Selene dibawa oleh Elliot ke sebuah rumah di desa terdekat dari pantai, di dalam rumah tersebut muncul seorang wanita paruh baya yang mungkin dia lah yang disebut "bibi" oleh Elliot itu.
"Bi, aku menemukan seorang gadis di pantai, sepertinya dia bisu dan sedikit kebingungan", ucap Elliot. Bibi menatap Selene dari ujung kaki hingga ujung rambut, "Apakah kamu yakin dia bisu? Gadis secantik ini?" Selene hanya bisa terdiam dan menunjukkan senyuman kecil. Ia juga bingung bagaimana menjelaskannya. Selene baru saja tiba di daratan, bingung dan terkejut dengan kehidupan yang sangat berbeda dari dunia laut yang dia kenal. Ia memiliki penampilan manusia yang sempurna, tetapi tanpa suara dan pengetahuan tentang dunia manusia. Bibi yang baik itu pun membawa Selene ke rumahnya, ia memperkenalkan dirinya, Elina, itulah namanya. Bibi Elina adalah orang yang merawat Elliot sedari kecil setelah Elliot kehilangan kedua orang tuanya ketika melaut. Tentu dari luar saja Selene langsung bisa menilai bahwa Bibi Elina adalah orang yang sangat baik. Beberapa hari kemudian, Selene tinggal bersama Bibi Elina, yang memberinya tempat tinggal sederhana di rumahnya. Bibi itu mengajarkan Selene tentang dunia manusia, termasuk cara berkomunikasi dengan bahasa mereka. Bibi mengambil selembar kertas dan menggambar sesuatu di permukaannya menggunakan pena dan menunjukkannya kepada Selene, "Apakah kau bisa membacanya?" Selene menggelengkan kepalanya, tentu ia tidak bisa membaca dan menulis. Selama beberapa hari, Bibi Elina pun mengajarkan membaca, menulis, dan mengajarkan tentang jual beli kepada Selene. Terkadang Selene merasa lelah, namun lelahnya berubah menjadi semangat ketika Elliot sesekali berkunjung ke rumah Bibi. Elliot menjadi salah satu motivasi kuat bagi Selene agar bisa menjadi manusia. Seminggu telah berlalu, Selene duduk di meja kayu kecil di dapur Bibi Elina. Di hadapannya, selembar kertas berisi daftar belanjaan yang ditulis dengan huruf-huruf rapi. Ia mengernyitkan dahi, mencoba memahami setiap kata yang tertulis. Membaca adalah tantangan besar baginya, tetapi lebih sulit lagi ketika ia tak dapat bertanya dengan suara. Bibi Elina tersenyum lembut di sudut ruangan, mengaduk panci sup. "Selene, membaca adalah kunci untuk memahami dunia manusia. Kalau kau ingin jadi bagian dari mereka, kau harus belajar ini." Selene mengangguk. Ia menunjuk kata pertama, "tepung", sambil melafalkannya dalam hati. Lalu, ia menelusuri tulisan lainnya: "gula", "telur", "garam". Setiap kata terasa seperti teka-teki, tetapi ia tekun memecahkannya. "Baiklah," kata Bibi Elina, mendekati Selene. "Hari ini kau akan pergi ke pasar sendiri. Kau harus membeli semua barang di daftar ini. Gunakan tulisan ini sebagai panduanmu." Mata Selene membelalak. Ia menunjuk dirinya sendiri, seolah bertanya, Aku? Sendiri? Bibi Elina mengangguk dengan tegas. "Ya, kau. Dunia ini tidak selalu mudah, tapi aku percaya kau bisa. Jangan lupa, di pasar, orang-orang tidak hanya menjual barang; mereka juga menjual kata-kata. Dengarkan baik-baik dan gunakan gerak tubuhmu untuk berkomunikasi." Selene mengambil daftar belanjaan dan beberapa koin dari Bibi Elina. Dengan langkah ragu, ia menuju pasar. Di pasar, suasana hiruk-pikuk langsung menyambutnya. Suara tawar-menawar memenuhi udara. Selene merasa sedikit pusing oleh kebisingan itu, tetapi ia tetap melangkah. Pertama, ia mendatangi kios tepung. Penjualnya, seorang pria tua dengan senyum hangat, memandang Selene penuh rasa ingin tahu. Selene mengeluarkan daftar belanjaannya dan menunjuk kata tepung. "Ah, tepung!" seru pria itu. Ia menakar satu kantong kecil dan memberikannya kepada Selene. Ia menyebutkan harga, tetapi Selene hanya menatap koin-koin di tangannya, bingung. Melihat kebingungannya, pria itu tersenyum dan mengambil jumlah yang tepat. "Ini sudah cukup," katanya lembut. Selene tersenyum lega, lalu melanjutkan perjalanannya ke kios berikutnya. Namun, ujian sesungguhnya datang saat ia tiba di kios telur. Penjualnya adalah seorang wanita muda yang tampak tergesa-gesa. Selene menunjukkan daftar belanjaan, tetapi wanita itu hanya mendengus. "Telur? Mau berapa banyak?" tanya wanita itu dengan nada tidak sabar. Selene mengerutkan kening. Ia tidak tahu bagaimana menjawab tanpa suara. Dengan gugup, ia mengangkat dua jari. "Dua? Baiklah," kata wanita itu, mengulurkan dua butir telur ke tangannya. Namun, saat Selene mencoba memasukkan telur ke keranjang, salah satu telur tergelincir dan pecah. Selene membeku, wajahnya memerah karena malu. Wanita itu menghela napas panjang, tetapi pria dari kios tepung datang mendekat. "Jangan keras pada gadis ini," katanya. "Dia sedang belajar." Setelah insiden telur, Selene melanjutkan belanja dengan hati-hati. Namun, langkahnya terhenti ketika seorang pria bertubuh besar dengan pakaian lusuh berdiri di hadapannya. Wajahnya dihiasi senyuman sinis. "Hei, cantik. Baru pertama kali ke sini, ya? Bawa apa saja di keranjang itu?" tanyanya sambil mendekat. Selene mundur selangkah. Tangannya erat memegang keranjang belanja, tetapi ia tetap diam. Tidak ada suara untuk membalas, tidak ada kata untuk melawan. Preman itu tertawa kecil. "Oh, diam saja? Apa kau bisu? Hahaha, lucu sekali! Mungkin kau butuh bantuan membawa barang-barangmu, ya?" Selene menggeleng cepat, tetapi pria itu tak peduli. Ia meraih keranjang belanjanya dengan kasar. Selene mencoba menariknya kembali, tetapi kekuatannya tak sebanding. Orang-orang di sekitar mereka hanya memandang tanpa bertindak, takut pada preman itu. Namun, sebelum pria itu sempat melangkah lebih jauh, suara tegas terdengar dari belakangnya. "Hei, lepaskan itu." Selene menoleh dan melihat Elliot, pria yang menjadi alasan ia meninggalkan lautan. Ia berdiri dengan tatapan tajam, postur tubuhnya tegas namun tenang. Elliot mengenakan kemeja putih sederhana yang sedikit kusut, namun senyumnya—saat mengarah pada Selene—tetap menenangkan. Preman itu menoleh dengan ekspresi kesal. "Apa urusanmu, bocah? Pergilah sebelum kau kena masalah." Elliot tetap tenang, tetapi langkahnya mantap mendekati preman itu. "Masalah? Kau salah pilih orang, kawan." Dengan gerakan cepat, Elliot meraih keranjang dari tangan preman dan mengembalikannya pada Selene. "Sekarang pergi sebelum aku buat keributan di sini." Preman itu mendengus, tampak ragu sejenak. Kerumunan mulai berbisik, membuat pria itu akhirnya mundur. "Dasar bocah sok pahlawan," gumamnya sebelum pergi. Setelah pria itu pergi, Elliot berbalik menghadap Selene. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya lembut, matanya memeriksa wajah Selene untuk memastikan ia baik-baik saja. Selene mengangguk pelan, tetapi ia tahu air matanya mulai menggenang. Ia mencoba tersenyum untuk menutupi rasa takutnya, tetapi bibirnya gemetar. Elliot menarik napas panjang, lalu dengan hati-hati meraih keranjang dari tangan Selene. "Ayo, aku akan menemanimu menyelesaikan belanja. Tidak ada lagi yang berani mengganggumu kalau aku di sini." Selene menatapnya dengan rasa syukur yang mendalam. Dia mencoba memberikan isyarat dengan tangan—terima kasih—tetapi merasa tidak cukup. Namun, Elliot tampaknya mengerti. Sambil berjalan di pasar, Elliot membantu Selene memilih barang-barang yang tersisa. Ia bercanda tentang beberapa penjual yang terlalu bersemangat menawarkan dagangan mereka, membuat Selene terkikik kecil. "Aku ingat saat pertama kali menemukanmu di pantai," kata Elliot tiba-tiba. "Kau begitu tenang, seperti berasal dari dunia lain. Aku tidak tahu apa yang membuatmu berakhir di sana, tapi aku senang aku menemukannya." Selene menunduk, ingatan tentang malam ketika ia meninggalkan laut demi mengejar cinta membuat matanya berkaca-kaca. Ia tidak bisa mengungkapkan kebenarannya, tetapi ia berharap suatu hari nanti Elliot akan memahami segalanya. Elliot menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. "Kau mungkin belum bisa bicara, tapi aku merasa bisa mendengar semuanya lewat matamu." etelah menyelesaikan semua belanjaan, Selene dan Elliot berjalan beriringan menuju rumah Bibi Elina. Langit senja memancarkan warna keemasan yang indah, tetapi hati Selene terasa hangat bukan karena matahari, melainkan kehadiran Elliot di sisinya. Mereka berbicara melalui gestur dan tatapan. Elliot, dengan sabar, menjelaskan nama-nama barang yang mereka beli, sesekali tersenyum ketika Selene mencoba melafalkannya tanpa suara. Suasana di antara mereka terasa nyaman, hingga sebuah suara perempuan memecahkan keheningan. "Elliot!" Selene menoleh dan melihat seorang wanita muda mendekat. Rambutnya panjang dan berkilau seperti sutra, tersisir rapi di bawah topi kecil yang elegan. Gaunnya yang indah memancarkan aura anggun, jauh berbeda dari pakaian sederhana Selene. "Isabella!" Elliot menyapa dengan senyum ramah, meski Selene menangkap sedikit ketegangan di matanya. Isabella berhenti di depan mereka, mengabaikan Selene sepenuhnya. Matanya hanya tertuju pada Elliot. "Apa yang kau lakukan di sini? Aku mencarimu di rumah, tapi kau tidak ada." Elliot menggaruk tengkuknya, tampak sedikit tidak nyaman. "Aku membantu Selene berbelanja di pasar. Dia tinggal dengan Bibi Elina." Baru saat itu Isabella melirik Selene. Matanya menilai Selene dari atas ke bawah, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang sulit diterjemahkan. "Oh, dia gadis dari pantai itu, ya? Gadis bisu?""Oh, dia gadis dari pantai itu, ya? Gadis bisu?"Selene merasa hatinya mencelos, tetapi ia tetap berdiri tegak. Isabella terlihat sempurna, sementara ia merasa begitu kecil dan asing di dunia ini."Selene bukan hanya 'gadis bisu,'" kata Elliot, nadanya sedikit tajam. "Dia sedang belajar banyak hal. Bahkan berani pergi ke pasar sendirian tadi."Isabella mengangkat alisnya. "Oh, begitu? Kau sungguh murah hati, Elliot." Nada suaranya terdengar manis, tetapi Selene merasa ada sesuatu yang menusuk dalam kata-katanya.Isabella lalu kembali memandang Elliot dengan penuh perhatian. "Kau tidak lupa, kan? Kita punya janji makan malam bersama keluargaku malam ini. Ayahku sangat ingin berbicara denganmu."Elliot mengangguk pelan. "Aku ingat. Aku akan ke sana setelah mengantar Selene pulang."Isabella menghela napas, lalu mendekati Elliot dan menyentuh lengannya dengan lembut. "Jangan terlambat, oke?" katanya, sebelum memberikan ciuman cepat di pipi Elliot.Selene mematung. Ia tidak memahami sepen
Elliot berjalan di sepanjang pantai yang sepi, angin laut menyapu rambutnya, membawa harum garam dan kebebasan. kemarin sore, dia bertemu dengan Selene—perempuan yang tak bisa berbicara, namun memiliki cara yang aneh untuk berbicara langsung ke hati. Sekarang, setelah pertemuan itu, perasaannya bercampur aduk.Di satu sisi, ada Isabella, tunangannya yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya, wanita yang selalu mendampinginya sejak kecil. Mereka tumbuh bersama, merencanakan masa depan bersama, dan tak ada yang lebih ia inginkan selain kebahagiaan bersama Isabella. Dia mencintainya dengan cara yang begitu dalam, meskipun terkadang terasa seperti sebuah kewajiban, sebuah harapan yang telah ditetapkan oleh keluarga mereka.Namun, Selene… Selene adalah sesuatu yang berbeda. Ketika Elliot memandangnya tadi, ada sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat, sesuatu yang membuatnya merasa nyaman meskipun pertemuan mereka begitu singkat. Dia tidak tahu mengapa, tetapi saat mereka be
Elliot menarik napas dalam-dalam dan mendekatkan wajahnya ke wajah Selene. Wajah gadis itu semakin memerah dan nampak bingung dan takut. Namun ada secercah harapan di matanya yang berbinar, harapan yang membuat pemuda itu melangkah lebih jauh.Selene menutup mata, tubuhnya bergetar, tetapi tak mampu menghindar. Ketika bibir mereka akhirnya bertemu, ada kilatan energi yang luar biasa, seperti petir yang menyambar di kedalaman lautan. Ciuman itu, meskipun penuh keraguan, penuh hasrat, dan juga cinta yang telah lama terkubur, mengguncang dunia mereka berdua.Semua perasaan yang terpendam, semua keraguan yang ada, seakan sirna seiring ciuman itu. Waktu berhenti, dunia tidak lagi penting. Yang ada hanya mereka—dua hati yang tak bisa lagi dipisahkan oleh apapun, meskipun takdir berusaha memisahkan mereka.Ketika mereka terpisah, Selene menarik napas panjang, menatap Elliot dengan mata penuh air mata yang tak dapat ia tahan.Tanpa mereka sadari, seseorang tengah berdiri tak jauh dari posisi
Elliot mengantar Isabella pulang, mereka berjalan beriringan sambil berpegangan tangan, namun lebih tepatnya hanya Isabella yang memegang tangan Elliot erat. Gadis itu sangat mencintainya, tak ingin melepasnya dan akan melakukan segala cara agar sang kekasih tak berpaling darinya. "Terima kasih sudah mengantarku, Elli", kata Isabella dengan suara yang lembut dan penuh makna. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh kekar Ellliot dengan perlahan, ingin sang pria juga merasakannya. "Aku senang sekali bisa pergi denganmu hari ini"Elliot tersenyum canggung, sedikit terkejut oleh sentuhan itu. Ia merasa sedikit tidak nyaman, namun tak ingin mengecewakan Isabella. "Tidak masalah, Isabella. Aku senang bisa menemanimu," jawabnya, berusaha terdengar normal, meskipun hatinya berdebar.“Elliot,” suara Isabella terdengar lebih dalam saat dia melangkah mendekat, langkah kakinya menggema di lantai kayu yang berkilau di bawah kaki mereka. “Keluargaku pergi beberapa hari. Jadi, aku hanya punya kamu
Elliot memeluk Isabella, "Maafkan aku Isabell.."Setelah berbisik lembut di telinga Isabella, Elliot pergi meninggalkan gadis itu. Tangisan Isabella meledak, seolah setiap tetes air matanya mengalirkan segala kesedihan yang tak tertahankan.Isabella kini benar-benar membenci Selene. Seandainya Selene tak ada, hubungannya dengan Elliot tak akan jadi berantakan seperti sekarang."Aku benci kamu, Selene..."-Malam itu, angin bertiup kencang, membawa dingin yang menusuk tulang saat Elliot berlari menjauh dari rumah Isabella. Setiap langkahnya terasa berat, penuh kebingungan dan kesedihan yang tak bisa dia tafsirkan. Semua yang terjadi begitu cepat, terlalu cepat, dan perasaan cemas menguasai pikirannya. Isabella… wajahnya seakan terus mengikuti, seperti bayangan yang tak bisa dia hindari. Tapi ada sesuatu yang lebih dalam lagi, sesuatu yang mengusik, membuatnya merasa terjebak antara dua dunia. Dalam kegelisahan itu, tanpa dia sadari, langkah kakinya berhenti.Di depan sebuah rumah tua y
Malam itu di bawah cahaya rembulan yang melewati sela-sela jendela kamar Selene, mereka berdua menghabiskan malam bersama.-Pagi itu, udara di luar masih dingin, menyelimuti segala sesuatu dalam kabut tipis yang menutupi jalanan. Elliot sudah bangun lebih awal, sebelum fajar benar-benar menyinari langit. Ia berbaring di samping Selene, menatap gadis itu yang masih terlelap dalam tidurnya, kemudian ia kecup perlahan pipi dan bibir gadis itu. Suasana di kamar itu terasa sunyi, hanya suara napas Selene yang terdengar pelan, damai. Dengan langkah hati-hati, Elliot menurunkan kakinya dari ranjang dan bergerak menuju pintu kamar. Ia berhenti sejenak, memandang Selene yang terbaring tenang, dan sebuah rasa hangat menyelinap di dadanya, perasaan yang sulit dijelaskan. Tapi ia tahu—ia tak bisa tinggal. Ini bukan tempatnya, bukan saatnya.Ia berjalan menuju lorong dengan gerakan cepat namun pelan, takut membangunkan siapa pun. Di luar kamar, rumah itu masih sunyi, bibi Elina belum terbangun, d
Malam semakin larut, dan Bibi Elina duduk di kursi depan rumah, matanya tak henti memandang ke arah jalan yang kosong. Lampu minyak yang redup di meja sampingnya mengeluarkan cahaya kuning yang bergetar, seakan mencerminkan kegelisahannya. Waktu seolah melambat, dan setiap detik yang berlalu terasa semakin berat. Selene belum juga pulang.Hati Bibi Elina mulai dipenuhi kekhawatiran yang terus mengusik pikirannya. Angin malam yang sejuk menyisir rambut abu-abunya, tapi ia tak merasa dingin. Suara jangkrik terdengar jelas, seolah menyampaikan kecemasan yang sama, menyatu dengan kegelisahannya."Kemana perginya anak itu? Mana mungkin hanya membeli roti di pasar bisa menghabiskan waktu berjam-jam", gumamnya gelisah.Dengan gusar wanita itu masuk ke dalam rumahnya dan mengambil syalnya, kemudian mengalungkannya ke leher, mengingat malam ini udara lebih dingin. Tak lupa menutup dan mengunci pintu rumahnya. Ya, Bibi Elina hendak menyusul atau lebih tepatnya mencari Selene ke pasar.-Bibi El
Elliot akhirnya sampai di depan gudang tua di belakang toko buku yang sudah lama tutup. Tempat itu memang sepi, gelap, dan jarang dilalui orang, hanya dihiasi dengan debu tebal yang menutupi lantai. Suasana yang mencekam membuat napasnya semakin terengah-engah.Tanpa pikir panjang, ia mengabaikan rasa takut yang merayap di hatinya dan dengan cepat mendobrak pintu gudang yang sudah reyot itu. Pintu berderit keras saat ia mendorongnya dengan segenap tenaga, menciptakan suara yang menambah ketegangan malam yang sunyi.Begitu pintu gudang terbuka, Elliot langsung melihat Selene terbaring lemah di sudut ruangan, wajahnya pucat dan tubuhnya terluka. Dua pria berdiri di dekatnya, tersenyum penuh kemenangan. Amarah Elliot meledak seketika. Matanya dipenuhi kebencian dan kepanikan, hatinya berdegup kencang seolah tak sanggup menahan gejolak emosi yang membara.Melihat Selene dalam kondisi terpuruk, ia merasa seolah seluruh dunia mendukungnya untuk membalas perlakuan keja
Posisi Elina kini terduduk di atas pasir dengan posisi kedua kakinya yang terbuka lebar. Walaupun ia belum pernah melahirkan, namun instingnya mengatakan ia harus mengatur nafas dan mengejan untuk melahirkan bayinya. Hingga akhirnya sebuah kepala disusul dengan badan yang lengkap menyembul keluar dari bawah sana. Dengan cepat Elina meraih dan memeluk bayi kecilnya yang masih berlumuran darah. Rasa lelah setelahnya membuat kesadaran gadis itu mulai menurun, hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. - Elina yang tak sadarkan diri kini tengah berbaring di sebuah ranjang di suatu ruangan kecil. Suara burung berkicau di pagi hari mulai mengusik gadis itu. Perlahan ia tersadar dan teringat akan kejadian malam itu, malam dimana ia melahirkan bayinya. Lantas ia langsung terbangun dan mencari-cari keberadaan bayinya. Matanya melirik ke sana ke mari, namun sosok yang ia cari tak nampak keberadaannya. Bahkan ia sempat berpikir apakah tadi malam ia sedang bermimpi? Namun karena rasa sakit di
Elina yang mendengar suara pelan Aegon, bukannya pergi tapi langsung berlari ke arah duyung itu. Sambil menangis ia menyentuh pipi Aegon yang dingin dan sudah dipenuhi luka."Aegon... Maafkan aku...", isaknya sambil menunduk."Sepertinya sekarang aku tahu cara agar memuatnya menangis dan mengeluarkan mutiara", ucap pria di belakang Elina."Iya benar, dari tadi kita sudah menyiksanya hingga membuat dia berteriak kesakitan tapi tak satu tetes pun air mata dia keluarkan", timpal temannya yang membawa pisau.Mendengar hal itu, Elina langsung membalikkan badannya. Menatap marah akan perbuatan kedua orang itu terhadap Aegon, namun ada secercah ketakutan juga dari matanya karena kedua pria itu kini perlahan melangkah mendekatinya.Sembari melangkah dan memainkan pisau di tangannya, pria itu berkata, "Tak ada salahnya mengorbankan satu nyawa demi kesejahteraan banyak orang bukan?"Pria satu lagi menarik Elina dan mengarahkan pisau yang ia keluarkan dari balik celananya ke arah leher gadis itu
Suara teriakan disertai ketukan keras terdengar dari suatu ruangan di kediaman keluarga Baker.lina, gadis yang sengaja dikurung oleh ayahnya di kamarnya itu, sesekali memohon kepada ayahnya agar tak menyakiti pria yang ia cintai. "Ayah, kumohon buka pintunya... jangan sakiti Aegon"Suaranya yang parau menandakan ia sudah menangis begitu lama, bahkan tenaganya pun mulai terkuras habis. Ketukannya semakin melemah dan ia pun terduduk di balik pintu.Sang ibu terdengar ikut menangis dari luar, tak tega melihat kondisi anaknya. "Ayah, apa harus seperti ini? Aku takut Elina melakukan sesuatu yang buruk"Sang ayah yang tengah duduk di kursi meja makan menggebrak meja dengan keras, "Tak ada yang lebih buruk dari mencintai kaum duyung terkutuk!"Sementara itu di tempat lain, di suatu ruangan gelap, dimana hanya cahaya dari rembulan yang bisa masuk melalui celah-celah jendela, sesosok duyung tengah tergantung di tembok. Tangan kanan dan kirinya di ikat di tembok, dan ekornya dibiarkan menjun
"Ba- bagaimana bisa?"Elina membelalak, kaget karena tiba-tiba jarinya yang terluka sudah tidak terasa sakit, bahkan ketika ia lihat dengan seksama luka goresannya pun sama sekali tak terlihat. Gadis itu menarik tangannya dari genggaman Aegon dan kembali memastikan jarinya dari jarak yang lebih dekat."Darah duyung bisa jadi obat untuk makhluk hidup lain", ujar Aegon sembari mengelap darahnya yang masih menetes dari bibirnya yang penuh dan terdefinisi.Elina menatap kagum duyung di depannya itu, lalu ia kembali teringat akan perkataan ayahnya mengenai air mata duyung dan bencana di lautan. "Aegon, bolehkah aku bertanya?"Aegon mengangkat kedua alisnya sambil menganggukkan kepalanya. "Tentu""Apakah benar bencana di lautan disebabkan oleh kaum duyung?", tanya ElinaAegon menempelkan tangannya di dagu dan berpikir sejenak, "Bisa iya, bisa juga tidak"Gadis keluarga Baker itu mengerutkan kedua alisnya, tak puas dengan jawaban Aegon. "Mak
Seorang pria baruh baya nampak berlari mendekati seorang gadis yang kini tengah berdiri di ujung dermaga. Gadis berkepang dua itu berdiri mematung menghadap lautan, kedua matanya menatap dengan kagum lautan biru di hadapannya dengan kedua pipi yang dihiasi semburat merah.Pria paruh baya itu nampak kelelahan mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi. Dengan napas tersengal-sengal, akhirnya ia sampai di belakang gadis yang merupakan putri semata wayangnya itu."Dimana dia? Dia berhasil kabur?", tanyanya setelah melihat jaring ikan di kapalnya kosong dan sudah terpotong sana sini."Aegon...", Elina menggumamkan nama duyung tadi dengan sangat pelan dan tak terdengar oleh ayahnya yang tengah panik karena tangkapannya berhasil kabur.-"Ayah, kenapa manusia memburu duyung?"Di tengah-tengah makan malam tiga orang manusia di meja makan itu, seorang Elina Baker melontarkan pertanyaan yang tidak biasa. Ayahnya yang tadinya tengah memotong daging
Frederick mengulurkan tangan. “Selamat untuk kalian berdua. Perkenalkan, aku Frederick”Entah kenapa Elliot merasa amat tidak suka dengan Frederick. Apalagi Frederick yang terlihat begitu dekat dengan Selene, rasanya membuat hatinya panas."Apa hubunganmu dengan Selene?" tanpa membalas ucapan dari Frederick, Elliot langsung menanyakan hubungan antara Frederick dan Selene.Selene yang hendak menjawab pertanyaan dari Elliot terhenti karena tangan besar Frederick yang tiba-tiba menarik tubuh kecilnya untuk lebih mendekat padanya. Frederick melontarkan seringaian yang seakan-akan mengejek pria yang sudah berstatus sebagai suami Isabella itu."Menurutmu?"Mendengarnya membuat Elliot benar-benar kesal hingga mengepalkan erat tangannya dan menonjolkan urat-urat di tangannya.Melihat reaksi suaminya, Isabella mengalungkan tangannya ke lengan Elliot dan berkata dengan senyuman yang agak dipaksakan, "Terima kasih atas ucapannya, silahkan nikmati pestanya"Frederick dan Selene pergi meninggalkan
Matahari pagi itu bersinar lembut, menyelimuti kediaman keluarga Grace dengan kilauan keemasan. Elliot berdiri di dekat altar, mengenakan setelan tuxedo hitam yang membuatnya tampak gagah. Namun, ekspresi wajahnya tak dapat menyembunyikan kegelisahan yang menyelimutinya.Mata coklatnya yang biasanya penuh semangat kini tampak kosong. Di tangannya, ia menggenggam erat cincin pernikahan yang seharusnya menjadi simbol cinta abadi. Tapi bagi Elliot, cincin itu lebih menyerupai beban, sebuah pengingat bahwa hari ini bukan tentang cinta, melainkan tanggung jawab.Tamu-tamu mulai berdatangan, berbicara dengan nada kagum tentang kemeriahan dan kemewahan acara ini. Namun, suara mereka hanya terdengar seperti gumaman jauh di telinga Elliot.Di ruangan lain, Isabella tengah berdiri kagum, memandangi dirinya sendiri di depan cermin besar. Gaun pengantin putihnya berkilauan, dihiasi bordir bunga yang menjalar hingga ke ekor gaun. Dia begitu kagum melihat gaunnya yang indah, bukan hanya gaun, namu
“Karena aku sudah mengandung janinnya Elliot”Selene terdiam sejenak, wajahnya pucat pasi. Dia seperti tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.Tubuhnya terasa lemas, hingga ia gunakan batu besar di belakangnya sebagai sandaran.“Jangan pernah mengharapkan kedatangannya sekarang, karena dia harus bertanggung jawab atas apa yang sudah ia perbuat”, lanjut Isabella lalu berlalu pergi.-Dua jam sebelumnya, Frederick yang memperhatikan Selene dari jauh mulai merasa khawatir. Di satu sisi ia khawatir Selene akan bersedih jika Elliot tidak datang, tapi di sisi lain ia akan merasa sangat bersyukur jika Elliot tidak datang dan Selene menyerah dengan cintanya.Kemudian duyung itu berenang pergi ke arah lain. Frederick pergi ke arah selatan, berkebalikan dengan posisi Selene sekarang yang berada di utara. Dan tak disangka-sangka, di sana ada Elliot yang tengah duduk melamun sambil memegang sebotol minuman di tangannya.Kin
Malam itu, Selene, seorang putri duyung bersuara indah tengah duduk di atas batu di pesisir pantai. Dirinya sedang mengenang kehidupan sebagai manusia yang pernah ia jalani seminggu yang lalu.Kini kakinya sudah kembali menjadi ekor duyung, dan tentu saja suaranya pun sudah kembali seperti semula. Semua itu berkat Nerissa, sang ratu duyung, yang membantunya mendapatkan kembali kehidupannya sebagai seorang putri duyung.Malam tampak begitu sepi ditemani dengan hembusan angin malam yang dingin. Namun kedua iris birunya itu menangkap sesosok manusia yang sangat familiar baginya.Pakaiannya terlihat sangat berantakan dengan kumis dan jenggot yang sepertinya sudah lama tidak dicukur. Ia berjalan gontai dengan muka memerah. Sepertinya pemuda itu sedang tidak baik-baik saja.Selene tadinya hendak kembali ke lautan, namun perkataan pemuda itu, Elliot, membuatnya mengurungkan niatnya.“Sepertinya aku mulai berhalusinasi lagi… Selene, walaupun k