Anyer tahun 1992.
Pendar cahaya lampu yang samar-samar terlihat dari luar ruangan karaoke menandakan sebagian ruangan yang lain sedang digunakan. Beberapa perempuan muncul dari balik pintu itu. Mereka berpindah ke pintu lain ke tempat pengunjung yang baru datang.“Ang, kamu kamar nomor lima. Baik-baik, ya. Orang dari Jakarta itu.”Wati mengangguk. Perempuan muda itu berjalan melenggang menuju ruangan yang disebutkan Saipul—pengawas tempat karaoke itu. Wati yang saat ini mengenakan atasan berwarna hitam dengan aksen berkilau berjalan sambil sesekali menyapa beberapa temannya. Sedikit kesulitan dengan sepatu hak tinggi juga rok span kulit sintetis-nya. Sudah tiga tahun dia menjalani profesi sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Mereka memanggilnya, Purel. Namun, ada juga yang orang-orang yang memberi julukan sedikit modern yaitu lady escort.Tugas Wati bekerja menemani tamu-tamu karaoke. Menyuguhkan minuman, sampai menjadi teman ngobrol. Yah, memang ada yang hanya datang, memesan kamar lantas ngobrol ngalor-ngidul tanpa menyanyi. Mereka—perempuan seperti Wati yang identik dengan dunia malam yang dilabeli kotor dan nakal. Persetan anggapan orang. Apa yang penting, Wati bukan perempuan seperti itu meskipun bekerja hingga larut malam. Meskipun ada dua shif, tetap saja kerja itu dimulai selepas jam dua siang. Jika mendapat jatah shift siang ia akan pulang menjelang malam. Jika mendapat jatah shift malam, ia akan pulang menjelang pagi. Di ruangan yang ditunjukkan oleh Saiful ada Madam Elis bersama dua pemandu lagu lainnya. Dia adalah senior atau bisa dikatakan manajer tempat ini. Perempuan awal lima puluhan yang masih singset itu langsung melambai padanya. Hanya ada dua pelanggan, jadi buat apa ia harus berada di sini?“Nanti kamu nyanyi, ya, Ang. Suaramu, kan, paling power.”“Oke, Madam.”“Ambil minum. Bir dua sama soda,” ujar Madam Elis. “Tamunya kurang satu. Bosnya itu. Baik-baik kamu sama dia.”“Ya, Madam.”“Itu tadi siapa, Lis? Bukan buat aku, ya? Montok banget.”Seorang pria dengan kumis dan janggut jarang-jarang tertawa sambil mengedipkan matanya pada Wati. Padahal sudah ada seorang pemandu lagu dengan rok super pendek yang memamerkan paha mulusnya duduk seperti anak koala.“Jangan! Itu nanti yang aku kasih buat Pak Bos.” Sayup-sayup terdengar suara Madam Elis yang parau karena kebanyakan rokok sesaat sebelum Wati menutup pintu ruangan nomor lima.“Rok kamu itu kurang panjang! Mau pengajian apa temani tamu!” ucap seseorang dengan nada sarkas. Jhonny, si centeng kurang ajar. Pria awal empat puluhan itu pernah meremas bokong Wati. Tentu saja, dia keder juga saat dilaporkan kepada Saipul.Perkataan yang dilontarkan Jhonny tidak digubris Wati. Perempuan itu melangkah dengan cepat ke arah bar.“Rok kamu itu, kurang pendek.” Kini giliran orang bar mengomel padanya. Namun, nada bicaranya biasa saja. “Iya,” jawab Wati enggan berdebat. Seorang laki-laki dengan potongan wajah mirip Chow Yun Fat mendelik ke arah Wati yang datang mengambil minuman. Dua bir dan satu soda. Ada pelanggan yang datang hanya untuk ditemani ngobrol, ada juga yang bahkan tidak menyentuh minuman beralkohol.Wati cepat mengambil minuman lantas kembali ke dalam kamar nomor lima. Dia segera meletakkan minuman ke atas meja. Seperti biasa, meskipun sudah tiga tahun bekerja di tengah-tengah pria asing dengan tatapan mendamba, atau melecehkan, sikap Wati sama saja. Tertunduk menghindari tatapan mata liar yang memindai tubuh. Tanpa bersuara, dia segera mengambil mikrofon lantas berlenggak-lenggok mengikuti rentak musik yang sedang diputar.Saat menyanyi, Wati seakan lupa lara yang melingkupi hidupnya. Semua yang pernah dibawa dari rumah Singgih sudah raib. Apalagi sembilan bulan ini, memang keadaanya benar-benar tidak baik. Mama atau ayahnya sakit prostat. Uang yang dikumpulkan untuk masa depannya bersama Elok ikut musnah.Tidak sedikit uang yang keluar untuk membeli obat dan operasi. Meskipun bersembunyi dari Singgih selama hampir delapan tahun ini, Wati tidak lupa pada kedua orang tuanya. “Lagu Dewa, ya, Ang! Kangen.”“Baik, Madam.”"Kita nyanyi, Kangen, yuk," ajak Wati sambil tersenyum manis.Wati mulai menyanyi dengan nada rendah. Ya, karena suara Ari Lasso sebagai vokalis utama band Dewa itu memiliki timbre suara yang sangat rendah. Seiring berjalannya waktu, memang suara Ari sedikit meninggi dan semakin powerful.Ketika pada syair yang berbunyi; Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya menahan rasa ingin jumpa ....Wati hampir tercekik oleh nada tinggi syair itu—padahal tidak lah terlampau tinggi. Ya, saat itu secara bersamaan muncul seorang tamu lain yang langsung duduk di kursi sudut. Bagian siku. Percayalah padaku aku pun rindu kamu. Datanglah padaku tukmelepas semua kerinduanyang terpendam ....Lelaki tampan itu ikut menyambung lagu yang dinyanyikan Wati. Lagu yang sedikit ngawur."Wah, jarang Pak Singgih ikut nyanyi. Suaranya mantap juga. Lewat si Ari Lasso," kekeh tamu yang lebih dahulu menghuni ruangan. Pria berkumis jarang-jarang.Lelaki itu diam, meskipun ada senyum di sudut bibirnya.Dia duduk di sudut siku-siku yang bertentangan persisi dengan tempat Wati berdiri, lelaki itu merenung tajam, tak berkedip. Wati terkejut tentu saja, tetapi suaranya yang bergetar masih bisa tersamar oleh suara musik yang berdentum keras.Entah kenapa, sambil terus mendendangkan lagu sesekali dia mengalihkan pandangan ke semua yang hadir, lalu kembali pada sudut itu, lelaki itu pun masih tak selesai menilainya.Rasanya malam itu adalah malam yang ingin segera disudahi oleh Wati. Namun, jarum jam seakan enggan bergerak. Ketika salah seorang yang mengundangnya bernyanyi maju, Wati sudah menduga dia akan diserang rasa cemas itu. Lelaki yang maju itu memakai kemeja yang sudah di gulung ke siku, dasinya sudah dilonggarkan."Manis, sana temani Pak Singgih,Bos kami."Wati kini duduk persis di samping orang yang membuat napasnya tersengal. Rasanya Wati ingin membersamai lelaki itu menyanyi duet, tapi dia malah diarahkan untuk duduk di kursi kosong itu. Yah, bermakna berada di samping Singgih.Singgih tidak bereaksi berlebihan, ketika Wati berhasil melabuhkan bokongnya di kursi. Hanya saja, bibirnya berkedut penuh kemenangan. Punggung lelaki itu yang tadinya tegak kini mengendur, lalu bersandar pada sofa, satu tangannya berada di lengan sofa, satu lagi terjulur ke belakang, seakan merangkul Wati. Ujung jari telunjuk Singgihs sesekali mengelus lengan telanjang Wati, membuat perempuan itu justru tak nyaman untuk duduk. Sentuhan seringan bulu itu seakan sengatan listrik ribuan volt."Apa kabar, Sayang? Lama kita tak bersua."Wati bergeming. Bisikan itu bersamaan dengan dada Singgih yang menghimpit punggungnya. Wati tidak berani menolehkan. Dia tidak mau rona wajahnya yang pucat itu terbaca oleh lelaki itu."Apa kabarnya, anakku?""Ya Tuhan, duda satu ini ada yang mulus aja, langsung diterkam!""Hust! Diam, anak-anak!"Singgih nyengir pada seseorang yang memergokinya berlaku intim pada Wati.Kata duda itu mau tidak mau mengejutkan Wati. Lagi-lagi seperti disengat dengan sengatan listrik voltase tinggi. Dia spontan menoleh, lalu matanya bertembung dengan pandangan sekelam malam itu. Singgih yang tampan. Apa yang terjadi pada istrinya yang cantik itu? Apakah karena putrinya si calon tumbal masih hidup, lalu iblis itu berbalik pada istrinya? Kenapa tidak pada Singgih? Wati menutup mulutnya, sebelum dia terpekik penuh rasa takut.Sosok iblis itu, apakah benar mendatangi istri Singgih? Apakah sosok yang sama yang mendatangi dalam mimpi-mimpi Wati."Apa dia, mati?" tanya Wati hanya bersuara lirih. Toh, bersuara keras pun, akan tertelan lagu dangdut berjudul, Ani milik Wak Haji Rhoma Irama yang dengan apik dinyanyikan kawan Maulana, entah siapa namanya. Dia hanya ingin memastikan bahwa istri Singgih mati."Aku juga heran. Bingung. Marah. Harusnya itu kamu, Sayang?""Setahuku, malaikat pencabut nyawa itu namanya, Izrail, atas seijin Gusti Allah. Jadi, bukan setan, iblis, jin peliharaan leluhurmu! Pelajaran madrasah itu, Bapak Singgih!""Di mana anakku?""Mungkin anak itu, bukan anakmu. Bisa jadi, anak itu anak setan. Aku menjauhkan darimu, agar dia tidak mencelakaimu. Maka, berterima kasihlah padaku."Singgih meremas bahu telanjang Wati. "Aku bisa menggagahimu di sini, kalau itu maumu. Dari matamu, aku tahu kamu merindukanku, Wati! Wati!""Di atas ada kamar yang bisa dibooking. Ngadep laut, Pak Singgih.""Tentu saja. Malam ini jangan ganggu saya, ya.""Sip!" Tawa kedua orang tamu itu begitu lebar. Sambil tertawa, tangan mereka meremas apa saja yang bisa diraih dari tubuh dua pemandu lagu itu. "Si Aang itu suka jual mahal, Bang. Mending atuh sama yang lain. Sama kita. Kita bisa puasin sampai pagi. ""Bos kita ini nggak bisa ditolak," bisik lelaki itu meraih bibir si pemandu lagu yang memakai atasan kemben berwarna kuning dan sudah pun merosot ke perut."Ayo, Sayang."Wati, entah keberanian dari mana menampik uluran tangan Maulana. Ada kilat marah dari matanya, yang kini mulai menyala. Toh, dia bukan budak nafsu Maulana. "Lepaskan!""Aku masih suamimu, paham!" Singgih merentap tangan Wati hingga perempuan itu berdiri dari duduknya. Tubuh Wati menubruk tubuh Singgih yang tegap dan panas."Puaskan aku malam ini!"Saat tangan besar Singgih menariknya keluar dari ruangan karaoke, Wati seperti mengulang nostalgia masa lalu. Di mana pria itu menggandeng tangannya setelah insiden kuah asam pedas. Peristiwa yang menjadi awal perjumpaannya dengan Singgih. "Aduh, Mbak ini cendolnya kok ada semutnya?""Mohon maaf mbak, nanti kami ganti cendol yang baru." Sekalian yang ada kecoanya, batin Wati. Sambil memaksimalkan kinerja matanya. Sampai jereng juga itu semut tidak kelihatan. Beuh, bawel. "Oh, ya. Sekalian ini sambelnya ganti sambel terasi.""Oh, maaf Mbak menu ini paketnya hanya sambal bawang atau sambel tomat, kalau mau sambal terasi harus pesan lagi, bagaimana?""Dih, masa sih sambel doang minta ganti harus nambah pesanan lagi?"Kalo enggak mau pesen lagi, besok kalo ke sini bawa cobek, bawa terasi, nyambel sendiri! Itu, sih, lagi-lagi hanya dalam hati Wati. Restoran merupakan pekerjaan yang tidak ada dalam benaknya dari awal, Karena setelah putus sekolah SMEP—Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dia
Seorang pria duduk meringkuk di teras sebuah rumah bercat putih. Hanya rokok kretek dengan ujung menyala yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Itu pun hampir tak pernah diisapnya. Sampai datangnya seorang pemuda dengan sebuah motor. "Rumahnya, dukun Sarmi?""Ya," jawab pria itu."Oh, terima kasih. Boleh saya duduk?"Pria itu mengangguk. "Saya nunggu istri di dalam," ujarnya lirih hingga nyaris tak terdengar."Kepala bayi ada di atas," kata seorang gadis kecil dengan rok berwarna putih yang berkerut persis di bagian bokong itu tiba-tiba saja hadir membuat kedua lelaki itu terkejut."Oh, ya, Nong?" Pria itu berusaha menyembunyikan rokoknya. "Kenapa bayinya muter-muter, ya?""Ade bayi, ehmmm berenang.""Zi! Masuk rumah!""Iya, Nyai!" Gadis itu berlari ke dalam rumah dengan baskom berwarna putih dengan corak bunga mawar di bagian atasnya. Seperti biasa, dia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan air hangat.Maziyah nama gadis kecil dengan kuncir dua tersebut. Dia ingin menja
Gunung Kawi, Tahun 1995Bukan tanpa alasan Wati mengajak Maziyah pindah ke daerah timur, Jawa bagian Timur. Agar dia bisa segera lepas dari kutukan. Menurut Lasmi, kutukan itu akan hilang jika putrinya remaja, tetapi saat yang ditunggu tak juga datang. Saat ini Maziyah sudah 14 tahun. Bahkan apa yang bisa dilakukan bocah itu semakin menakutkan. Bukan hanya sekadar melihat setan atau jin. Apa yang dilakukan Maziyah kepada Pak Kost adalah pembunuh berencana dengan bantuan kekuatan gaib. Dia harus menguatkan tekadnya. "Apakah masih lama?" tanyanya kepada May."Kon meneng. Jangan banyak tanya.""Aku penat," ujar Wati lirih. Tidak ingin keluh kesahnya disalah artikan. Dia memiliki tekad baja. Lihat saja. "Sudah hampir sampai. Fokus, jangan melamun. Kalau melamun pikiranmu bisa dikacau setan. Ngerti!""Yo!""Ya, Yo! Tapi sampai ngimpi manggil nama suami iblismu. Kok, iso. Nggak bahaya ta?""Maaf.""Kalau maaf bisa membuat urusan kelar, penjara kosong. Dukun nggak punya kerja sepi job untu
"Karena saya seperti, orang Cina?"“Begitulah yang dipercaya masyarakat. Tapi, orang-orangnya seperti kamu. Ada juga orang kebanyakan, tetapi jumlahnya tidak banyak. "Orang percaya mistik tentu saja. Gunung Kawi dipercaya sebagai perpustakaan jagat babad misteri dan legenda maupun mitos,” lanjut pemilik warung tempat Wati berteduh.“Gitu, ya, Mbah?” ujar Wati sambil menggaruk-garuk badannya yang tiba-tiba gatal. Apakah hujan rimis ini membuat gatal?“Iya, Nak. Apalagi Gunung Kawi juga menjadi pilihan para sesepuh dunia mistik untuk peristirahatan terakhir mereka. Pun, masyarakat kini mengeramatkan makam-makam itu.”Wati semakin penasaran, “Kenapa begitu?”Mbah Utomo hanya tersenyum lalu menyeruput es teh sereh setengah manis. Obrolan semakin seru, bahkan Wati lupa kalau dirinya tersesat dan terpisah dari rombongan Mbah Trunojoyo yang lain. Suasana sungguh mencekam. Warung yang berada di laluan menuju ke atas gunung atau pertapaan itu memang terkesan angker. Asap dupa hio mengepul pe
Saat ibunya tidak ada di rumah, Maziyah memutuskan untuk pergi. Dia tidak ingin berada di sekitar ibunya dengan kehidupan memprihatinkan serta dicemooh. Lebih baik pergi. Gadis itu cepat-cepat meraup semua pakaian miliknya ke dalam sebuah tas. Seketika itu dia juga mengambil semua perhiasan milik ibunya. Ijazah sekolahnya sudah dimasukkan ke dalam plastik lantas digulung di dasar tas. Keluar dari pintu kontrakan pengap di gang sempit itu, Maziyah memastikan keadaan aman. Dia juga tahu harus kemana setelah ini. Terminal. Konon katanya terminal terbesar itu beroperasi selama 24 jam. Dia tidak akan terlambat. Dengan langkah panjang, gadis 14 tahun itu berjalan menyusuri gang. Waktu Magrib menjadi suasana lumayan sunyi. Gerimis lagi-lagi mengguyur bumi. Seperti mendapatkan restu dari alam, Maziyah selamat sampai di terminal dan langsung mencari bus jurusan Yogyakarta. Kenapa Jogja, karena di sana Kota Pelajar. Tidak akan ada yang curiga jika dirinya tinggal di kosan tanpa pengawasan ora
Harusnya bulan sempurna menawan malam. Purnama kelima belas, benderang nya terbelenggu arakan awan yang mulai berkerumun mengaburkan pesonanya. Cahaya hanya ada setitik sinar dari celah-celah kabut, menerpa dedaunan di tepian Alas Gendingan. Kedua orang itu berjalan mendekat sesosok tubuh yang terbaring tidak jauh dari tempat Judir membuang hajat. Sosok dengan rambut awut-awutan menutupi sebagian wajahnya. Mengenakan jeans yang hampir terbuka, melorot sampai lutut. Kakinya telanjang tanpa sandal atau sepatu. Memakai kaos warna putih kecoklatan. Entahlah, atau warna itu muncul karena posisinya yang terjeblos dalam parit. Pitoyo menyuluh, pria itu langsung merengkuh, membopong sosok itu keluar dari kubangan. “Masih hidup!” Pitoyo memerintahkan Judir menuang air mineral, lalu memercikkan pada wajah gadis itu. “Nger, Bangun!” bisik Pitoyo lirih. Tangannya terus menepuk pipi gadis itu. “Pantesan aku tadi sir-siran.” Judir mengusap belakang tengkuknya. Suara sesenggukan burung hantu menam
Pukul lima truk berhenti. Pitoyo memandang wajah Maziyah dari samping. Matanya memerah. "Paklik baru ingat. Kamu itu mirip sekali sama almarhum Pipit. Waktu meninggal, dia juga seumuran kamu. Harusnya ia bisa sebesar kamu, Nduk!" gumamnya pelan. Tidak mau larut dalam kesedihan dan kepergok oleh gadis bernama Maziyah itu, Pitoyo membuka jendela truknya pelan. Ia juga menghela napas dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar perbukitan di Kaliaren. Ketika kembali menoleh, ia gagahkan diri menguncang bahu gadis itu lembut. “Bangun, Zi, sudah sampai!” Maziyah mengerjap, memandang sekelilingnya. Pintu truk sudah terbuka sedikit, Judir sambil menguap tersenyum lebar kepadanya. Dia melompat-lompat menghalau hawa dingin yang mencecap kulit. “Selamat datang di Desa Kaliaren yang permai. Ayo, turun, Zi!” Judir melambai. “Itu, Lik Pitoyo, mau ke mana?” Wajahnya mendongak mengikuti arah yang di tempuh pria paruh baya yang menolongnya tadi malam. Pria itu berjalan ke depan kemudian belok
Sementara itu, Wati hanya bisa melongo, menatap kosong pada dipan tempatnya berbagi tempat tidur dengan Maziyah. Kosong melompong hanya menyisakan bantal, guling serta selimut yang terlipat rapi.Bahkan gadis kecilnya membawa kabur uang tabungan yang akan digunakan untuk membayar kontrakan selama setahun. Wati membatin, dari siapa jiwa maling anaknya diturunkan.Dia membolak-balik apa yang mungkin tertinggal, tetapi semua raib. Perhiasan semua hilang. Bahkan segulung ijazah SMP Maziyah juga tidak ada. Sah, gadisnya memang telah merencanakan semuanya dari awal. Selama dia mencari obat ke Gunung Kawi. Wati masih ingat wajah pias Maziyah ketika dia mengutarakan niatnya akan pergi ke Malang. Dia ingat, wajah pias nan memelas itu, yang pada pikirannya, karena dia tidak mau ditinggal sendiri, tetapi kenyataan berbicara lain. Dia jarang membentak Maziyah, gadisnya yang begitu rapuh itu. Namun saat ini, rasanya Maziyah telah meletakan bara, persis di atas ubun-ubunnya.Atau, jangan-jangan,
Sementara itu, Wati hanya bisa melongo, menatap kosong pada dipan tempatnya berbagi tempat tidur dengan Maziyah. Kosong melompong hanya menyisakan bantal, guling serta selimut yang terlipat rapi.Bahkan gadis kecilnya membawa kabur uang tabungan yang akan digunakan untuk membayar kontrakan selama setahun. Wati membatin, dari siapa jiwa maling anaknya diturunkan.Dia membolak-balik apa yang mungkin tertinggal, tetapi semua raib. Perhiasan semua hilang. Bahkan segulung ijazah SMP Maziyah juga tidak ada. Sah, gadisnya memang telah merencanakan semuanya dari awal. Selama dia mencari obat ke Gunung Kawi. Wati masih ingat wajah pias Maziyah ketika dia mengutarakan niatnya akan pergi ke Malang. Dia ingat, wajah pias nan memelas itu, yang pada pikirannya, karena dia tidak mau ditinggal sendiri, tetapi kenyataan berbicara lain. Dia jarang membentak Maziyah, gadisnya yang begitu rapuh itu. Namun saat ini, rasanya Maziyah telah meletakan bara, persis di atas ubun-ubunnya.Atau, jangan-jangan,
Pukul lima truk berhenti. Pitoyo memandang wajah Maziyah dari samping. Matanya memerah. "Paklik baru ingat. Kamu itu mirip sekali sama almarhum Pipit. Waktu meninggal, dia juga seumuran kamu. Harusnya ia bisa sebesar kamu, Nduk!" gumamnya pelan. Tidak mau larut dalam kesedihan dan kepergok oleh gadis bernama Maziyah itu, Pitoyo membuka jendela truknya pelan. Ia juga menghela napas dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar perbukitan di Kaliaren. Ketika kembali menoleh, ia gagahkan diri menguncang bahu gadis itu lembut. “Bangun, Zi, sudah sampai!” Maziyah mengerjap, memandang sekelilingnya. Pintu truk sudah terbuka sedikit, Judir sambil menguap tersenyum lebar kepadanya. Dia melompat-lompat menghalau hawa dingin yang mencecap kulit. “Selamat datang di Desa Kaliaren yang permai. Ayo, turun, Zi!” Judir melambai. “Itu, Lik Pitoyo, mau ke mana?” Wajahnya mendongak mengikuti arah yang di tempuh pria paruh baya yang menolongnya tadi malam. Pria itu berjalan ke depan kemudian belok
Harusnya bulan sempurna menawan malam. Purnama kelima belas, benderang nya terbelenggu arakan awan yang mulai berkerumun mengaburkan pesonanya. Cahaya hanya ada setitik sinar dari celah-celah kabut, menerpa dedaunan di tepian Alas Gendingan. Kedua orang itu berjalan mendekat sesosok tubuh yang terbaring tidak jauh dari tempat Judir membuang hajat. Sosok dengan rambut awut-awutan menutupi sebagian wajahnya. Mengenakan jeans yang hampir terbuka, melorot sampai lutut. Kakinya telanjang tanpa sandal atau sepatu. Memakai kaos warna putih kecoklatan. Entahlah, atau warna itu muncul karena posisinya yang terjeblos dalam parit. Pitoyo menyuluh, pria itu langsung merengkuh, membopong sosok itu keluar dari kubangan. “Masih hidup!” Pitoyo memerintahkan Judir menuang air mineral, lalu memercikkan pada wajah gadis itu. “Nger, Bangun!” bisik Pitoyo lirih. Tangannya terus menepuk pipi gadis itu. “Pantesan aku tadi sir-siran.” Judir mengusap belakang tengkuknya. Suara sesenggukan burung hantu menam
Saat ibunya tidak ada di rumah, Maziyah memutuskan untuk pergi. Dia tidak ingin berada di sekitar ibunya dengan kehidupan memprihatinkan serta dicemooh. Lebih baik pergi. Gadis itu cepat-cepat meraup semua pakaian miliknya ke dalam sebuah tas. Seketika itu dia juga mengambil semua perhiasan milik ibunya. Ijazah sekolahnya sudah dimasukkan ke dalam plastik lantas digulung di dasar tas. Keluar dari pintu kontrakan pengap di gang sempit itu, Maziyah memastikan keadaan aman. Dia juga tahu harus kemana setelah ini. Terminal. Konon katanya terminal terbesar itu beroperasi selama 24 jam. Dia tidak akan terlambat. Dengan langkah panjang, gadis 14 tahun itu berjalan menyusuri gang. Waktu Magrib menjadi suasana lumayan sunyi. Gerimis lagi-lagi mengguyur bumi. Seperti mendapatkan restu dari alam, Maziyah selamat sampai di terminal dan langsung mencari bus jurusan Yogyakarta. Kenapa Jogja, karena di sana Kota Pelajar. Tidak akan ada yang curiga jika dirinya tinggal di kosan tanpa pengawasan ora
"Karena saya seperti, orang Cina?"“Begitulah yang dipercaya masyarakat. Tapi, orang-orangnya seperti kamu. Ada juga orang kebanyakan, tetapi jumlahnya tidak banyak. "Orang percaya mistik tentu saja. Gunung Kawi dipercaya sebagai perpustakaan jagat babad misteri dan legenda maupun mitos,” lanjut pemilik warung tempat Wati berteduh.“Gitu, ya, Mbah?” ujar Wati sambil menggaruk-garuk badannya yang tiba-tiba gatal. Apakah hujan rimis ini membuat gatal?“Iya, Nak. Apalagi Gunung Kawi juga menjadi pilihan para sesepuh dunia mistik untuk peristirahatan terakhir mereka. Pun, masyarakat kini mengeramatkan makam-makam itu.”Wati semakin penasaran, “Kenapa begitu?”Mbah Utomo hanya tersenyum lalu menyeruput es teh sereh setengah manis. Obrolan semakin seru, bahkan Wati lupa kalau dirinya tersesat dan terpisah dari rombongan Mbah Trunojoyo yang lain. Suasana sungguh mencekam. Warung yang berada di laluan menuju ke atas gunung atau pertapaan itu memang terkesan angker. Asap dupa hio mengepul pe
Gunung Kawi, Tahun 1995Bukan tanpa alasan Wati mengajak Maziyah pindah ke daerah timur, Jawa bagian Timur. Agar dia bisa segera lepas dari kutukan. Menurut Lasmi, kutukan itu akan hilang jika putrinya remaja, tetapi saat yang ditunggu tak juga datang. Saat ini Maziyah sudah 14 tahun. Bahkan apa yang bisa dilakukan bocah itu semakin menakutkan. Bukan hanya sekadar melihat setan atau jin. Apa yang dilakukan Maziyah kepada Pak Kost adalah pembunuh berencana dengan bantuan kekuatan gaib. Dia harus menguatkan tekadnya. "Apakah masih lama?" tanyanya kepada May."Kon meneng. Jangan banyak tanya.""Aku penat," ujar Wati lirih. Tidak ingin keluh kesahnya disalah artikan. Dia memiliki tekad baja. Lihat saja. "Sudah hampir sampai. Fokus, jangan melamun. Kalau melamun pikiranmu bisa dikacau setan. Ngerti!""Yo!""Ya, Yo! Tapi sampai ngimpi manggil nama suami iblismu. Kok, iso. Nggak bahaya ta?""Maaf.""Kalau maaf bisa membuat urusan kelar, penjara kosong. Dukun nggak punya kerja sepi job untu
Seorang pria duduk meringkuk di teras sebuah rumah bercat putih. Hanya rokok kretek dengan ujung menyala yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Itu pun hampir tak pernah diisapnya. Sampai datangnya seorang pemuda dengan sebuah motor. "Rumahnya, dukun Sarmi?""Ya," jawab pria itu."Oh, terima kasih. Boleh saya duduk?"Pria itu mengangguk. "Saya nunggu istri di dalam," ujarnya lirih hingga nyaris tak terdengar."Kepala bayi ada di atas," kata seorang gadis kecil dengan rok berwarna putih yang berkerut persis di bagian bokong itu tiba-tiba saja hadir membuat kedua lelaki itu terkejut."Oh, ya, Nong?" Pria itu berusaha menyembunyikan rokoknya. "Kenapa bayinya muter-muter, ya?""Ade bayi, ehmmm berenang.""Zi! Masuk rumah!""Iya, Nyai!" Gadis itu berlari ke dalam rumah dengan baskom berwarna putih dengan corak bunga mawar di bagian atasnya. Seperti biasa, dia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan air hangat.Maziyah nama gadis kecil dengan kuncir dua tersebut. Dia ingin menja
Saat tangan besar Singgih menariknya keluar dari ruangan karaoke, Wati seperti mengulang nostalgia masa lalu. Di mana pria itu menggandeng tangannya setelah insiden kuah asam pedas. Peristiwa yang menjadi awal perjumpaannya dengan Singgih. "Aduh, Mbak ini cendolnya kok ada semutnya?""Mohon maaf mbak, nanti kami ganti cendol yang baru." Sekalian yang ada kecoanya, batin Wati. Sambil memaksimalkan kinerja matanya. Sampai jereng juga itu semut tidak kelihatan. Beuh, bawel. "Oh, ya. Sekalian ini sambelnya ganti sambel terasi.""Oh, maaf Mbak menu ini paketnya hanya sambal bawang atau sambel tomat, kalau mau sambal terasi harus pesan lagi, bagaimana?""Dih, masa sih sambel doang minta ganti harus nambah pesanan lagi?"Kalo enggak mau pesen lagi, besok kalo ke sini bawa cobek, bawa terasi, nyambel sendiri! Itu, sih, lagi-lagi hanya dalam hati Wati. Restoran merupakan pekerjaan yang tidak ada dalam benaknya dari awal, Karena setelah putus sekolah SMEP—Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dia
Anyer tahun 1992.Pendar cahaya lampu yang samar-samar terlihat dari luar ruangan karaoke menandakan sebagian ruangan yang lain sedang digunakan. Beberapa perempuan muncul dari balik pintu itu. Mereka berpindah ke pintu lain ke tempat pengunjung yang baru datang.“Ang, kamu kamar nomor lima. Baik-baik, ya. Orang dari Jakarta itu.”Wati mengangguk. Perempuan muda itu berjalan melenggang menuju ruangan yang disebutkan Saipul—pengawas tempat karaoke itu. Wati yang saat ini mengenakan atasan berwarna hitam dengan aksen berkilau berjalan sambil sesekali menyapa beberapa temannya. Sedikit kesulitan dengan sepatu hak tinggi juga rok span kulit sintetis-nya. Sudah tiga tahun dia menjalani profesi sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Mereka memanggilnya, Purel. Namun, ada juga yang orang-orang yang memberi julukan sedikit modern yaitu lady escort.Tugas Wati bekerja menemani tamu-tamu karaoke. Menyuguhkan minuman, sampai menjadi teman ngobrol. Yah, memang ada yang hanya datang, memesan kama