Seorang pria duduk meringkuk di teras sebuah rumah bercat putih. Hanya rokok kretek dengan ujung menyala yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Itu pun hampir tak pernah diisapnya. Sampai datangnya seorang pemuda dengan sebuah motor.
"Rumahnya, dukun Sarmi?""Ya," jawab pria itu."Oh, terima kasih. Boleh saya duduk?"Pria itu mengangguk. "Saya nunggu istri di dalam," ujarnya lirih hingga nyaris tak terdengar."Kepala bayi ada di atas," kata seorang gadis kecil dengan rok berwarna putih yang berkerut persis di bagian bokong itu tiba-tiba saja hadir membuat kedua lelaki itu terkejut."Oh, ya, Nong?" Pria itu berusaha menyembunyikan rokoknya. "Kenapa bayinya muter-muter, ya?""Ade bayi, ehmmm berenang.""Zi! Masuk rumah!""Iya, Nyai!" Gadis itu berlari ke dalam rumah dengan baskom berwarna putih dengan corak bunga mawar di bagian atasnya. Seperti biasa, dia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan air hangat.Maziyah nama gadis kecil dengan kuncir dua tersebut. Dia ingin menjadi generasi dukun beranak berikutnya. Ilmu yang hanya diturunkan lewat lisan dan melihat persalinan secara langsung. Saat ibunya tidak ada, adalah saatnya dia belajar. Ibunya yang hanya pulang sebulan sekali. Tak ada warga kampung yang tak mengenal pemilik rumah di ujung jalan kelurahan tersebut. Penduduk di kawasan yang berjarak hanya sekitar sepuluh kilometer dari pusat pemerintahan Kota Serang, Provinsi Banten, tersebut memanggilnya dengan sebutan dukun Sarmi.Sore itu, istri Ahmad jadi salah satu 'pasien' yang dilayani dukun beranak. Ahmad menuturkan istrinya sedang berjuang untuk melahirkan anak kedua. "Anak pertama juga lahir di dukun Sarmi," katanya. "Soalnya, rumah saya tidak jauh dari sini. "Sayangnya, karena sedang repot, kami tak bisa berjumpa dukun Sarmi.""Dukun Sarminya ke mana?""Ke Lebak. Tidak tahu kapan pulangnya. Istri sudah terasa mau lahiran.""Siapa yang bantu lahiran?""Pembantunya. Dukun Lasmi."Pemuda yang duduk di ujung balai-balai mengangguk. Dia tidak datang untuk mengantar persalinan. Dia ingin kakinya dipijat karena keseleo saat tanding sepak bola di pabrik."Dukun Lasmi apakah sakti seperti gurunya, ya? Saya, nggak tahan," ringisnya."Ada dukun satu lagi. Dukun Sarmi bukan satu-satunya juru bantu persalinan di tempat itu. Maksudnya, tukang pijat yang mumpuni. Hanya berjarak kurang dari satu kilometer, masnya bisa menemui dukun Siti Halimah. "Orang-orang di kampung itu lebih mengenalnya dengan sebutan dukun Siti. Bukan hanya di kampungnya, nama dukun Siti kondang sampai kampung sebelah." Ahmad menuturkan apa yang dia tahu."Saya nggak kuat. Di sini saja."Pintu rumah terbuka. Dukun Lasmi keluar menyambut kedatangan tamunya dengan ramah. Tangan halusnya menggenggam kuat saat menjabat tangan."Jika berniat berobat di sini, harus yakin," tuturnya. "Saya baru delapan tahun membantu melahirkan. Kalau pijat sudah lebih dari dua puluh lima tahun."Ia mencoba bercerita tentang pekerjaan yang dijalaninya dengan bahasa gado-gado, bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. "Saya belajar dari Nyai Sarmi," katanya. "Dulu kan tidak ada puskesmas. Jadi belajarnya ikut beliau bantu-bantu orang melahirkan. Bocah wadon tadi adalah bayi yang pertama kali saya bantu kelahirannya. Bayi sungsang juga." Ahmad menunduk. Dia bukan tidak yakin. Hanya khawatir keadaan istrinya. Bayi sungsang adalah momok bagi siapapun."Kamu mau saya pijat dahulu? Mari masuk kalau begitu.""Bayi saya?" tanya Ahmad. "Sedang diputar. Bayinya biar mapan."Ahmad mengangguk sekali lagi. Dia akhirnya melepas satu-satunya teman berbincangnya. "Pekerjaan dukun bayi itu pekerjaan turun-temurun. Saya pelajari dan diwariskan keluarga Nyai Sarmi karena beliau tidak ada anak, jadi diwariskan kepada saya. Ibunya, bernama Sarimah, juga kesohor sebagai salah seorang dukun bayi di kampung itu. Begitu juga dengan neneknya. Saya tidak pernah sekolah. Jadi, saya, Nyai Sarmi, Ibu, dan Nenek tidak punya pekerjaan lain," kata dukun Lasmi. Seorang gadis kecil dengan langkah tertatih membawa handuk kecil. Gadis itu saat ini tengah menjadi seorang asisten dukun beranak. "Kamu siapkan baskom dan air panasnya?""Sudah, Nyai.""Air hangatnya?""Sudah, Nyai.""Bagus. Sekarang kamu keluar. Tunggu sampai aku panggil.""Kepala bayinya di atas, Nyai?""Aku tahu. Aku sedang mengusahakan agar kepalanya berada di pintu menuju jalan lahir.""Sibyan mondar-mandir di sekitar rumah, Nyai.""Biar saja. Itu pekerjaan."Bagi Maziyah didatangi sosok perempuan yang ganas dengan wajah yang paling menakutkan di muka bumi ini sudah biasa. Perempuan itu mengincar rumah tempat dukun bayi.Perempuan tua ini memiliki taring panjang dengan rambut menjuntai ke tanah dan berserakan. Sangat memamerkan kengerian dan keganasan sosok ini.Dukun bayi itu tahu perempuan yang saat ini menjadi pasiennya mengandung bayi sungsang. Tentu saja Sibyan si jin perempuan yang memiliki hasrat merusak rahim perempuan hamil dengan sangat bersuka cita. Sebenarnya sebulan lalu saat perempuan itu memeriksakan diri keadaan bayinya masih baik-baik saja. Entah kenapa saat ini posisi bayi menjadi sungsang."Diam! Diam!" Maziyah menutup kedua telinganya. Apa yang dilakukannya membuat perempuan yang tengah mengerang kesakitan itu menggigil pun dengan pemuda yang kakinya keseleo. "Zi!"Bayi itu ketakutan," kata si gadis kecil. "Dia berusaha berenang jauh.""Zi!"Lasmi sedikit mendelik. Meskipun dia tahu apa yang dikatakan oleh Maziyah pasti benar. Gadis kecil itu begitu sakti."Sudah kamu keluar sana!" herdik si dukun bayi melengking. "Aku mau pijat Mas yang kakinya sakit ini."Maziyah memindai tubuh laki-laki berusia awal dua puluhan itu. "Kenapa, El?""Nggak apa-apa."Gadis kecil itu cepat-cepat menutup pintu lantas duduk di beranda depan. Di sana dia melihat Ahmad masih dengan sebatang rokok yang dibiarkan menyala tanpa sedikitpun dihisap. Untung puntung rokok yang berwarna abu-abu itu jatuh lalu terbang dibawa angin di sore hari ini. "Bayinya cowok," ujarnya sambil meringis. "Apa aku bisa memberikan nama untuknya, Pak?""Ehmm, boleh. Saya juga belum punya nama. Memang benar bayinya cowok?"Maziyah mengangguk. "Namanya Maldini.""Pemain bola? Kasihan, masnya tadi sakit keseleo karena bermain bola.""Masnya nggak keseleo. Ada jin di jempol kakinya.""Huh?" Ahmad langsung mencampakkan rokoknya yang kini benar-benar telah habis. "Bagaimana kamu tahu, Nong?""Ya, tahu," jawab Maziyah cuek. "Nanti kalau sudah benar-benar gelap aku tunjukkan."Tatapannya beralih pada kebun kosong di depan rumah bercat putih. lantas menuju sudut teras. Maziyah mengerucutkan bibirnya ketika melihat perempuan tua dengan rambut panjang itu di sana. "Aku menyebar sebelum matahari tenggelam dan mencari mangsa. Siapa saja manusia yang keluyuran, khususnya para wanita yang punya anak-anak kecil maka mereka akan saya ambil,” tutur perempuan tua itu dengan suara serak. Dia selalu berkidung setiap sore hari. Berkidung keliling kampung.Maziyah memegang tangan Ahmad. Dia langsung menoleh kebingungan. Sayup-sayup telinganya mendengar sebuah kidung yang sungguh mengerikan. “Aku rusak rahimnya, aku makan anaknya, dan akan aku hancurkan keturunannya,” ujar Sibyan.Ketika Ahmad mencoba melepaskan tangan Maziyah, kidung itu hilang seperti dibawa angin. "I—itu tadi?""Sibyan. Jin perempuan yang suka makan bayi," bisik Maziyah.Ketika malam merangkak semakin gelap. Sekitar pukul delapan malam lelaki muda itu keluar dari pintu rumah. Dia masih berjalan tertatih menuju motornya. Tiba-tiba Maziyah meraih tangan Ahmad. "Lihat siapa yang mengikutinya."Ahmad tersentak kaget. Apa yang dilihatnya sungguh nyata. Sosok itu berusaha ngelendot di kaki pasien yang mengeluh kakinya sakit. Setiap dia berusaha menabrak kaki itu, tubuhnya yang serupa tengkorak itu terpental. Maziyah tertawa terbahak-bahak. Si tengkorak langsung menoleh. Ternyata kepala itu ada biji matanya lengkap. Dia mendelik ke arah Ahmad dan Elok. "Gusti!" Ahmad langsung saja memejamkan matanya. Tak lupa bibirnya berkomat-kamit membaca doa dari surat-surat pendek. Bersamaan dengan perginya motor si pemuda yang kakinya sakit, tiba-tiba berhenti satu motor lainnya. Kali ini seorang tukang ojek yang membawa seorang perempuan cantik yang langsung menarik tangan Maziyah begitu kakinya menapaki teras rumah bercat putih itu."Zi, ayo pulang.""Ada bayi sungsang, Ang!" "Ibu nggak peduli. Ayo pulang. Kita harus siap-siap.""Siap-siap apa, Ang."Wati berkacak pinggang. Kesal karena anaknya yang ikut-ikutan memanggilnya dengan nama Aang yang artinya kakak. Owek! Owek! Owek! Tepat pukul sembilan malam bayi laki-laki itu lahir. Demi mendengar suara bayi itu, Maziyah langsung menerobos pintu. "Wah, ganteng.""Suruh bapaknya tadi masuk, Zi.""Baik, Nyai."Maziyah kembali ke arah pintu. "Bapaknya Maldini sudah bisa masuk."Bukan hanya Ahmad yang ikut masuk, tetapi Wati juga. Perempuan itu langsung berbisik di telinga Lasmi.Dia berencana pergi. Lari jauh sebelum Singgih menemukannya. Pria itu berkali-kali menanyakan keberadaan putrinya. Tiga hari yang lalu, telah terjadi hal bodoh yang akan disesali seumur hidupnya jika apa yang tumpah dalam rahimnya nanti menjadi kecambah.Wati marah karena diperlakukan layaknya perempuan murahan. Namun, Singgih tidak peduli. Pria itu tetap menginginkan Wati malam itu. "Sebelum aku pergi, tolong pijat rahimku. Aku tidak mau hal buruk itu terulang.""Kamu—"Wati mengangguk sambil memandangi Maziyah yang asyik dengan bayi yang baru lahir itu. Gadis kecil itu begitu sumringah. Senyumnya gadis kecil itu begitu mirip dengan senyum, Maulana Singgih.Gunung Kawi, Tahun 1995Bukan tanpa alasan Wati mengajak Maziyah pindah ke daerah timur, Jawa bagian Timur. Agar dia bisa segera lepas dari kutukan. Menurut Lasmi, kutukan itu akan hilang jika putrinya remaja, tetapi saat yang ditunggu tak juga datang. Saat ini Maziyah sudah 14 tahun. Bahkan apa yang bisa dilakukan bocah itu semakin menakutkan. Bukan hanya sekadar melihat setan atau jin. Apa yang dilakukan Maziyah kepada Pak Kost adalah pembunuh berencana dengan bantuan kekuatan gaib. Dia harus menguatkan tekadnya. "Apakah masih lama?" tanyanya kepada May."Kon meneng. Jangan banyak tanya.""Aku penat," ujar Wati lirih. Tidak ingin keluh kesahnya disalah artikan. Dia memiliki tekad baja. Lihat saja. "Sudah hampir sampai. Fokus, jangan melamun. Kalau melamun pikiranmu bisa dikacau setan. Ngerti!""Yo!""Ya, Yo! Tapi sampai ngimpi manggil nama suami iblismu. Kok, iso. Nggak bahaya ta?""Maaf.""Kalau maaf bisa membuat urusan kelar, penjara kosong. Dukun nggak punya kerja sepi job untu
"Karena saya seperti, orang Cina?"“Begitulah yang dipercaya masyarakat. Tapi, orang-orangnya seperti kamu. Ada juga orang kebanyakan, tetapi jumlahnya tidak banyak. "Orang percaya mistik tentu saja. Gunung Kawi dipercaya sebagai perpustakaan jagat babad misteri dan legenda maupun mitos,” lanjut pemilik warung tempat Wati berteduh.“Gitu, ya, Mbah?” ujar Wati sambil menggaruk-garuk badannya yang tiba-tiba gatal. Apakah hujan rimis ini membuat gatal?“Iya, Nak. Apalagi Gunung Kawi juga menjadi pilihan para sesepuh dunia mistik untuk peristirahatan terakhir mereka. Pun, masyarakat kini mengeramatkan makam-makam itu.”Wati semakin penasaran, “Kenapa begitu?”Mbah Utomo hanya tersenyum lalu menyeruput es teh sereh setengah manis. Obrolan semakin seru, bahkan Wati lupa kalau dirinya tersesat dan terpisah dari rombongan Mbah Trunojoyo yang lain. Suasana sungguh mencekam. Warung yang berada di laluan menuju ke atas gunung atau pertapaan itu memang terkesan angker. Asap dupa hio mengepul pe
Saat ibunya tidak ada di rumah, Maziyah memutuskan untuk pergi. Dia tidak ingin berada di sekitar ibunya dengan kehidupan memprihatinkan serta dicemooh. Lebih baik pergi. Gadis itu cepat-cepat meraup semua pakaian miliknya ke dalam sebuah tas. Seketika itu dia juga mengambil semua perhiasan milik ibunya. Ijazah sekolahnya sudah dimasukkan ke dalam plastik lantas digulung di dasar tas. Keluar dari pintu kontrakan pengap di gang sempit itu, Maziyah memastikan keadaan aman. Dia juga tahu harus kemana setelah ini. Terminal. Konon katanya terminal terbesar itu beroperasi selama 24 jam. Dia tidak akan terlambat. Dengan langkah panjang, gadis 14 tahun itu berjalan menyusuri gang. Waktu Magrib menjadi suasana lumayan sunyi. Gerimis lagi-lagi mengguyur bumi. Seperti mendapatkan restu dari alam, Maziyah selamat sampai di terminal dan langsung mencari bus jurusan Yogyakarta. Kenapa Jogja, karena di sana Kota Pelajar. Tidak akan ada yang curiga jika dirinya tinggal di kosan tanpa pengawasan ora
Harusnya bulan sempurna menawan malam. Purnama kelima belas, benderang nya terbelenggu arakan awan yang mulai berkerumun mengaburkan pesonanya. Cahaya hanya ada setitik sinar dari celah-celah kabut, menerpa dedaunan di tepian Alas Gendingan. Kedua orang itu berjalan mendekat sesosok tubuh yang terbaring tidak jauh dari tempat Judir membuang hajat. Sosok dengan rambut awut-awutan menutupi sebagian wajahnya. Mengenakan jeans yang hampir terbuka, melorot sampai lutut. Kakinya telanjang tanpa sandal atau sepatu. Memakai kaos warna putih kecoklatan. Entahlah, atau warna itu muncul karena posisinya yang terjeblos dalam parit. Pitoyo menyuluh, pria itu langsung merengkuh, membopong sosok itu keluar dari kubangan. “Masih hidup!” Pitoyo memerintahkan Judir menuang air mineral, lalu memercikkan pada wajah gadis itu. “Nger, Bangun!” bisik Pitoyo lirih. Tangannya terus menepuk pipi gadis itu. “Pantesan aku tadi sir-siran.” Judir mengusap belakang tengkuknya. Suara sesenggukan burung hantu menam
Pukul lima truk berhenti. Pitoyo memandang wajah Maziyah dari samping. Matanya memerah. "Paklik baru ingat. Kamu itu mirip sekali sama almarhum Pipit. Waktu meninggal, dia juga seumuran kamu. Harusnya ia bisa sebesar kamu, Nduk!" gumamnya pelan. Tidak mau larut dalam kesedihan dan kepergok oleh gadis bernama Maziyah itu, Pitoyo membuka jendela truknya pelan. Ia juga menghela napas dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar perbukitan di Kaliaren. Ketika kembali menoleh, ia gagahkan diri menguncang bahu gadis itu lembut. “Bangun, Zi, sudah sampai!” Maziyah mengerjap, memandang sekelilingnya. Pintu truk sudah terbuka sedikit, Judir sambil menguap tersenyum lebar kepadanya. Dia melompat-lompat menghalau hawa dingin yang mencecap kulit. “Selamat datang di Desa Kaliaren yang permai. Ayo, turun, Zi!” Judir melambai. “Itu, Lik Pitoyo, mau ke mana?” Wajahnya mendongak mengikuti arah yang di tempuh pria paruh baya yang menolongnya tadi malam. Pria itu berjalan ke depan kemudian belok
Sementara itu, Wati hanya bisa melongo, menatap kosong pada dipan tempatnya berbagi tempat tidur dengan Maziyah. Kosong melompong hanya menyisakan bantal, guling serta selimut yang terlipat rapi.Bahkan gadis kecilnya membawa kabur uang tabungan yang akan digunakan untuk membayar kontrakan selama setahun. Wati membatin, dari siapa jiwa maling anaknya diturunkan.Dia membolak-balik apa yang mungkin tertinggal, tetapi semua raib. Perhiasan semua hilang. Bahkan segulung ijazah SMP Maziyah juga tidak ada. Sah, gadisnya memang telah merencanakan semuanya dari awal. Selama dia mencari obat ke Gunung Kawi. Wati masih ingat wajah pias Maziyah ketika dia mengutarakan niatnya akan pergi ke Malang. Dia ingat, wajah pias nan memelas itu, yang pada pikirannya, karena dia tidak mau ditinggal sendiri, tetapi kenyataan berbicara lain. Dia jarang membentak Maziyah, gadisnya yang begitu rapuh itu. Namun saat ini, rasanya Maziyah telah meletakan bara, persis di atas ubun-ubunnya.Atau, jangan-jangan,
Wati bergerak pelan, menahan napas ketika ia berhasil mengelabui Mbok Bariyah, perempuan paruh baya yang didaulat sebagai pengasuh sekaligus pembantunya. Perempuan tua itu kini terkapar karena obat tidur. Sebenarnya, Wati juga tak tega. Sosok tua itu terlampau baik. Bagaimanapun juga, meski baik, dia adalah suruhan Singgih. Wati harus berlaku tegas, agar hidupnya selamat.Dua bulan yang lalu, atau bisa dibilang ketika usia kandungannya enam bulan, Wati mengetahui sebuah rahasia. Rahasia yang seharusnya tidak ia dengar. Namun, itulah nasibnya, lewat skenario Tuhan. Perempuan itu akhirnya tahu juga, apa niat sebenarnya Singgih menikahinya.Singgih hanya menjadikannya tumbal.Wati sejak awal memang sangsi, bagaimana mungkin Singgih yang tampan, punya jabatan tinggi, setiap penampilan terlihat mahal, perlente, mengatakan minat pada dirinya yang hanya seorang pelayan restoran. Ia yang hanya seorang perempuan berparas biasa saja. Kecantikan orang kampung, meski Wati memang berkulit putih c
Surabaya, Maret tahun 1995.Wati tampak berjalan keluar dari kontrakan sebelum senja tiba. Suasana di luar begitu rapuh karena gerimis yang mengguyur kota itu sejak pukul tiga sore. Entah apa yang salah dengan salah satu kota terbesar kedua di Indonesia sekaligus terpanas itu. Hanya saja, Wati harus cepat. Dia telah berjanji untuk berjumpa dengan teman sesama pekerja panti pijat bernama, May. Perempuan itu tampak menggenggam secarik alamat di tangannya. Secebis kertas sigaret berwarna coklat mudah itu telah lusuh terkena keringat. Harusnya dia cukup menghafalkan lantas menyimpan kertas itu di dalam dompet warna coklat bergambar kalung gelang yang merupakan hadiah dari sebuah toko mas. "Sudah sampai, Mbak!" ujar sopir angguna. Angkutan umum berwarna kuning terang bernama, Angguna, kependekan dari Angkutan Serba Guna itu sedikit mengejutkan Wati. "Oh, ya." Wati menyerahkan uang tiga ratus rupiah kepada sopir itu. Dia berhenti di sebuah perkampungan pinggir kota. Wati harus mencari r
Sementara itu, Wati hanya bisa melongo, menatap kosong pada dipan tempatnya berbagi tempat tidur dengan Maziyah. Kosong melompong hanya menyisakan bantal, guling serta selimut yang terlipat rapi.Bahkan gadis kecilnya membawa kabur uang tabungan yang akan digunakan untuk membayar kontrakan selama setahun. Wati membatin, dari siapa jiwa maling anaknya diturunkan.Dia membolak-balik apa yang mungkin tertinggal, tetapi semua raib. Perhiasan semua hilang. Bahkan segulung ijazah SMP Maziyah juga tidak ada. Sah, gadisnya memang telah merencanakan semuanya dari awal. Selama dia mencari obat ke Gunung Kawi. Wati masih ingat wajah pias Maziyah ketika dia mengutarakan niatnya akan pergi ke Malang. Dia ingat, wajah pias nan memelas itu, yang pada pikirannya, karena dia tidak mau ditinggal sendiri, tetapi kenyataan berbicara lain. Dia jarang membentak Maziyah, gadisnya yang begitu rapuh itu. Namun saat ini, rasanya Maziyah telah meletakan bara, persis di atas ubun-ubunnya.Atau, jangan-jangan,
Pukul lima truk berhenti. Pitoyo memandang wajah Maziyah dari samping. Matanya memerah. "Paklik baru ingat. Kamu itu mirip sekali sama almarhum Pipit. Waktu meninggal, dia juga seumuran kamu. Harusnya ia bisa sebesar kamu, Nduk!" gumamnya pelan. Tidak mau larut dalam kesedihan dan kepergok oleh gadis bernama Maziyah itu, Pitoyo membuka jendela truknya pelan. Ia juga menghela napas dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar perbukitan di Kaliaren. Ketika kembali menoleh, ia gagahkan diri menguncang bahu gadis itu lembut. “Bangun, Zi, sudah sampai!” Maziyah mengerjap, memandang sekelilingnya. Pintu truk sudah terbuka sedikit, Judir sambil menguap tersenyum lebar kepadanya. Dia melompat-lompat menghalau hawa dingin yang mencecap kulit. “Selamat datang di Desa Kaliaren yang permai. Ayo, turun, Zi!” Judir melambai. “Itu, Lik Pitoyo, mau ke mana?” Wajahnya mendongak mengikuti arah yang di tempuh pria paruh baya yang menolongnya tadi malam. Pria itu berjalan ke depan kemudian belok
Harusnya bulan sempurna menawan malam. Purnama kelima belas, benderang nya terbelenggu arakan awan yang mulai berkerumun mengaburkan pesonanya. Cahaya hanya ada setitik sinar dari celah-celah kabut, menerpa dedaunan di tepian Alas Gendingan. Kedua orang itu berjalan mendekat sesosok tubuh yang terbaring tidak jauh dari tempat Judir membuang hajat. Sosok dengan rambut awut-awutan menutupi sebagian wajahnya. Mengenakan jeans yang hampir terbuka, melorot sampai lutut. Kakinya telanjang tanpa sandal atau sepatu. Memakai kaos warna putih kecoklatan. Entahlah, atau warna itu muncul karena posisinya yang terjeblos dalam parit. Pitoyo menyuluh, pria itu langsung merengkuh, membopong sosok itu keluar dari kubangan. “Masih hidup!” Pitoyo memerintahkan Judir menuang air mineral, lalu memercikkan pada wajah gadis itu. “Nger, Bangun!” bisik Pitoyo lirih. Tangannya terus menepuk pipi gadis itu. “Pantesan aku tadi sir-siran.” Judir mengusap belakang tengkuknya. Suara sesenggukan burung hantu menam
Saat ibunya tidak ada di rumah, Maziyah memutuskan untuk pergi. Dia tidak ingin berada di sekitar ibunya dengan kehidupan memprihatinkan serta dicemooh. Lebih baik pergi. Gadis itu cepat-cepat meraup semua pakaian miliknya ke dalam sebuah tas. Seketika itu dia juga mengambil semua perhiasan milik ibunya. Ijazah sekolahnya sudah dimasukkan ke dalam plastik lantas digulung di dasar tas. Keluar dari pintu kontrakan pengap di gang sempit itu, Maziyah memastikan keadaan aman. Dia juga tahu harus kemana setelah ini. Terminal. Konon katanya terminal terbesar itu beroperasi selama 24 jam. Dia tidak akan terlambat. Dengan langkah panjang, gadis 14 tahun itu berjalan menyusuri gang. Waktu Magrib menjadi suasana lumayan sunyi. Gerimis lagi-lagi mengguyur bumi. Seperti mendapatkan restu dari alam, Maziyah selamat sampai di terminal dan langsung mencari bus jurusan Yogyakarta. Kenapa Jogja, karena di sana Kota Pelajar. Tidak akan ada yang curiga jika dirinya tinggal di kosan tanpa pengawasan ora
"Karena saya seperti, orang Cina?"“Begitulah yang dipercaya masyarakat. Tapi, orang-orangnya seperti kamu. Ada juga orang kebanyakan, tetapi jumlahnya tidak banyak. "Orang percaya mistik tentu saja. Gunung Kawi dipercaya sebagai perpustakaan jagat babad misteri dan legenda maupun mitos,” lanjut pemilik warung tempat Wati berteduh.“Gitu, ya, Mbah?” ujar Wati sambil menggaruk-garuk badannya yang tiba-tiba gatal. Apakah hujan rimis ini membuat gatal?“Iya, Nak. Apalagi Gunung Kawi juga menjadi pilihan para sesepuh dunia mistik untuk peristirahatan terakhir mereka. Pun, masyarakat kini mengeramatkan makam-makam itu.”Wati semakin penasaran, “Kenapa begitu?”Mbah Utomo hanya tersenyum lalu menyeruput es teh sereh setengah manis. Obrolan semakin seru, bahkan Wati lupa kalau dirinya tersesat dan terpisah dari rombongan Mbah Trunojoyo yang lain. Suasana sungguh mencekam. Warung yang berada di laluan menuju ke atas gunung atau pertapaan itu memang terkesan angker. Asap dupa hio mengepul pe
Gunung Kawi, Tahun 1995Bukan tanpa alasan Wati mengajak Maziyah pindah ke daerah timur, Jawa bagian Timur. Agar dia bisa segera lepas dari kutukan. Menurut Lasmi, kutukan itu akan hilang jika putrinya remaja, tetapi saat yang ditunggu tak juga datang. Saat ini Maziyah sudah 14 tahun. Bahkan apa yang bisa dilakukan bocah itu semakin menakutkan. Bukan hanya sekadar melihat setan atau jin. Apa yang dilakukan Maziyah kepada Pak Kost adalah pembunuh berencana dengan bantuan kekuatan gaib. Dia harus menguatkan tekadnya. "Apakah masih lama?" tanyanya kepada May."Kon meneng. Jangan banyak tanya.""Aku penat," ujar Wati lirih. Tidak ingin keluh kesahnya disalah artikan. Dia memiliki tekad baja. Lihat saja. "Sudah hampir sampai. Fokus, jangan melamun. Kalau melamun pikiranmu bisa dikacau setan. Ngerti!""Yo!""Ya, Yo! Tapi sampai ngimpi manggil nama suami iblismu. Kok, iso. Nggak bahaya ta?""Maaf.""Kalau maaf bisa membuat urusan kelar, penjara kosong. Dukun nggak punya kerja sepi job untu
Seorang pria duduk meringkuk di teras sebuah rumah bercat putih. Hanya rokok kretek dengan ujung menyala yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Itu pun hampir tak pernah diisapnya. Sampai datangnya seorang pemuda dengan sebuah motor. "Rumahnya, dukun Sarmi?""Ya," jawab pria itu."Oh, terima kasih. Boleh saya duduk?"Pria itu mengangguk. "Saya nunggu istri di dalam," ujarnya lirih hingga nyaris tak terdengar."Kepala bayi ada di atas," kata seorang gadis kecil dengan rok berwarna putih yang berkerut persis di bagian bokong itu tiba-tiba saja hadir membuat kedua lelaki itu terkejut."Oh, ya, Nong?" Pria itu berusaha menyembunyikan rokoknya. "Kenapa bayinya muter-muter, ya?""Ade bayi, ehmmm berenang.""Zi! Masuk rumah!""Iya, Nyai!" Gadis itu berlari ke dalam rumah dengan baskom berwarna putih dengan corak bunga mawar di bagian atasnya. Seperti biasa, dia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan air hangat.Maziyah nama gadis kecil dengan kuncir dua tersebut. Dia ingin menja
Saat tangan besar Singgih menariknya keluar dari ruangan karaoke, Wati seperti mengulang nostalgia masa lalu. Di mana pria itu menggandeng tangannya setelah insiden kuah asam pedas. Peristiwa yang menjadi awal perjumpaannya dengan Singgih. "Aduh, Mbak ini cendolnya kok ada semutnya?""Mohon maaf mbak, nanti kami ganti cendol yang baru." Sekalian yang ada kecoanya, batin Wati. Sambil memaksimalkan kinerja matanya. Sampai jereng juga itu semut tidak kelihatan. Beuh, bawel. "Oh, ya. Sekalian ini sambelnya ganti sambel terasi.""Oh, maaf Mbak menu ini paketnya hanya sambal bawang atau sambel tomat, kalau mau sambal terasi harus pesan lagi, bagaimana?""Dih, masa sih sambel doang minta ganti harus nambah pesanan lagi?"Kalo enggak mau pesen lagi, besok kalo ke sini bawa cobek, bawa terasi, nyambel sendiri! Itu, sih, lagi-lagi hanya dalam hati Wati. Restoran merupakan pekerjaan yang tidak ada dalam benaknya dari awal, Karena setelah putus sekolah SMEP—Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dia
Anyer tahun 1992.Pendar cahaya lampu yang samar-samar terlihat dari luar ruangan karaoke menandakan sebagian ruangan yang lain sedang digunakan. Beberapa perempuan muncul dari balik pintu itu. Mereka berpindah ke pintu lain ke tempat pengunjung yang baru datang.“Ang, kamu kamar nomor lima. Baik-baik, ya. Orang dari Jakarta itu.”Wati mengangguk. Perempuan muda itu berjalan melenggang menuju ruangan yang disebutkan Saipul—pengawas tempat karaoke itu. Wati yang saat ini mengenakan atasan berwarna hitam dengan aksen berkilau berjalan sambil sesekali menyapa beberapa temannya. Sedikit kesulitan dengan sepatu hak tinggi juga rok span kulit sintetis-nya. Sudah tiga tahun dia menjalani profesi sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Mereka memanggilnya, Purel. Namun, ada juga yang orang-orang yang memberi julukan sedikit modern yaitu lady escort.Tugas Wati bekerja menemani tamu-tamu karaoke. Menyuguhkan minuman, sampai menjadi teman ngobrol. Yah, memang ada yang hanya datang, memesan kama