Beranda / Romansa / Binti Raharjo / Bab 8-Alas Gendingan

Share

Bab 8-Alas Gendingan

Penulis: Wahyu Hakimah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Harusnya bulan sempurna menawan malam. Purnama kelima belas, benderang nya terbelenggu arakan awan yang mulai berkerumun mengaburkan pesonanya. Cahaya hanya ada setitik sinar dari celah-celah kabut, menerpa dedaunan di tepian Alas Gendingan. 

Kedua orang itu berjalan mendekat sesosok tubuh yang terbaring tidak jauh dari tempat Judir membuang hajat. Sosok dengan rambut awut-awutan menutupi sebagian wajahnya. Mengenakan jeans yang hampir terbuka, melorot sampai lutut. Kakinya telanjang tanpa sandal atau sepatu. Memakai kaos warna putih kecoklatan. Entahlah, atau warna itu muncul karena posisinya yang terjeblos dalam parit. Pitoyo menyuluh, pria itu langsung merengkuh, membopong sosok itu keluar dari kubangan. 

“Masih hidup!” Pitoyo memerintahkan Judir menuang air mineral, lalu memercikkan pada wajah gadis itu. “Nger, Bangun!” bisik Pitoyo lirih. Tangannya terus menepuk pipi gadis itu. 

“Pantesan aku tadi sir-siran.” Judir mengusap belakang tengkuknya. Suara sesenggukan burung hantu menambah pilu seakan ia ikut jadi korban dalam kebengisan malam tanpa rembulan yang sunyi mencekam. “Sepertinya, korban perkosaan, Lik?!” 

“Stttt, dia mulai sadar!” 

“Di mana ini?” Gadis muda itu berupaya bangun, tetapi gagal. Ia memegangi kepalanya, matanya  mengerjap, memandang persekitaran yang gelap, “Di mana ini?” 

“Kamu aman, Nger! Sudah, ndak usah dipikir dulu, yang penting kamu selamet!” 

“Iya, kami orang baik, jangan takut!” Judir tersengih melihat gadis kecil itu sudah mampu menguasai diri, duduk sambil memijat keningnya. “Kamu diperkosa, ya?” 

“Husss! Njaluk ditempeleng kowe!” 

Pitoyo, pria setengah baya itu mendelik, memberikan ancaman pada Judir, karena kelepasan bicara. 

“Orang itu juga bilang, kalau dia orang baik, tapi dia mau memperkosa saya.” 

“Lha, kamu orang mana? Orang tuamu pasti sedih, bingung!” 

Gadis kecil itu menunduk. Dia memandang ke arah pahanya yang kini tertutup sarung. Jemarinya saling terkait. “Saya, yatim piatu.” 

Pitoyo sedikit mengernyit. Namun, rasa iba jelas tergambar di wajahnya. “Ya sudah. Nama kamu siapa? Terus, sekarang mau ke mana?” Pitoyo menengahi, mengalah melihat gadis kecil itu tampak masih diliputi kebingungan, terlihat murung. 

“Maziyah!” 

“Maziyah, kamu ndak bisa bahasa Jawa, ya?” 

Pitoyo memberi kode pada Judir untuk naik ke truk, di bak belakang. 

Gadis itu mengangguk lemah.”Bisa sedikit. Saya tinggal di Surabaya, empat bulan!” 

“Oh, kamu ikut, Lik, ya. Namaku Joko Pitoyo. Panggil saja, Lik Pitoyo. Itu yang mulutnya monyong terus, namanya Junaidi, tetapi lebih terkenal Judir, kernetku.” 

“Kita ... mau ke mana?” 

“Oh, ke rumah juraganku. Sukowati!” 

“Sukowati?” Gadis kecil itu memicingkan mata, ketika secara tak sengaja Judir menyuluhnya dengan senter. 

“Perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur! Mau ikut, apa mau di sini saja?” 

Gadis itu bingung. Menengok kanan dan kiri. Dia mungkin ada di pinggir hutan, terlalu banyak pohon, gelap. “Saya, ikut! Duit saya, hilang!” Ia kebingungan meraba saku celananya. 

“Sudah, Maziyah. Soal duit, bisa di cari, janji nyawamu masih selamat. Masih nempel di badan!” Pitoyo lantang berucap. “Kamu rapikan celanamu dulu, Nduk!” 

“Iya. Maziyah merapikan diri. Matanya tetap meliar. Ia mengedarkan pandangan lama pada sekitar semak di pinggir parit tempatnya tadi berkubang. “Tas ... tas saya?” 

“Itu, Judir yang bawa.” Pitoyo menunjuk ke arah bak belakang truk. “Ayo, nanti kita kesiangan!" 

Setelah naik ke atas truk, Pitoyo dengan gesit segera menggerakkan truk secara perlahan, memasukkan gigi setahap demi setahap, lalu mulai ke tengah jalan. Truk muatan kedelai itu terenjut-enjut menyusuri jalan  gelap memasuki alas, lalu mulai menambah kecepatannya. Pria itu tidak mau terlambat sampai tujuan, atau Sundusiyah akan mendiamkan beberapa hari. 

Sundusiyah, juragannya yang bawel, hanya kepadanya. Orang lain, para sopir dan kenek selalu dimanja, kecuali dirinya yang menjadi tempat menumpahkan keluh kesah, gerutuan, juga sumpah serapah. 

“Kalau mau tidur, tidur saja. Masih satu jam setengah lagi, baru sampai. 

“Lik, perut saya sakit!” 

“Lha, kenapa lagi? Kamu lapar? Ada roti bakar. Mau?” 

Gadis itu menggeleng pelan. “Kayak mau pipis, terus!” 

“Ya, tahan sebentar ya!” 

“Lik, kok amis, ya!” Maziyah mengulurkan jemarinya takut-takut. 

Pitoyo langsung mengerem mendadak. Untung tidak ada mobil atau motor di belakangnya. Jalanan sekitar Alas Gendingan yang  kondisi  tidak baik, banyak terdapat tikungan, tanpa penerangan yang memadai saat malam hari.  Berhati-hati saja banyak celaka, apalagi serampangan. Belum lagi terkadang ada yang usil. 

“Lho, darah ini!” Dia mencium tangan Maziyah. “Dapat dari mana? Apamu yang berdarah?” Pitoyo yang panik kembali menepikan truknya. 

“Tadi saya pipis nggak tahan, terus ya keluar, kebelet!” Maziyah kembali mengusap celana jeansnya. 

Lik Pitoyo melirik melirik spion. Satu tangannya menggenggam pergelangan tangan Maziyah, satu lagi gemetar di atas kemudi. Mesin truk tiba-tiba mati. Gelap menyerbu, kuduk keduanya meremang. 

Ada kabut di belakang truk, lalu cuping hidungnya bergerak, mengendus bau amis dan busuk yang memualkan. Seperti bau rendaman kain melebihi tiga hari. 

“Nger, kamu bisa ngaji. Doa sebisa kamu, ya!” bibir Pitoyo bergetar. Dia bahkan tak menatap Maziyah, karena pandangannya tersapu gelap. 

Truk yang mereka tumpangi bergoyang seakan diayun oleh bumi yang bergoncang. Kabut yang berputar seperti pusaran beliung, diiringi suara jeritan dan rintihan. Kilat menyambar-nyambar, membelah langit. Maziyah menggigil, tetapi yang membuatnya ketakutan adalah ada sosok dingin yang merayapi, lalu membelit tubuhnya, berbau langu, suara mendesis juga sebuah jilatan seakan es menombak nadi di lehernya. 

“Ya Qahhaar ... Ya Qahhaar ... Ya Qahhaar." Maziyah terus melafazkan zikir yang diajarkan Mbok Laksmi. Dia yakin sosok atau makhluk itu akan menjauh. Asma Allah yang keluar dari bibir gadis itu semakin lirih.  Tangannya memegangi lehernya yang sesak, hingga terbatuk. 

Bersamaan dengan suara Maziyah yang terbatuk, suara mesin truk kembali menyala diikuti lampu yang berada di langit-langit truk. 

“Kamu, ndak papa?” 

“Lik, nanti kalau ada masjid, kita mampir, ya.” 

Pitoyo mengangguk, dia gemetar ketika dari sudut bibir Maziyah ada kesan merah. 

“Kamu, ndak papa, Nger ... Ya Allah.” 

Pitoyo membaca ayat kursi lagi. Satu tangannya menepuk Maziyah. Gadis kecil itu, nyata. Bukan wewe atau bangsa lelembut penghuni alas. 

Perjalanan yang sempat tersendat karena kedatangan makhluk aneh  yang berselimut kabut tersebut akhirnya sampai juga di luar hutan. Ketika melihat masjid pertama, Pitoyo menghentikan truknya.

  

Maziyah berjalan dengan kikuk. Karena pangkal pahanya sudah basah. Seperti cairan panas yang keluar tak henti dari tempatnya biasa pipis. Dia meringis sambil menekan perutnya. 

Jam di masjid berdentang tiga kali, berarti waktu subuhan kurang dari satu jam. Masjid masih sepi tak berpenghuni. 

“Itu, masuk kamar mandi. Lihat apa yang terjadi!” Lik Pitoyo berpikir tidak mungkin darah hasil perkosaan sederas itu. Kecuali, Maziyah? “Kamu menstruasi mungkin, Nduk!” 

“Mens! Saya belum pernah, Lik!” Maziyah nampak bingung. 

“Sudah, masuk ke kamar mandi, sama ini bawa handuk kecilku, ini bersih, kalau darah itu keluar terus, pakai ini buat pembalut, ya! Kamu mungkin menstruasi, Nduk!” 

Maziah masuk tanpa di suruh lagi. 

“Akkkkkkk!” 

Darah, tapi begitu melihatnya keluar bukan berupa rembesan tapi berupa gumpalan sebesar kepalan tangan anak kecil membuat Maziyah menjerit. Pekat seperti agar-agar yang rusak kelebihan air. 

“Opo!?” Pitoyo terkejut. 

“Iya, Lik saya berdarah!” Ada suara tangis dari dalam kamar mandi. 

“Sudah… sudah! Aku ambil ganti celanamu, ya! Tadi di tasmu ada celana dan kemeja, itu kaosmu juga sudah kotor!” Pitoyo kembali ke arah truk. Mengambil pakaian, celana ganti untuk Maziyah. Hanya ada lima kaos, dan dua jins. Yang bagian bawah sudah basah kerena berada di tepi parit tadi. 

Sampai di kamar mandi masjid, Pitoyo memberikan pakaian dan celan ganti, setelah itu dia mencuci pakaian dan celana kotor gadis kecil itu. Di serambi masjid, dapat secara jelas mengamati perwujudan gadis kecil itu. Wajahnya bulat telur, dengan perawakan yang kurus, rambut sebahu. Matanya cekung, entah sudah berapa hari tidak tidur. Dia seperti familiar dengan wajah itu. Namun, setelah beberapa saat terus berusaha mengingat, Pitoyo menyerah. Ingatannya tak seberapa bagus. 

“Lik, terima kasih! Matur nuwun!” Sambil menunduk, menguis lantai serambi masjid dengan kaki telanjangnya. 

“Sudah, ndak apa-apa! Sepertinya kamu anak yang kuat ya, untung tidak pingsan, ada anak pingsan begitu melihat darah haid, berapa umurmu?” 

“Empat belas tahun,” ujar Maziyah yang kini mengusap betisnya dengan satu kaki, bergantian, sepertinya penat berdiri, lalu bersandar di pilar serambi masjid. “Nanti bulan September!” 

“Oh, berarti itu ngarap sari pertamamu, ya.” Lik Pitoyo tersenyum. “Itu, mens. Berarti kamu sudah akil baliq.” 

“Iya, Lik. Terima kasih.” 

“Sudahlah, sepertinya sudah manjing, sebentar lagi subuh, nanti orang-orang malah salah paham sama kita. Oh, ya pakai ini,” ujar Pitoyo menunduk menyodorkan sandal jepit. Sandal cepit itu nampak kebesaran. 

“Ayo kita pulang!” Pitoyo memasukkan kaos juga celana yang sudah di cuci ke dalam plastik. Maziyah mengikuti langkah tergesa menuju truk. 

Perjalanan kembali dimulai. Baik Pitoyo maupun Maziyah saling diam. Gadis kecil itu beberapa kali menoleh, ingin bertanya sesuatu, tetapi terpaksa menelan kembali pertanyaannya, takut mengganggu konsentrasi. Saat berada di terminal, beberapa kali terbaca sebuah stiker di kaca depan bis, ‘Dilarang keras  bicara dengan sopir’.  

Maziyah akur dengan itu. Lelah dan akhirnya matanya terkatup rapat.

Bab terkait

  • Binti Raharjo   Bab 9-Berjumpa Malaikat

    Pukul lima truk berhenti. Pitoyo memandang wajah Maziyah dari samping. Matanya memerah. "Paklik baru ingat. Kamu itu mirip sekali sama almarhum Pipit. Waktu meninggal, dia juga seumuran kamu. Harusnya ia bisa sebesar kamu, Nduk!" gumamnya pelan. Tidak mau larut dalam kesedihan dan kepergok oleh gadis bernama Maziyah itu, Pitoyo membuka jendela truknya pelan. Ia juga menghela napas dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar perbukitan di Kaliaren. Ketika kembali menoleh, ia gagahkan diri menguncang bahu gadis itu lembut. “Bangun, Zi, sudah sampai!” Maziyah mengerjap, memandang sekelilingnya. Pintu truk sudah terbuka sedikit, Judir sambil menguap tersenyum lebar kepadanya. Dia melompat-lompat menghalau hawa dingin yang mencecap kulit. “Selamat datang di Desa Kaliaren yang permai. Ayo, turun, Zi!” Judir melambai. “Itu, Lik Pitoyo, mau ke mana?” Wajahnya mendongak mengikuti arah yang di tempuh pria paruh baya yang menolongnya tadi malam. Pria itu berjalan ke depan kemudian belok

  • Binti Raharjo   Bab 10-Dukun Mbelgedes

    Sementara itu, Wati hanya bisa melongo, menatap kosong pada dipan tempatnya berbagi tempat tidur dengan Maziyah. Kosong melompong hanya menyisakan bantal, guling serta selimut yang terlipat rapi.Bahkan gadis kecilnya membawa kabur uang tabungan yang akan digunakan untuk membayar kontrakan selama setahun. Wati membatin, dari siapa jiwa maling anaknya diturunkan.Dia membolak-balik apa yang mungkin tertinggal, tetapi semua raib. Perhiasan semua hilang. Bahkan segulung ijazah SMP Maziyah juga tidak ada. Sah, gadisnya memang telah merencanakan semuanya dari awal. Selama dia mencari obat ke Gunung Kawi. Wati masih ingat wajah pias Maziyah ketika dia mengutarakan niatnya akan pergi ke Malang. Dia ingat, wajah pias nan memelas itu, yang pada pikirannya, karena dia tidak mau ditinggal sendiri, tetapi kenyataan berbicara lain. Dia jarang membentak Maziyah, gadisnya yang begitu rapuh itu. Namun saat ini, rasanya Maziyah telah meletakan bara, persis di atas ubun-ubunnya.Atau, jangan-jangan,

  • Binti Raharjo   Prolog

    Wati bergerak pelan, menahan napas ketika ia berhasil mengelabui Mbok Bariyah, perempuan paruh baya yang didaulat sebagai pengasuh sekaligus pembantunya. Perempuan tua itu kini terkapar karena obat tidur. Sebenarnya, Wati juga tak tega. Sosok tua itu terlampau baik. Bagaimanapun juga, meski baik, dia adalah suruhan Singgih. Wati harus berlaku tegas, agar hidupnya selamat.Dua bulan yang lalu, atau bisa dibilang ketika usia kandungannya enam bulan, Wati mengetahui sebuah rahasia. Rahasia yang seharusnya tidak ia dengar. Namun, itulah nasibnya, lewat skenario Tuhan. Perempuan itu akhirnya tahu juga, apa niat sebenarnya Singgih menikahinya.Singgih hanya menjadikannya tumbal.Wati sejak awal memang sangsi, bagaimana mungkin Singgih yang tampan, punya jabatan tinggi, setiap penampilan terlihat mahal, perlente, mengatakan minat pada dirinya yang hanya seorang pelayan restoran. Ia yang hanya seorang perempuan berparas biasa saja. Kecantikan orang kampung, meski Wati memang berkulit putih c

  • Binti Raharjo   Bab 1-Kutukan Itu

    Surabaya, Maret tahun 1995.Wati tampak berjalan keluar dari kontrakan sebelum senja tiba. Suasana di luar begitu rapuh karena gerimis yang mengguyur kota itu sejak pukul tiga sore. Entah apa yang salah dengan salah satu kota terbesar kedua di Indonesia sekaligus terpanas itu. Hanya saja, Wati harus cepat. Dia telah berjanji untuk berjumpa dengan teman sesama pekerja panti pijat bernama, May. Perempuan itu tampak menggenggam secarik alamat di tangannya. Secebis kertas sigaret berwarna coklat mudah itu telah lusuh terkena keringat. Harusnya dia cukup menghafalkan lantas menyimpan kertas itu di dalam dompet warna coklat bergambar kalung gelang yang merupakan hadiah dari sebuah toko mas. "Sudah sampai, Mbak!" ujar sopir angguna. Angkutan umum berwarna kuning terang bernama, Angguna, kependekan dari Angkutan Serba Guna itu sedikit mengejutkan Wati. "Oh, ya." Wati menyerahkan uang tiga ratus rupiah kepada sopir itu. Dia berhenti di sebuah perkampungan pinggir kota. Wati harus mencari r

  • Binti Raharjo   Bab 2-Berjumpa Singgih

    Anyer tahun 1992.Pendar cahaya lampu yang samar-samar terlihat dari luar ruangan karaoke menandakan sebagian ruangan yang lain sedang digunakan. Beberapa perempuan muncul dari balik pintu itu. Mereka berpindah ke pintu lain ke tempat pengunjung yang baru datang.“Ang, kamu kamar nomor lima. Baik-baik, ya. Orang dari Jakarta itu.”Wati mengangguk. Perempuan muda itu berjalan melenggang menuju ruangan yang disebutkan Saipul—pengawas tempat karaoke itu. Wati yang saat ini mengenakan atasan berwarna hitam dengan aksen berkilau berjalan sambil sesekali menyapa beberapa temannya. Sedikit kesulitan dengan sepatu hak tinggi juga rok span kulit sintetis-nya. Sudah tiga tahun dia menjalani profesi sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Mereka memanggilnya, Purel. Namun, ada juga yang orang-orang yang memberi julukan sedikit modern yaitu lady escort.Tugas Wati bekerja menemani tamu-tamu karaoke. Menyuguhkan minuman, sampai menjadi teman ngobrol. Yah, memang ada yang hanya datang, memesan kama

  • Binti Raharjo   Bab 3-Kuah Asam Pedas

    Saat tangan besar Singgih menariknya keluar dari ruangan karaoke, Wati seperti mengulang nostalgia masa lalu. Di mana pria itu menggandeng tangannya setelah insiden kuah asam pedas. Peristiwa yang menjadi awal perjumpaannya dengan Singgih. "Aduh, Mbak ini cendolnya kok ada semutnya?""Mohon maaf mbak, nanti kami ganti cendol yang baru." Sekalian yang ada kecoanya, batin Wati. Sambil memaksimalkan kinerja matanya. Sampai jereng juga itu semut tidak kelihatan. Beuh, bawel. "Oh, ya. Sekalian ini sambelnya ganti sambel terasi.""Oh, maaf Mbak menu ini paketnya hanya sambal bawang atau sambel tomat, kalau mau sambal terasi harus pesan lagi, bagaimana?""Dih, masa sih sambel doang minta ganti harus nambah pesanan lagi?"Kalo enggak mau pesen lagi, besok kalo ke sini bawa cobek, bawa terasi, nyambel sendiri! Itu, sih, lagi-lagi hanya dalam hati Wati. Restoran merupakan pekerjaan yang tidak ada dalam benaknya dari awal, Karena setelah putus sekolah SMEP—Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dia

  • Binti Raharjo   Bab 4-Dukun Pijat

    Seorang pria duduk meringkuk di teras sebuah rumah bercat putih. Hanya rokok kretek dengan ujung menyala yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Itu pun hampir tak pernah diisapnya. Sampai datangnya seorang pemuda dengan sebuah motor. "Rumahnya, dukun Sarmi?""Ya," jawab pria itu."Oh, terima kasih. Boleh saya duduk?"Pria itu mengangguk. "Saya nunggu istri di dalam," ujarnya lirih hingga nyaris tak terdengar."Kepala bayi ada di atas," kata seorang gadis kecil dengan rok berwarna putih yang berkerut persis di bagian bokong itu tiba-tiba saja hadir membuat kedua lelaki itu terkejut."Oh, ya, Nong?" Pria itu berusaha menyembunyikan rokoknya. "Kenapa bayinya muter-muter, ya?""Ade bayi, ehmmm berenang.""Zi! Masuk rumah!""Iya, Nyai!" Gadis itu berlari ke dalam rumah dengan baskom berwarna putih dengan corak bunga mawar di bagian atasnya. Seperti biasa, dia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan air hangat.Maziyah nama gadis kecil dengan kuncir dua tersebut. Dia ingin menja

  • Binti Raharjo   Bab 5-Mencari Obat

    Gunung Kawi, Tahun 1995Bukan tanpa alasan Wati mengajak Maziyah pindah ke daerah timur, Jawa bagian Timur. Agar dia bisa segera lepas dari kutukan. Menurut Lasmi, kutukan itu akan hilang jika putrinya remaja, tetapi saat yang ditunggu tak juga datang. Saat ini Maziyah sudah 14 tahun. Bahkan apa yang bisa dilakukan bocah itu semakin menakutkan. Bukan hanya sekadar melihat setan atau jin. Apa yang dilakukan Maziyah kepada Pak Kost adalah pembunuh berencana dengan bantuan kekuatan gaib. Dia harus menguatkan tekadnya. "Apakah masih lama?" tanyanya kepada May."Kon meneng. Jangan banyak tanya.""Aku penat," ujar Wati lirih. Tidak ingin keluh kesahnya disalah artikan. Dia memiliki tekad baja. Lihat saja. "Sudah hampir sampai. Fokus, jangan melamun. Kalau melamun pikiranmu bisa dikacau setan. Ngerti!""Yo!""Ya, Yo! Tapi sampai ngimpi manggil nama suami iblismu. Kok, iso. Nggak bahaya ta?""Maaf.""Kalau maaf bisa membuat urusan kelar, penjara kosong. Dukun nggak punya kerja sepi job untu

Bab terbaru

  • Binti Raharjo   Bab 10-Dukun Mbelgedes

    Sementara itu, Wati hanya bisa melongo, menatap kosong pada dipan tempatnya berbagi tempat tidur dengan Maziyah. Kosong melompong hanya menyisakan bantal, guling serta selimut yang terlipat rapi.Bahkan gadis kecilnya membawa kabur uang tabungan yang akan digunakan untuk membayar kontrakan selama setahun. Wati membatin, dari siapa jiwa maling anaknya diturunkan.Dia membolak-balik apa yang mungkin tertinggal, tetapi semua raib. Perhiasan semua hilang. Bahkan segulung ijazah SMP Maziyah juga tidak ada. Sah, gadisnya memang telah merencanakan semuanya dari awal. Selama dia mencari obat ke Gunung Kawi. Wati masih ingat wajah pias Maziyah ketika dia mengutarakan niatnya akan pergi ke Malang. Dia ingat, wajah pias nan memelas itu, yang pada pikirannya, karena dia tidak mau ditinggal sendiri, tetapi kenyataan berbicara lain. Dia jarang membentak Maziyah, gadisnya yang begitu rapuh itu. Namun saat ini, rasanya Maziyah telah meletakan bara, persis di atas ubun-ubunnya.Atau, jangan-jangan,

  • Binti Raharjo   Bab 9-Berjumpa Malaikat

    Pukul lima truk berhenti. Pitoyo memandang wajah Maziyah dari samping. Matanya memerah. "Paklik baru ingat. Kamu itu mirip sekali sama almarhum Pipit. Waktu meninggal, dia juga seumuran kamu. Harusnya ia bisa sebesar kamu, Nduk!" gumamnya pelan. Tidak mau larut dalam kesedihan dan kepergok oleh gadis bernama Maziyah itu, Pitoyo membuka jendela truknya pelan. Ia juga menghela napas dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar perbukitan di Kaliaren. Ketika kembali menoleh, ia gagahkan diri menguncang bahu gadis itu lembut. “Bangun, Zi, sudah sampai!” Maziyah mengerjap, memandang sekelilingnya. Pintu truk sudah terbuka sedikit, Judir sambil menguap tersenyum lebar kepadanya. Dia melompat-lompat menghalau hawa dingin yang mencecap kulit. “Selamat datang di Desa Kaliaren yang permai. Ayo, turun, Zi!” Judir melambai. “Itu, Lik Pitoyo, mau ke mana?” Wajahnya mendongak mengikuti arah yang di tempuh pria paruh baya yang menolongnya tadi malam. Pria itu berjalan ke depan kemudian belok

  • Binti Raharjo   Bab 8-Alas Gendingan

    Harusnya bulan sempurna menawan malam. Purnama kelima belas, benderang nya terbelenggu arakan awan yang mulai berkerumun mengaburkan pesonanya. Cahaya hanya ada setitik sinar dari celah-celah kabut, menerpa dedaunan di tepian Alas Gendingan. Kedua orang itu berjalan mendekat sesosok tubuh yang terbaring tidak jauh dari tempat Judir membuang hajat. Sosok dengan rambut awut-awutan menutupi sebagian wajahnya. Mengenakan jeans yang hampir terbuka, melorot sampai lutut. Kakinya telanjang tanpa sandal atau sepatu. Memakai kaos warna putih kecoklatan. Entahlah, atau warna itu muncul karena posisinya yang terjeblos dalam parit. Pitoyo menyuluh, pria itu langsung merengkuh, membopong sosok itu keluar dari kubangan. “Masih hidup!” Pitoyo memerintahkan Judir menuang air mineral, lalu memercikkan pada wajah gadis itu. “Nger, Bangun!” bisik Pitoyo lirih. Tangannya terus menepuk pipi gadis itu. “Pantesan aku tadi sir-siran.” Judir mengusap belakang tengkuknya. Suara sesenggukan burung hantu menam

  • Binti Raharjo   Bab 7-Minggat

    Saat ibunya tidak ada di rumah, Maziyah memutuskan untuk pergi. Dia tidak ingin berada di sekitar ibunya dengan kehidupan memprihatinkan serta dicemooh. Lebih baik pergi. Gadis itu cepat-cepat meraup semua pakaian miliknya ke dalam sebuah tas. Seketika itu dia juga mengambil semua perhiasan milik ibunya. Ijazah sekolahnya sudah dimasukkan ke dalam plastik lantas digulung di dasar tas. Keluar dari pintu kontrakan pengap di gang sempit itu, Maziyah memastikan keadaan aman. Dia juga tahu harus kemana setelah ini. Terminal. Konon katanya terminal terbesar itu beroperasi selama 24 jam. Dia tidak akan terlambat. Dengan langkah panjang, gadis 14 tahun itu berjalan menyusuri gang. Waktu Magrib menjadi suasana lumayan sunyi. Gerimis lagi-lagi mengguyur bumi. Seperti mendapatkan restu dari alam, Maziyah selamat sampai di terminal dan langsung mencari bus jurusan Yogyakarta. Kenapa Jogja, karena di sana Kota Pelajar. Tidak akan ada yang curiga jika dirinya tinggal di kosan tanpa pengawasan ora

  • Binti Raharjo   Bab 6-Bukan Mencari Pesugihan

    "Karena saya seperti, orang Cina?"“Begitulah yang dipercaya masyarakat. Tapi, orang-orangnya seperti kamu. Ada juga orang kebanyakan, tetapi jumlahnya tidak banyak. "Orang percaya mistik tentu saja. Gunung Kawi dipercaya sebagai perpustakaan jagat babad misteri dan legenda maupun mitos,” lanjut pemilik warung tempat Wati berteduh.“Gitu, ya, Mbah?” ujar Wati sambil menggaruk-garuk badannya yang tiba-tiba gatal. Apakah hujan rimis ini membuat gatal?“Iya, Nak. Apalagi Gunung Kawi juga menjadi pilihan para sesepuh dunia mistik untuk peristirahatan terakhir mereka. Pun, masyarakat kini mengeramatkan makam-makam itu.”Wati semakin penasaran, “Kenapa begitu?”Mbah Utomo hanya tersenyum lalu menyeruput es teh sereh setengah manis. Obrolan semakin seru, bahkan Wati lupa kalau dirinya tersesat dan terpisah dari rombongan Mbah Trunojoyo yang lain. Suasana sungguh mencekam. Warung yang berada di laluan menuju ke atas gunung atau pertapaan itu memang terkesan angker. Asap dupa hio mengepul pe

  • Binti Raharjo   Bab 5-Mencari Obat

    Gunung Kawi, Tahun 1995Bukan tanpa alasan Wati mengajak Maziyah pindah ke daerah timur, Jawa bagian Timur. Agar dia bisa segera lepas dari kutukan. Menurut Lasmi, kutukan itu akan hilang jika putrinya remaja, tetapi saat yang ditunggu tak juga datang. Saat ini Maziyah sudah 14 tahun. Bahkan apa yang bisa dilakukan bocah itu semakin menakutkan. Bukan hanya sekadar melihat setan atau jin. Apa yang dilakukan Maziyah kepada Pak Kost adalah pembunuh berencana dengan bantuan kekuatan gaib. Dia harus menguatkan tekadnya. "Apakah masih lama?" tanyanya kepada May."Kon meneng. Jangan banyak tanya.""Aku penat," ujar Wati lirih. Tidak ingin keluh kesahnya disalah artikan. Dia memiliki tekad baja. Lihat saja. "Sudah hampir sampai. Fokus, jangan melamun. Kalau melamun pikiranmu bisa dikacau setan. Ngerti!""Yo!""Ya, Yo! Tapi sampai ngimpi manggil nama suami iblismu. Kok, iso. Nggak bahaya ta?""Maaf.""Kalau maaf bisa membuat urusan kelar, penjara kosong. Dukun nggak punya kerja sepi job untu

  • Binti Raharjo   Bab 4-Dukun Pijat

    Seorang pria duduk meringkuk di teras sebuah rumah bercat putih. Hanya rokok kretek dengan ujung menyala yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Itu pun hampir tak pernah diisapnya. Sampai datangnya seorang pemuda dengan sebuah motor. "Rumahnya, dukun Sarmi?""Ya," jawab pria itu."Oh, terima kasih. Boleh saya duduk?"Pria itu mengangguk. "Saya nunggu istri di dalam," ujarnya lirih hingga nyaris tak terdengar."Kepala bayi ada di atas," kata seorang gadis kecil dengan rok berwarna putih yang berkerut persis di bagian bokong itu tiba-tiba saja hadir membuat kedua lelaki itu terkejut."Oh, ya, Nong?" Pria itu berusaha menyembunyikan rokoknya. "Kenapa bayinya muter-muter, ya?""Ade bayi, ehmmm berenang.""Zi! Masuk rumah!""Iya, Nyai!" Gadis itu berlari ke dalam rumah dengan baskom berwarna putih dengan corak bunga mawar di bagian atasnya. Seperti biasa, dia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan air hangat.Maziyah nama gadis kecil dengan kuncir dua tersebut. Dia ingin menja

  • Binti Raharjo   Bab 3-Kuah Asam Pedas

    Saat tangan besar Singgih menariknya keluar dari ruangan karaoke, Wati seperti mengulang nostalgia masa lalu. Di mana pria itu menggandeng tangannya setelah insiden kuah asam pedas. Peristiwa yang menjadi awal perjumpaannya dengan Singgih. "Aduh, Mbak ini cendolnya kok ada semutnya?""Mohon maaf mbak, nanti kami ganti cendol yang baru." Sekalian yang ada kecoanya, batin Wati. Sambil memaksimalkan kinerja matanya. Sampai jereng juga itu semut tidak kelihatan. Beuh, bawel. "Oh, ya. Sekalian ini sambelnya ganti sambel terasi.""Oh, maaf Mbak menu ini paketnya hanya sambal bawang atau sambel tomat, kalau mau sambal terasi harus pesan lagi, bagaimana?""Dih, masa sih sambel doang minta ganti harus nambah pesanan lagi?"Kalo enggak mau pesen lagi, besok kalo ke sini bawa cobek, bawa terasi, nyambel sendiri! Itu, sih, lagi-lagi hanya dalam hati Wati. Restoran merupakan pekerjaan yang tidak ada dalam benaknya dari awal, Karena setelah putus sekolah SMEP—Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dia

  • Binti Raharjo   Bab 2-Berjumpa Singgih

    Anyer tahun 1992.Pendar cahaya lampu yang samar-samar terlihat dari luar ruangan karaoke menandakan sebagian ruangan yang lain sedang digunakan. Beberapa perempuan muncul dari balik pintu itu. Mereka berpindah ke pintu lain ke tempat pengunjung yang baru datang.“Ang, kamu kamar nomor lima. Baik-baik, ya. Orang dari Jakarta itu.”Wati mengangguk. Perempuan muda itu berjalan melenggang menuju ruangan yang disebutkan Saipul—pengawas tempat karaoke itu. Wati yang saat ini mengenakan atasan berwarna hitam dengan aksen berkilau berjalan sambil sesekali menyapa beberapa temannya. Sedikit kesulitan dengan sepatu hak tinggi juga rok span kulit sintetis-nya. Sudah tiga tahun dia menjalani profesi sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Mereka memanggilnya, Purel. Namun, ada juga yang orang-orang yang memberi julukan sedikit modern yaitu lady escort.Tugas Wati bekerja menemani tamu-tamu karaoke. Menyuguhkan minuman, sampai menjadi teman ngobrol. Yah, memang ada yang hanya datang, memesan kama

DMCA.com Protection Status