Elliot menarik napas dalam-dalam dan mendekatkan wajahnya ke wajah Selene. Wajah gadis itu semakin memerah dan nampak bingung dan takut. Namun ada secercah harapan di matanya yang berbinar, harapan yang membuat pemuda itu melangkah lebih jauh.
Selene menutup mata, tubuhnya bergetar, tetapi tak mampu menghindar. Ketika bibir mereka akhirnya bertemu, ada kilatan energi yang luar biasa, seperti petir yang menyambar di kedalaman lautan. Ciuman itu, meskipun penuh keraguan, penuh hasrat, dan juga cinta yang telah lama terkubur, mengguncang dunia mereka berdua.
Semua perasaan yang terpendam, semua keraguan yang ada, seakan sirna seiring ciuman itu. Waktu berhenti, dunia tidak lagi penting. Yang ada hanya mereka—dua hati yang tak bisa lagi dipisahkan oleh apapun, meskipun takdir berusaha memisahkan mereka.
Ketika mereka terpisah, Selene menarik napas panjang, menatap Elliot dengan mata penuh air mata yang tak dapat ia tahan.
Tanpa mereka sadari, seseorang tengah berdiri tak jauh dari posisi mereka. Bersembunyi di balik pohon dengan kedua tangan yang terkepal penuh dengan perasaan yang campur aduk. Rambut panjangnya yang indah menutupi mukanya yang tertunduk lesu. Perlahan terdengar suara isakan pelan dari gadis itu. Isabella, ya tunangan Elliot, melihat hal yang benar-benar membuat dunianya seketika hancur.
Pemuda yang sudah bertunangan dengannya dan hendak menikahinya bulan depan, mencium perempuan lain, yang bahkan tidak tahu asal usulnya. Ini tidak adil, Isabella sudah lebih dulu mengenal dan mencintai pemuda itu.
Isabella mengusap air matanya dan bergumam, "Pasti ini semua tidak benar, Elliot tidak mungkin mencintai gadis itu"
Isabella ingat besok adalah hari diadakannya festival tahunan di kota, dia akan mengajak Elliot dan membuat pemuda itu kembali padanya.
.
Festival kota tahun ini begitu meriah. Lampu-lampu berwarna-warni menggantung di sepanjang jalan, sementara suara musik dan tawa riuh menyebar di udara. Suasana penuh kegembiraan, di mana orang-orang berjalan beriringan, menikmati pertunjukan, mencicipi makanan lezat, dan merayakan musim yang penuh warna. Di antara keramaian itu, Elliot berjalan di samping Isabella, tunangannya yang cantik dan anggun, meskipun pikirannya terombang-ambing jauh dari tempat itu.
Isabella tampak ceria, matanya berkilau melihat berbagai atraksi di sekitar mereka. Dia menggenggam tangan Elliot erat, meskipun pria itu hanya membalas dengan senyuman yang terasa dipaksakan. Sesekali, Isabella berbicara tentang pernikahan mereka yang semakin dekat, membicarakan detail pesta, gaun pengantin, dan semua hal yang harus disiapkan. Tetapi Elliot hanya bisa mendengarkan dengan setengah hati, pikirannya terbang jauh ke tempat yang tak seharusnya.
Selene.
Bayangan perempuan itu selalu mengikutinya, tak peduli seberapa keras ia mencoba untuk fokus pada Isabella. Di setiap sudut kota yang mereka lewati, Elliot seakan mendengar kembali tawa lembut Selene, melihat senyumannya yang penuh pengertian, dan merasakan ketenangan yang luar biasa saat berada di dekatnya. Perasaan itu mengganggu, tak bisa dijelaskan, dan terasa semakin kuat setiap kali ia bertemu Selene.
Saat Isabella mengajak Elliot untuk berputar di panggung dansa, Elliot merasa seolah langkah-langkahnya tidak lagi mengikuti irama musik. Tangannya yang menggenggam tangan Isabella terasa berat. Ia melihat Isabella yang begitu bersemangat, senyum indah di wajahnya, tetapi hatinya entah mengapa terus memikirkan Selene, perempuan yang tak bisa ia lupakan meskipun berusaha keras.
“Elliot, kamu tidak mendengarkan aku, kan?” Isabella tiba-tiba bertanya, mengangkat alisnya, seolah curiga. “Kamu melamun lagi.”
Elliot tersentak dari lamunannya, menatap Isabella dengan canggung. "Maaf," jawabnya cepat, mencoba menutupi kebingungannya. "Aku... hanya memikirkan beberapa hal."
Isabella mengerutkan kening. “Apa yang kamu pikirkan? Tentang pernikahan kita?”
Elliot tersenyum tipis, meskipun senyumnya terasa kosong. “Tentu saja. Tentang kita… dan semua yang perlu kita persiapkan.”
Namun, jauh di dalam hatinya, perasaan itu tidak hilang. Selene—dengan senyumnya yang tulus, dengan matanya yang penuh pengertian—terus muncul dalam pikirannya. Perempuan yang tidak bisa berbicara, tetapi mengungkapkan lebih banyak dengan tatapan dan sentuhan yang begitu penuh makna. Perempuan yang, meskipun diam, seakan berbicara langsung ke hati Elliot.
"Selene," bisiknya dalam hati, meskipun tak ada yang mendengarnya. “Kenapa aku merasa seperti ini?”
Isabella, yang masih memegang tangan Elliot, tidak tahu apa yang ada dalam pikiran pria itu. Dia merasakan sedikit jarak di antara mereka, sesuatu yang berbeda dari biasanya. Dia berhenti dan menatap Elliot dengan mata yang tajam, mencoba memahami perubahan dalam sikapnya.
“Elliot, apakah kamu benar-benar ingin menikah denganku?” Isabella bertanya, suaranya agak lembut, tetapi ada ketegasan dalam nada itu.
Elliot terkejut mendengar pertanyaan itu. “Tentu saja, Isabella. Apa yang membuatmu berpikir begitu?”
Isabella menghela napas panjang. “Karena aku merasa seperti kamu tidak sepenuhnya ada di sini, dengan aku. Aku tahu kamu sedang memikirkan sesuatu—atau seseorang.” Wajahnya sedikit murung, meskipun dia berusaha tetap tenang. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu benar-benar siap. Ini bukan sekadar perayaan, Elliot. Ini tentang hidup kita bersama."
Elliot merasa cemas, terperangkap di antara dua dunia. Di satu sisi, ada Isabella yang sudah begitu lama ada dalam hidupnya, wanita yang mencintainya dengan cara yang tulus. Di sisi lain, ada Selene—perempuan yang meskipun tak bisa berbicara, tetapi seakan mampu membuat hati Elliot berdebar lebih keras daripada yang pernah dia rasakan sebelumnya. Ia mencintai Isabella, itu jelas. Namun, perasaan yang muncul untuk Selene semakin sulit untuk diabaikan.
"Elliot," Isabella melanjutkan dengan lembut, "Aku tahu kita sudah berbicara banyak tentang masa depan kita. Tapi, aku perlu tahu—apa kamu benar-benar ingin hidup itu dengan aku, atau apakah ada sesuatu yang masih mengganggu pikiranmu?"
Elliot memandang Isabella, merasa sangat bersalah. Hatiku terbagi, pikirnya. Aku mencintaimu, Isabella, tapi kenapa hatiku lebih sering memikirkan Selene? Kenapa perasaan ini begitu kuat, begitu sulit untuk diabaikan?
"Semuanya baik-baik saja, Isabella," jawab Elliot akhirnya, meskipun kata-katanya terasa seperti kebohongan. "Aku hanya lelah, itu saja. Aku akan baik-baik saja."
Isabella tampak sedikit ragu, namun dia hanya mengangguk. “Baiklah. Tapi aku berharap kamu bisa lebih terbuka padaku, Elliot. Kita harus saling percaya, kan?”
Elliot mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya—bahwa hatinya tidak sepenuhnya milik Isabella lagi, bahwa ia merasa terpecah di antara dua perempuan yang sangat berarti baginya. Namun, ia tak bisa mengatakannya. Ia tak bisa menghancurkan masa depan yang telah dirancang bersama Isabella, sekaligus tidak bisa menahan perasaan yang tumbuh untuk Selene.
Di tengah hiruk-pikuk festival, di tengah musik dan tawa, Elliot merasa terjebak dalam keheningan hatinya sendiri. Selene, perempuan yang tak bisa berbicara, justru telah mengisi ruang yang kosong di dalam dirinya, ruang yang selama ini ia coba tutupi dengan rutinitas dan harapan-harapan yang ada.
Elliot menatap Isabella dengan senyuman yang dipaksakan, mencoba menenangkan dirinya. "Aku akan berusaha lebih baik, Isabella," katanya. "Aku janji."
Namun, di dalam hati Elliot, ada satu pertanyaan yang terus menghantui: Apakah aku bisa memilih antara cinta yang sudah aku kenal, dan cinta yang baru saja tumbuh di dalam hatiku?
Elliot mengantar Isabella pulang, mereka berjalan beriringan sambil berpegangan tangan, namun lebih tepatnya hanya Isabella yang memegang tangan Elliot erat. Gadis itu sangat mencintainya, tak ingin melepasnya dan akan melakukan segala cara agar sang kekasih tak berpaling darinya. "Terima kasih sudah mengantarku, Elli", kata Isabella dengan suara yang lembut dan penuh makna. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh kekar Ellliot dengan perlahan, ingin sang pria juga merasakannya. "Aku senang sekali bisa pergi denganmu hari ini"Elliot tersenyum canggung, sedikit terkejut oleh sentuhan itu. Ia merasa sedikit tidak nyaman, namun tak ingin mengecewakan Isabella. "Tidak masalah, Isabella. Aku senang bisa menemanimu," jawabnya, berusaha terdengar normal, meskipun hatinya berdebar.“Elliot,” suara Isabella terdengar lebih dalam saat dia melangkah mendekat, langkah kakinya menggema di lantai kayu yang berkilau di bawah kaki mereka. “Keluargaku pergi beberapa hari. Jadi, aku hanya punya kamu
Elliot memeluk Isabella, "Maafkan aku Isabell.."Setelah berbisik lembut di telinga Isabella, Elliot pergi meninggalkan gadis itu. Tangisan Isabella meledak, seolah setiap tetes air matanya mengalirkan segala kesedihan yang tak tertahankan.Isabella kini benar-benar membenci Selene. Seandainya Selene tak ada, hubungannya dengan Elliot tak akan jadi berantakan seperti sekarang."Aku benci kamu, Selene..."-Malam itu, angin bertiup kencang, membawa dingin yang menusuk tulang saat Elliot berlari menjauh dari rumah Isabella. Setiap langkahnya terasa berat, penuh kebingungan dan kesedihan yang tak bisa dia tafsirkan. Semua yang terjadi begitu cepat, terlalu cepat, dan perasaan cemas menguasai pikirannya. Isabella… wajahnya seakan terus mengikuti, seperti bayangan yang tak bisa dia hindari. Tapi ada sesuatu yang lebih dalam lagi, sesuatu yang mengusik, membuatnya merasa terjebak antara dua dunia. Dalam kegelisahan itu, tanpa dia sadari, langkah kakinya berhenti.Di depan sebuah rumah tua y
Malam itu di bawah cahaya rembulan yang melewati sela-sela jendela kamar Selene, mereka berdua menghabiskan malam bersama.-Pagi itu, udara di luar masih dingin, menyelimuti segala sesuatu dalam kabut tipis yang menutupi jalanan. Elliot sudah bangun lebih awal, sebelum fajar benar-benar menyinari langit. Ia berbaring di samping Selene, menatap gadis itu yang masih terlelap dalam tidurnya, kemudian ia kecup perlahan pipi dan bibir gadis itu. Suasana di kamar itu terasa sunyi, hanya suara napas Selene yang terdengar pelan, damai. Dengan langkah hati-hati, Elliot menurunkan kakinya dari ranjang dan bergerak menuju pintu kamar. Ia berhenti sejenak, memandang Selene yang terbaring tenang, dan sebuah rasa hangat menyelinap di dadanya, perasaan yang sulit dijelaskan. Tapi ia tahu—ia tak bisa tinggal. Ini bukan tempatnya, bukan saatnya.Ia berjalan menuju lorong dengan gerakan cepat namun pelan, takut membangunkan siapa pun. Di luar kamar, rumah itu masih sunyi, bibi Elina belum terbangun, d
Malam semakin larut, dan Bibi Elina duduk di kursi depan rumah, matanya tak henti memandang ke arah jalan yang kosong. Lampu minyak yang redup di meja sampingnya mengeluarkan cahaya kuning yang bergetar, seakan mencerminkan kegelisahannya. Waktu seolah melambat, dan setiap detik yang berlalu terasa semakin berat. Selene belum juga pulang.Hati Bibi Elina mulai dipenuhi kekhawatiran yang terus mengusik pikirannya. Angin malam yang sejuk menyisir rambut abu-abunya, tapi ia tak merasa dingin. Suara jangkrik terdengar jelas, seolah menyampaikan kecemasan yang sama, menyatu dengan kegelisahannya."Kemana perginya anak itu? Mana mungkin hanya membeli roti di pasar bisa menghabiskan waktu berjam-jam", gumamnya gelisah.Dengan gusar wanita itu masuk ke dalam rumahnya dan mengambil syalnya, kemudian mengalungkannya ke leher, mengingat malam ini udara lebih dingin. Tak lupa menutup dan mengunci pintu rumahnya. Ya, Bibi Elina hendak menyusul atau lebih tepatnya mencari Selene ke pasar.-Bibi El
Elliot akhirnya sampai di depan gudang tua di belakang toko buku yang sudah lama tutup. Tempat itu memang sepi, gelap, dan jarang dilalui orang, hanya dihiasi dengan debu tebal yang menutupi lantai. Suasana yang mencekam membuat napasnya semakin terengah-engah.Tanpa pikir panjang, ia mengabaikan rasa takut yang merayap di hatinya dan dengan cepat mendobrak pintu gudang yang sudah reyot itu. Pintu berderit keras saat ia mendorongnya dengan segenap tenaga, menciptakan suara yang menambah ketegangan malam yang sunyi.Begitu pintu gudang terbuka, Elliot langsung melihat Selene terbaring lemah di sudut ruangan, wajahnya pucat dan tubuhnya terluka. Dua pria berdiri di dekatnya, tersenyum penuh kemenangan. Amarah Elliot meledak seketika. Matanya dipenuhi kebencian dan kepanikan, hatinya berdegup kencang seolah tak sanggup menahan gejolak emosi yang membara.Melihat Selene dalam kondisi terpuruk, ia merasa seolah seluruh dunia mendukungnya untuk membalas perlakuan keja
Wanita tua itu menyeringai, senyumnya penuh dengan arti yang tak dapat dijelaskan. Dengan tatapan tajam yang seolah bisa menembus jiwa, dia mendekatkan wajahnya ke Isabella dan berbisik, "Aku tahu apa yang sedang kamu rencanakan, dan aku tahu bagaimana cara kamu bisa mendapatkannya".Isabella mengernyitkan dahinya. Ia menatap wanita tua itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wanita itu berpakaian lusuh dan memakai jubah yang menutupi sebagian wajahnya. Isabella tak menghiraukan wanita itu dan hendak untuk berlalu pergi."Kamu ingin Elliot kembali padamu kan?"Mendengar hal itu, Isabella menghentikan langkahnya. Ia kembali menatap wanita itu dengan ekspresi sedikit terkejut. Bagaimana bisa wanita tua yang tidak ia kenal bisa tahu mengenai keretakan hubungannya dengan Elliot?"Apa yang bisa kamu lakukan untukku, wanita tua?"Wanita itu tersenyum menyeringai, dan tiba-tiba bola kristal di tangannya mengeluarkan cahaya, "Aku bisa melakukan apapun yang kau mau, asal ada imbalannya"-Sele
"Selene... dia adalah duyung bersuara indah yang memberikan kedamaian di dasar laut"Mendengar hal itu, Isabella sedikit tersedak ketika menyeruput tehnya. "Uhuk... Selene adalah duyung?!"Tangan wanita tua itu bergerak mengambil cangkir teh di depannya dan menyeruputnya hingga habis."Dia menjadi bisu karena melakukan perjanjian dengan penyihir agar bisa menjadi manusia"Kini semuanya mulai terasa masuk akal, Selene yang tiba-tiba muncul di pesisir pantai dengan keadaan tak bisa bicara dan tak tahu apa-apa mengenai dunia manusia. Isabella tertawa puas, sekarang dia tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.-Selene duduk di dapur rumah Bibi Elina, memandang rempah-rempah yang tersebar di meja. Dengan sedikit ragu-ragu, karena masih belajar, dia memotong bahan-bahan untuk hidangan makan malam nanti.Dia mengangkat pisau, memotong cabai merah dengan hati-hati, kemudian menaburkannya ke dalam panci. Dia masih ingat betapa sulitnya hidup di dunia manusia, jauh dari lautan tempat dia dil
Suara Selene, sesosok putri duyung cantik, melantun lembut di tengah samudra, mengalir seperti angin sepoi yang membelai gelombang. Nyanyiannya memikat setiap makhluk laut yang mendengar, membuat lumba-lumba menari di sekitar dan ikan-ikan kecil bergerak dalam harmoni. Bagi Selene, menyanyi bukan sekadar hobi—itu adalah bagian dari dirinya, sebuah panggilan jiwa yang menyatu dengan arus dan desiran ombak. Namun, ada sesuatu yang selalu ia rindukan, sesuatu yang tak pernah ia temukan di kedalaman laut. Saat suaranya menggema di bawah sinar bulan, ia sering memandang ke permukaan, bertanya-tanya apa yang ada di dunia manusia yang begitu jauh dari jangkauannya. Duyung cantik dengan rambut pirang dan mata biru sebiru lautan itu, memiliki keingintahuan yang tinggi mengenai dunia manusia. Walaupun Saudari-saudarinya seringkali melarang, namun diam-diam Selene terkadang mencari tahu dengan caranya sendiri. Seperti malam ini salah satu contohnya. Dia hendak berenang diam-diam mendekati dara
"Selene... dia adalah duyung bersuara indah yang memberikan kedamaian di dasar laut"Mendengar hal itu, Isabella sedikit tersedak ketika menyeruput tehnya. "Uhuk... Selene adalah duyung?!"Tangan wanita tua itu bergerak mengambil cangkir teh di depannya dan menyeruputnya hingga habis."Dia menjadi bisu karena melakukan perjanjian dengan penyihir agar bisa menjadi manusia"Kini semuanya mulai terasa masuk akal, Selene yang tiba-tiba muncul di pesisir pantai dengan keadaan tak bisa bicara dan tak tahu apa-apa mengenai dunia manusia. Isabella tertawa puas, sekarang dia tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.-Selene duduk di dapur rumah Bibi Elina, memandang rempah-rempah yang tersebar di meja. Dengan sedikit ragu-ragu, karena masih belajar, dia memotong bahan-bahan untuk hidangan makan malam nanti.Dia mengangkat pisau, memotong cabai merah dengan hati-hati, kemudian menaburkannya ke dalam panci. Dia masih ingat betapa sulitnya hidup di dunia manusia, jauh dari lautan tempat dia dil
Wanita tua itu menyeringai, senyumnya penuh dengan arti yang tak dapat dijelaskan. Dengan tatapan tajam yang seolah bisa menembus jiwa, dia mendekatkan wajahnya ke Isabella dan berbisik, "Aku tahu apa yang sedang kamu rencanakan, dan aku tahu bagaimana cara kamu bisa mendapatkannya".Isabella mengernyitkan dahinya. Ia menatap wanita tua itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wanita itu berpakaian lusuh dan memakai jubah yang menutupi sebagian wajahnya. Isabella tak menghiraukan wanita itu dan hendak untuk berlalu pergi."Kamu ingin Elliot kembali padamu kan?"Mendengar hal itu, Isabella menghentikan langkahnya. Ia kembali menatap wanita itu dengan ekspresi sedikit terkejut. Bagaimana bisa wanita tua yang tidak ia kenal bisa tahu mengenai keretakan hubungannya dengan Elliot?"Apa yang bisa kamu lakukan untukku, wanita tua?"Wanita itu tersenyum menyeringai, dan tiba-tiba bola kristal di tangannya mengeluarkan cahaya, "Aku bisa melakukan apapun yang kau mau, asal ada imbalannya"-Sele
Elliot akhirnya sampai di depan gudang tua di belakang toko buku yang sudah lama tutup. Tempat itu memang sepi, gelap, dan jarang dilalui orang, hanya dihiasi dengan debu tebal yang menutupi lantai. Suasana yang mencekam membuat napasnya semakin terengah-engah.Tanpa pikir panjang, ia mengabaikan rasa takut yang merayap di hatinya dan dengan cepat mendobrak pintu gudang yang sudah reyot itu. Pintu berderit keras saat ia mendorongnya dengan segenap tenaga, menciptakan suara yang menambah ketegangan malam yang sunyi.Begitu pintu gudang terbuka, Elliot langsung melihat Selene terbaring lemah di sudut ruangan, wajahnya pucat dan tubuhnya terluka. Dua pria berdiri di dekatnya, tersenyum penuh kemenangan. Amarah Elliot meledak seketika. Matanya dipenuhi kebencian dan kepanikan, hatinya berdegup kencang seolah tak sanggup menahan gejolak emosi yang membara.Melihat Selene dalam kondisi terpuruk, ia merasa seolah seluruh dunia mendukungnya untuk membalas perlakuan keja
Malam semakin larut, dan Bibi Elina duduk di kursi depan rumah, matanya tak henti memandang ke arah jalan yang kosong. Lampu minyak yang redup di meja sampingnya mengeluarkan cahaya kuning yang bergetar, seakan mencerminkan kegelisahannya. Waktu seolah melambat, dan setiap detik yang berlalu terasa semakin berat. Selene belum juga pulang.Hati Bibi Elina mulai dipenuhi kekhawatiran yang terus mengusik pikirannya. Angin malam yang sejuk menyisir rambut abu-abunya, tapi ia tak merasa dingin. Suara jangkrik terdengar jelas, seolah menyampaikan kecemasan yang sama, menyatu dengan kegelisahannya."Kemana perginya anak itu? Mana mungkin hanya membeli roti di pasar bisa menghabiskan waktu berjam-jam", gumamnya gelisah.Dengan gusar wanita itu masuk ke dalam rumahnya dan mengambil syalnya, kemudian mengalungkannya ke leher, mengingat malam ini udara lebih dingin. Tak lupa menutup dan mengunci pintu rumahnya. Ya, Bibi Elina hendak menyusul atau lebih tepatnya mencari Selene ke pasar.-Bibi El
Malam itu di bawah cahaya rembulan yang melewati sela-sela jendela kamar Selene, mereka berdua menghabiskan malam bersama.-Pagi itu, udara di luar masih dingin, menyelimuti segala sesuatu dalam kabut tipis yang menutupi jalanan. Elliot sudah bangun lebih awal, sebelum fajar benar-benar menyinari langit. Ia berbaring di samping Selene, menatap gadis itu yang masih terlelap dalam tidurnya, kemudian ia kecup perlahan pipi dan bibir gadis itu. Suasana di kamar itu terasa sunyi, hanya suara napas Selene yang terdengar pelan, damai. Dengan langkah hati-hati, Elliot menurunkan kakinya dari ranjang dan bergerak menuju pintu kamar. Ia berhenti sejenak, memandang Selene yang terbaring tenang, dan sebuah rasa hangat menyelinap di dadanya, perasaan yang sulit dijelaskan. Tapi ia tahu—ia tak bisa tinggal. Ini bukan tempatnya, bukan saatnya.Ia berjalan menuju lorong dengan gerakan cepat namun pelan, takut membangunkan siapa pun. Di luar kamar, rumah itu masih sunyi, bibi Elina belum terbangun, d
Elliot memeluk Isabella, "Maafkan aku Isabell.."Setelah berbisik lembut di telinga Isabella, Elliot pergi meninggalkan gadis itu. Tangisan Isabella meledak, seolah setiap tetes air matanya mengalirkan segala kesedihan yang tak tertahankan.Isabella kini benar-benar membenci Selene. Seandainya Selene tak ada, hubungannya dengan Elliot tak akan jadi berantakan seperti sekarang."Aku benci kamu, Selene..."-Malam itu, angin bertiup kencang, membawa dingin yang menusuk tulang saat Elliot berlari menjauh dari rumah Isabella. Setiap langkahnya terasa berat, penuh kebingungan dan kesedihan yang tak bisa dia tafsirkan. Semua yang terjadi begitu cepat, terlalu cepat, dan perasaan cemas menguasai pikirannya. Isabella… wajahnya seakan terus mengikuti, seperti bayangan yang tak bisa dia hindari. Tapi ada sesuatu yang lebih dalam lagi, sesuatu yang mengusik, membuatnya merasa terjebak antara dua dunia. Dalam kegelisahan itu, tanpa dia sadari, langkah kakinya berhenti.Di depan sebuah rumah tua y
Elliot mengantar Isabella pulang, mereka berjalan beriringan sambil berpegangan tangan, namun lebih tepatnya hanya Isabella yang memegang tangan Elliot erat. Gadis itu sangat mencintainya, tak ingin melepasnya dan akan melakukan segala cara agar sang kekasih tak berpaling darinya. "Terima kasih sudah mengantarku, Elli", kata Isabella dengan suara yang lembut dan penuh makna. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh kekar Ellliot dengan perlahan, ingin sang pria juga merasakannya. "Aku senang sekali bisa pergi denganmu hari ini"Elliot tersenyum canggung, sedikit terkejut oleh sentuhan itu. Ia merasa sedikit tidak nyaman, namun tak ingin mengecewakan Isabella. "Tidak masalah, Isabella. Aku senang bisa menemanimu," jawabnya, berusaha terdengar normal, meskipun hatinya berdebar.“Elliot,” suara Isabella terdengar lebih dalam saat dia melangkah mendekat, langkah kakinya menggema di lantai kayu yang berkilau di bawah kaki mereka. “Keluargaku pergi beberapa hari. Jadi, aku hanya punya kamu
Elliot menarik napas dalam-dalam dan mendekatkan wajahnya ke wajah Selene. Wajah gadis itu semakin memerah dan nampak bingung dan takut. Namun ada secercah harapan di matanya yang berbinar, harapan yang membuat pemuda itu melangkah lebih jauh.Selene menutup mata, tubuhnya bergetar, tetapi tak mampu menghindar. Ketika bibir mereka akhirnya bertemu, ada kilatan energi yang luar biasa, seperti petir yang menyambar di kedalaman lautan. Ciuman itu, meskipun penuh keraguan, penuh hasrat, dan juga cinta yang telah lama terkubur, mengguncang dunia mereka berdua.Semua perasaan yang terpendam, semua keraguan yang ada, seakan sirna seiring ciuman itu. Waktu berhenti, dunia tidak lagi penting. Yang ada hanya mereka—dua hati yang tak bisa lagi dipisahkan oleh apapun, meskipun takdir berusaha memisahkan mereka.Ketika mereka terpisah, Selene menarik napas panjang, menatap Elliot dengan mata penuh air mata yang tak dapat ia tahan.Tanpa mereka sadari, seseorang tengah berdiri tak jauh dari posisi
Elliot berjalan di sepanjang pantai yang sepi, angin laut menyapu rambutnya, membawa harum garam dan kebebasan. kemarin sore, dia bertemu dengan Selene—perempuan yang tak bisa berbicara, namun memiliki cara yang aneh untuk berbicara langsung ke hati. Sekarang, setelah pertemuan itu, perasaannya bercampur aduk.Di satu sisi, ada Isabella, tunangannya yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya, wanita yang selalu mendampinginya sejak kecil. Mereka tumbuh bersama, merencanakan masa depan bersama, dan tak ada yang lebih ia inginkan selain kebahagiaan bersama Isabella. Dia mencintainya dengan cara yang begitu dalam, meskipun terkadang terasa seperti sebuah kewajiban, sebuah harapan yang telah ditetapkan oleh keluarga mereka.Namun, Selene… Selene adalah sesuatu yang berbeda. Ketika Elliot memandangnya tadi, ada sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat, sesuatu yang membuatnya merasa nyaman meskipun pertemuan mereka begitu singkat. Dia tidak tahu mengapa, tetapi saat mereka be