Home / Romansa / Binti Raharjo / Bab 1-Kutukan Itu

Share

Bab 1-Kutukan Itu

Author: Wahyu Hakimah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Surabaya, Maret  tahun 1995.

Wati tampak berjalan keluar dari kontrakan sebelum senja tiba. Suasana di luar begitu rapuh karena gerimis yang mengguyur kota itu sejak pukul tiga sore. Entah apa yang salah dengan salah satu kota terbesar kedua di Indonesia sekaligus terpanas itu. Hanya saja, Wati harus cepat. Dia telah berjanji untuk berjumpa dengan teman sesama pekerja panti pijat bernama, May. 

Perempuan itu tampak menggenggam secarik alamat di tangannya. Secebis kertas sigaret berwarna coklat mudah itu telah lusuh terkena keringat. Harusnya dia cukup menghafalkan lantas menyimpan kertas itu di dalam dompet warna coklat bergambar kalung gelang yang merupakan hadiah dari sebuah toko mas. 

"Sudah sampai, Mbak!" ujar sopir angguna. Angkutan umum berwarna kuning terang bernama, Angguna, kependekan dari Angkutan Serba Guna itu sedikit mengejutkan Wati. 

"Oh, ya." Wati menyerahkan uang tiga ratus rupiah kepada sopir itu. 

Dia berhenti di sebuah perkampungan pinggir kota. Wati harus mencari rumah di kawasan perkampungan di Jalan Kalianak. Perempuan itu cepat-cepat berteduh di bawah gapura masuk yang memiliki atap. Padahal tadi terang benderang. Wati mengusap sisa air yang membasahi tangannya. Sedikit menggigil bukan saja karena hujan dan tiupan angin sore yang lumayan keras, tetapi sesuatu yang ngeri telah terjadi di tempat ini. Apa yang dia tahu, daerah ini baru saja masuk koran. 

Sebuah rumah yang diduga sebagai tempat aborsi digerebek Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Krembangan Surabaya. Dalam penggerebekan itu polisi menangkap seorang dukun. Polisi menyita barang bukti ramuan minyak untuk memijat dan dua lembar kain jarik. Ada seorang pasien melakukan aborsi dan mati di dalam kamar sang dukun. 

Kawasan ini memang terkenal dengan hawa mistis. Mungkin karena masuk kawasan 'orang pintar'. 

Wati melempar pandangan ke arah jalan masuk yang terlihat lengang. Ada suara anjing kampung yang semakin membuatnya bergidik. Bukan seperti suara anjing biasa, tetapi lebih mirip lolongan serigala. 

"Ah, kan, baru setengah enam," gerutunya. 

Wati akhirnya menyusuri jalan yang lebih kecil itu. Sayangnya jalan itu tidak dilewati trayek angguna jadi suasananya lumayan mencekam. Sekitar lima belas menit, dia pun tiba di sebuah rumah besar yang terlihat tua di tengah perkampungan ketika hari telah hampir padam. Penjaga pintu kemudian membawanya ke sebuah beranda di mana Mey sudah ada di sana.

"May," panggilnya. 

"Koen sudah datang rupanya. Cepat kesini. Lungguh!"

"Kenapa menyuruhku datang saat Magrib?" Wati langsung duduk di samping May.

"Bukan aku yang menyuruhmu, tapi Mbah Trunojoyo." May atau Maesaroh kembali duduk seperti sinden dengan kaki menekuk ke belakang. "Koen bawa apa yang diminta? Segala tetek bengek e?"

"Ya." 

Wati membawa barang-barang yang dibutuhkan. Sepotong mori seukuran sapu tangan, kuku, rambut, dan sedikit darah. Dia mencubit jari anaknya dengan pemotongan kuku saat memotong kuku dan cepat-cepat mengusapnya dengan kain mori. 

"Sampai kapan kita akan duduk seperti ini?"

"Koen tahu apa artinya ngalap berkah. Ya, lama prosesnya. Lungguh yang benar," herdik May. "Lagi pula awak e dewe nanti akan ndek Malang."

"Jadi bukan di sini?"

"Bukan, oon! Nanti kita ke Gunung Kawi di Malang. Kon ndak pamit sama, El?"

Wati sedikit mendecih. Dia tidak tahu, untuk itulah dia bertanya. Kedatangannya ke tempat yang membuat bergidik ini karena menurut perempuan yang kalau berbicara seperti itu orang marah-marah itu pria bernama Mbah Trunojoyo terkenal dengan ilmunya yang linuwih. Menurut May, laki-laki itu bisa mengusir makhluk halus yang menyatu dalam jiwa putinya. 

Dia ke tempat ini untuk mencari obat. Obat untuk Maziyah.

Mungkin putrinya dititipi pusaka oleh jin khodam. Jin peliharaan keluarga Singgih.Tidak pasti bentuk pusakanya. Bisa saja berbentuk cincin, keris, tombak, kalung, dan semua benda itu tidak sembarang orang mampu melihatnya. 

Dahulu Wati tidak percaya semua hal ghaib itu. Mana mungkin ada sebilah keris dalam tubuh anaknya. Dia terkadang lupa, anak siapa Maziyah itu. 

Sampai beberapa kejadian aneh muncul, dan puncaknya beberapa hari yang lalu, saat Wati telat membayar uang kontrakan, sang induk semang mengumpatnya dengan kata-kata kasar. Kenapa dia yang sudah jualan apem masih saja kekurangan duit untuk melunasi kontrakan. 

Jualan apem? 

Dia tidak semurah itu. Wati jual jasa pijat refleksi. Jika, dia mau, Singgih bahkan memintanya untuk tinggal. Sialan sekali, si ibu kost yang membuatnya mengingat Maulana. 

Wati menghela napas panjang. Memang nasibnya harus seperti ini. 

Dia anak sulung, jadi Wati harus berbagi dengan keluarganya. Biaya berobat bapaknya yang lagi-lagi didera sakit. 

Pernah Wati bercerita panjang lebar soal kesusahannya. Dia anggap, anaknya sudah cukup umur. Jadi, berkeluh-kesah lah perempuan 32 tahun itu. "Apa ibumu ini jual diri saja, ya, Nok?"

"Jual diri? Seperti perempuan di Gang Doli?" Elok menggelengkan kepala kuat-kuat. Gang Dolly yang terkenal sebagai tempat lokalisasi pelacuran. "Siapa yang membuat Aang berpikir seperti itu? Ibu kost?"

Wati enggan menjawab. Bisa runyam masalahnya. Maziyah itu seorang anak yang sensitif. Sensitif dan peka sekali. 

"Tidur, Zi, sudah malam."

"Kapan aku sekolah, Ang?"

"Nanti. Tahun ajaran baru," jawab Wati sedikit tidak yakin. "Tidurlah!" 

Mereka tidur di sebuah kontrakan yang lumayan layak. Kamar yang langsung berhampiran pintu. Ada jendela juga di bagian depan berhampiran pintu. Dapur bergandengan dengan kamar mandi. 

"Ang! Aku boleh main, ya?"

Dalam keadaan penat luar biasa dan mata yang sudah terpejam, Aang hanya mengangguk. Dia tidak sadar arti 'main' yang diucapkan putrinya. Sampai seminggu kemudian ketika terdengar pengumuman di langgar dekat kontrakan. 

Pengumuman yang berisi berita lelayu bahwa suami induk semang kosan di lorong tempat mereka tinggal meninggal dunia. Hal paling menyedihkan, pria awal lima puluhan itu meninggal di lokalisasi. 

Anunya tidak bisa dicabut. Mati bersama ciblek penjaja cinta di Gang Doli. Itulah yang ia dengar. 

Wati bergetar seluruh tubuhnya demi mendengar cerita itu. Apalagi saat melihat Maziyah tersenyum simpul. Senyum iblis keturunan Maulana. 

"Kamu yang melakukannya?" Mata Wati mendelik. "Jawab, Ibuk!"

"Aduh! Aang, sakit!" Maziyah berusaha melepaskan cekalan tangan ibunya. Sebenarnya tidak terlalu keras gerakannya saat mengibaskan tangan, tetapi membuat tubuh Wati terpelanting ke belakang menabrak tembok dekat dapur yang hanya ditutup gorden bercorak burung bangau. 

"Apa yang kamu lakukan?"

"Aku nggak sengaja, Ang," lirih gadis kecilnya menunduk. Gadis itu meluru pada tubuh Wati yang terjengkang dan kepalanya membentur pinggiran meja kecil tempat kompor sumbu di dapur. 

"Aku nggak apa-apa. Maksudku, apa yang kamu lakukan sama Pak Kost!?"

"Ta—tapi, dahi Aang berdarah."

"Maziyah Agustin! Apa yang telah kamu buat?"

"Zi, hanya berniat menolong ibu kost. Kalau pak kost tidak mati dia akan menyiksa ibu kost di masa depan."

"Apa maksudmu?" Wati melotot garang. Dengan ujung dasternya, dia menyeka darah yang mengucur di dahi. 

Yah, dia memang pernah menyumpahi induk semangnya soal susahnya jadi janda. Namun, ketika melihat bagaimana perempuan itu meraung menangisi kepergian suaminya—yang terbukti cabul, serong dan tukang selingkuh. Itu sungguh sangat memilukan.

"Ciblek itu punya penyakit, Ang. Dia menularkan pada suaminya ibu kos. Ya, seperti itu, sih. Kalau sampai pak kos pulang ...."

"Apa?"

"Ibu kos bisa ketularan penyakit kelamin, dong."

"Jadi—memang kamu pelakunya? Ya Allah. Demitnya Mau ...!"

"Demitnya siapa, Ang?"

"Bukan siapa-siapa!"

"Mau ...!" Wati langsung membekap bibir Maziyah putrinya. 

"Tanganmu!" jerit seseorang yang ternyata May. "Koen, ngopo, ta? Histeris!"

"Aku ingat bapaknya, Zi."

Sampai detik ini pria itu tetap menerornya. Lewat mimpi juga orang suruhannya. Maziyah memang tidak bisa dijadikan tumbal lagi, tetapi lebih dari sebuah kutukan karena kelakuan pelik bocah itu begitu mengerikan. Wati semakin takut dengan kemampuan putrinya. 

Lima atau enam tahun silam adalah pertemuan pertamanya dengan Singgih. Yah, setelah pelarian panjangnya dia berjumpa dengan suaminya itu di sebuah klub malam di tepian Pantai Anyer, Banten. 

Apakah benar dia masih istri Singgih?

Related chapters

  • Binti Raharjo   Bab 2-Berjumpa Singgih

    Anyer tahun 1992.Pendar cahaya lampu yang samar-samar terlihat dari luar ruangan karaoke menandakan sebagian ruangan yang lain sedang digunakan. Beberapa perempuan muncul dari balik pintu itu. Mereka berpindah ke pintu lain ke tempat pengunjung yang baru datang.“Ang, kamu kamar nomor lima. Baik-baik, ya. Orang dari Jakarta itu.”Wati mengangguk. Perempuan muda itu berjalan melenggang menuju ruangan yang disebutkan Saipul—pengawas tempat karaoke itu. Wati yang saat ini mengenakan atasan berwarna hitam dengan aksen berkilau berjalan sambil sesekali menyapa beberapa temannya. Sedikit kesulitan dengan sepatu hak tinggi juga rok span kulit sintetis-nya. Sudah tiga tahun dia menjalani profesi sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Mereka memanggilnya, Purel. Namun, ada juga yang orang-orang yang memberi julukan sedikit modern yaitu lady escort.Tugas Wati bekerja menemani tamu-tamu karaoke. Menyuguhkan minuman, sampai menjadi teman ngobrol. Yah, memang ada yang hanya datang, memesan kama

  • Binti Raharjo   Bab 3-Kuah Asam Pedas

    Saat tangan besar Singgih menariknya keluar dari ruangan karaoke, Wati seperti mengulang nostalgia masa lalu. Di mana pria itu menggandeng tangannya setelah insiden kuah asam pedas. Peristiwa yang menjadi awal perjumpaannya dengan Singgih. "Aduh, Mbak ini cendolnya kok ada semutnya?""Mohon maaf mbak, nanti kami ganti cendol yang baru." Sekalian yang ada kecoanya, batin Wati. Sambil memaksimalkan kinerja matanya. Sampai jereng juga itu semut tidak kelihatan. Beuh, bawel. "Oh, ya. Sekalian ini sambelnya ganti sambel terasi.""Oh, maaf Mbak menu ini paketnya hanya sambal bawang atau sambel tomat, kalau mau sambal terasi harus pesan lagi, bagaimana?""Dih, masa sih sambel doang minta ganti harus nambah pesanan lagi?"Kalo enggak mau pesen lagi, besok kalo ke sini bawa cobek, bawa terasi, nyambel sendiri! Itu, sih, lagi-lagi hanya dalam hati Wati. Restoran merupakan pekerjaan yang tidak ada dalam benaknya dari awal, Karena setelah putus sekolah SMEP—Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dia

  • Binti Raharjo   Bab 4-Dukun Pijat

    Seorang pria duduk meringkuk di teras sebuah rumah bercat putih. Hanya rokok kretek dengan ujung menyala yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Itu pun hampir tak pernah diisapnya. Sampai datangnya seorang pemuda dengan sebuah motor. "Rumahnya, dukun Sarmi?""Ya," jawab pria itu."Oh, terima kasih. Boleh saya duduk?"Pria itu mengangguk. "Saya nunggu istri di dalam," ujarnya lirih hingga nyaris tak terdengar."Kepala bayi ada di atas," kata seorang gadis kecil dengan rok berwarna putih yang berkerut persis di bagian bokong itu tiba-tiba saja hadir membuat kedua lelaki itu terkejut."Oh, ya, Nong?" Pria itu berusaha menyembunyikan rokoknya. "Kenapa bayinya muter-muter, ya?""Ade bayi, ehmmm berenang.""Zi! Masuk rumah!""Iya, Nyai!" Gadis itu berlari ke dalam rumah dengan baskom berwarna putih dengan corak bunga mawar di bagian atasnya. Seperti biasa, dia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan air hangat.Maziyah nama gadis kecil dengan kuncir dua tersebut. Dia ingin menja

  • Binti Raharjo   Bab 5-Mencari Obat

    Gunung Kawi, Tahun 1995Bukan tanpa alasan Wati mengajak Maziyah pindah ke daerah timur, Jawa bagian Timur. Agar dia bisa segera lepas dari kutukan. Menurut Lasmi, kutukan itu akan hilang jika putrinya remaja, tetapi saat yang ditunggu tak juga datang. Saat ini Maziyah sudah 14 tahun. Bahkan apa yang bisa dilakukan bocah itu semakin menakutkan. Bukan hanya sekadar melihat setan atau jin. Apa yang dilakukan Maziyah kepada Pak Kost adalah pembunuh berencana dengan bantuan kekuatan gaib. Dia harus menguatkan tekadnya. "Apakah masih lama?" tanyanya kepada May."Kon meneng. Jangan banyak tanya.""Aku penat," ujar Wati lirih. Tidak ingin keluh kesahnya disalah artikan. Dia memiliki tekad baja. Lihat saja. "Sudah hampir sampai. Fokus, jangan melamun. Kalau melamun pikiranmu bisa dikacau setan. Ngerti!""Yo!""Ya, Yo! Tapi sampai ngimpi manggil nama suami iblismu. Kok, iso. Nggak bahaya ta?""Maaf.""Kalau maaf bisa membuat urusan kelar, penjara kosong. Dukun nggak punya kerja sepi job untu

  • Binti Raharjo   Bab 6-Bukan Mencari Pesugihan

    "Karena saya seperti, orang Cina?"“Begitulah yang dipercaya masyarakat. Tapi, orang-orangnya seperti kamu. Ada juga orang kebanyakan, tetapi jumlahnya tidak banyak. "Orang percaya mistik tentu saja. Gunung Kawi dipercaya sebagai perpustakaan jagat babad misteri dan legenda maupun mitos,” lanjut pemilik warung tempat Wati berteduh.“Gitu, ya, Mbah?” ujar Wati sambil menggaruk-garuk badannya yang tiba-tiba gatal. Apakah hujan rimis ini membuat gatal?“Iya, Nak. Apalagi Gunung Kawi juga menjadi pilihan para sesepuh dunia mistik untuk peristirahatan terakhir mereka. Pun, masyarakat kini mengeramatkan makam-makam itu.”Wati semakin penasaran, “Kenapa begitu?”Mbah Utomo hanya tersenyum lalu menyeruput es teh sereh setengah manis. Obrolan semakin seru, bahkan Wati lupa kalau dirinya tersesat dan terpisah dari rombongan Mbah Trunojoyo yang lain. Suasana sungguh mencekam. Warung yang berada di laluan menuju ke atas gunung atau pertapaan itu memang terkesan angker. Asap dupa hio mengepul pe

  • Binti Raharjo   Bab 7-Minggat

    Saat ibunya tidak ada di rumah, Maziyah memutuskan untuk pergi. Dia tidak ingin berada di sekitar ibunya dengan kehidupan memprihatinkan serta dicemooh. Lebih baik pergi. Gadis itu cepat-cepat meraup semua pakaian miliknya ke dalam sebuah tas. Seketika itu dia juga mengambil semua perhiasan milik ibunya. Ijazah sekolahnya sudah dimasukkan ke dalam plastik lantas digulung di dasar tas. Keluar dari pintu kontrakan pengap di gang sempit itu, Maziyah memastikan keadaan aman. Dia juga tahu harus kemana setelah ini. Terminal. Konon katanya terminal terbesar itu beroperasi selama 24 jam. Dia tidak akan terlambat. Dengan langkah panjang, gadis 14 tahun itu berjalan menyusuri gang. Waktu Magrib menjadi suasana lumayan sunyi. Gerimis lagi-lagi mengguyur bumi. Seperti mendapatkan restu dari alam, Maziyah selamat sampai di terminal dan langsung mencari bus jurusan Yogyakarta. Kenapa Jogja, karena di sana Kota Pelajar. Tidak akan ada yang curiga jika dirinya tinggal di kosan tanpa pengawasan ora

  • Binti Raharjo   Bab 8-Alas Gendingan

    Harusnya bulan sempurna menawan malam. Purnama kelima belas, benderang nya terbelenggu arakan awan yang mulai berkerumun mengaburkan pesonanya. Cahaya hanya ada setitik sinar dari celah-celah kabut, menerpa dedaunan di tepian Alas Gendingan. Kedua orang itu berjalan mendekat sesosok tubuh yang terbaring tidak jauh dari tempat Judir membuang hajat. Sosok dengan rambut awut-awutan menutupi sebagian wajahnya. Mengenakan jeans yang hampir terbuka, melorot sampai lutut. Kakinya telanjang tanpa sandal atau sepatu. Memakai kaos warna putih kecoklatan. Entahlah, atau warna itu muncul karena posisinya yang terjeblos dalam parit. Pitoyo menyuluh, pria itu langsung merengkuh, membopong sosok itu keluar dari kubangan. “Masih hidup!” Pitoyo memerintahkan Judir menuang air mineral, lalu memercikkan pada wajah gadis itu. “Nger, Bangun!” bisik Pitoyo lirih. Tangannya terus menepuk pipi gadis itu. “Pantesan aku tadi sir-siran.” Judir mengusap belakang tengkuknya. Suara sesenggukan burung hantu menam

  • Binti Raharjo   Bab 9-Berjumpa Malaikat

    Pukul lima truk berhenti. Pitoyo memandang wajah Maziyah dari samping. Matanya memerah. "Paklik baru ingat. Kamu itu mirip sekali sama almarhum Pipit. Waktu meninggal, dia juga seumuran kamu. Harusnya ia bisa sebesar kamu, Nduk!" gumamnya pelan. Tidak mau larut dalam kesedihan dan kepergok oleh gadis bernama Maziyah itu, Pitoyo membuka jendela truknya pelan. Ia juga menghela napas dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar perbukitan di Kaliaren. Ketika kembali menoleh, ia gagahkan diri menguncang bahu gadis itu lembut. “Bangun, Zi, sudah sampai!” Maziyah mengerjap, memandang sekelilingnya. Pintu truk sudah terbuka sedikit, Judir sambil menguap tersenyum lebar kepadanya. Dia melompat-lompat menghalau hawa dingin yang mencecap kulit. “Selamat datang di Desa Kaliaren yang permai. Ayo, turun, Zi!” Judir melambai. “Itu, Lik Pitoyo, mau ke mana?” Wajahnya mendongak mengikuti arah yang di tempuh pria paruh baya yang menolongnya tadi malam. Pria itu berjalan ke depan kemudian belok

Latest chapter

  • Binti Raharjo   Bab 10-Dukun Mbelgedes

    Sementara itu, Wati hanya bisa melongo, menatap kosong pada dipan tempatnya berbagi tempat tidur dengan Maziyah. Kosong melompong hanya menyisakan bantal, guling serta selimut yang terlipat rapi.Bahkan gadis kecilnya membawa kabur uang tabungan yang akan digunakan untuk membayar kontrakan selama setahun. Wati membatin, dari siapa jiwa maling anaknya diturunkan.Dia membolak-balik apa yang mungkin tertinggal, tetapi semua raib. Perhiasan semua hilang. Bahkan segulung ijazah SMP Maziyah juga tidak ada. Sah, gadisnya memang telah merencanakan semuanya dari awal. Selama dia mencari obat ke Gunung Kawi. Wati masih ingat wajah pias Maziyah ketika dia mengutarakan niatnya akan pergi ke Malang. Dia ingat, wajah pias nan memelas itu, yang pada pikirannya, karena dia tidak mau ditinggal sendiri, tetapi kenyataan berbicara lain. Dia jarang membentak Maziyah, gadisnya yang begitu rapuh itu. Namun saat ini, rasanya Maziyah telah meletakan bara, persis di atas ubun-ubunnya.Atau, jangan-jangan,

  • Binti Raharjo   Bab 9-Berjumpa Malaikat

    Pukul lima truk berhenti. Pitoyo memandang wajah Maziyah dari samping. Matanya memerah. "Paklik baru ingat. Kamu itu mirip sekali sama almarhum Pipit. Waktu meninggal, dia juga seumuran kamu. Harusnya ia bisa sebesar kamu, Nduk!" gumamnya pelan. Tidak mau larut dalam kesedihan dan kepergok oleh gadis bernama Maziyah itu, Pitoyo membuka jendela truknya pelan. Ia juga menghela napas dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar perbukitan di Kaliaren. Ketika kembali menoleh, ia gagahkan diri menguncang bahu gadis itu lembut. “Bangun, Zi, sudah sampai!” Maziyah mengerjap, memandang sekelilingnya. Pintu truk sudah terbuka sedikit, Judir sambil menguap tersenyum lebar kepadanya. Dia melompat-lompat menghalau hawa dingin yang mencecap kulit. “Selamat datang di Desa Kaliaren yang permai. Ayo, turun, Zi!” Judir melambai. “Itu, Lik Pitoyo, mau ke mana?” Wajahnya mendongak mengikuti arah yang di tempuh pria paruh baya yang menolongnya tadi malam. Pria itu berjalan ke depan kemudian belok

  • Binti Raharjo   Bab 8-Alas Gendingan

    Harusnya bulan sempurna menawan malam. Purnama kelima belas, benderang nya terbelenggu arakan awan yang mulai berkerumun mengaburkan pesonanya. Cahaya hanya ada setitik sinar dari celah-celah kabut, menerpa dedaunan di tepian Alas Gendingan. Kedua orang itu berjalan mendekat sesosok tubuh yang terbaring tidak jauh dari tempat Judir membuang hajat. Sosok dengan rambut awut-awutan menutupi sebagian wajahnya. Mengenakan jeans yang hampir terbuka, melorot sampai lutut. Kakinya telanjang tanpa sandal atau sepatu. Memakai kaos warna putih kecoklatan. Entahlah, atau warna itu muncul karena posisinya yang terjeblos dalam parit. Pitoyo menyuluh, pria itu langsung merengkuh, membopong sosok itu keluar dari kubangan. “Masih hidup!” Pitoyo memerintahkan Judir menuang air mineral, lalu memercikkan pada wajah gadis itu. “Nger, Bangun!” bisik Pitoyo lirih. Tangannya terus menepuk pipi gadis itu. “Pantesan aku tadi sir-siran.” Judir mengusap belakang tengkuknya. Suara sesenggukan burung hantu menam

  • Binti Raharjo   Bab 7-Minggat

    Saat ibunya tidak ada di rumah, Maziyah memutuskan untuk pergi. Dia tidak ingin berada di sekitar ibunya dengan kehidupan memprihatinkan serta dicemooh. Lebih baik pergi. Gadis itu cepat-cepat meraup semua pakaian miliknya ke dalam sebuah tas. Seketika itu dia juga mengambil semua perhiasan milik ibunya. Ijazah sekolahnya sudah dimasukkan ke dalam plastik lantas digulung di dasar tas. Keluar dari pintu kontrakan pengap di gang sempit itu, Maziyah memastikan keadaan aman. Dia juga tahu harus kemana setelah ini. Terminal. Konon katanya terminal terbesar itu beroperasi selama 24 jam. Dia tidak akan terlambat. Dengan langkah panjang, gadis 14 tahun itu berjalan menyusuri gang. Waktu Magrib menjadi suasana lumayan sunyi. Gerimis lagi-lagi mengguyur bumi. Seperti mendapatkan restu dari alam, Maziyah selamat sampai di terminal dan langsung mencari bus jurusan Yogyakarta. Kenapa Jogja, karena di sana Kota Pelajar. Tidak akan ada yang curiga jika dirinya tinggal di kosan tanpa pengawasan ora

  • Binti Raharjo   Bab 6-Bukan Mencari Pesugihan

    "Karena saya seperti, orang Cina?"“Begitulah yang dipercaya masyarakat. Tapi, orang-orangnya seperti kamu. Ada juga orang kebanyakan, tetapi jumlahnya tidak banyak. "Orang percaya mistik tentu saja. Gunung Kawi dipercaya sebagai perpustakaan jagat babad misteri dan legenda maupun mitos,” lanjut pemilik warung tempat Wati berteduh.“Gitu, ya, Mbah?” ujar Wati sambil menggaruk-garuk badannya yang tiba-tiba gatal. Apakah hujan rimis ini membuat gatal?“Iya, Nak. Apalagi Gunung Kawi juga menjadi pilihan para sesepuh dunia mistik untuk peristirahatan terakhir mereka. Pun, masyarakat kini mengeramatkan makam-makam itu.”Wati semakin penasaran, “Kenapa begitu?”Mbah Utomo hanya tersenyum lalu menyeruput es teh sereh setengah manis. Obrolan semakin seru, bahkan Wati lupa kalau dirinya tersesat dan terpisah dari rombongan Mbah Trunojoyo yang lain. Suasana sungguh mencekam. Warung yang berada di laluan menuju ke atas gunung atau pertapaan itu memang terkesan angker. Asap dupa hio mengepul pe

  • Binti Raharjo   Bab 5-Mencari Obat

    Gunung Kawi, Tahun 1995Bukan tanpa alasan Wati mengajak Maziyah pindah ke daerah timur, Jawa bagian Timur. Agar dia bisa segera lepas dari kutukan. Menurut Lasmi, kutukan itu akan hilang jika putrinya remaja, tetapi saat yang ditunggu tak juga datang. Saat ini Maziyah sudah 14 tahun. Bahkan apa yang bisa dilakukan bocah itu semakin menakutkan. Bukan hanya sekadar melihat setan atau jin. Apa yang dilakukan Maziyah kepada Pak Kost adalah pembunuh berencana dengan bantuan kekuatan gaib. Dia harus menguatkan tekadnya. "Apakah masih lama?" tanyanya kepada May."Kon meneng. Jangan banyak tanya.""Aku penat," ujar Wati lirih. Tidak ingin keluh kesahnya disalah artikan. Dia memiliki tekad baja. Lihat saja. "Sudah hampir sampai. Fokus, jangan melamun. Kalau melamun pikiranmu bisa dikacau setan. Ngerti!""Yo!""Ya, Yo! Tapi sampai ngimpi manggil nama suami iblismu. Kok, iso. Nggak bahaya ta?""Maaf.""Kalau maaf bisa membuat urusan kelar, penjara kosong. Dukun nggak punya kerja sepi job untu

  • Binti Raharjo   Bab 4-Dukun Pijat

    Seorang pria duduk meringkuk di teras sebuah rumah bercat putih. Hanya rokok kretek dengan ujung menyala yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Itu pun hampir tak pernah diisapnya. Sampai datangnya seorang pemuda dengan sebuah motor. "Rumahnya, dukun Sarmi?""Ya," jawab pria itu."Oh, terima kasih. Boleh saya duduk?"Pria itu mengangguk. "Saya nunggu istri di dalam," ujarnya lirih hingga nyaris tak terdengar."Kepala bayi ada di atas," kata seorang gadis kecil dengan rok berwarna putih yang berkerut persis di bagian bokong itu tiba-tiba saja hadir membuat kedua lelaki itu terkejut."Oh, ya, Nong?" Pria itu berusaha menyembunyikan rokoknya. "Kenapa bayinya muter-muter, ya?""Ade bayi, ehmmm berenang.""Zi! Masuk rumah!""Iya, Nyai!" Gadis itu berlari ke dalam rumah dengan baskom berwarna putih dengan corak bunga mawar di bagian atasnya. Seperti biasa, dia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan air hangat.Maziyah nama gadis kecil dengan kuncir dua tersebut. Dia ingin menja

  • Binti Raharjo   Bab 3-Kuah Asam Pedas

    Saat tangan besar Singgih menariknya keluar dari ruangan karaoke, Wati seperti mengulang nostalgia masa lalu. Di mana pria itu menggandeng tangannya setelah insiden kuah asam pedas. Peristiwa yang menjadi awal perjumpaannya dengan Singgih. "Aduh, Mbak ini cendolnya kok ada semutnya?""Mohon maaf mbak, nanti kami ganti cendol yang baru." Sekalian yang ada kecoanya, batin Wati. Sambil memaksimalkan kinerja matanya. Sampai jereng juga itu semut tidak kelihatan. Beuh, bawel. "Oh, ya. Sekalian ini sambelnya ganti sambel terasi.""Oh, maaf Mbak menu ini paketnya hanya sambal bawang atau sambel tomat, kalau mau sambal terasi harus pesan lagi, bagaimana?""Dih, masa sih sambel doang minta ganti harus nambah pesanan lagi?"Kalo enggak mau pesen lagi, besok kalo ke sini bawa cobek, bawa terasi, nyambel sendiri! Itu, sih, lagi-lagi hanya dalam hati Wati. Restoran merupakan pekerjaan yang tidak ada dalam benaknya dari awal, Karena setelah putus sekolah SMEP—Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dia

  • Binti Raharjo   Bab 2-Berjumpa Singgih

    Anyer tahun 1992.Pendar cahaya lampu yang samar-samar terlihat dari luar ruangan karaoke menandakan sebagian ruangan yang lain sedang digunakan. Beberapa perempuan muncul dari balik pintu itu. Mereka berpindah ke pintu lain ke tempat pengunjung yang baru datang.“Ang, kamu kamar nomor lima. Baik-baik, ya. Orang dari Jakarta itu.”Wati mengangguk. Perempuan muda itu berjalan melenggang menuju ruangan yang disebutkan Saipul—pengawas tempat karaoke itu. Wati yang saat ini mengenakan atasan berwarna hitam dengan aksen berkilau berjalan sambil sesekali menyapa beberapa temannya. Sedikit kesulitan dengan sepatu hak tinggi juga rok span kulit sintetis-nya. Sudah tiga tahun dia menjalani profesi sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Mereka memanggilnya, Purel. Namun, ada juga yang orang-orang yang memberi julukan sedikit modern yaitu lady escort.Tugas Wati bekerja menemani tamu-tamu karaoke. Menyuguhkan minuman, sampai menjadi teman ngobrol. Yah, memang ada yang hanya datang, memesan kama

DMCA.com Protection Status