menatap wanita tua itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wanita itu berpakaian lusuh dan memakai jubah yang menutupi sebagian wajahnya. Isabella tak menghiraukan wanita itu dan hendak untuk berlalu pergi."Kamu ingin Elliot kembali padamu kan?"Mendengar hal itu, Isabella menghentikan langkahnya. Ia kembali menatap wanita itu dengan ekspresi sedikit terkejut. Bagaimana bisa wanita tua yang tidak ia kenal bisa tahu mengenai keretakan hubungannya dengan Elliot?"Apa yang bisa kamu lakukan untukku, wanita tua?"Wanita itu tersenyum menyeringai, dan tiba-tiba bola kristal di tangannya mengeluarkan cahaya, "Aku bisa melakukan apapun yang kau mau, asal ada imbalannya"-Sele
"Selene... dia adalah duyung bersuara indah yang memberikan kedamaian di dasar laut"Mendengar hal itu, Isabella sedikit tersedak ketika menyeruput tehnya. "Uhuk... Selene adalah duyung?!"Tangan wanita tua itu bergerak mengambil cangkir teh di depannya dan menyeruputnya hingga habis."Dia menjadi bisu karena melakukan perjanjian dengan penyihir agar bisa menjadi manusia"Kini semuanya mulai terasa masuk akal, Selene yang tiba-tiba muncul di pesisir pantai dengan keadaan tak bisa bicara dan tak tahu apa-apa mengenai dunia manusia. Isabella tertawa puas, sekarang dia tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.-Selene duduk di dapur rumah Bibi Elina, memandang rempah-rempah yang tersebar di meja. Dengan sedikit ragu-ragu, karena masih belajar, dia memotong bahan-bahan untuk hidangan makan malam nanti.Dia mengangkat pisau, memotong cabai merah dengan hati-hati, kemudian menaburkannya ke dalam panci. Dia masih ingat betapa sulitnya hidup di dunia manusia, jauh dari lautan tempat dia dil
Apa maksudnya dengan mengatakan bahwa Elliot punya dendam terhadap kaum duyung? Bagaimana mungkin Elliot, pria yang selama ini ia idam-idamkan, memiliki perasaan seperti itu?Namun, meskipun hatinya dipenuhi kebingungan, Selene tahu satu hal pasti, Isabella tidak akan mengatakan hal seperti itu tanpa alasan. Ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang mungkin Selene sendiri belum tahu.Ketika dia kembali ke dapur, Bibi Elina baru saja pulang. Wajahnya tampak lelah, namun dia selalu menyambut Selene dengan senyum hangat, yang membuat suasana hati Selene sedikit lebih tenang."Bibi, tadi Isabella datang," kata Selene dengan gerakan tangan, mencoba menjelaskan meskipun dia tidak bisa berbicara.Bibi Elina mengangguk, menaruh tas belanjaan di atas meja. "Ah, dia pasti ingin memastikan segala sesuatu berjalan sesuai rencana untuk pernikahannya nanti," jawab Bibi dengan nada yang tidak terlalu serius. "Tapi ada apa denganmu, Selene? Sepertinya kamu kelihatan bin
"Selene", suara Frederick terdengar dalam keheningan lautan yang hanya terdengar deburan ombak, "Aku tahu ini sulit untukmu. Tapi aku datang untuk memintamu kembali."Selene terpaku dan jantungnya yang berdegup kencang. Kenangan-kenangan lama mulai bermunculan dalam pikirannya, kenangan tentang rumahnya yang ada di kedalaman laut, dunia yang pernah dia tinggalkan demi dunia manusia.Frederick berenang mendekat, meskipun ada jarak di antara mereka, tapi entah kenapa, Selene merasa seperti dia bisa merasakan setiap detak jantung makhluk itu."Kehidupanmu di daratan... tidak mudah, bukan?" lanjutnya, suaranya begitu lembut namun penuh makna. "Aku mengerti bahwa kau merasakan kesulitan, kesendirian yang dalam. Laut... laut selalu menjadi tempat yang menyembuhkanmu, tempat kita semua berasal."Selene tertunduk lesu, matanya menatap permukaan laut yang kini memperlihatkan pantulan wajahnya yang kusut. Perasaannya terhadap Elliot masih begitu kuat, namun a
Mata birunya yang kini berkaca-kaca, perlahan mulai mengeluarkan air mata dan mengalir melewati kedua pipi Selene yang seputih susu. Kedua tangan kecilnya bergerak mengusap air matanya, berusaha agar tetap tegar.Elliot yang melihat itu, langsung menggenggam kedua bahu kecil Selene. Menatapnya khawatir dengan posisi agak membungkuk untuk mensejajarkan tubuhnya dengan gadis yang lebih pendek darinya itu."Selene, maafkan aku! Apa aku tadi memegangmu terlalu kuat hingga membuatmu sakit?", Elliot gelagapan sedikit panik. Bukannya tenang, air matanya malah semakin deras.Setelah tenang, Selene berpamitan pada Elliot. Pemuda itu menawarkan diri untuk mengantarnya, namun Selene bersikeras menolaknya dan memilih untuk pulang sendiri.-Gadis berambut pirang itu meringkuk di atas tempat tidurnya. Matanya menatap kosong ke arah dinding kamarnya."Selene, apa kau baik-baik saja?"Suara Bibi Elina terdengar dari balik pintu disertai dengan suara ketukan, ingin memastikan keadaan gadis itu. Karen
Posisi Elina kini terduduk di atas pasir dengan posisi kedua kakinya yang terbuka lebar. Walaupun ia belum pernah melahirkan, namun instingnya mengatakan ia harus mengatur nafas dan mengejan untuk melahirkan bayinya. Hingga akhirnya sebuah kepala disusul dengan badan yang lengkap menyembul keluar dari bawah sana. Dengan cepat Elina meraih dan memeluk bayi kecilnya yang masih berlumuran darah. Rasa lelah setelahnya membuat kesadaran gadis itu mulai menurun, hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. - Elina yang tak sadarkan diri kini tengah berbaring di sebuah ranjang di suatu ruangan kecil. Suara burung berkicau di pagi hari mulai mengusik gadis itu. Perlahan ia tersadar dan teringat akan kejadian malam itu, malam dimana ia melahirkan bayinya. Lantas ia langsung terbangun dan mencari-cari keberadaan bayinya. Matanya melirik ke sana ke mari, namun sosok yang ia cari tak nampak keberadaannya. Bahkan ia sempat berpikir apakah tadi malam ia sedang bermimpi? Namun karena rasa sakit di
Elina yang mendengar suara pelan Aegon, bukannya pergi tapi langsung berlari ke arah duyung itu. Sambil menangis ia menyentuh pipi Aegon yang dingin dan sudah dipenuhi luka."Aegon... Maafkan aku...", isaknya sambil menunduk."Sepertinya sekarang aku tahu cara agar memuatnya menangis dan mengeluarkan mutiara", ucap pria di belakang Elina."Iya benar, dari tadi kita sudah menyiksanya hingga membuat dia berteriak kesakitan tapi tak satu tetes pun air mata dia keluarkan", timpal temannya yang membawa pisau.Mendengar hal itu, Elina langsung membalikkan badannya. Menatap marah akan perbuatan kedua orang itu terhadap Aegon, namun ada secercah ketakutan juga dari matanya karena kedua pria itu kini perlahan melangkah mendekatinya.Sembari melangkah dan memainkan pisau di tangannya, pria itu berkata, "Tak ada salahnya mengorbankan satu nyawa demi kesejahteraan banyak orang bukan?"Pria satu lagi menarik Elina dan mengarahkan pisau yang ia keluarkan dari balik celananya ke arah leher gadis itu
Suara teriakan disertai ketukan keras terdengar dari suatu ruangan di kediaman keluarga Baker.lina, gadis yang sengaja dikurung oleh ayahnya di kamarnya itu, sesekali memohon kepada ayahnya agar tak menyakiti pria yang ia cintai. "Ayah, kumohon buka pintunya... jangan sakiti Aegon"Suaranya yang parau menandakan ia sudah menangis begitu lama, bahkan tenaganya pun mulai terkuras habis. Ketukannya semakin melemah dan ia pun terduduk di balik pintu.Sang ibu terdengar ikut menangis dari luar, tak tega melihat kondisi anaknya. "Ayah, apa harus seperti ini? Aku takut Elina melakukan sesuatu yang buruk"Sang ayah yang tengah duduk di kursi meja makan menggebrak meja dengan keras, "Tak ada yang lebih buruk dari mencintai kaum duyung terkutuk!"Sementara itu di tempat lain, di suatu ruangan gelap, dimana hanya cahaya dari rembulan yang bisa masuk melalui celah-celah jendela, sesosok duyung tengah tergantung di tembok. Tangan kanan dan kirinya di ikat di tembok, dan ekornya dibiarkan menjun
"Ba- bagaimana bisa?"Elina membelalak, kaget karena tiba-tiba jarinya yang terluka sudah tidak terasa sakit, bahkan ketika ia lihat dengan seksama luka goresannya pun sama sekali tak terlihat. Gadis itu menarik tangannya dari genggaman Aegon dan kembali memastikan jarinya dari jarak yang lebih dekat."Darah duyung bisa jadi obat untuk makhluk hidup lain", ujar Aegon sembari mengelap darahnya yang masih menetes dari bibirnya yang penuh dan terdefinisi.Elina menatap kagum duyung di depannya itu, lalu ia kembali teringat akan perkataan ayahnya mengenai air mata duyung dan bencana di lautan. "Aegon, bolehkah aku bertanya?"Aegon mengangkat kedua alisnya sambil menganggukkan kepalanya. "Tentu""Apakah benar bencana di lautan disebabkan oleh kaum duyung?", tanya ElinaAegon menempelkan tangannya di dagu dan berpikir sejenak, "Bisa iya, bisa juga tidak"Gadis keluarga Baker itu mengerutkan kedua alisnya, tak puas dengan jawaban Aegon. "Mak
Seorang pria baruh baya nampak berlari mendekati seorang gadis yang kini tengah berdiri di ujung dermaga. Gadis berkepang dua itu berdiri mematung menghadap lautan, kedua matanya menatap dengan kagum lautan biru di hadapannya dengan kedua pipi yang dihiasi semburat merah.Pria paruh baya itu nampak kelelahan mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi. Dengan napas tersengal-sengal, akhirnya ia sampai di belakang gadis yang merupakan putri semata wayangnya itu."Dimana dia? Dia berhasil kabur?", tanyanya setelah melihat jaring ikan di kapalnya kosong dan sudah terpotong sana sini."Aegon...", Elina menggumamkan nama duyung tadi dengan sangat pelan dan tak terdengar oleh ayahnya yang tengah panik karena tangkapannya berhasil kabur.-"Ayah, kenapa manusia memburu duyung?"Di tengah-tengah makan malam tiga orang manusia di meja makan itu, seorang Elina Baker melontarkan pertanyaan yang tidak biasa. Ayahnya yang tadinya tengah memotong daging
Frederick mengulurkan tangan. “Selamat untuk kalian berdua. Perkenalkan, aku Frederick”Entah kenapa Elliot merasa amat tidak suka dengan Frederick. Apalagi Frederick yang terlihat begitu dekat dengan Selene, rasanya membuat hatinya panas."Apa hubunganmu dengan Selene?" tanpa membalas ucapan dari Frederick, Elliot langsung menanyakan hubungan antara Frederick dan Selene.Selene yang hendak menjawab pertanyaan dari Elliot terhenti karena tangan besar Frederick yang tiba-tiba menarik tubuh kecilnya untuk lebih mendekat padanya. Frederick melontarkan seringaian yang seakan-akan mengejek pria yang sudah berstatus sebagai suami Isabella itu."Menurutmu?"Mendengarnya membuat Elliot benar-benar kesal hingga mengepalkan erat tangannya dan menonjolkan urat-urat di tangannya.Melihat reaksi suaminya, Isabella mengalungkan tangannya ke lengan Elliot dan berkata dengan senyuman yang agak dipaksakan, "Terima kasih atas ucapannya, silahkan nikmati pestanya"Frederick dan Selene pergi meninggalkan
Matahari pagi itu bersinar lembut, menyelimuti kediaman keluarga Grace dengan kilauan keemasan. Elliot berdiri di dekat altar, mengenakan setelan tuxedo hitam yang membuatnya tampak gagah. Namun, ekspresi wajahnya tak dapat menyembunyikan kegelisahan yang menyelimutinya.Mata coklatnya yang biasanya penuh semangat kini tampak kosong. Di tangannya, ia menggenggam erat cincin pernikahan yang seharusnya menjadi simbol cinta abadi. Tapi bagi Elliot, cincin itu lebih menyerupai beban, sebuah pengingat bahwa hari ini bukan tentang cinta, melainkan tanggung jawab.Tamu-tamu mulai berdatangan, berbicara dengan nada kagum tentang kemeriahan dan kemewahan acara ini. Namun, suara mereka hanya terdengar seperti gumaman jauh di telinga Elliot.Di ruangan lain, Isabella tengah berdiri kagum, memandangi dirinya sendiri di depan cermin besar. Gaun pengantin putihnya berkilauan, dihiasi bordir bunga yang menjalar hingga ke ekor gaun. Dia begitu kagum melihat gaunnya yang indah, bukan hanya gaun, namu
“Karena aku sudah mengandung janinnya Elliot”Selene terdiam sejenak, wajahnya pucat pasi. Dia seperti tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.Tubuhnya terasa lemas, hingga ia gunakan batu besar di belakangnya sebagai sandaran.“Jangan pernah mengharapkan kedatangannya sekarang, karena dia harus bertanggung jawab atas apa yang sudah ia perbuat”, lanjut Isabella lalu berlalu pergi.-Dua jam sebelumnya, Frederick yang memperhatikan Selene dari jauh mulai merasa khawatir. Di satu sisi ia khawatir Selene akan bersedih jika Elliot tidak datang, tapi di sisi lain ia akan merasa sangat bersyukur jika Elliot tidak datang dan Selene menyerah dengan cintanya.Kemudian duyung itu berenang pergi ke arah lain. Frederick pergi ke arah selatan, berkebalikan dengan posisi Selene sekarang yang berada di utara. Dan tak disangka-sangka, di sana ada Elliot yang tengah duduk melamun sambil memegang sebotol minuman di tangannya.Kin
Malam itu, Selene, seorang putri duyung bersuara indah tengah duduk di atas batu di pesisir pantai. Dirinya sedang mengenang kehidupan sebagai manusia yang pernah ia jalani seminggu yang lalu.Kini kakinya sudah kembali menjadi ekor duyung, dan tentu saja suaranya pun sudah kembali seperti semula. Semua itu berkat Nerissa, sang ratu duyung, yang membantunya mendapatkan kembali kehidupannya sebagai seorang putri duyung.Malam tampak begitu sepi ditemani dengan hembusan angin malam yang dingin. Namun kedua iris birunya itu menangkap sesosok manusia yang sangat familiar baginya.Pakaiannya terlihat sangat berantakan dengan kumis dan jenggot yang sepertinya sudah lama tidak dicukur. Ia berjalan gontai dengan muka memerah. Sepertinya pemuda itu sedang tidak baik-baik saja.Selene tadinya hendak kembali ke lautan, namun perkataan pemuda itu, Elliot, membuatnya mengurungkan niatnya.“Sepertinya aku mulai berhalusinasi lagi… Selene, walaupun k