Beranda / Romansa / Binti Raharjo / Bab 3-Kuah Asam Pedas

Share

Bab 3-Kuah Asam Pedas

Penulis: Wahyu Hakimah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Saat tangan besar Singgih menariknya keluar dari ruangan karaoke, Wati seperti mengulang nostalgia masa lalu. Di mana pria itu menggandeng tangannya setelah insiden kuah asam pedas. Peristiwa yang menjadi awal perjumpaannya dengan Singgih.

"Aduh, Mbak ini cendolnya kok ada semutnya?"

"Mohon maaf mbak, nanti kami ganti cendol yang baru." Sekalian yang ada kecoanya, batin Wati. Sambil memaksimalkan kinerja matanya. Sampai jereng juga itu semut tidak kelihatan. Beuh, bawel.

"Oh, ya. Sekalian ini sambelnya ganti sambel terasi."

"Oh, maaf Mbak menu ini paketnya hanya sambal bawang atau sambel tomat, kalau mau sambal terasi harus pesan lagi, bagaimana?"

"Dih, masa sih sambel doang minta ganti harus nambah pesanan lagi?"

Kalo enggak mau pesen lagi, besok kalo ke sini bawa cobek, bawa terasi, nyambel sendiri! Itu, sih, lagi-lagi hanya dalam hati Wati.

Restoran merupakan pekerjaan yang tidak ada dalam benaknya dari awal, Karena setelah putus sekolah SMEP—Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dia bekerja di gudang salah satu retail terbesar di Indonesia. Di sana, Wati bekerja selama tiga bulan hampir empat bulan.

Di kota metropolitan itu Wati diajak oleh saudara untuk bekerja di gudang yang sebenarnya sangat nyaman tetapi nasibnya tidak baik karena dijadikan batu loncatan sepupunya untuk maling. Menggelapkan beberapa barang. Nasib baik Wati hanya dipecat. Coba kalau dipenjara. Alamat jadi narapidana ditemani nyamuk dan tidur di lantai yang dingin.

Pertama kali Wati kerja di restoran ini sungguh sangat canggung dan kikuk karena dia belum ada pengalaman. Di hari pertama dia kerja hanya melihat-lihat cara kerjanya seperti apa. Standar operasionalnya. Itu saja membuat betisnya bengkak sebesar labu air. Hari kedua Wati di perkenalkan dengan alat-alat memasak lalu hari selanjutnya diperkenalkan menu apa saja yang ada di restoran, bagaimana cara order, dan bagaimana cara up selling yang bagus.

Sukanya kerja di restoran bisa mengetahui berbagai macam karakter orang, terkadang ada tamu yang baik, cerewet, yang angkuh pun ada.

Dia bisa belajar dagang juga karena kalau mampu menjual makanan yang mahal rasanya bangga. Bisa belajar berkomunikasi dengan baik karena Wati orang kurang komunikatif. Akan tetapi, dia mensiasatinya dengan banyak baca buku. Apa yang membahagiakan itu jika ada tamu yang baik memberi uang tip.

Brak!

Seorang ibu-ibu dalam kisaran usia lima puluhan, rambut disasak tinggi dengan aroma bunga kamboja menggebrak meja. Dia terus berkeluh kesah—lebih tepatnya berteriak karena pesanan guraminya belum juga terhidang.

"Lama banget! Heran!" Perempuan paruh baya menor itu celingukan. "Kamu! Iya, kamu yang muka pucet! Sini!"

Wati yang kebetulan lewat karena membersihkan meja persis bersebelahan dengan meja perempuan itu terpaksa datang mendekat.

Angka keramat dengan isi meja semacam Mak Lampir!

"Iya, Ibu. Ada yang bisa saya bantu?"

Brak!

Sekali lagi perempuan itu menggebrak meja. Sedangkan pria yang bersamanya terlihat menyeringai memandang Wati dari atas ke bawah. Rasanya pria dengan kumis lele itu mengawasinya terlalu lama di bagian dada Wati di mana ada bordiran logo restoran.

"Gurame aku, mana?"

Di kolam, Buk. Lagi makan siang sebelum eksekusi mati, jawab Wati dalam hati.

"Saya tanyakan pihak dapur, Bu."

Wati hendak pamit di saat bersamaan dengan datangnya pelayan lain membawa gurami asam pedas ke meja tiga belas itu.

Seorang pelayan laki-laki yang sudah bekerja setahun di restoran itu muncul. Adi namanya, asalnya dari Purwokerto.

"Gurame asam pedas sudah siap," teriaknya girang.

"Sini, kamu!"

Si pelanggan pria meraih piring berisi gurame asam pedas. Dia mengangkat tinggi piring itu. Satu tetes kuah berwarna merah itu hampir mengguyur wajah Adi jika saja tidak ada sebuah tangan menampar piring itu hingga jatuh ke lantai.

Suasana seketika sunyi. Dengungan orang-orang yang tengah menjamu selera waktu makan siang seketika berhenti. Decak nikmat berganti ngilu melihat gurami dengan bumbu kuah merah itu tergeletak mendelik di atas lantai.

"Siapa kau! Lancang!"

"Aku, Singgih," ujar pria yang menampar piring hingga melenting jatuh ke lantai itu.

"Kau supervisor di sini? Huh? Lihat kelakuan anak buah kau! Lelet seperti keong!"

"Kalau iya, kenapa? Kalau bukan juga kenapa? Aku lihat aksinya kalian berdua. Kalian berdua bahkan baru sampai tak lebih sepuluh menit yang lalu. Kalau mau cepat, kenapa nggak pesan mie rebus, huh!"

"Sial!"

Hampir saja mereka berdua adu jotos. Akan tetapi, pihak restoran cepat datang melerai.

"Setan banget, mau makan malah kek gini."

"Bapak nggak sabaran," ujar supervisor yang juga seorang perempuan awal tiga puluh itu. Mbak Lenny yang dengar-dengar akan dipindahtugaskan ke Surabaya.

"Memang restoran ini lelet bukan main," ujar si perempuan dengan sasak setinggi tumpeng 17-an.

Mereka berdua berniat meninggalkan restoran tetapi dicegah Mbak Lenny. Bisa-bisa harga lumayan dari gurami asam manis dibebankan kepada pekerja kalau ada pelanggan yang tak bermoral seperti si kumis ikan lele dan sasak tumpeng 17-an ini.

"Bayar bill, dahulu."

"Eh!" Si Sasak tumpeng mendelik persis ikan gurami.

"Nih!" Kumis lele mengambil dua lebar uang limapuluh dan melemparnya pesis ke wajah Mbak Lenny.

"Mbak!" teriak Adi dan Wati secara bersamaan.

"Gue nggak apa-apa. Adi, tolong bersihin lantai. Ikannya bawa ke belakang," ujar Mbak Lenny tersenyum sambil mengedipkan matanya. Maksudnya berkedip itu ikan itu buat kamu. Bawa pulang jika masih layak dimakan. "Wati, lo nggak apa-apa?"

"Anu, sedikit perih."

"Ayo, diobati."

Jadi saat Singgih menampar piring agar kuah panas asam pedas tidak mengenai Adi, justru kuah itu menciprat ke tangan Wati hingga membuat gadis itu meringis kepanasan. Kulit lengannya yang putih langsung terlihat memerah.

"Lenny, boleh gua ketemu si Wati."

"Mau apa?" jawab Mbak Lenny sengit. "Jangan ganggu anak gue."

"Siapa yang mo ganggu. Gue cuma mau lihat luka di tangannya."

Masih dengan mendelik, Mbak Lenny menunjukkan jalan menuju samping restoran.

Arghhh!

Wati melenguh ketika Singgih mendesaknya di depan pintu masuk sebuah kamar hotel. Dengan rakus dia menjilat wajah yang dia rindukan itu. Pria itu tidak peduli ketika melihat wajah pucat tak bermata milik Wati. Perempuan itu mengumpulkan ingatan masa lalu mereka.

"Jangan membuatku semakin benci padamu! "

Wati bukan lagi bocah ingusan yang senantiasa mengurut betisnya yang bengkak karena terlampau lama berdiri. Saat itulah pertemuannya dengan Singgih sembilan tahun lampau.

Dia adalah Sukmawati, seorang ibu yang akan melakukan apa saja agar anaknya tetap hidup.

"Aku masih suamimu, paham!"

Singgih merentap tangan Wati hingga perempuan itu berdiri dari duduknya. Tubuh lembutnya membentur dada pria yang menatapnya beringas.

"Lepaskan!"

"Puaskan aku dulu!"

Di sinilah Wati berada. Di sebuah kamar dengan ranjang luas dengan bau air laut yang pekat.

"Singgih, aku mohon jangan lakukan itu."

"Kamu suka atau tidak suka aku akan tetap melakukannya."

Benar saja dengan kalap Singgih melepaskan baju yang melekat begitu pas di tubuh indah Wati. Pria itu menerjang Wati dengan segala nafsu yang dia miliki. Awalnya Wati melakukan perlawanan tetapi, sebesar manapun tenaganya untuk menolak, perlawanannya akhirnya kandas juga.

Singgih membuat Wati akhirnya lupa bahwa dia tidak boleh kembali jatuh dalam pelukan pria penyembah iblis itu.

"Bagaimana kamu juga merindukanku, 'kan?"

"Jangan mimpi! Arghh," lenguhnya ketika Singgih semakin membuatnya bertekuk lutut.

Wati kalah. Sejujurnya cinta itu masih ada. Meskipun berbalut nafsu jahanam yang membuatnya menikmati permainan malam itu.

"Di mana putriku?"

Bersama dengan gairah mereka yang sudah tuntas, Singgih tiba-tiba menanyakan keberadaan putrinya. Tangannya mengusap anak rambut Wati yang lepek oleh keringat, lantas menariknya kuat hingga perempuan itu mendongak.

Pertanyaan itu tentu saja membuat Wati linglung. Cengkraman jarinya di rambut Singgih terlepas begitu saja. Begitu juga dengan bibirnya yang berada di lengkung pundak pria itu.

"Aku tidak ingin dia mati karena menjadi tumbal iblis peliharaan leluhurmu."

"Aku jamin itu tidak akan terjadi," bisik Singgih.

"Jangan pernah mengobrol janji manis ketika kamu sedang menikmati tubuhku. Aku bukan bocah ingusan lagi."

Singgih tertawa terbahak-bahak. Dia menyurukkan kepalanya di leher Wati. Memberikan gigitan seperti serigala lapar. Kenapa susah sekali meyakinkan perempuan yang dilanda cemburu.

"Aku tidak berbohong. Aminah sudah mati dan aku membutuhkanmu. Kembalilah padaku, Sukmawati."

Wati tidak menjawab meskipun Singgih melanjutkan siksaan nikmat itu. Keduanya melakukannya lagi dan lagi seakan tiada hari esok. Antara benci, rindu, dan nafsu lebur menjadi satu.

Bab terkait

  • Binti Raharjo   Bab 4-Dukun Pijat

    Seorang pria duduk meringkuk di teras sebuah rumah bercat putih. Hanya rokok kretek dengan ujung menyala yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Itu pun hampir tak pernah diisapnya. Sampai datangnya seorang pemuda dengan sebuah motor. "Rumahnya, dukun Sarmi?""Ya," jawab pria itu."Oh, terima kasih. Boleh saya duduk?"Pria itu mengangguk. "Saya nunggu istri di dalam," ujarnya lirih hingga nyaris tak terdengar."Kepala bayi ada di atas," kata seorang gadis kecil dengan rok berwarna putih yang berkerut persis di bagian bokong itu tiba-tiba saja hadir membuat kedua lelaki itu terkejut."Oh, ya, Nong?" Pria itu berusaha menyembunyikan rokoknya. "Kenapa bayinya muter-muter, ya?""Ade bayi, ehmmm berenang.""Zi! Masuk rumah!""Iya, Nyai!" Gadis itu berlari ke dalam rumah dengan baskom berwarna putih dengan corak bunga mawar di bagian atasnya. Seperti biasa, dia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan air hangat.Maziyah nama gadis kecil dengan kuncir dua tersebut. Dia ingin menja

  • Binti Raharjo   Bab 5-Mencari Obat

    Gunung Kawi, Tahun 1995Bukan tanpa alasan Wati mengajak Maziyah pindah ke daerah timur, Jawa bagian Timur. Agar dia bisa segera lepas dari kutukan. Menurut Lasmi, kutukan itu akan hilang jika putrinya remaja, tetapi saat yang ditunggu tak juga datang. Saat ini Maziyah sudah 14 tahun. Bahkan apa yang bisa dilakukan bocah itu semakin menakutkan. Bukan hanya sekadar melihat setan atau jin. Apa yang dilakukan Maziyah kepada Pak Kost adalah pembunuh berencana dengan bantuan kekuatan gaib. Dia harus menguatkan tekadnya. "Apakah masih lama?" tanyanya kepada May."Kon meneng. Jangan banyak tanya.""Aku penat," ujar Wati lirih. Tidak ingin keluh kesahnya disalah artikan. Dia memiliki tekad baja. Lihat saja. "Sudah hampir sampai. Fokus, jangan melamun. Kalau melamun pikiranmu bisa dikacau setan. Ngerti!""Yo!""Ya, Yo! Tapi sampai ngimpi manggil nama suami iblismu. Kok, iso. Nggak bahaya ta?""Maaf.""Kalau maaf bisa membuat urusan kelar, penjara kosong. Dukun nggak punya kerja sepi job untu

  • Binti Raharjo   Bab 6-Bukan Mencari Pesugihan

    "Karena saya seperti, orang Cina?"“Begitulah yang dipercaya masyarakat. Tapi, orang-orangnya seperti kamu. Ada juga orang kebanyakan, tetapi jumlahnya tidak banyak. "Orang percaya mistik tentu saja. Gunung Kawi dipercaya sebagai perpustakaan jagat babad misteri dan legenda maupun mitos,” lanjut pemilik warung tempat Wati berteduh.“Gitu, ya, Mbah?” ujar Wati sambil menggaruk-garuk badannya yang tiba-tiba gatal. Apakah hujan rimis ini membuat gatal?“Iya, Nak. Apalagi Gunung Kawi juga menjadi pilihan para sesepuh dunia mistik untuk peristirahatan terakhir mereka. Pun, masyarakat kini mengeramatkan makam-makam itu.”Wati semakin penasaran, “Kenapa begitu?”Mbah Utomo hanya tersenyum lalu menyeruput es teh sereh setengah manis. Obrolan semakin seru, bahkan Wati lupa kalau dirinya tersesat dan terpisah dari rombongan Mbah Trunojoyo yang lain. Suasana sungguh mencekam. Warung yang berada di laluan menuju ke atas gunung atau pertapaan itu memang terkesan angker. Asap dupa hio mengepul pe

  • Binti Raharjo   Bab 7-Minggat

    Saat ibunya tidak ada di rumah, Maziyah memutuskan untuk pergi. Dia tidak ingin berada di sekitar ibunya dengan kehidupan memprihatinkan serta dicemooh. Lebih baik pergi. Gadis itu cepat-cepat meraup semua pakaian miliknya ke dalam sebuah tas. Seketika itu dia juga mengambil semua perhiasan milik ibunya. Ijazah sekolahnya sudah dimasukkan ke dalam plastik lantas digulung di dasar tas. Keluar dari pintu kontrakan pengap di gang sempit itu, Maziyah memastikan keadaan aman. Dia juga tahu harus kemana setelah ini. Terminal. Konon katanya terminal terbesar itu beroperasi selama 24 jam. Dia tidak akan terlambat. Dengan langkah panjang, gadis 14 tahun itu berjalan menyusuri gang. Waktu Magrib menjadi suasana lumayan sunyi. Gerimis lagi-lagi mengguyur bumi. Seperti mendapatkan restu dari alam, Maziyah selamat sampai di terminal dan langsung mencari bus jurusan Yogyakarta. Kenapa Jogja, karena di sana Kota Pelajar. Tidak akan ada yang curiga jika dirinya tinggal di kosan tanpa pengawasan ora

  • Binti Raharjo   Bab 8-Alas Gendingan

    Harusnya bulan sempurna menawan malam. Purnama kelima belas, benderang nya terbelenggu arakan awan yang mulai berkerumun mengaburkan pesonanya. Cahaya hanya ada setitik sinar dari celah-celah kabut, menerpa dedaunan di tepian Alas Gendingan. Kedua orang itu berjalan mendekat sesosok tubuh yang terbaring tidak jauh dari tempat Judir membuang hajat. Sosok dengan rambut awut-awutan menutupi sebagian wajahnya. Mengenakan jeans yang hampir terbuka, melorot sampai lutut. Kakinya telanjang tanpa sandal atau sepatu. Memakai kaos warna putih kecoklatan. Entahlah, atau warna itu muncul karena posisinya yang terjeblos dalam parit. Pitoyo menyuluh, pria itu langsung merengkuh, membopong sosok itu keluar dari kubangan. “Masih hidup!” Pitoyo memerintahkan Judir menuang air mineral, lalu memercikkan pada wajah gadis itu. “Nger, Bangun!” bisik Pitoyo lirih. Tangannya terus menepuk pipi gadis itu. “Pantesan aku tadi sir-siran.” Judir mengusap belakang tengkuknya. Suara sesenggukan burung hantu menam

  • Binti Raharjo   Bab 9-Berjumpa Malaikat

    Pukul lima truk berhenti. Pitoyo memandang wajah Maziyah dari samping. Matanya memerah. "Paklik baru ingat. Kamu itu mirip sekali sama almarhum Pipit. Waktu meninggal, dia juga seumuran kamu. Harusnya ia bisa sebesar kamu, Nduk!" gumamnya pelan. Tidak mau larut dalam kesedihan dan kepergok oleh gadis bernama Maziyah itu, Pitoyo membuka jendela truknya pelan. Ia juga menghela napas dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar perbukitan di Kaliaren. Ketika kembali menoleh, ia gagahkan diri menguncang bahu gadis itu lembut. “Bangun, Zi, sudah sampai!” Maziyah mengerjap, memandang sekelilingnya. Pintu truk sudah terbuka sedikit, Judir sambil menguap tersenyum lebar kepadanya. Dia melompat-lompat menghalau hawa dingin yang mencecap kulit. “Selamat datang di Desa Kaliaren yang permai. Ayo, turun, Zi!” Judir melambai. “Itu, Lik Pitoyo, mau ke mana?” Wajahnya mendongak mengikuti arah yang di tempuh pria paruh baya yang menolongnya tadi malam. Pria itu berjalan ke depan kemudian belok

  • Binti Raharjo   Bab 10-Dukun Mbelgedes

    Sementara itu, Wati hanya bisa melongo, menatap kosong pada dipan tempatnya berbagi tempat tidur dengan Maziyah. Kosong melompong hanya menyisakan bantal, guling serta selimut yang terlipat rapi.Bahkan gadis kecilnya membawa kabur uang tabungan yang akan digunakan untuk membayar kontrakan selama setahun. Wati membatin, dari siapa jiwa maling anaknya diturunkan.Dia membolak-balik apa yang mungkin tertinggal, tetapi semua raib. Perhiasan semua hilang. Bahkan segulung ijazah SMP Maziyah juga tidak ada. Sah, gadisnya memang telah merencanakan semuanya dari awal. Selama dia mencari obat ke Gunung Kawi. Wati masih ingat wajah pias Maziyah ketika dia mengutarakan niatnya akan pergi ke Malang. Dia ingat, wajah pias nan memelas itu, yang pada pikirannya, karena dia tidak mau ditinggal sendiri, tetapi kenyataan berbicara lain. Dia jarang membentak Maziyah, gadisnya yang begitu rapuh itu. Namun saat ini, rasanya Maziyah telah meletakan bara, persis di atas ubun-ubunnya.Atau, jangan-jangan,

  • Binti Raharjo   Prolog

    Wati bergerak pelan, menahan napas ketika ia berhasil mengelabui Mbok Bariyah, perempuan paruh baya yang didaulat sebagai pengasuh sekaligus pembantunya. Perempuan tua itu kini terkapar karena obat tidur. Sebenarnya, Wati juga tak tega. Sosok tua itu terlampau baik. Bagaimanapun juga, meski baik, dia adalah suruhan Singgih. Wati harus berlaku tegas, agar hidupnya selamat.Dua bulan yang lalu, atau bisa dibilang ketika usia kandungannya enam bulan, Wati mengetahui sebuah rahasia. Rahasia yang seharusnya tidak ia dengar. Namun, itulah nasibnya, lewat skenario Tuhan. Perempuan itu akhirnya tahu juga, apa niat sebenarnya Singgih menikahinya.Singgih hanya menjadikannya tumbal.Wati sejak awal memang sangsi, bagaimana mungkin Singgih yang tampan, punya jabatan tinggi, setiap penampilan terlihat mahal, perlente, mengatakan minat pada dirinya yang hanya seorang pelayan restoran. Ia yang hanya seorang perempuan berparas biasa saja. Kecantikan orang kampung, meski Wati memang berkulit putih c

Bab terbaru

  • Binti Raharjo   Bab 10-Dukun Mbelgedes

    Sementara itu, Wati hanya bisa melongo, menatap kosong pada dipan tempatnya berbagi tempat tidur dengan Maziyah. Kosong melompong hanya menyisakan bantal, guling serta selimut yang terlipat rapi.Bahkan gadis kecilnya membawa kabur uang tabungan yang akan digunakan untuk membayar kontrakan selama setahun. Wati membatin, dari siapa jiwa maling anaknya diturunkan.Dia membolak-balik apa yang mungkin tertinggal, tetapi semua raib. Perhiasan semua hilang. Bahkan segulung ijazah SMP Maziyah juga tidak ada. Sah, gadisnya memang telah merencanakan semuanya dari awal. Selama dia mencari obat ke Gunung Kawi. Wati masih ingat wajah pias Maziyah ketika dia mengutarakan niatnya akan pergi ke Malang. Dia ingat, wajah pias nan memelas itu, yang pada pikirannya, karena dia tidak mau ditinggal sendiri, tetapi kenyataan berbicara lain. Dia jarang membentak Maziyah, gadisnya yang begitu rapuh itu. Namun saat ini, rasanya Maziyah telah meletakan bara, persis di atas ubun-ubunnya.Atau, jangan-jangan,

  • Binti Raharjo   Bab 9-Berjumpa Malaikat

    Pukul lima truk berhenti. Pitoyo memandang wajah Maziyah dari samping. Matanya memerah. "Paklik baru ingat. Kamu itu mirip sekali sama almarhum Pipit. Waktu meninggal, dia juga seumuran kamu. Harusnya ia bisa sebesar kamu, Nduk!" gumamnya pelan. Tidak mau larut dalam kesedihan dan kepergok oleh gadis bernama Maziyah itu, Pitoyo membuka jendela truknya pelan. Ia juga menghela napas dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar perbukitan di Kaliaren. Ketika kembali menoleh, ia gagahkan diri menguncang bahu gadis itu lembut. “Bangun, Zi, sudah sampai!” Maziyah mengerjap, memandang sekelilingnya. Pintu truk sudah terbuka sedikit, Judir sambil menguap tersenyum lebar kepadanya. Dia melompat-lompat menghalau hawa dingin yang mencecap kulit. “Selamat datang di Desa Kaliaren yang permai. Ayo, turun, Zi!” Judir melambai. “Itu, Lik Pitoyo, mau ke mana?” Wajahnya mendongak mengikuti arah yang di tempuh pria paruh baya yang menolongnya tadi malam. Pria itu berjalan ke depan kemudian belok

  • Binti Raharjo   Bab 8-Alas Gendingan

    Harusnya bulan sempurna menawan malam. Purnama kelima belas, benderang nya terbelenggu arakan awan yang mulai berkerumun mengaburkan pesonanya. Cahaya hanya ada setitik sinar dari celah-celah kabut, menerpa dedaunan di tepian Alas Gendingan. Kedua orang itu berjalan mendekat sesosok tubuh yang terbaring tidak jauh dari tempat Judir membuang hajat. Sosok dengan rambut awut-awutan menutupi sebagian wajahnya. Mengenakan jeans yang hampir terbuka, melorot sampai lutut. Kakinya telanjang tanpa sandal atau sepatu. Memakai kaos warna putih kecoklatan. Entahlah, atau warna itu muncul karena posisinya yang terjeblos dalam parit. Pitoyo menyuluh, pria itu langsung merengkuh, membopong sosok itu keluar dari kubangan. “Masih hidup!” Pitoyo memerintahkan Judir menuang air mineral, lalu memercikkan pada wajah gadis itu. “Nger, Bangun!” bisik Pitoyo lirih. Tangannya terus menepuk pipi gadis itu. “Pantesan aku tadi sir-siran.” Judir mengusap belakang tengkuknya. Suara sesenggukan burung hantu menam

  • Binti Raharjo   Bab 7-Minggat

    Saat ibunya tidak ada di rumah, Maziyah memutuskan untuk pergi. Dia tidak ingin berada di sekitar ibunya dengan kehidupan memprihatinkan serta dicemooh. Lebih baik pergi. Gadis itu cepat-cepat meraup semua pakaian miliknya ke dalam sebuah tas. Seketika itu dia juga mengambil semua perhiasan milik ibunya. Ijazah sekolahnya sudah dimasukkan ke dalam plastik lantas digulung di dasar tas. Keluar dari pintu kontrakan pengap di gang sempit itu, Maziyah memastikan keadaan aman. Dia juga tahu harus kemana setelah ini. Terminal. Konon katanya terminal terbesar itu beroperasi selama 24 jam. Dia tidak akan terlambat. Dengan langkah panjang, gadis 14 tahun itu berjalan menyusuri gang. Waktu Magrib menjadi suasana lumayan sunyi. Gerimis lagi-lagi mengguyur bumi. Seperti mendapatkan restu dari alam, Maziyah selamat sampai di terminal dan langsung mencari bus jurusan Yogyakarta. Kenapa Jogja, karena di sana Kota Pelajar. Tidak akan ada yang curiga jika dirinya tinggal di kosan tanpa pengawasan ora

  • Binti Raharjo   Bab 6-Bukan Mencari Pesugihan

    "Karena saya seperti, orang Cina?"“Begitulah yang dipercaya masyarakat. Tapi, orang-orangnya seperti kamu. Ada juga orang kebanyakan, tetapi jumlahnya tidak banyak. "Orang percaya mistik tentu saja. Gunung Kawi dipercaya sebagai perpustakaan jagat babad misteri dan legenda maupun mitos,” lanjut pemilik warung tempat Wati berteduh.“Gitu, ya, Mbah?” ujar Wati sambil menggaruk-garuk badannya yang tiba-tiba gatal. Apakah hujan rimis ini membuat gatal?“Iya, Nak. Apalagi Gunung Kawi juga menjadi pilihan para sesepuh dunia mistik untuk peristirahatan terakhir mereka. Pun, masyarakat kini mengeramatkan makam-makam itu.”Wati semakin penasaran, “Kenapa begitu?”Mbah Utomo hanya tersenyum lalu menyeruput es teh sereh setengah manis. Obrolan semakin seru, bahkan Wati lupa kalau dirinya tersesat dan terpisah dari rombongan Mbah Trunojoyo yang lain. Suasana sungguh mencekam. Warung yang berada di laluan menuju ke atas gunung atau pertapaan itu memang terkesan angker. Asap dupa hio mengepul pe

  • Binti Raharjo   Bab 5-Mencari Obat

    Gunung Kawi, Tahun 1995Bukan tanpa alasan Wati mengajak Maziyah pindah ke daerah timur, Jawa bagian Timur. Agar dia bisa segera lepas dari kutukan. Menurut Lasmi, kutukan itu akan hilang jika putrinya remaja, tetapi saat yang ditunggu tak juga datang. Saat ini Maziyah sudah 14 tahun. Bahkan apa yang bisa dilakukan bocah itu semakin menakutkan. Bukan hanya sekadar melihat setan atau jin. Apa yang dilakukan Maziyah kepada Pak Kost adalah pembunuh berencana dengan bantuan kekuatan gaib. Dia harus menguatkan tekadnya. "Apakah masih lama?" tanyanya kepada May."Kon meneng. Jangan banyak tanya.""Aku penat," ujar Wati lirih. Tidak ingin keluh kesahnya disalah artikan. Dia memiliki tekad baja. Lihat saja. "Sudah hampir sampai. Fokus, jangan melamun. Kalau melamun pikiranmu bisa dikacau setan. Ngerti!""Yo!""Ya, Yo! Tapi sampai ngimpi manggil nama suami iblismu. Kok, iso. Nggak bahaya ta?""Maaf.""Kalau maaf bisa membuat urusan kelar, penjara kosong. Dukun nggak punya kerja sepi job untu

  • Binti Raharjo   Bab 4-Dukun Pijat

    Seorang pria duduk meringkuk di teras sebuah rumah bercat putih. Hanya rokok kretek dengan ujung menyala yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Itu pun hampir tak pernah diisapnya. Sampai datangnya seorang pemuda dengan sebuah motor. "Rumahnya, dukun Sarmi?""Ya," jawab pria itu."Oh, terima kasih. Boleh saya duduk?"Pria itu mengangguk. "Saya nunggu istri di dalam," ujarnya lirih hingga nyaris tak terdengar."Kepala bayi ada di atas," kata seorang gadis kecil dengan rok berwarna putih yang berkerut persis di bagian bokong itu tiba-tiba saja hadir membuat kedua lelaki itu terkejut."Oh, ya, Nong?" Pria itu berusaha menyembunyikan rokoknya. "Kenapa bayinya muter-muter, ya?""Ade bayi, ehmmm berenang.""Zi! Masuk rumah!""Iya, Nyai!" Gadis itu berlari ke dalam rumah dengan baskom berwarna putih dengan corak bunga mawar di bagian atasnya. Seperti biasa, dia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan air hangat.Maziyah nama gadis kecil dengan kuncir dua tersebut. Dia ingin menja

  • Binti Raharjo   Bab 3-Kuah Asam Pedas

    Saat tangan besar Singgih menariknya keluar dari ruangan karaoke, Wati seperti mengulang nostalgia masa lalu. Di mana pria itu menggandeng tangannya setelah insiden kuah asam pedas. Peristiwa yang menjadi awal perjumpaannya dengan Singgih. "Aduh, Mbak ini cendolnya kok ada semutnya?""Mohon maaf mbak, nanti kami ganti cendol yang baru." Sekalian yang ada kecoanya, batin Wati. Sambil memaksimalkan kinerja matanya. Sampai jereng juga itu semut tidak kelihatan. Beuh, bawel. "Oh, ya. Sekalian ini sambelnya ganti sambel terasi.""Oh, maaf Mbak menu ini paketnya hanya sambal bawang atau sambel tomat, kalau mau sambal terasi harus pesan lagi, bagaimana?""Dih, masa sih sambel doang minta ganti harus nambah pesanan lagi?"Kalo enggak mau pesen lagi, besok kalo ke sini bawa cobek, bawa terasi, nyambel sendiri! Itu, sih, lagi-lagi hanya dalam hati Wati. Restoran merupakan pekerjaan yang tidak ada dalam benaknya dari awal, Karena setelah putus sekolah SMEP—Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dia

  • Binti Raharjo   Bab 2-Berjumpa Singgih

    Anyer tahun 1992.Pendar cahaya lampu yang samar-samar terlihat dari luar ruangan karaoke menandakan sebagian ruangan yang lain sedang digunakan. Beberapa perempuan muncul dari balik pintu itu. Mereka berpindah ke pintu lain ke tempat pengunjung yang baru datang.“Ang, kamu kamar nomor lima. Baik-baik, ya. Orang dari Jakarta itu.”Wati mengangguk. Perempuan muda itu berjalan melenggang menuju ruangan yang disebutkan Saipul—pengawas tempat karaoke itu. Wati yang saat ini mengenakan atasan berwarna hitam dengan aksen berkilau berjalan sambil sesekali menyapa beberapa temannya. Sedikit kesulitan dengan sepatu hak tinggi juga rok span kulit sintetis-nya. Sudah tiga tahun dia menjalani profesi sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Mereka memanggilnya, Purel. Namun, ada juga yang orang-orang yang memberi julukan sedikit modern yaitu lady escort.Tugas Wati bekerja menemani tamu-tamu karaoke. Menyuguhkan minuman, sampai menjadi teman ngobrol. Yah, memang ada yang hanya datang, memesan kama

DMCA.com Protection Status