Aira duduk diam di ruang tunggu rumah sakit, matanya kosong menatap dinding yang tampak buram di depannya. Tangannya menggenggam tas plastik yang berisi beberapa baju yang baru saja diambil di rumah, namun hatinya kosong, jauh dari kenyamanan apapun. Di luar sana, kehidupan berjalan seperti biasa, sementara di dalam dirinya, dunia seakan runtuh.
Nina, sahabat sekaligus teman dekat yang selalu ada di sisi Aira, duduk di sampingnya, menatap Aira dengan penuh perhatian. “Aira, kamu harus kuat. Melati butuh kamu,” kata Nina pelan, berusaha memberi semangat meski di balik kata-kata itu ada rasa takut yang sama.
Aira menatap Nina, matanya mulai basah. “Aku takut, Nina. Aku takut aku nggak bisa membantu Melati. Aku nggak tahu harus berbuat apa lagi,” jawab Aira, suara penuh kecemasan.
Tak lama setelah itu, seorang perawat keluar dari ruang perawatan dengan wajah yang serius. "Ibu Aira? Dokter meminta Anda segera masuk. Kami sudah melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan." Perawat itu tersenyum tipis, tapi Aira tahu bahwa ekspresi itu tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran.
Aira berdiri dengan gemetar. Nina menepuk punggung Aira dan ikut bangkit. Mereka mengikuti perawat menuju ruang dokter. Saat mereka masuk, dokter yang menangani Melati sedang duduk di meja, wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya. Ia menatap mereka dengan pandangan penuh simpati, tetapi juga ketegasan yang mengisyaratkan bahwa ia harus memberitahukan sesuatu yang buruk.
“Aira, Nina, saya ingin memberitahukan hasil pemeriksaan lanjutan Melati,” kata dokter itu, suaranya tenang namun ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan. “Kami sudah melakukan pemeriksaan foto rontgen dan CT scan otak, dan saya sangat menyesal harus mengatakan ini: Melati mengidap kanker otak.”
Aira merasa tubuhnya seperti dihantam sesuatu yang keras. Kanker? Tidak. Tidak mungkin. Melati anak kecil yang ceria, yang selalu berlari-lari dan bermain di halaman rumah mengidap kanker otak? Aira menunduk, tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengar.
“Dok… apakah itu benar?” Aira berusaha berkata dengan suara pelan, namun penuh kecemasan. “Tidak mungkin, kan? Anak saya baru tujuh tahun…”
Dokter itu mengangguk perlahan, wajahnya penuh empati. “Saya tahu ini sangat berat, Ibu. Namun, berdasarkan hasil pemeriksaan, kita menemukan sebuah tumor besar di otak Melati. Tumor ini sudah mengganggu fungsi otak dan mengakibatkan kondisi yang semakin memburuk. Kami perlu segera melakukan tindakan medis, namun perlu diingat bahwa pengobatan untuk kanker otak sangat mahal dan memerlukan biaya yang sangat besar.”
“Apa… apa yang bisa kita lakukan, Dok?” Nina bertanya dengan suara gemetar, tidak bisa menahan kecemasan yang juga membayang di matanya. “Apakah ada harapan?”
Dokter itu menarik napas panjang, menyusun kata-kata dengan hati-hati. “Kami akan melakukan yang terbaik. Opsi pertama adalah operasi untuk mengangkat sebagian dari tumor. Namun, mengingat posisinya yang sangat berbahaya, kami harus berhati-hati. Selain itu, Melati akan memerlukan terapi radiasi dan kemoterapi setelahnya. Semua itu membutuhkan biaya yang sangat besar, dan waktu kita sangat terbatas. Tanpa pengobatan yang cepat, kondisi Melati bisa semakin memburuk.”
Aira merasa darahnya seperti berhenti mengalir. Semua kata-kata dokter itu seperti pisau yang menghujam jantungnya. Biaya? Bagaimana bisa ia mengumpulkan uang sebanyak itu? Selama ini, ia hanya mengandalkan penghasilan dari pekerjaan yang sangat sederhana. Mereka hidup dengan pas-pasan, dan kini, ia harus menghadapi kenyataan bahwa untuk menyelamatkan hidup Melati, ia membutuhkan lebih dari sekadar harapan.
“Aira, kamu dengar itu? Kita harus mencari uang secepat mungkin!” Nina berkata dengan tegas, meskipun suaranya terdengar putus asa. “Jangan menyerah. Melati butuh kita.”
Aira menatap dokter itu lagi, matanya berkaca-kaca. “Dokter, saya nggak tahu bagaimana cara saya bisa bayar semua ini. Saya nggak punya uang sebanyak itu. Apa yang bisa saya lakukan? Tolong, jangan biarkan Melati kehilangan kesempatan hidupnya hanya karena saya tidak bisa bayar pengobatan!”
Dokter itu menunduk, tampak mengerti betul betapa sulitnya posisi Aira. “Kami akan mencoba untuk membantu, Ibu. Kami akan coba melakukan pengobatan darurat, namun setelah itu, kita akan berbicara lebih lanjut tentang biaya. Namun, saya tidak ingin memberi harapan palsu. Pengobatan ini membutuhkan dana yang sangat besar, dan kami tidak bisa memberikan bantuan lebih dari itu.”
Aira merasa dunia seakan berhenti berputar. Semua yang ia punya hanyalah cinta dan harapan untuk Melati. Tapi tanpa uang, seolah semuanya sia-sia. Bagaimana ia bisa menyelamatkan anaknya? Bagaimana ia bisa memberi hidup yang layak untuk Melati?
“Aira, ayo, kita harus berpikir positif,” ujar Nina sambil menggenggam tangan Aira dengan erat. “Kamu harus berjuang, kita harus mencari jalan. Ada banyak cara, kita hanya perlu berusaha lebih keras.”
Aira menatap Nina, matanya masih penuh air mata. “Tapi… aku nggak tahu dari mana lagi aku bisa mencari uang, Nina. Kita nggak punya apa-apa. Semua yang aku punya sudah habis untuk biaya rumah sakit.”
“Jangan khawatir. Kita pasti bisa,” kata Nina, mencoba memberi semangat. “Kamu nggak sendiri, Aira. Kita berjuang bersama. Kita akan cari bantuan. Aku yakin ada orang di luar sana yang peduli.”
Aira mengangguk perlahan, meskipun hatinya terasa begitu hancur. “Aku harus menyelamatkan Melati, apapun caranya. Aku nggak bisa kalah sekarang.”
Dokter itu mengangguk, memberi senyuman tipis. “Ibu Aira, saya tahu ini semua sangat berat, tapi ingatlah bahwa kami akan melakukan yang terbaik untuk Melati. Namun, segala keputusan ada di tangan Anda.”
Setelah itu, dokter meninggalkan mereka berdua, dan Aira kembali duduk di kursi, menundukkan kepalanya. Nina duduk di sampingnya, tak bisa mengungkapkan betapa hancurnya hatinya melihat temannya dalam keadaan seperti ini.
Aira menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dalam kepalanya, perasaan campur aduk: kebingungan, ketakutan, dan kepasrahan. Tapi yang paling kuat adalah satu hal Melati. Melati harus hidup. Dia tidak akan menyerah begitu saja.
“Aku akan mencari cara, Nina. Aku harus menemukan cara untuk menyelamatkan Melati,” kata Aira dengan tekad yang baru. “Aku nggak bisa berhenti berjuang.”
Nina menatap Aira dengan penuh haru. “Aku di sini untukmu, Aira. Kita akan berjuang bersama.”
Dengan semangat yang baru, meskipun rasa takut masih menghantui, Aira tahu satu hal: ia tidak akan membiarkan Melati berjuang sendirian. Ia akan melakukan apapun untuk anaknya. Melati adalah hidupnya.
Aira terjaga sepanjang malam, pikirannya terus berputar tak henti. Setiap detik yang berlalu semakin menambah rasa berat di dadanya. Melati masih terbaring tak berdaya di ruang perawatan rumah sakit, dan meskipun dokter sudah berusaha menenangkan, kenyataan bahwa pengobatan untuk kanker otak membutuhkan biaya yang sangat besar terus menggelayuti pikirannya.Pagi itu, Aira duduk di sisi tempat tidur Melati, memandangi wajah putrinya yang pucat dan lemah. Ia tahu, jika tidak ada uang untuk pengobatan lebih lanjut, hidup Melati mungkin hanya tinggal beberapa hari saja. Apa yang bisa ia lakukan? Hanya Tuhan yang tahu, dan Aira merasa seolah berada di ujung jurang yang tak terjangkau.Tiba-tiba, pintu kamar rumah sakit terbuka, dan Nina masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Aira, aku bawa sarapan. Kamu harus makan," kata Nina lembut sambil membawa kantong plastik berisi roti dan segelas air. Namun, Aira hanya menggelengkan kepala, matanya kosong, seakan tak mampu menerima kenyataan.Nina
Aira menggenggam erat tas plastik yang berisi uang yang dikumpulkan oleh Nina, teman terbaiknya. Setiap lembar uang itu terasa begitu berat di tangannya. Setelah berhari-hari terjebak dalam kebingungan dan rasa putus asa, kini ia memiliki sedikit harapan. Meskipun jumlah uang yang terkumpul belum cukup untuk membayar seluruh biaya pengobatan, namun setidaknya itu memberi mereka kesempatan untuk memulai langkah pertama operasi untuk mengangkat tumor di otak Melati.Aira bergegas menuju meja administrasi rumah sakit, hatinya berdegup kencang. Setiap langkah terasa seperti ujian yang lebih berat. Begitu sampai di meja, Aira menyerahkan uang itu kepada petugas, matanya masih penuh kecemasan.“Saya ingin membayar biaya untuk tindakan operasi Melati,” kata Aira dengan suara bergetar. “Ini semua yang saya punya. Mohon, bantu kami.”Petugas itu melihat uang yang diberikan, lalu menatap Aira dengan ekspresi serius. “Kami mengerti, Ibu. Kami akan segera memprosesnya. Namun, biaya untuk tindakan
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Aira duduk di ruang tunggu rumah sakit, matanya tak lepas dari pintu ruang operasi yang terkunci rapat. Dengan setiap suara langkah kaki di lorong, jantungnya berdegup lebih cepat. Operasi untuk mengangkat tumor Melati sudah dimulai beberapa jam yang lalu, dan meskipun dokter telah memberi penjelasan tentang semua kemungkinan, Aira merasa setiap detik semakin sulit untuk ditunggu. Semua yang ada di dalam dirinya hanyalah satu hal Melati harus selamat. Ia tidak bisa membayangkan kehilangan anak itu.Nina duduk di samping Aira, mencoba menenangkan sahabatnya. Wajah Nina juga tampak tegang, matanya berkaca-kaca. "Aira, kita harus tetap percaya. Melati kuat, dia pasti bisa melalui ini."Aira menatap Nina dengan mata yang lelah. "Aku hanya ingin dia baik-baik saja, Nina. Aku ingin dia bisa kembali bermain, tertawa seperti dulu." Suaranya bergetar, tetapi ia berusaha untuk tetap kuat di hadapan sahabatnya.Tiba-tiba, pintu ruang tunggu terbuka, dan seora
“Aira! Melati… kenapa dia nggak bangun?” suara Nina terdengar panik dari luar rumah. Aira tak menjawab. Dia hanya berdiri di samping ranjang kecil itu, memegangi tangan Melati yang semakin dingin. Rasa takut semakin menggerogoti hatinya. Tubuh kecil itu terbaring lemah, mata terpejam rapat, napasnya semakin berat, dan Aira tidak tahu harus berbuat apa lagi.“Melati… sayang, bangun… ibu di sini.” Suara Aira bergetar, mencoba menenangkan dirinya, tapi percuma. Seolah seluruh dunia berhenti bergerak, membiarkan dia terperangkap dalam kekosongan ini.Nina akhirnya masuk ke dalam, melihat Aira yang tampak kehilangan harapan. “Aira, kita harus bawa Melati ke rumah sakit. Kita nggak punya waktu lagi,” kata Nina dengan cemas.Aira menatap Nina dengan mata penuh keputusasaan. “Nina, aku nggak punya uang. Dari mana lagi aku bisa cari uang? Aku sudah jual semua yang bisa dijual, mesin jahit, bahkan perhiasan warisan ibu. Apa lagi yang bisa aku lakukan?” Suaranya mulai pecah. Dia merasa terjebak
Aira berjalan keluar dari rumah sakit, tubuhnya terasa lelah dan lemas. Di tangannya, sebuah amplop tipis berisi tagihan yang tak terbayangkan. Sisa waktu yang diberikan dokter hanya satu hari. Hanya satu hari lagi untuk bisa menyelamatkan Melati, anaknya yang terbaring lemah di ruang perawatan.Nina berjalan di sampingnya, diam, memberi ruang bagi Aira untuk berpikir. Namun, mereka tahu waktu terus berjalan, dan semakin sedikit yang bisa mereka lakukan.“Bagaimana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang sesingkat ini, Aira?” Nina akhirnya bertanya, suaranya penuh kecemasan.Aira menggenggam amplop itu lebih erat, matanya berkerut, berusaha mencari solusi di tengah kepanikan yang merasuki dirinya. “Aku harus bisa. Aku tidak punya pilihan lain.” Suaranya terdengar tegas, meski hatinya penuh keraguan. “Melati tidak boleh mati karena kekurangan uang. Aku harus cari cara apapun.”Nina menepuk bahu Aira dengan lembut. “Kamu kuat, Aira. Kita akan cari jalan.”Aira menatap N
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Aira duduk di ruang tunggu rumah sakit, matanya tak lepas dari pintu ruang operasi yang terkunci rapat. Dengan setiap suara langkah kaki di lorong, jantungnya berdegup lebih cepat. Operasi untuk mengangkat tumor Melati sudah dimulai beberapa jam yang lalu, dan meskipun dokter telah memberi penjelasan tentang semua kemungkinan, Aira merasa setiap detik semakin sulit untuk ditunggu. Semua yang ada di dalam dirinya hanyalah satu hal Melati harus selamat. Ia tidak bisa membayangkan kehilangan anak itu.Nina duduk di samping Aira, mencoba menenangkan sahabatnya. Wajah Nina juga tampak tegang, matanya berkaca-kaca. "Aira, kita harus tetap percaya. Melati kuat, dia pasti bisa melalui ini."Aira menatap Nina dengan mata yang lelah. "Aku hanya ingin dia baik-baik saja, Nina. Aku ingin dia bisa kembali bermain, tertawa seperti dulu." Suaranya bergetar, tetapi ia berusaha untuk tetap kuat di hadapan sahabatnya.Tiba-tiba, pintu ruang tunggu terbuka, dan seora
Aira menggenggam erat tas plastik yang berisi uang yang dikumpulkan oleh Nina, teman terbaiknya. Setiap lembar uang itu terasa begitu berat di tangannya. Setelah berhari-hari terjebak dalam kebingungan dan rasa putus asa, kini ia memiliki sedikit harapan. Meskipun jumlah uang yang terkumpul belum cukup untuk membayar seluruh biaya pengobatan, namun setidaknya itu memberi mereka kesempatan untuk memulai langkah pertama operasi untuk mengangkat tumor di otak Melati.Aira bergegas menuju meja administrasi rumah sakit, hatinya berdegup kencang. Setiap langkah terasa seperti ujian yang lebih berat. Begitu sampai di meja, Aira menyerahkan uang itu kepada petugas, matanya masih penuh kecemasan.“Saya ingin membayar biaya untuk tindakan operasi Melati,” kata Aira dengan suara bergetar. “Ini semua yang saya punya. Mohon, bantu kami.”Petugas itu melihat uang yang diberikan, lalu menatap Aira dengan ekspresi serius. “Kami mengerti, Ibu. Kami akan segera memprosesnya. Namun, biaya untuk tindakan
Aira terjaga sepanjang malam, pikirannya terus berputar tak henti. Setiap detik yang berlalu semakin menambah rasa berat di dadanya. Melati masih terbaring tak berdaya di ruang perawatan rumah sakit, dan meskipun dokter sudah berusaha menenangkan, kenyataan bahwa pengobatan untuk kanker otak membutuhkan biaya yang sangat besar terus menggelayuti pikirannya.Pagi itu, Aira duduk di sisi tempat tidur Melati, memandangi wajah putrinya yang pucat dan lemah. Ia tahu, jika tidak ada uang untuk pengobatan lebih lanjut, hidup Melati mungkin hanya tinggal beberapa hari saja. Apa yang bisa ia lakukan? Hanya Tuhan yang tahu, dan Aira merasa seolah berada di ujung jurang yang tak terjangkau.Tiba-tiba, pintu kamar rumah sakit terbuka, dan Nina masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Aira, aku bawa sarapan. Kamu harus makan," kata Nina lembut sambil membawa kantong plastik berisi roti dan segelas air. Namun, Aira hanya menggelengkan kepala, matanya kosong, seakan tak mampu menerima kenyataan.Nina
Aira duduk diam di ruang tunggu rumah sakit, matanya kosong menatap dinding yang tampak buram di depannya. Tangannya menggenggam tas plastik yang berisi beberapa baju yang baru saja diambil di rumah, namun hatinya kosong, jauh dari kenyamanan apapun. Di luar sana, kehidupan berjalan seperti biasa, sementara di dalam dirinya, dunia seakan runtuh.Nina, sahabat sekaligus teman dekat yang selalu ada di sisi Aira, duduk di sampingnya, menatap Aira dengan penuh perhatian. “Aira, kamu harus kuat. Melati butuh kamu,” kata Nina pelan, berusaha memberi semangat meski di balik kata-kata itu ada rasa takut yang sama.Aira menatap Nina, matanya mulai basah. “Aku takut, Nina. Aku takut aku nggak bisa membantu Melati. Aku nggak tahu harus berbuat apa lagi,” jawab Aira, suara penuh kecemasan.Tak lama setelah itu, seorang perawat keluar dari ruang perawatan dengan wajah yang serius. "Ibu Aira? Dokter meminta Anda segera masuk. Kami sudah melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan." Perawat itu terseny
Aira berjalan keluar dari rumah sakit, tubuhnya terasa lelah dan lemas. Di tangannya, sebuah amplop tipis berisi tagihan yang tak terbayangkan. Sisa waktu yang diberikan dokter hanya satu hari. Hanya satu hari lagi untuk bisa menyelamatkan Melati, anaknya yang terbaring lemah di ruang perawatan.Nina berjalan di sampingnya, diam, memberi ruang bagi Aira untuk berpikir. Namun, mereka tahu waktu terus berjalan, dan semakin sedikit yang bisa mereka lakukan.“Bagaimana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang sesingkat ini, Aira?” Nina akhirnya bertanya, suaranya penuh kecemasan.Aira menggenggam amplop itu lebih erat, matanya berkerut, berusaha mencari solusi di tengah kepanikan yang merasuki dirinya. “Aku harus bisa. Aku tidak punya pilihan lain.” Suaranya terdengar tegas, meski hatinya penuh keraguan. “Melati tidak boleh mati karena kekurangan uang. Aku harus cari cara apapun.”Nina menepuk bahu Aira dengan lembut. “Kamu kuat, Aira. Kita akan cari jalan.”Aira menatap N
“Aira! Melati… kenapa dia nggak bangun?” suara Nina terdengar panik dari luar rumah. Aira tak menjawab. Dia hanya berdiri di samping ranjang kecil itu, memegangi tangan Melati yang semakin dingin. Rasa takut semakin menggerogoti hatinya. Tubuh kecil itu terbaring lemah, mata terpejam rapat, napasnya semakin berat, dan Aira tidak tahu harus berbuat apa lagi.“Melati… sayang, bangun… ibu di sini.” Suara Aira bergetar, mencoba menenangkan dirinya, tapi percuma. Seolah seluruh dunia berhenti bergerak, membiarkan dia terperangkap dalam kekosongan ini.Nina akhirnya masuk ke dalam, melihat Aira yang tampak kehilangan harapan. “Aira, kita harus bawa Melati ke rumah sakit. Kita nggak punya waktu lagi,” kata Nina dengan cemas.Aira menatap Nina dengan mata penuh keputusasaan. “Nina, aku nggak punya uang. Dari mana lagi aku bisa cari uang? Aku sudah jual semua yang bisa dijual, mesin jahit, bahkan perhiasan warisan ibu. Apa lagi yang bisa aku lakukan?” Suaranya mulai pecah. Dia merasa terjebak