Share

Binti Raharjo
Binti Raharjo
Penulis: Wahyu Hakimah

Prolog

Penulis: Wahyu Hakimah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Wati bergerak pelan, menahan napas ketika ia berhasil mengelabui Mbok Bariyah, perempuan paruh baya yang didaulat sebagai pengasuh sekaligus pembantunya. 

Perempuan tua itu kini terkapar karena obat tidur. Sebenarnya, Wati juga tak tega. Sosok tua itu terlampau baik. Bagaimanapun juga, meski baik, dia adalah suruhan Singgih. Wati harus berlaku tegas, agar hidupnya selamat.

Dua bulan yang lalu, atau bisa dibilang ketika usia kandungannya enam bulan, Wati mengetahui sebuah rahasia. Rahasia yang seharusnya tidak ia dengar. Namun, itulah nasibnya, lewat skenario Tuhan. Perempuan itu akhirnya tahu juga, apa niat sebenarnya Singgih menikahinya.

Singgih hanya menjadikannya tumbal.

Wati sejak awal memang sangsi, bagaimana mungkin Singgih yang tampan, punya jabatan tinggi, setiap penampilan terlihat mahal, perlente, mengatakan minat pada dirinya yang hanya seorang pelayan restoran. Ia yang hanya seorang perempuan  berparas biasa saja. Kecantikan orang kampung, meski Wati memang berkulit putih cerah. Namun, perawakannya biasa, tidak tinggi, bahkan Wati merasa rendah diri karena memiliki betis yang senantiasa bengkak karena terlalu banyak berdiri. Pekerjaannya yang hilir mudik melayani pelanggan restoran tempatnya bekerja.

Saat itu, ketika ia sedang beristirahat, memijat kakinya, Singgih mendekat lalu keakraban tercipta hari demi hari, minggu demi minggu. Saat perkenalannya telah sampai bulan ketiga, Singgih melamarnya. Resmi, di hadapan kedua orang tuanya, di pesisir Cirebon.

Semua mata tetangga tertuju padanya. Mereka saling berbisik. Mengumamkan syak wasangka. bagaimana mungkin, Wati yang sederhana, wajahnya jauh dari ayu bisa menggaet lelaki dari ibukota? Bahkan, barang belanja dan hantaran sebanyak tiga pedati, seandainya masih ada pedati di zaman itu. Yang jelas, sangat banyak. Tentu saja, hal itu menyilaukan pandangan semua penduduk kampung di kawasan pinggiran itu. Mereka hanyalah nelayan miskin. Seperti kebanyakan penduduk di sana yang mencari ikan atau menjadi petani garam.

Wati mendengkus penuh iba. Ratapan hatinya menerbitkan setitik air mata. Ia mengelus perut buncitnya, berbisik lirih, "Kamu akan aman, Nok."

Entahlah, meski dia tidak tahu sebenarnya, apakah bayinya nanti lelaki atau perempuan. Namun, di sudut hatinya, Wati merasa yakin, bahwa anaknya perempuan. Anak perempuan yang cantik, kuat menghadapi segala cobaan, marabahaya yang akan menghadang ke depan. Meski bahaya itu tak kasat mata. Tak dapat di indra kedatangannya.

Tas kecil yang berada di ribaannya itu, ia pilin pelan. Tas mungil yang hanya memuat beberapa lembar pakaian juga beberapa perlengkapan bayi. Wati mengusap sudut matanya, ada setetes lelah yang mengalir di sana semakin menderas, tetapi ia harus menguatkan diri.

Saat berada di metromini tadi, beberapa orang melirik penuh kecurigaan. Melihat perempuan dengan perut sebesar  tempayan air, di malam yang telah larut, tentu saja terbersit rasa curiga.

Wati akan lari jauh. Bukan ke Astanajapura. Karena tempat itu pasti yang akan dituju Singgih esok harinya ketika mendapat laporan dari Mbok Bariyah, mengenai dirinya yang raib.

“Gadung! Gadung! Gadung!”

Kernet metromini melaung ketika mulai memasuki daerah Cipinang. Sebentar lagi akan sampai ke Terminal Pulo Gadung, dan kemungkinan metromini tersebut tidak akan masuk ke dalam terminal.

“Gadung, Mas!”

 “Gadung, kiri! Ibu hamil … ibu hamil.”

Wati melangkah hati-hati. Ia menengok ke kiri lalu ke kanan, memastikan tidak ada kendaraan dalam jarak dekat yang akan melintas. Terminal terbesar di Jakarta itu tetap sibuk meski jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lebih. Wati melihat beberapa kios mulai tutup. Ia mencari jalur bus lintas Sumatera.

Perempuan muda dengan perut buncit itu patut bersyukur, lumayan banyak bus yang ng-team di sana. Ia bergegas menuju tempat menjual tiket, yang sudah tutup. Wati hampir mati lemas. Ia, tidak mungkin bersembunyi di Jakarta. Namun, tiba-tiba, seorang calo menyeretnya ke dalam bus. 

Setelah menyelesaikan pembayaran, dibantu seorang kernet ia berhasil melabuhkan diri pada tempat duduk nomor tiga dari  sopir bus mengemudi.

Lagi-lagi, Wati mendesahkan kesyukuran. Meski bus belum berangkat dan menurut calo yang menjual karcis baru akan bertolak sekitar satu jam lagi.

“Mau ke mana, Mbak?”

Wati sebenarnya enggan berbasa-basi pada perempuan di sampingnya. Lebih tepatnya, pada siapapun. Tujuannya hanya satu, rumah teman yang dulu pernah menjadi rekan kerjanya saat di restoran. Ia malas harus mengatakan tujuannya, pada orang asing. Meski tidak harus secara detail mengatakannya. Entahlah, ia malas. Dia hanya ingin memejamkan mata lalu mengenyahkan ingatannya tentang Singgih enyah.

Akan tetapi, perempuan itu akan menjadi teman seperjalanannya menyebrangi Selat Sunda menuju Pulau Sumatra. Wati tidak boleh gegabah.

"Terminal Rajabasa, Mbak.”

“Ohhh ….” Perempuan itu manggut-manggut. “Mau lahiran di sana?”

Wati mengangguk kecil. Merasa mual. Yang jelas dia merasa tidak enak kalau tidak menjawab, takut terlepas bicara.

“Lampungnya, mana?”

“Dekat situ, Mbak. Sekitar Terminal. Pagar Alam.”

“Gaduh, sama suami?” Selidik perempuan itu.

Wati memberengut. Perempuan di sampingnya akan terus menerornya dengan setumpuk pertanyaan. Dia mengendurkan sandaran duduknya, agar lebih nyaman.

“Mbak tau orang pintar?” tanya Wati lirih.

“Heh, orang pintar?” Perempuan itu sedikit mengernyit. 

"Iya."

“Dukun atau Kyai? Maksudku, mau ke Lampung itu, mau nyari orang pintar?”

Wati merenungi jari-jarinya, dia memutar cincin kawin di jari tangannya yang mulai membengkak. Lalu pandangannya kembali ke depan, memandang punggung kursi di depannya.

“Saya mau melepaskan diri dari ilmu hitam. Dari guna-guna.”

Perempuan itu terbelalak. Lalu menggaruk kepalanya. Dia merapikan rambutnya yang keriting di bawah, sedangkan pangkal rambutnya terlihat hanya bergelombang. Mungkin obat keritingnya sudah habis. Perempuan itu cepat-cepat menyimpul rambutnya menjadi gulung sekenanya. Sulur-sulur rambutnya sebagian mencuat keluar.

“Ilmu hitam seperti apa?”

Wati menoleh ke luar. Bus yang mereka tumpangi mulai bertolak keluar terminal. Lampu-lampu yang berwarna kuning seakan cat air yang tumpah, meleleh, mengabur ketika laju bus kian bertambah. Dia menghadap perempuan di sampingnya, meski pergerakannya terbatas.

“Mbak, mau menolong saya? Sebagai sesama perempuan.”

Perempuan itu menjulurkan tangannya, “Aku, Lasmi.”

“Aang.”

Wati memilih mengenalkan diri sebagai Aang, nama panggilan kedua orang tuanya. Dia menceritakan semuanya. Sebab kenapa, berusaha lari dari rumah suaminya yang tampan dan kaya. Lari sejauh mungkin. Bukan karena takut mati. Toh setiap yang bernyawa pasti mati, tetapi dia tak rela harus mati konyol. Mati karena menjadi tumbal agar anak dan istri tua Singgih tetap hidup.

Ya, Wati baru tahu dua bulan yang lalu. Singgih menikahinya untuk mengalihkan sebuah kutukan turun temurun.

Jin penunggu keris leluhurnya. Perjanjian dengan jin yang berwujud Kera Putih. Itulah jawaban mengapa dia selama ini senantiasa mimpi di datangi sosok itu. Ada yang bilang penunggu rumah yang ditempatinya. Akan tetapi, ketika dia bertanya pada Singgih, itu hanyalah mimpi, sebuah bunga tidur.

Tentu saja Wati merasa tawar hati

Setiap malam dia didekap rasa takut karena makhluk itu seperti ingin mencumbunya. Wati bahkan pernah berniat memukul makhluk itu dengan sebilah tongkat. Namun, ketika bilah itu dia angkat tinggi-tinggi, ada suara menggelegar yang membuatnya terduduk lemas, menggigil: kalau kamu pukul, suamimu akan mati.

 Iya, sangat jelas. Itu yang terjadi dalam mimpinya.

Singgih menikah dengan perempuan yang sangat dia cintai. Telah memiliki dua orang anak perempuan. Singgih masih ingin memiliki anak lagi. Anak laki-laki. Namun, seorang pintar yang menjadi kepercayaannya mengatakan kalau dia tidak mencari galang ganti, istrinya akan mati membawa bayi kecil itu. Bayi laki-lakinya. Keadaan belum benar-benar aman, sampai ada nyawa pengganti. Yaitu, bayi perempuan lain.

Lasmi meremas jemari Wati lembut.

Entahlah, mendengar cerita Wati, meski saat bercerita perempuan muda itu tanpa berurai air mata, dia merasa iba. Dia mengangguk, menyalurkan kekuatan dan dukungan dengan genggaman erat nan hangat.

“Bismillah, Ang. Kamu dan anakmu pasti selamat. Lepas dari kutukan itu.”

“Benarkah bisa selamat, Mbak?”

“Bisa! Kamu harus punya tekad kuat. Ikhtiar yang tepat. Semua akan bisa kita kalahkan termasuk rasa takut itu.”

Wati mengangguk. Dia, kembali mengelus perutnya. Semoga, ikhtiar yang sedang dia usahakan berhasil. Meskipun dalam sudut hatinya ada rasa nelangsa, relung jiwanya porak-poranda.

Iya, karena dia terlanjur jatuh cinta begitu dalam pada Singgih.

Bab terkait

  • Binti Raharjo   Bab 1-Kutukan Itu

    Surabaya, Maret tahun 1995.Wati tampak berjalan keluar dari kontrakan sebelum senja tiba. Suasana di luar begitu rapuh karena gerimis yang mengguyur kota itu sejak pukul tiga sore. Entah apa yang salah dengan salah satu kota terbesar kedua di Indonesia sekaligus terpanas itu. Hanya saja, Wati harus cepat. Dia telah berjanji untuk berjumpa dengan teman sesama pekerja panti pijat bernama, May. Perempuan itu tampak menggenggam secarik alamat di tangannya. Secebis kertas sigaret berwarna coklat mudah itu telah lusuh terkena keringat. Harusnya dia cukup menghafalkan lantas menyimpan kertas itu di dalam dompet warna coklat bergambar kalung gelang yang merupakan hadiah dari sebuah toko mas. "Sudah sampai, Mbak!" ujar sopir angguna. Angkutan umum berwarna kuning terang bernama, Angguna, kependekan dari Angkutan Serba Guna itu sedikit mengejutkan Wati. "Oh, ya." Wati menyerahkan uang tiga ratus rupiah kepada sopir itu. Dia berhenti di sebuah perkampungan pinggir kota. Wati harus mencari r

  • Binti Raharjo   Bab 2-Berjumpa Singgih

    Anyer tahun 1992.Pendar cahaya lampu yang samar-samar terlihat dari luar ruangan karaoke menandakan sebagian ruangan yang lain sedang digunakan. Beberapa perempuan muncul dari balik pintu itu. Mereka berpindah ke pintu lain ke tempat pengunjung yang baru datang.“Ang, kamu kamar nomor lima. Baik-baik, ya. Orang dari Jakarta itu.”Wati mengangguk. Perempuan muda itu berjalan melenggang menuju ruangan yang disebutkan Saipul—pengawas tempat karaoke itu. Wati yang saat ini mengenakan atasan berwarna hitam dengan aksen berkilau berjalan sambil sesekali menyapa beberapa temannya. Sedikit kesulitan dengan sepatu hak tinggi juga rok span kulit sintetis-nya. Sudah tiga tahun dia menjalani profesi sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Mereka memanggilnya, Purel. Namun, ada juga yang orang-orang yang memberi julukan sedikit modern yaitu lady escort.Tugas Wati bekerja menemani tamu-tamu karaoke. Menyuguhkan minuman, sampai menjadi teman ngobrol. Yah, memang ada yang hanya datang, memesan kama

  • Binti Raharjo   Bab 3-Kuah Asam Pedas

    Saat tangan besar Singgih menariknya keluar dari ruangan karaoke, Wati seperti mengulang nostalgia masa lalu. Di mana pria itu menggandeng tangannya setelah insiden kuah asam pedas. Peristiwa yang menjadi awal perjumpaannya dengan Singgih. "Aduh, Mbak ini cendolnya kok ada semutnya?""Mohon maaf mbak, nanti kami ganti cendol yang baru." Sekalian yang ada kecoanya, batin Wati. Sambil memaksimalkan kinerja matanya. Sampai jereng juga itu semut tidak kelihatan. Beuh, bawel. "Oh, ya. Sekalian ini sambelnya ganti sambel terasi.""Oh, maaf Mbak menu ini paketnya hanya sambal bawang atau sambel tomat, kalau mau sambal terasi harus pesan lagi, bagaimana?""Dih, masa sih sambel doang minta ganti harus nambah pesanan lagi?"Kalo enggak mau pesen lagi, besok kalo ke sini bawa cobek, bawa terasi, nyambel sendiri! Itu, sih, lagi-lagi hanya dalam hati Wati. Restoran merupakan pekerjaan yang tidak ada dalam benaknya dari awal, Karena setelah putus sekolah SMEP—Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dia

  • Binti Raharjo   Bab 4-Dukun Pijat

    Seorang pria duduk meringkuk di teras sebuah rumah bercat putih. Hanya rokok kretek dengan ujung menyala yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Itu pun hampir tak pernah diisapnya. Sampai datangnya seorang pemuda dengan sebuah motor. "Rumahnya, dukun Sarmi?""Ya," jawab pria itu."Oh, terima kasih. Boleh saya duduk?"Pria itu mengangguk. "Saya nunggu istri di dalam," ujarnya lirih hingga nyaris tak terdengar."Kepala bayi ada di atas," kata seorang gadis kecil dengan rok berwarna putih yang berkerut persis di bagian bokong itu tiba-tiba saja hadir membuat kedua lelaki itu terkejut."Oh, ya, Nong?" Pria itu berusaha menyembunyikan rokoknya. "Kenapa bayinya muter-muter, ya?""Ade bayi, ehmmm berenang.""Zi! Masuk rumah!""Iya, Nyai!" Gadis itu berlari ke dalam rumah dengan baskom berwarna putih dengan corak bunga mawar di bagian atasnya. Seperti biasa, dia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan air hangat.Maziyah nama gadis kecil dengan kuncir dua tersebut. Dia ingin menja

  • Binti Raharjo   Bab 5-Mencari Obat

    Gunung Kawi, Tahun 1995Bukan tanpa alasan Wati mengajak Maziyah pindah ke daerah timur, Jawa bagian Timur. Agar dia bisa segera lepas dari kutukan. Menurut Lasmi, kutukan itu akan hilang jika putrinya remaja, tetapi saat yang ditunggu tak juga datang. Saat ini Maziyah sudah 14 tahun. Bahkan apa yang bisa dilakukan bocah itu semakin menakutkan. Bukan hanya sekadar melihat setan atau jin. Apa yang dilakukan Maziyah kepada Pak Kost adalah pembunuh berencana dengan bantuan kekuatan gaib. Dia harus menguatkan tekadnya. "Apakah masih lama?" tanyanya kepada May."Kon meneng. Jangan banyak tanya.""Aku penat," ujar Wati lirih. Tidak ingin keluh kesahnya disalah artikan. Dia memiliki tekad baja. Lihat saja. "Sudah hampir sampai. Fokus, jangan melamun. Kalau melamun pikiranmu bisa dikacau setan. Ngerti!""Yo!""Ya, Yo! Tapi sampai ngimpi manggil nama suami iblismu. Kok, iso. Nggak bahaya ta?""Maaf.""Kalau maaf bisa membuat urusan kelar, penjara kosong. Dukun nggak punya kerja sepi job untu

  • Binti Raharjo   Bab 6-Bukan Mencari Pesugihan

    "Karena saya seperti, orang Cina?"“Begitulah yang dipercaya masyarakat. Tapi, orang-orangnya seperti kamu. Ada juga orang kebanyakan, tetapi jumlahnya tidak banyak. "Orang percaya mistik tentu saja. Gunung Kawi dipercaya sebagai perpustakaan jagat babad misteri dan legenda maupun mitos,” lanjut pemilik warung tempat Wati berteduh.“Gitu, ya, Mbah?” ujar Wati sambil menggaruk-garuk badannya yang tiba-tiba gatal. Apakah hujan rimis ini membuat gatal?“Iya, Nak. Apalagi Gunung Kawi juga menjadi pilihan para sesepuh dunia mistik untuk peristirahatan terakhir mereka. Pun, masyarakat kini mengeramatkan makam-makam itu.”Wati semakin penasaran, “Kenapa begitu?”Mbah Utomo hanya tersenyum lalu menyeruput es teh sereh setengah manis. Obrolan semakin seru, bahkan Wati lupa kalau dirinya tersesat dan terpisah dari rombongan Mbah Trunojoyo yang lain. Suasana sungguh mencekam. Warung yang berada di laluan menuju ke atas gunung atau pertapaan itu memang terkesan angker. Asap dupa hio mengepul pe

  • Binti Raharjo   Bab 7-Minggat

    Saat ibunya tidak ada di rumah, Maziyah memutuskan untuk pergi. Dia tidak ingin berada di sekitar ibunya dengan kehidupan memprihatinkan serta dicemooh. Lebih baik pergi. Gadis itu cepat-cepat meraup semua pakaian miliknya ke dalam sebuah tas. Seketika itu dia juga mengambil semua perhiasan milik ibunya. Ijazah sekolahnya sudah dimasukkan ke dalam plastik lantas digulung di dasar tas. Keluar dari pintu kontrakan pengap di gang sempit itu, Maziyah memastikan keadaan aman. Dia juga tahu harus kemana setelah ini. Terminal. Konon katanya terminal terbesar itu beroperasi selama 24 jam. Dia tidak akan terlambat. Dengan langkah panjang, gadis 14 tahun itu berjalan menyusuri gang. Waktu Magrib menjadi suasana lumayan sunyi. Gerimis lagi-lagi mengguyur bumi. Seperti mendapatkan restu dari alam, Maziyah selamat sampai di terminal dan langsung mencari bus jurusan Yogyakarta. Kenapa Jogja, karena di sana Kota Pelajar. Tidak akan ada yang curiga jika dirinya tinggal di kosan tanpa pengawasan ora

  • Binti Raharjo   Bab 8-Alas Gendingan

    Harusnya bulan sempurna menawan malam. Purnama kelima belas, benderang nya terbelenggu arakan awan yang mulai berkerumun mengaburkan pesonanya. Cahaya hanya ada setitik sinar dari celah-celah kabut, menerpa dedaunan di tepian Alas Gendingan. Kedua orang itu berjalan mendekat sesosok tubuh yang terbaring tidak jauh dari tempat Judir membuang hajat. Sosok dengan rambut awut-awutan menutupi sebagian wajahnya. Mengenakan jeans yang hampir terbuka, melorot sampai lutut. Kakinya telanjang tanpa sandal atau sepatu. Memakai kaos warna putih kecoklatan. Entahlah, atau warna itu muncul karena posisinya yang terjeblos dalam parit. Pitoyo menyuluh, pria itu langsung merengkuh, membopong sosok itu keluar dari kubangan. “Masih hidup!” Pitoyo memerintahkan Judir menuang air mineral, lalu memercikkan pada wajah gadis itu. “Nger, Bangun!” bisik Pitoyo lirih. Tangannya terus menepuk pipi gadis itu. “Pantesan aku tadi sir-siran.” Judir mengusap belakang tengkuknya. Suara sesenggukan burung hantu menam

Bab terbaru

  • Binti Raharjo   Bab 10-Dukun Mbelgedes

    Sementara itu, Wati hanya bisa melongo, menatap kosong pada dipan tempatnya berbagi tempat tidur dengan Maziyah. Kosong melompong hanya menyisakan bantal, guling serta selimut yang terlipat rapi.Bahkan gadis kecilnya membawa kabur uang tabungan yang akan digunakan untuk membayar kontrakan selama setahun. Wati membatin, dari siapa jiwa maling anaknya diturunkan.Dia membolak-balik apa yang mungkin tertinggal, tetapi semua raib. Perhiasan semua hilang. Bahkan segulung ijazah SMP Maziyah juga tidak ada. Sah, gadisnya memang telah merencanakan semuanya dari awal. Selama dia mencari obat ke Gunung Kawi. Wati masih ingat wajah pias Maziyah ketika dia mengutarakan niatnya akan pergi ke Malang. Dia ingat, wajah pias nan memelas itu, yang pada pikirannya, karena dia tidak mau ditinggal sendiri, tetapi kenyataan berbicara lain. Dia jarang membentak Maziyah, gadisnya yang begitu rapuh itu. Namun saat ini, rasanya Maziyah telah meletakan bara, persis di atas ubun-ubunnya.Atau, jangan-jangan,

  • Binti Raharjo   Bab 9-Berjumpa Malaikat

    Pukul lima truk berhenti. Pitoyo memandang wajah Maziyah dari samping. Matanya memerah. "Paklik baru ingat. Kamu itu mirip sekali sama almarhum Pipit. Waktu meninggal, dia juga seumuran kamu. Harusnya ia bisa sebesar kamu, Nduk!" gumamnya pelan. Tidak mau larut dalam kesedihan dan kepergok oleh gadis bernama Maziyah itu, Pitoyo membuka jendela truknya pelan. Ia juga menghela napas dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar perbukitan di Kaliaren. Ketika kembali menoleh, ia gagahkan diri menguncang bahu gadis itu lembut. “Bangun, Zi, sudah sampai!” Maziyah mengerjap, memandang sekelilingnya. Pintu truk sudah terbuka sedikit, Judir sambil menguap tersenyum lebar kepadanya. Dia melompat-lompat menghalau hawa dingin yang mencecap kulit. “Selamat datang di Desa Kaliaren yang permai. Ayo, turun, Zi!” Judir melambai. “Itu, Lik Pitoyo, mau ke mana?” Wajahnya mendongak mengikuti arah yang di tempuh pria paruh baya yang menolongnya tadi malam. Pria itu berjalan ke depan kemudian belok

  • Binti Raharjo   Bab 8-Alas Gendingan

    Harusnya bulan sempurna menawan malam. Purnama kelima belas, benderang nya terbelenggu arakan awan yang mulai berkerumun mengaburkan pesonanya. Cahaya hanya ada setitik sinar dari celah-celah kabut, menerpa dedaunan di tepian Alas Gendingan. Kedua orang itu berjalan mendekat sesosok tubuh yang terbaring tidak jauh dari tempat Judir membuang hajat. Sosok dengan rambut awut-awutan menutupi sebagian wajahnya. Mengenakan jeans yang hampir terbuka, melorot sampai lutut. Kakinya telanjang tanpa sandal atau sepatu. Memakai kaos warna putih kecoklatan. Entahlah, atau warna itu muncul karena posisinya yang terjeblos dalam parit. Pitoyo menyuluh, pria itu langsung merengkuh, membopong sosok itu keluar dari kubangan. “Masih hidup!” Pitoyo memerintahkan Judir menuang air mineral, lalu memercikkan pada wajah gadis itu. “Nger, Bangun!” bisik Pitoyo lirih. Tangannya terus menepuk pipi gadis itu. “Pantesan aku tadi sir-siran.” Judir mengusap belakang tengkuknya. Suara sesenggukan burung hantu menam

  • Binti Raharjo   Bab 7-Minggat

    Saat ibunya tidak ada di rumah, Maziyah memutuskan untuk pergi. Dia tidak ingin berada di sekitar ibunya dengan kehidupan memprihatinkan serta dicemooh. Lebih baik pergi. Gadis itu cepat-cepat meraup semua pakaian miliknya ke dalam sebuah tas. Seketika itu dia juga mengambil semua perhiasan milik ibunya. Ijazah sekolahnya sudah dimasukkan ke dalam plastik lantas digulung di dasar tas. Keluar dari pintu kontrakan pengap di gang sempit itu, Maziyah memastikan keadaan aman. Dia juga tahu harus kemana setelah ini. Terminal. Konon katanya terminal terbesar itu beroperasi selama 24 jam. Dia tidak akan terlambat. Dengan langkah panjang, gadis 14 tahun itu berjalan menyusuri gang. Waktu Magrib menjadi suasana lumayan sunyi. Gerimis lagi-lagi mengguyur bumi. Seperti mendapatkan restu dari alam, Maziyah selamat sampai di terminal dan langsung mencari bus jurusan Yogyakarta. Kenapa Jogja, karena di sana Kota Pelajar. Tidak akan ada yang curiga jika dirinya tinggal di kosan tanpa pengawasan ora

  • Binti Raharjo   Bab 6-Bukan Mencari Pesugihan

    "Karena saya seperti, orang Cina?"“Begitulah yang dipercaya masyarakat. Tapi, orang-orangnya seperti kamu. Ada juga orang kebanyakan, tetapi jumlahnya tidak banyak. "Orang percaya mistik tentu saja. Gunung Kawi dipercaya sebagai perpustakaan jagat babad misteri dan legenda maupun mitos,” lanjut pemilik warung tempat Wati berteduh.“Gitu, ya, Mbah?” ujar Wati sambil menggaruk-garuk badannya yang tiba-tiba gatal. Apakah hujan rimis ini membuat gatal?“Iya, Nak. Apalagi Gunung Kawi juga menjadi pilihan para sesepuh dunia mistik untuk peristirahatan terakhir mereka. Pun, masyarakat kini mengeramatkan makam-makam itu.”Wati semakin penasaran, “Kenapa begitu?”Mbah Utomo hanya tersenyum lalu menyeruput es teh sereh setengah manis. Obrolan semakin seru, bahkan Wati lupa kalau dirinya tersesat dan terpisah dari rombongan Mbah Trunojoyo yang lain. Suasana sungguh mencekam. Warung yang berada di laluan menuju ke atas gunung atau pertapaan itu memang terkesan angker. Asap dupa hio mengepul pe

  • Binti Raharjo   Bab 5-Mencari Obat

    Gunung Kawi, Tahun 1995Bukan tanpa alasan Wati mengajak Maziyah pindah ke daerah timur, Jawa bagian Timur. Agar dia bisa segera lepas dari kutukan. Menurut Lasmi, kutukan itu akan hilang jika putrinya remaja, tetapi saat yang ditunggu tak juga datang. Saat ini Maziyah sudah 14 tahun. Bahkan apa yang bisa dilakukan bocah itu semakin menakutkan. Bukan hanya sekadar melihat setan atau jin. Apa yang dilakukan Maziyah kepada Pak Kost adalah pembunuh berencana dengan bantuan kekuatan gaib. Dia harus menguatkan tekadnya. "Apakah masih lama?" tanyanya kepada May."Kon meneng. Jangan banyak tanya.""Aku penat," ujar Wati lirih. Tidak ingin keluh kesahnya disalah artikan. Dia memiliki tekad baja. Lihat saja. "Sudah hampir sampai. Fokus, jangan melamun. Kalau melamun pikiranmu bisa dikacau setan. Ngerti!""Yo!""Ya, Yo! Tapi sampai ngimpi manggil nama suami iblismu. Kok, iso. Nggak bahaya ta?""Maaf.""Kalau maaf bisa membuat urusan kelar, penjara kosong. Dukun nggak punya kerja sepi job untu

  • Binti Raharjo   Bab 4-Dukun Pijat

    Seorang pria duduk meringkuk di teras sebuah rumah bercat putih. Hanya rokok kretek dengan ujung menyala yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Itu pun hampir tak pernah diisapnya. Sampai datangnya seorang pemuda dengan sebuah motor. "Rumahnya, dukun Sarmi?""Ya," jawab pria itu."Oh, terima kasih. Boleh saya duduk?"Pria itu mengangguk. "Saya nunggu istri di dalam," ujarnya lirih hingga nyaris tak terdengar."Kepala bayi ada di atas," kata seorang gadis kecil dengan rok berwarna putih yang berkerut persis di bagian bokong itu tiba-tiba saja hadir membuat kedua lelaki itu terkejut."Oh, ya, Nong?" Pria itu berusaha menyembunyikan rokoknya. "Kenapa bayinya muter-muter, ya?""Ade bayi, ehmmm berenang.""Zi! Masuk rumah!""Iya, Nyai!" Gadis itu berlari ke dalam rumah dengan baskom berwarna putih dengan corak bunga mawar di bagian atasnya. Seperti biasa, dia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan air hangat.Maziyah nama gadis kecil dengan kuncir dua tersebut. Dia ingin menja

  • Binti Raharjo   Bab 3-Kuah Asam Pedas

    Saat tangan besar Singgih menariknya keluar dari ruangan karaoke, Wati seperti mengulang nostalgia masa lalu. Di mana pria itu menggandeng tangannya setelah insiden kuah asam pedas. Peristiwa yang menjadi awal perjumpaannya dengan Singgih. "Aduh, Mbak ini cendolnya kok ada semutnya?""Mohon maaf mbak, nanti kami ganti cendol yang baru." Sekalian yang ada kecoanya, batin Wati. Sambil memaksimalkan kinerja matanya. Sampai jereng juga itu semut tidak kelihatan. Beuh, bawel. "Oh, ya. Sekalian ini sambelnya ganti sambel terasi.""Oh, maaf Mbak menu ini paketnya hanya sambal bawang atau sambel tomat, kalau mau sambal terasi harus pesan lagi, bagaimana?""Dih, masa sih sambel doang minta ganti harus nambah pesanan lagi?"Kalo enggak mau pesen lagi, besok kalo ke sini bawa cobek, bawa terasi, nyambel sendiri! Itu, sih, lagi-lagi hanya dalam hati Wati. Restoran merupakan pekerjaan yang tidak ada dalam benaknya dari awal, Karena setelah putus sekolah SMEP—Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dia

  • Binti Raharjo   Bab 2-Berjumpa Singgih

    Anyer tahun 1992.Pendar cahaya lampu yang samar-samar terlihat dari luar ruangan karaoke menandakan sebagian ruangan yang lain sedang digunakan. Beberapa perempuan muncul dari balik pintu itu. Mereka berpindah ke pintu lain ke tempat pengunjung yang baru datang.“Ang, kamu kamar nomor lima. Baik-baik, ya. Orang dari Jakarta itu.”Wati mengangguk. Perempuan muda itu berjalan melenggang menuju ruangan yang disebutkan Saipul—pengawas tempat karaoke itu. Wati yang saat ini mengenakan atasan berwarna hitam dengan aksen berkilau berjalan sambil sesekali menyapa beberapa temannya. Sedikit kesulitan dengan sepatu hak tinggi juga rok span kulit sintetis-nya. Sudah tiga tahun dia menjalani profesi sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Mereka memanggilnya, Purel. Namun, ada juga yang orang-orang yang memberi julukan sedikit modern yaitu lady escort.Tugas Wati bekerja menemani tamu-tamu karaoke. Menyuguhkan minuman, sampai menjadi teman ngobrol. Yah, memang ada yang hanya datang, memesan kama

DMCA.com Protection Status